Segelas teh manis panas di pagi hari.
Seperti yang telah lalu, bahwa perasaan terburu ini acap kali mengganggu.
Tenangku seperti hilang ditelan ketergesaan
Untuk sesuatu yang bahkan tak pernah terbayang
Tak mengerti untuk apa begini
Namun kemudian segelas teh panas membantuku
Melewati pagi
Pagi yang serasa mimpi
Kuterburu dalam waktu yang tak jelas ingin kuarungi
Tergesa dalam bayangan maya tak jelas arahnya
Segelas teh panas manis menyapaku
Membuatku teringat bahwa santai itu perlu
Bahwa setiap nafas memiliki makna
Bahwa waktu ada untuk dinikmati jua
Bahwa setiap saat, tak perlu tergesa
Terima kasih adikku,
Untuk teh panas yang manis menyentuh kalbu
Untuk cinta yang sederhana
Dalam bentuk yang paling nyaman terasa



Bunga Sepatu (Hibiscus rosa-sinensis)

Sebuah tulisan acak yang tersusun dari rasa inginku berlatih menulis sesuatu agar bisa mengeluarkan segala pikiran dalam bentuk tulisan. Kali ini aku akan memanfaatkan 10 menit untuk menulis tentang kenapa aku suka sekali mengenal tumbuhan-tumbuhan, siapa nama mereka, dari mana asalnya, dan segala sesuatu tentang si cantik yang selalu mempesona.

Bunga yang cantik, dedaunan, dan tanaman-tanaman hijau warna-warni telah menjadi bagian hidupku yang panjang, sejak dari aku kecil dulu. AKu masih teringat ketika kecil pernah memiliki sebuah kebun mini di depan rumahku yang sederhana. Kecil sekali kebunku, mungkin hanya berukuran 1,5 meter kali 0,5 meter. Namun di sana aku menyayangi sekali tanaman-tanaman itu. Bahkan sempat aku menangis ketika satu buah cabai yang sudah berbuah diambil satu oleh Bapakku. Ya, aku menangis rasanya seperti kehilangan kesayangan yang kupelihara hari ke hari.

Dan kini, kesenangan terhadap tanaman dan dunia tumbuhan semakin menjadi padaku. Aku suka sekali mengumpulkan foto-foto tanaman-tanaman cantik dimanapun berada kutemui, terutama mereka yang belum kukenal. Kemudian foto-foto itu akan kujadikan koleksi dengan mencari nama-nama mereka. Aku mencari lewat google, sebuah alat pencarian termudah saat ini. Selain itu, aku juga pernah menggunakan aplikasi identifikasi tumbuhan. Dan beberapa jenis tanaman telah kuketahui namanya dari aplikasi ini. AKu juga tak jarang bertanya kepada kawan-kawan yang jago dan ahli identifikasi tanaman. Salah dua dari mereka adalah Mbak Lidia Chang dan Bu Yayuk. Rasanya nyambung ketika ngobrol dengan mereka. Hobi yang sama mungkin menjadikan sesuatu obrolan menarik. Meskipun dengan Mbak Lidia hampir tak pernah ketemu secara langsung, hanya via media sosial.

Mengenali tumbuhan-tumbuhan ini membuatku merasa ada kepuasan tersendiri yang menyenangkan. Damai rasanya. Aku merasakan saat berinteraksi dengan bunga-bunga dan dedaunan itu bagai meditasiku, membawaku pada duniaku yang menyenangkan, dan sejenak aku bisa berada dalam imajinasi warna-warni dunia yang indah. Ya, begitulah, mungkin bunga-bunga ini adalah jalan meditasiku. Dan saat ini aku sudah mulai mengumpulkan dan terus mengumpulkan tentang dunia tumbuhan yang selalu menawanku. Senang sekali menggeluti bidang ini. Dan aku pun juga memiliki kebun kecil di belakang rumah yang saat ini bagai istanaku, bersama para cacing-cacing tanah, dan mikroba-mikroba penyubur tanah, yang selalu kuminta kebaikannya dari alam semesta memberikan kedamaian bagiku dan bagi kami semua. Rasanya bisa memanen sendiri sayuran di kebun, sembari melihat bunga-bunga mekar dan buah-buahan muncul dari tangkainya. Rasanya sungguh mendamaikan jiwa ini.

Itulah sekilas kenapa aku ingin selalu mengenal mereka.


Lihat koleksi foto-foto tanaman dan bunga ya di sini, sekaligus nama-nama mereka.
https://www.instagram.com/sekoya_flowers/
Menjelang hari Ciliwung 1111.

