“Baru kali ini aku ‘mabok t*i’!”

Ya, beberapa tahun terakhir ini, sampah kayak apapun bentuknya sudah sering kutemui di sungai, Ciliwung terutama. Dari popok bayi, kemasan plastik, kain lusuh, daging busuk, hingga sampah raksasa seperti sofa dan kasur, bahkan yang mungkin paling jorok sekalipun yaitu kotoran manusia, rasa-rasanya sudah bukan hal yang asing lagi bagiku. Tapi ya, ini benar-benar seperti shock therapy juga bagiku, ternyata semua belum apa-apa dibanding yang kutemui waktu Susur Sungai Ciliwung di Sukasari sekitar 2 minggu lalu. Benar-benar, baru kali itu aku merasakan pusing, wajah panas, mual, hampir muntah dan bahkan nangis berkaca-kaca setelah 2 jam berjalan menyusur tepian Ciliwung di salah satu kelurahan di Kota Bogor itu. Ya, aku mabok! Bukan karena mabok kendaraan atau mabok alkohol apalagi mabok cinta, ini mabok t*i. Mungkin agak kasar ya, tapi memang sepertinya istilah itu yang kutemukan paling pas dengan apa yang kurasakan saat itu. Eits, ini bukan kisah pesimis, jadi lanjut terus bacanya.

Jadi ceritanya, Sabtu 15 Juli 2017 kemarin, kita dari Komunitas Peduli Ciliwung (KPC) Bogor ingin mengadakan Susur Sungai. Jika biasanya ‘mulung sampah’, kita waktu itu ingin nyusur lokasi di Ciliwung yang agak jarang kita datangi sambil lihat-lihat kondisi kekinian bantaran. Kita pilihlah Kelurahan Sukasari dan Babakan Pasar karena masih dekat dari pusat Kota Bogor sehingga aksesnya mudah. Nah, mulai dari jam 9 pagi sampai jam 11 siang itulah, kita menyusuri tepian Sungai Ciliwung di Sukasari. Di situlah, aku dan sepertinya semua teman-teman yang ikut nyusur waktu itu benar-benar diuji kesabaran dan daya tahannya. Setelah berjalan sekitar 5-10 menit dari Roti Unyil Venus Jalan Siliwangi, kita melewati permukiman padat dengan gang-gang sempit terjal menurun, pertanda wilayah itu sebetulnya adalah tebing sungai, kamipun tiba di pinggiran Ciliwung.

“Yang sabar ya...”, kata Pak Tisna. Pak Tisna mah udah sering main kemana-mana, jadi dia mungkin sudah tahu cobaan apa yang akan kita hadapi nanti. Aku sudah mencium aroma-aroma keganjilan ketika kulihat selokan kecil penuh sampah berserakan di sepanjang tangga semen curam yang diapit bangunan menuju tepi sungai. Dan,...

Eng ing eng...

Wilujeng Sumping ti Ciliwung Sukasari!

Ya, bisa dipastikan, kamu tahu apa yang kami lihat kan? Sampah! Yang ngapung, yang di tanah, yang nyangkut, yang apa saja lah ada. Anakonda? Pastinya banyak! Karung mana karung?!! Pak Ntis, mana karung? Hahaha.. Sepertinya jiwa tukang sampah lama-lama jadi bawaan pengen mulung terus. Tapi, kita kudu sabar karena tujuan kita adalah nyusur. Jadi, kita jalan-jalan cantik dulu saja ya sambil poto-poto. Kami pun melanjutkan perjalanan.
Kami sempat selfie bersama anak-anak Sukasari 
Di awal-awal perjalanan, kami cukup dapat banyak hiburan. Di Sukasari ini, lanskap (semoga tak salah istilah) di sepanjang sekitar sungai cukup menarik. Bebatuan keras yang menjadi tepian bak pantai batu ada di sini. Ada anak kecil sedang bermain layangan dengan saudaranya, anak-anak lain sedang main air di sungai, ada pohon kelapa yang melambai ditiup angin sepoi-sepoi. Dan, aliran sungai yang cukup deras membuat seolah-olah dia bersih, padahal enggak, karena sampah-sampah pada hanyut semua. Ya, meskipun ada juga nih di dekat seindah ini, benar-benar pemandangan spektakuler, ‘kasur springbed keramat di tengah kali’! Buset banget! Siapa yang tidur di situ coba? Jin penunggu? Kepikiran banget, segeblek apa orang yang tega buang springbed ke kali?!! Mungkin belum kenyang makan bangku sekolah, atau jangan-jangan menu bangku sekolahnya kurang bergizi? (apaan sih!)