Aku pun teringat pada sungai-sungai yang pernah membuatku jatuh cinta pada kehidupan. Apa kabar sungai-sungai di bumi? Masihkah Engkau ikhlas mengaliri daratan dan menghantarkan kehidupan dari hulu hingga hilirnya, menghubungkan gunung tertinggi dan samudra terdalam.  Cinta kasih Semesta tak terbatas.  Dia punya caranya sendiri dalam mencintai kehidupan ini. Sungai-sungai itu tetap memberi kehidupan di sepanjang alirannya. Meski jejak kotor sebagian manusia membuat sedih sebagian manusia lainnya, dan makhluk-makhluk lainnya. Dalam kesedihan yang mungkin kita tak paham. Sungai tak peduli itu dan dia tetap mengalir memberi kehidupan. 

Kasih dan cinta pada kehidupan harus disebarkan, dinyalakan lagi dalam jiwa. Cinta kasih itu sudah ada di sana, dan akan tetap di sana. Sentuhlah hati-hati penuh kasih itu dengan kasih yang tulus. 

Selamat Hari Ciliwung 11 November 2019. 
Semoga sungai-sungai di bumi senantiasa lestari.  
(Foto:  @Laskarkarung, Komunitas Peduli Ciliwung Bogor) 



Satu hati untukmu, untukku. 
Dalam hiruk pikuk pikiran yang melaju cepat menyisakan pandangan bakal kabut tebal yang menutup semua pandangan, tiba-tiba aku bertemu dengan sebuah hati. Dia yang kukenal sejak dulu, dia yang memberiku rasa tenang dan damai yang lama telah kurindukan. Sore ini dia menyapaku kembali, dalam lirih bisikan,  dalam diam tatapan,  dalam jernih sekelebat kesadaran, dia menyapaku. 

Seorang kawan berkata bahwa dalam hidup ini kita bersiklus, kita berputar, yang berarti kita akan selalu berada di satu titik yang tak pernah sama sekali waktu.  Kadang di atas, di pertengahan, di bawah, dimana saja selama masih dalam siklus itu. 

Mentari sore ini membiaskan sinarnya di dedaunan semak yang kulihat indah. Hal-hal sederhana ini kan yang dulu pernah membawaku pada senyum merekah penuh syukur atas kehidupan. Pun kini kurasa. Meski kadang sulit bagiku membuka mata. Namun tidak sore ini, sebuah hati membukakan diri untukku kembali. Terima kasih. 

Dalam siklus ini, mari kita menjalani setiap tahapnya dengan suka cita, ataupun duka yang merupakan sisi lain dari suka. Hidup ini seimbang kan. Nikmati semuanya. Jadikan dia pelajaran berharga. Setiap hari, jam, detik waktu kita tak akan pernah terulang, jadi nikmati saja, jalani saja,  dan hadapi saja hari ini. Pun besok dan besoknya lagi. Sapalah mentari pagi, dan ucapkan selamat malam pada sanubari. Hingga damai menghampiri, dan hati selalu menyapa diri, mengucap syukur untuk segala apapun itu, yang menjadikan kita hidup dan belajar darinya. 

Selamat sore. 
Terima kasih telah menyapa kembali. 
Aku rindu. 
Damai ini. 



Dan ternyata, setiap kita mempunyai cerita. Berbeda tapi serupa. Banyak hal yang tidak saling kita ketahui tanpa saling bercerita. Masing-masing kita telah melalui banyak kisah yang mungkin hanya kita yang tahu pasti apa saja yang telah kita temui dan rasa.

Aku merindukanmu kawan, aku merindukan saat-saat muda kita tertawa tanpa beban kecuali asa. Masa-masa kita dulu pernah bersama merasa mimpi bagai di ujung mata. Semua begitu berkilauan sekarang kulihat. Masa-masa emas yang telah membeku abadi dalam ingatan kita bersama. Harta kita. Yang akan selalu menjadi tawa saat kita mengingatnya bersama.

Kesedihan kita kini, dan di masa-masa yang tak kita lalui bersama, biarlah menjadi katalis kedewasaan kita. Aku bersedih, kamu pun demikian. Aku bahagia, kamupun demikian. Kita punya cerita sendiri-sendiri. Jika bertemu nanti mari kita berbagi.

Sedikit kata-kata yang tiba-tiba kuluapkan padamu menjadi lucu seketika, mengingat rentang belasan tahun tak menjadikanku canggung membuka kegelisahan di dalamku. Terima kasih telah menjadi pendengarku. Dan kapanpun kau butuh telinga, sekedar telinga untuk gelisahmu, jangan ragu memanggilku. Ya, meskipun mungkin agak terasa kaku. 

Aneh, tak kuingat dulu seberapa akrabnya kita. Dan kitapun jarang bertegur sapa, bahkan di dunia maya. Tapi biarlah, apapun itu, aku senang bertemu kamu hari ini. Dan saat nanti kita bisa bertemu lagi, mari bercerita kembali, tentang kita yang dulu, ataupun kisah kita hari ini. 

(Sore itu, aku bertemu kawan lama yang sudah hampir 15 tahun tak bersua. Dan sore itu menyenangkan meski singkat terasa.) 
Cerita sampah yang tidak bisa selesai hanya di pelajaran SD.

1. Membuang sampah harus di ......

Soal ulangan atau ujian seperti itu mungkin hanya di temui di SD. Mana ada soal ujian di SMP, SMA, bahkan kampus muncul manyakan harus kemana kah orang buang sampah?

Mungkin para pembuat kurikulum sekolah kurang tahu, atau kurang jauh mainnya. Ya, kalau ada kesempatan coba ditanyakan. Mereka tidak tahu bahwa pertanyaan itu pun bahkan sangat sulit jawabannya. Coba saja tanya pada masyarakat yang tinggal di permukiman padat di tepi Ciliwung sana?

Membuang sampah harus di mana? (kalau nggak ke sungai.)
"Kemana lagi mbak sampah-sampah ini harus kami buang?"
"Di sini tidak ada petugas sampah. Dulu sempat ada, kita bayar pakai uang iuran seikhlasnya tapi sekarang sudah tak ada lagi."
"Kami harus naik ratusan tangga untuk sekedar buang sampah."
"Kami tak ada pilihan lain."

Lhah, ternyata ruwet banget keluhannya. Anak SD mana sanggup menjawab soal begituan. Bahkan ada cerita lucu dari sebuah kelurahan di tepi Ciliwung Kota Bogor belum lama ini.

Aku: "Dek, sungai harus bersih ya. Tidak boleh buang sampah di sungai. Pernah gak lihat orang buang sampah di sungai?"
Anak2: "Pernah....!!!, sering malah."
Aku: "Wah, kalau ketemu harus ditegur ya, bilangin kalau buang sampah gak boleh di sungai."
Anak: "Sudah Kak, tapi malah kita yang kena marah."

Lho, lucunya dimana? Dimana coba?
Anak-anak SD itu mungkin baru saja mendapat pelajaran buang sampah. Sedangkan orang yang marah ketika ditegur itu, mungkin sudah lupa pernah SD.

Sebenarnya, apa sih yang membuat persoalan buang sampah itu gak beres-beres? Gak cuman orang yang gak sekolah aja pelakunya, tidak jarang pula bahkan yang makan bangku sekolahpun kelakuannya sama. Lempar sampah dari jendela mobil, nyampah di lantai angkot, nyampah sembarangan asal buang, hingga para pemuja banjir yang senang buang sampah besar. Mereka semua itulah penyumbang bau busuk, pemandangan rusak, dan lingkungan sakit di sekitar kita.

Nah, pertanyaannya, kita ini apakah bagian dari mereka? Pikirkan sendiri. Lihat sungai di sekitarmu, lihat lingkungan di sekitar kamu. Masih kotor? Oh, berarti bisa jadi banget, kamu adalah bagian dari mereka. Kenapa? Karena nggak mungkin bersih sendiri, kebersihan adalah sesuatu yang kolektif yang harus bersama-sama diwujudkan. Kalau enggak? Ya percuma aja dong punya rumah gedong, wangi, dan bersih tapi tetanggaan sama TPA, tetap aja bauk.

Sudah saatnya sih urusan sampah menyampah, buang dimana dan diapakan ini tidak hanya sekedar urusan soal ulangan SD, tapi beneran urusan kita semua.

Ehm, enaknya sih kalau mau gak ribet urusan sampah ya jangan menghasilkan sampah. Gimana cara? Hayoo gimana dong..


(Hari pertama puasa ini, aku sedang gak jelas meratapi nasib, berjuang agar kuat puasa meskipun tanda-tanda lambung ngamuk sudah terasa. Eh, kok malah kepikiran sampah.... )



Malah anak TK ini mah
(img: here)



Grace Vanderwaal,

Ya, dia adalah pemenang dari AGT 2016. Seorang komposer, penyanyi yang waktu itu baru berumur 12 tahun telah berhasil menjadikan namanya terkenal melalui kegelisahannya mengenal dirinya sendiri. "I don't know my name. I don't play by the rules of the game.", sebuah potongan lirik dan juga potongan kehidupan yang aku rasa adalah milik semua orang terlepas dari berapa kah usianya.

Beberapa hari terakhir ini, Grace Vanderwaal telah menjadi inspirasiku untuk kembali berani bermimpi akan 'sebuah pemandangan dimana aku akan berada di masa depan'. Dalam sebuah pidato kemenangannya setelah mendapatkan penghargaan di Billboard 2017, Grace mengatakan entah apa yang terjadi jika 2 tahun sebelumnya dia tidak berani bermimpi melihat dirinya di panggung megah dihadapan penonton yang mendengarnya, entah apakah dia akan benar-benar di sana? Benar kan? Semua itu berawal dari mimpi. Mimpi kita menjadi jalan menuju nyata.