Springbed ajaib, tempat tidur siapa ini? (foto: Rey Sutisna)
Ya, begitulah kira-kira. Selama mungkin 30 menitan waktu dihabiskan di tempat menarik itu, sambil ngobrol ringan tentang Ciliwung. Ngambil sejumlah video dan juga foto. Faiza, kawan baru dari Jakarta yang baru perdana banget ikut nyemplung ke Ciliwung sepertinya seru banget ngobrol dengan anak-anak kecil yang sedang main air. Semangat kakak..
Dan kitapun lanjutkan perjalanan. Dan mimpi burukpun dimulai.

Keindahan lanskap yang di awal tadi kita temukan sebenarnya memang bonus untuk apa yang akan kita lewati. IYA! Sepanjang perjalanan di tepi bantaran (mungkin sekitar setengah kilometer lah, gak tahu lah, pokoknya sampai Sukamulya) semakin lama semakin lama semakin warna-warni dengan aneka sampah! Dimana-mana sampah, hingga saat kita berjalan kaki pun harus pandai-pandai melangkahkan kaki agar tak menginjak sampah, atau meminimalisir lah. Arrgghh! Sulit lah menggambarkan betapa mengerikannya apa yang kami lihat waktu itu, lihat lah sendiri. Sengaja aku pasang hanya 1 foto sampah karena jijay banget, tapi hampir semua tempat ya seperti itu kondisinya. Untuk yang kepo gambar-gambarnya silakan saja intip facebook atau twitter KPC, dijamin banyak koleksinya. 

Hampir dimana-mana seperti ini. 
Dan waktupun belalu, hingga kemudian, setelah selama hampir 2 jam di sungai, aku tiba-tiba pusing. Kenapa? Pas kutengok ke bawah ada si lalet ijo nempel ke yang ijo-ijo. Ya, kita tahu sih, memang pada kenyataannya hampir semua saluran MCK warga yang tinggal di sekitar sungai mengalirkannya ke Ciliwung. Aku juga tahu itu. Tapi, ketika melihat si lalet ijo itu aku puyeng. Sumpah puyeng. Om Parno yang mengajak semua tim untuk foto bersama pun hampir kutolak. Tapi, kupaksakan turun juga. Kita nangkring di batu-batu besar yang tersisa dari Ciliwung sebagai kenangan Susur Sungai hari itu. Hingga kemudian, ada pipa yang mangarah ke sungai mengalirkan air dengan kencang. Airnya muncrat kemana-mana, warnanya aaaarrgghh..... geuleuhhh.. Sepertinya di atas rumah-rumah itu ada yang lagi semedi! OMG, ingin segera kulari dari kenyataan ini. Dan setelah itulah, kami putuskan untuk selesaikan nyusur ini. Aku tak tahan lagi. Aku sudah mabok t*i.

Pengen pulang mandi dan gosok gigi, ngilangin daki, ngilangin memori. Tapi, tak baik juga rasanya jika apa yang kita lihat hanya disimpan untuk diri sendiri. Hal-hal yang kita temukan tepat di tepian Ciliwung tak akan bisa didapatkan jika hanya melihat dari kejauhan, dari kaca mobil, dari jendela mall, dari mana saja tanpa menyentuh langsung apa yang di sana. Susur sungai ini seperti membangkitkan kesadaran yang selama ini aku tak tahu, bahwa sesuatu yang lebih serius telah terjadi. Secara emosional, aku merasa hatiku rasanya miris, teiris-iris, sakit dan sedih. Tak hanya aku, mungkin semua kawan-kawanku yang ikut nyusur hari ini. Sekarang lalu apa?

“Ya, ini PR kita bareng-bareng.”, kata Om Parno pada Pak Udin, warga sekitar yang kebetulan sempat ngobrol dengan kita. Permasalahan sampah sungai ini lebih pelik daripada sekedar ‘kesadaran buang sampah di tempatnya’ yang kurang. Tapi, aku sih percaya, kalau beneran bisa bareng-bareng, sebenarnya ini adalah urusan sederhana. Kita, manusia, yang normal-lah, pasti tak suka dengan bau busuk sampah, kotornya, sumber penyakitnya. Masa sih manusia normal tidak mau tempat tinggalnya bersih? Pasti mau. Hanya saja, kadang kita-kaum urban yang merasa sudah agak tertib buang sampah-kurang paham bahwa mereka yang nyampah di sungai ini, memiliki prioritas lain yang mungkin saja dianggap lebih penting dari urusan sampah. Atau, mereka sebenarnya ‘bingung’, mau buang sampah dimana? Atau memang menganggap Ciliwung itu tempat sampah? Atau apa lagi? Ayoklah kita cari tahu.

NB: Meskipun demikian, aku tak akan kapok ke kali.

Mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang (Sukasari, 2017)