Lalu, apa yang bisa kulihat dari diriku sekarang? Saat waktu terus mengalir tanpa memberi ampun barang sejenak untuk sedikit beristirahat tanpa memikirkannya. Waktu tak bisa memberi dispensasi pada pemalas yang melarikan diri dunia, lari dari mimpinya, lari dari dirinya sendiri. Sudah saatnya untuk kembali menggenggam harapan akan hari esok. Aku mungkin tak tahu namaku, dan aku tak bisa bermain sesuai aturan permainan. Aku hanya manusia biasa yang selalu ingin tak biasa namun takut untuk menuju ketakbiasaan.

Lalu, bagaimana?

Grace oh Grace, apa yang kulakukan ketika aku berumur 12 tahun? Ah, kurasa aku masih SD waktu itu. Aku baru merasakan cinta pertamaku yang kandas bahkan sebelum aku sadar itu cinta. Aku masih bermimpi bahwa Jakarta adalah sebuah negeri dongeng yang tak akan pernah terjamah. Aku bermimpi tentang sepeda yang dijanjikan tapi tak pernah terbelikan. Aku bermimpi menonton televisi di rumahkku yang nyaman tanpa harus memekarkan payung saat hujan tiba di malam hari. Apakah aku menyalahkan kehidupan? Tidak.

Satu dan lain hal adalah berhubungan. Dan aku yang sekarang mungkin adalah aku yang dulu sangat kubenci. Aku berubah menjadi orang yang kubenci. Aku takut.

Dan kemudian, saat ini, aku mendengarkan 'Beautiful Thing' dari Grace Vanderwaal yang entah kenapa kurasakan ingin kunyanyikan untuk diriku sendiri. Untuk aku dan diriku sendiri. Aku mencoba mencari hiburan.


"You think that you know my heart
And you probably do
So I'm always with you
I could stay with you for hours
In an empty room
And never get bored
Never have nothing to do
You're my other half
You're what makes me me
What makes me smile
When I fall down and can't get back, get back, get back up
On my feet

Without you here I am boring
Something inside you is triggering
It makes me myself
Makes me funny,

You're a beautiful thing
We're a beautiful thing together
Even when the weather is low
You're a beautiful thing
We're a beautiful thing together
Even when the weather is low
We find the rainbow
Up in the sky
You'd say don't you cry, it's all gonna be alright

If we ever gone through a fight oh that would be bad
'Cause you know all of my secrets
But I know all of yours
We make hours turn into seconds together
The weight of the world feel like a feather
'Cause we're holding it right in our hands
You're my other half
You're what makes me me
What makes me smile
When I fall down and can't get back up, get back, get back up
On my feet

Without you here I am boring
Something inside you is triggering
It makes me myself
Makes me funny

You're a beautiful thing
We're a beautiful thing together
Even when the weather is low
You're a beautiful thing
We're a beautiful thing together
Even when the weather is low
You and me

Together, we'll forget what we have been told
We'll live in our own dream world
You and me, forever
We'll forget what we have been told
We will take on the whole world
Without you here I am boring
Something inside you is triggering
It makes me myself, it makes me funny

You're a beautiful thing
We're a beautiful thing together
Even when the weather is low
And that's a beautiful thing "   (Beautiful things - Grace Vanderwaal)



Relawan yang berada di antara sampah di dasar Ciliwung - Katulampa (Foto: Suparno Jumar)

Hujan yang jarang turun di Bogor akhir-akhir ini membawa dampak yang cukup jelas jika kita tengok di Bendung Katulampa. Jauh berbeda ketika banjir jadi primadona siaran berita di tivi-tivi nasional kita, Bendung Katulampa yang mengalirkan derasnya air sungai Ciliwung yang termahsyur tiba-tiba menjadi kering kerontang memperlihatkan bebatuan dan balok-balok pemecah arus di dasar bendung. Sungguh pemandangan yang kontras. Salah satu penanda rusaknya DAS adalah fluktuasi aliran yang tinggi. Pun demikian di Ciliwung ini, kontras ini menunjukkan betapa sakitnya sungai yang menyimpan sejarah panjang dalam peradaban manusia penghuni Bogor hingga Ibu Kota Jakarta sana. Kerusakan ini tak hanya untuk manusia tapi untuk semua mahkluk hidup penghuninya. Bahkan menurut Menteri Kehutanan Siti Nurbaya, sudah 90% makhluk hidup di Sungai Ciliwung sudah rusak. Entah berapa banyak ikan asli Ciliwung yang telah hilang.
Yang lebih miris lagi, dengan surutnya air maka dasar sungai menjadi terlihat jelas dan hampir bisa ditebak apa yang ada di sana. SAMPAH! Sepertinya tak berlebihan jika Kang Parno menyebut bahwa Bogor ini sudah 'darurat sampah'. Bahkan rata-rata sampah harian yang masuk ke Sungai Ciliwung per hari mencapai 7 ton, menurut KLHK. Angka ini tentu akan mudah untuk dihitung jika ingin mengetahui berapa banyak sampah setahun di Kali Ciliwung. Dari sejumlah itu, berapa sih yang bisa diangkut, dibersihkan oleh Pasukan Orange, Laskar Karung, dinas-dinas lain? Dan kemana kah akan lari sampah-sampah ini? Tak lain pasti ke laut. Indonesia telah menjadi penyumbang ke-2 terbesar sampah di lautan yaitu sebesar 187,2 juta ton per tahunnya. Miris banget.
Kembali ke Katulampa pagi itu. Beberapa orang relawan yang berkumpul, dikomandoi oleh Pak Andi Sudirman sang Kuncen Katulampa, kita sepakat untuk turun ke sungai melakukan apa yang kita bisa untuk mengurangi beban sampah. Nah, saking banyaknya sampah yang ada, kita dihadapkan pada pilihan dilematis antara mengangkat sampah ke atas namun terbatas atau membakar sampah yang ada di badan sungai. Akhirnya kita memilih untuk membakar sampah yang ada. Kenapa? Karena ternyata di dasar sungai banyak juga ranting dan batang pohon yang menyangkut di batuan pemecah arus yang akhirnya jadi tempat sangkutan sampah-sampah yang lain. Nah di situlah akhirnya sampah dibakar. Kondisi dasar sungai yang kering juga memudahkan hal ini dilakukan. Ini mengingatkanku pada satu istilah yang kukenal lewat salah satu drama dengan latar dunia penerbangan, yaitu istilah 'Second Best Option' atau pilihan terbaik kedua. Memang membakar sampah bukanlah pilihan terbaik, tapi itu adalah pilihan terbaik kedua karena pilihan pertama sulit untuk dilakukan.
Membakar sampah di dasar sungai
"Membakar sampah itu dilarang lho dalam Perda Kota Bogor.", Pak Ntis menyampaikan. Ya, tapi bagaimana lagi? Jawaban kami serempak sama. Toh, buang sampah ke sungai juga melanggar peraturan. Lagi pula, di Katulampa sini udara cukup terbuka sehingga tidak akan terlalu mengganggu asapnya ke pemukiman warga. Tapi bagaimana dengan karbon yang dilepaskan? Yah, itu pertanyaan juga sebenarnya. Tapi kita kembali lagi pada 2nd best option tadi.
Suara ledakan dari batang-batang bambu yang terbakar memeriahkan suasana pagi itu. Sengatan matahari dan unggunan api membuat suasana semakin panas dan gerah. Banyak hal yang kita temukan pagi itu, dari sisa-sisa lebaran korban yang benar-benar memakan korban akibat masih saja ada orang yang membuang jeroan hewan ke sungai, ada ikan mati karena kekeringan ataupun keracunan, dan jangan tanya berapa banyak Anakonda Ciliwung yang kita temukan. Setiap ledakan bambu terbakar kita sambut dengan ketawa. "Sudah beneran seperti perang ya.", terdengar celetukan seseorang. Ini memang sebuah perang.
Selama hampir 2 jam kami berada di dasar sungai di bawah bendung Katulampa. Kami lakukan apa yang kami bisa. Ya, pilihan terbaik kedua memang bukan lah pilihan terbaik.
Setelah naik ke sungai, Pak Andi dan kawan-kawan di Posko Katulampa sudah menyiapkan sajian 'ngaliwet' yang sungguh sedap dan diakhiri dengan obrolan kopi.
Sungguh luar biasa kan cara kami menggunakan akhir pekan.
Relawan Laskar Karung setelah kegaiatan (Foto: Rey Tisna)

Referensi:
Menteri Siti: 90% Makhluk Hidup di Sungai Ciliwung Sudah Rusak: http://news.detik.com/berita/d-2929961/menteri-siti-90-makhluk-hidup-di-sungai-ciliwung-sudah-rusak





“Baru kali ini aku ‘mabok t*i’!”

Ya, beberapa tahun terakhir ini, sampah kayak apapun bentuknya sudah sering kutemui di sungai, Ciliwung terutama. Dari popok bayi, kemasan plastik, kain lusuh, daging busuk, hingga sampah raksasa seperti sofa dan kasur, bahkan yang mungkin paling jorok sekalipun yaitu kotoran manusia, rasa-rasanya sudah bukan hal yang asing lagi bagiku. Tapi ya, ini benar-benar seperti shock therapy juga bagiku, ternyata semua belum apa-apa dibanding yang kutemui waktu Susur Sungai Ciliwung di Sukasari sekitar 2 minggu lalu. Benar-benar, baru kali itu aku merasakan pusing, wajah panas, mual, hampir muntah dan bahkan nangis berkaca-kaca setelah 2 jam berjalan menyusur tepian Ciliwung di salah satu kelurahan di Kota Bogor itu. Ya, aku mabok! Bukan karena mabok kendaraan atau mabok alkohol apalagi mabok cinta, ini mabok t*i. Mungkin agak kasar ya, tapi memang sepertinya istilah itu yang kutemukan paling pas dengan apa yang kurasakan saat itu. Eits, ini bukan kisah pesimis, jadi lanjut terus bacanya.

Jadi ceritanya, Sabtu 15 Juli 2017 kemarin, kita dari Komunitas Peduli Ciliwung (KPC) Bogor ingin mengadakan Susur Sungai. Jika biasanya ‘mulung sampah’, kita waktu itu ingin nyusur lokasi di Ciliwung yang agak jarang kita datangi sambil lihat-lihat kondisi kekinian bantaran. Kita pilihlah Kelurahan Sukasari dan Babakan Pasar karena masih dekat dari pusat Kota Bogor sehingga aksesnya mudah. Nah, mulai dari jam 9 pagi sampai jam 11 siang itulah, kita menyusuri tepian Sungai Ciliwung di Sukasari. Di situlah, aku dan sepertinya semua teman-teman yang ikut nyusur waktu itu benar-benar diuji kesabaran dan daya tahannya. Setelah berjalan sekitar 5-10 menit dari Roti Unyil Venus Jalan Siliwangi, kita melewati permukiman padat dengan gang-gang sempit terjal menurun, pertanda wilayah itu sebetulnya adalah tebing sungai, kamipun tiba di pinggiran Ciliwung.

“Yang sabar ya...”, kata Pak Tisna. Pak Tisna mah udah sering main kemana-mana, jadi dia mungkin sudah tahu cobaan apa yang akan kita hadapi nanti. Aku sudah mencium aroma-aroma keganjilan ketika kulihat selokan kecil penuh sampah berserakan di sepanjang tangga semen curam yang diapit bangunan menuju tepi sungai. Dan,...

Eng ing eng...

Wilujeng Sumping ti Ciliwung Sukasari!

Ya, bisa dipastikan, kamu tahu apa yang kami lihat kan? Sampah! Yang ngapung, yang di tanah, yang nyangkut, yang apa saja lah ada. Anakonda? Pastinya banyak! Karung mana karung?!! Pak Ntis, mana karung? Hahaha.. Sepertinya jiwa tukang sampah lama-lama jadi bawaan pengen mulung terus. Tapi, kita kudu sabar karena tujuan kita adalah nyusur. Jadi, kita jalan-jalan cantik dulu saja ya sambil poto-poto. Kami pun melanjutkan perjalanan.
Kami sempat selfie bersama anak-anak Sukasari 
Di awal-awal perjalanan, kami cukup dapat banyak hiburan. Di Sukasari ini, lanskap (semoga tak salah istilah) di sepanjang sekitar sungai cukup menarik. Bebatuan keras yang menjadi tepian bak pantai batu ada di sini. Ada anak kecil sedang bermain layangan dengan saudaranya, anak-anak lain sedang main air di sungai, ada pohon kelapa yang melambai ditiup angin sepoi-sepoi. Dan, aliran sungai yang cukup deras membuat seolah-olah dia bersih, padahal enggak, karena sampah-sampah pada hanyut semua. Ya, meskipun ada juga nih di dekat seindah ini, benar-benar pemandangan spektakuler, ‘kasur springbed keramat di tengah kali’! Buset banget! Siapa yang tidur di situ coba? Jin penunggu? Kepikiran banget, segeblek apa orang yang tega buang springbed ke kali?!! Mungkin belum kenyang makan bangku sekolah, atau jangan-jangan menu bangku sekolahnya kurang bergizi? (apaan sih!)


Springbed ajaib, tempat tidur siapa ini? (foto: Rey Sutisna)
Ya, begitulah kira-kira. Selama mungkin 30 menitan waktu dihabiskan di tempat menarik itu, sambil ngobrol ringan tentang Ciliwung. Ngambil sejumlah video dan juga foto. Faiza, kawan baru dari Jakarta yang baru perdana banget ikut nyemplung ke Ciliwung sepertinya seru banget ngobrol dengan anak-anak kecil yang sedang main air. Semangat kakak..
Dan kitapun lanjutkan perjalanan. Dan mimpi burukpun dimulai.

Keindahan lanskap yang di awal tadi kita temukan sebenarnya memang bonus untuk apa yang akan kita lewati. IYA! Sepanjang perjalanan di tepi bantaran (mungkin sekitar setengah kilometer lah, gak tahu lah, pokoknya sampai Sukamulya) semakin lama semakin lama semakin warna-warni dengan aneka sampah! Dimana-mana sampah, hingga saat kita berjalan kaki pun harus pandai-pandai melangkahkan kaki agar tak menginjak sampah, atau meminimalisir lah. Arrgghh! Sulit lah menggambarkan betapa mengerikannya apa yang kami lihat waktu itu, lihat lah sendiri. Sengaja aku pasang hanya 1 foto sampah karena jijay banget, tapi hampir semua tempat ya seperti itu kondisinya. Untuk yang kepo gambar-gambarnya silakan saja intip facebook atau twitter KPC, dijamin banyak koleksinya. 

Hampir dimana-mana seperti ini. 
Dan waktupun belalu, hingga kemudian, setelah selama hampir 2 jam di sungai, aku tiba-tiba pusing. Kenapa? Pas kutengok ke bawah ada si lalet ijo nempel ke yang ijo-ijo. Ya, kita tahu sih, memang pada kenyataannya hampir semua saluran MCK warga yang tinggal di sekitar sungai mengalirkannya ke Ciliwung. Aku juga tahu itu. Tapi, ketika melihat si lalet ijo itu aku puyeng. Sumpah puyeng. Om Parno yang mengajak semua tim untuk foto bersama pun hampir kutolak. Tapi, kupaksakan turun juga. Kita nangkring di batu-batu besar yang tersisa dari Ciliwung sebagai kenangan Susur Sungai hari itu. Hingga kemudian, ada pipa yang mangarah ke sungai mengalirkan air dengan kencang. Airnya muncrat kemana-mana, warnanya aaaarrgghh..... geuleuhhh.. Sepertinya di atas rumah-rumah itu ada yang lagi semedi! OMG, ingin segera kulari dari kenyataan ini. Dan setelah itulah, kami putuskan untuk selesaikan nyusur ini. Aku tak tahan lagi. Aku sudah mabok t*i.

Pengen pulang mandi dan gosok gigi, ngilangin daki, ngilangin memori. Tapi, tak baik juga rasanya jika apa yang kita lihat hanya disimpan untuk diri sendiri. Hal-hal yang kita temukan tepat di tepian Ciliwung tak akan bisa didapatkan jika hanya melihat dari kejauhan, dari kaca mobil, dari jendela mall, dari mana saja tanpa menyentuh langsung apa yang di sana. Susur sungai ini seperti membangkitkan kesadaran yang selama ini aku tak tahu, bahwa sesuatu yang lebih serius telah terjadi. Secara emosional, aku merasa hatiku rasanya miris, teiris-iris, sakit dan sedih. Tak hanya aku, mungkin semua kawan-kawanku yang ikut nyusur hari ini. Sekarang lalu apa?

“Ya, ini PR kita bareng-bareng.”, kata Om Parno pada Pak Udin, warga sekitar yang kebetulan sempat ngobrol dengan kita. Permasalahan sampah sungai ini lebih pelik daripada sekedar ‘kesadaran buang sampah di tempatnya’ yang kurang. Tapi, aku sih percaya, kalau beneran bisa bareng-bareng, sebenarnya ini adalah urusan sederhana. Kita, manusia, yang normal-lah, pasti tak suka dengan bau busuk sampah, kotornya, sumber penyakitnya. Masa sih manusia normal tidak mau tempat tinggalnya bersih? Pasti mau. Hanya saja, kadang kita-kaum urban yang merasa sudah agak tertib buang sampah-kurang paham bahwa mereka yang nyampah di sungai ini, memiliki prioritas lain yang mungkin saja dianggap lebih penting dari urusan sampah. Atau, mereka sebenarnya ‘bingung’, mau buang sampah dimana? Atau memang menganggap Ciliwung itu tempat sampah? Atau apa lagi? Ayoklah kita cari tahu.

NB: Meskipun demikian, aku tak akan kapok ke kali.

Mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang (Sukasari, 2017)


 Pengen tahu aja... Ya, memang sepertinya rasa ingin tahu adalah hal yang wajar bagi manusia. Siapa sih orang yang tidak ingin tahu? Sejak kecil pun kita biasa bertanya, ini apa, itu apa. Sering kan memperhatikan anak kecil yang serba ingin tahu. Nah, masalahnya sekarang adalah yang ingin tahunya ini kebablasan. Bagaimana bisa kebablasan? Batasnya apa dan siapa yang menentukan? Siapa hayo?

“Eh lo tau gak, si Ani sekarang punya pacar baru lagi lho.. Bayangin aja, pas sudah sekarang dia mantannya 25 orang! Lo tau gak siapa namanya dan orang mana? Penasaran gw sama calon mantannya. Hahaha”, kata si Yeyen pada si Noni.
“Si Gori katanya kawin ya. Kok bisa sih orang kayak dia cepet kawin? Siapa ceweknya? Orang mana? Jangan-jangan uda DP duluan.”, masih si Yeyen ngobrol sama si Noni.
“Eh, si Siro ganti kerjaan tuh. Berapa dia dapat gaji ya? Gw denger sih tempat kerjanya agak gak bener gitu deh. Iya gak sih?”, Yeyen masih aja ngrobrol sama si Noni.

Eh, buset. Nih orang ya, pengen tahu aja urusan orang lain. Apa gak ada kerjaan dia? Hem, sepertinya enggak juga. Dia punya kok kerjaan. Apaan? Ngepoin orang. Selalu ingin tahu hal hingga sedetil-detilnya, bahkan hal remeh-temeh nggak penting yang malah bikin orang lain sebal. Tapi, ya begitulah orang. Ada yang bilang, kepo ini bawaan.

Kepo yang kumaksud di sini bukan kepo penasaran ala ilmuwan, tapi lebih ke kepo si biang gosip yang ibarat akun instagram itu mirip si emak Lambe Turah. Nah lho, yang follow si emak LamTur bisa dipastikan juga para kepo-ers. Yah, masih itungan wajar sih kalau ngepoin seleb mah. Tapi kadang ini, orang biasa aja lho dikepoin. Gak ngerti apa faedahnya buat dia juga.  Apa mungkin ada rasa puas gitu ya jika dapat informasi, apalagi yang eksklusif tentang seseorang? Sudah gitu, biasanya si pengepo ini gak akan berhenti di sini, tapi jadi corong woro-woro, pemuas nafsu bagi para pengepo lain ataupun bagi orang lain yang bahkan gak mau tahu.

Pernah gak kamu diajak ngobrol, nongkrong cantik di kafe sama teman-teman, ujung-ujungnya diajak nggosipin orang, yang biasanya adalah teman sendiri? Sering! Pasti lah sering. Tahu aku... Itu kayaknya hal biasa terutama di kalangan emak-emak gahol dan para pemudi masa kini yang juga calon emak-emak itu. Gak afdol lah, ngumpul tanpa ngomongin orang. “Kalau ada cewek-cewek ngumpul, pasti yang diomongin teman-temannya, semua, kecuali mereka sendiri yang ngumpul.”, itu mitosnya. Si Raditya Dika pun pernah ngomongin di salah satu standup comedy-nya tentang hal ini. “Betapa mengerikannya persahatan antar cewek-cewek”.

Nah, menurut aku nih ya.. Emang pada dasarnya kita ini nih, cewek punya ke-kepo-an luar biasa atas apapun isu manusia, terutama manusia yang dekat dengan kita. Ibarat cowok suka ngomongin game dan otomotif, kita ngomongin orang! Jadi, itu sah-sah aja lah. Nah, balik lagi ke batasan, apa sih batasannya?

Temanku dulu waktu kuliah pernah bilang, “Hak itu dibatasi hak orang lain. Kebebasan kita itu dibatasi kebebasan orang lain.” Nah, kayaknya dalam kepo-kepoan ini juga berlaku, ‘kepo kita dibatasi kepo orang lain’. Maksudnya gimana? Ya, kita perlu kepo pada hal-hal yang bagi kita masih bisa dikepon lah. Kalau kita nggak mau orang lain kepoin kita tentang satu hal, ya balik lagi aja kita jangan kepoin hal yang sama ke orang lain. Kalau kamu gak mau orang lain tahu tentang pacarmu, ya jangan tanya tentang pacar orang lain. Gampangnya sih gitu. Meskipun dengan batasan ini, menjadi sangat relatif sekali antara satu orang dengan yang lain. Tidak sama. Tapi, menurut aku sih tetap ada batasan universal lah yang orang harusnya sih ngerti di mana mereka harus berhenti kepo. Pikir-pikir aja sendiri.

Lalu, aku gimana? Kepo-an juga gak orangnya? Yaiyalah, secara... Aku masih berusaha untuk menjadi pengepo yang masih tidak melampaui batas. Jujur saja, memang ada kesenangan tersendiri ngomongin orang. Dosa sih katanya, tapi gak melulu apa yang kita omongkan hal yang jelek kok, ya kalau jelek pun itu hanya ‘fakta’ yang perlu diperbincangkan. Hahaha.. Dan, aku juga selalu percaya, karma itu ada. Aku kepo-in orang, pasti orang juga kepo-in aku. Biarin aja lah. Malah itu jadi pengingat bagiku untuk selalu berhati-hati bertindak, karena sekarang nggak cuman wartawan aja yang kerjaannya pengen tahu.