Cerita ini terjadi di saat aku masih SD. Dulu yang punya TV belum banyak, cuma Pak Lurah dan orang kaya saja. Setiap malam biasanya orang-orang di sekitarku nonton ketoprak TVRI di Kantor Kecamatan (sekarang sudah pindah, menjadi kantor Catatan Sipil). Saat itu orang yang kos di tempatku yaitu Pakdhe Warno (lebih akrab dengan panggilan Pakdhe Sodron) dan istri dan anaknya -Lina yang seumuran denganku, mengajakku menonton ketoprak pada suatu malam. Aku senang sekali.

Sampai di sana sekitar jam 7 malam. Aku dan yang lain masuk ke Kantor kecamatan.
“Kulo nuwun”
“Monggo-monggo” di dalam banyak orang, ada Pak Carik, Pak Sekretaris camat dan pegawai-pegawai lain. aku duduk di samping Lina dan melihat acara-acara ketoprak di TV. Tvnya masih hitam putih dan sangat kecil, dan juga gambarnya jelek plus suaranya yang cempreng. Tapi kurangnya hiburan maka aku seneng banget karena tidak setiap hari bisa nonton TV. Biasanya orang-orang nonton di ruang depan kantor, tapi jika yang datang banyak, nontonnya dipindah ke halaman kantor, dengan syarat tidak lagi hujan. TV yang ada di ruang depan dibalik arah monitornya menghadap halaman yang dipisahkan oleh jendela besar. Jika sudah begitu, biasanya digelar tikar untuk duduk. Beberapa buah 'dingklik' atau kursi pendek pun ada juga.

Saat semua nonton, ada orang lain yang masuk, mau ikutan nonton. Sepertinya tukang jualan ronde. Pakdhe Sodron lalu pergi agak lama. Aku dan Lina ngobrol-ngobrol seperti layaknya anak kecil. Setelah Pakdhe Sodron kembali, dia membawa kacang dan makanan kecil lain. ternyata Pakdhe Sodron dari warungnya Budhe Yati, budheku yang jualan tak jauh dari kantor ini. Aku diberi kacang, senang sekali. Jam sudah malam, ketoprak sudah habis satu jam lalu. Dan film kolosal silat juga sudah habis (aku masih ingat salah satu tokohnya namanya “Srinthil” yang telah menyelamatkan harta karun yang dibawa terjun ke laut oleh musuh. Hahaha). Jam 9 malam saatnya Dunia Dalam Berita. Karena aku sudah ngantuk, aku cuma bisa merem melek sambil duduk sampai akhirnya Budhe Mar membangunkanku untuk pulang.

Malam itu udara cukup dingin. Aku berjalan menuju rumah dengan hati senang karena bisa nonton TV. Sepertinya tidurku nyenyak malam itu, sambil membawa kenangan yang bahkan masih kuingat sampai saat ini.

Nonton TV di halaman kantor camat. :)
Main gugur gunung
pic by me
Suatu hari, aku masih SD kelas berapa aku lupa kapan. Sudah menjadi kebiasaan anak-anak di sekitar rumahku kalau bermain pasti di halaman rumah seorang nenek, bernama Mbah Suro. Di sanalah istana kami, tempat favorit kami. Rumah Mbah Suro mempunyai halaman luas, ada kebun dengan banyak pohon-pohon besar sehingga kami bisa bermain sepuasnya. Dari umpetan, lompat tali, sepak bola, kelereng, sepak sebong, dll. Pokoknya di sanalah istana kami.

Hari itu, hari yang cerah dan teman-teman mengajak bermain. Aku langsung menuju ke rumah Mbah Suro. Di sana sudah pada kumpul, dari hasil musyawarah (ce ileee) kami main gugur gunung. Permainan dengan tanah yang dibentuk seperti gunung, di puncaknya ditancapin lidi. Lalu anak-anak mengambil tanah secara hati-hati dan yang menjatuhkan lidi di anggap kalah dan harus menjaga sembari teman-teman yang lain ngumpet.

Karena asyiknya aku sampai lupa waktu. Temanku yang ikutan main banyak sekali, ada Dedi, Chandra, Purwanti, Topik, dll. Karena lamanya aku sampai merasa pengen pipis. Tetapi aku menahannya sampai beberapa lama. Setelah itu aku ngomong-ngomong sama teman dan dasar si Dedi cerita lucu banget. Spontan aku tertawa dan karena itu pula aku jadi nggak kuat nahan pipis. Adu duh!... syurrr..... basah celanaku, semua mata tertuju padaku. Wajahku panas, aku malu, aku harus bagaimana?.

Dedi lalu bilang “Ihh, ngompol ki..” spontan aku jawab “Eh iyo, biasane yo ngene....”. aduh bodoh banget aku. Aku lalu pulang dengan diikuti padangan dan tawa terpendam teman-temanku. Dan masih dengan celana hijau lumutku yang basah plus perasaan bingung, aku pulang. Entah bingung karena apa....

(andai saja dulu musim kamera, pasti akan aku abadikan momen2 indah itu)

ini adalah lirik lagu Gugur gunung yang aku dapat dari tetangga

(SUMBER:

Ayo (ayo) … kanca (kanca) … ngayahi karyaning praja
Come (come) … friends (friends) let’s do our work

Kene (kene) … kene (kene) … gugur gunung tandang gawe

Come here (come here) … come here (come here) … together we do the work

Sayuk-sayuk rukun bebarengan ro kancane

Harmoniously (let’s be) together with friends

Lila lan legawa kanggo mulyaning negara

[Work] sincerely for the glory of our country

Siji (loro) telu (papat) … maju papat papat

One (two) three (four) … let’s go (forward) infours

Diulung-ulungake mesthi enggal rampunge

Pass if over to the other, for sure if will finish

Holobis kuntul baris, holobis kuntul baris ( 2x )
(Sudiyah Istichomah)


Pekon Pahmungan 2008

Pekon (desa) Pahmungan merupakan salah satu pekon yang terkenal dengan repong damarnya yaitu salah satu bentuk agroforestri. Kawasan agroforest damar di Pahmungan dan lebih luas lagi di Kecamatan Pesisir Tengah termasuk dalam kategori desa khusus damar yang dicirikan oleh dominasi hamparan kebun damar dan dominasi produksi damar dalam kehidupan desa dan rumah tangga penduduk (Dupain, 1994 dalam Foresta, 2000).

Pekon Pahmungan secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Pesisir Tengah Kabupaten Lampung Barat Provinsi Lampung. Pekon Pahmungan merupakan desa yang letaknya 5 km dari pusat kecamatan (Pasar Krui), sekitar 32 km dari ibukota kabupaten (Liwa), dan dari ibukota provinsi (Bandar Lampung) berjarak sekitar 287 km. Batas sebelah utara Pekon Pahmungan yaitu Way Ngison Balak, sebelah selatan berbatasan dengan Way Mahnai Lunik, sebelah barat berbatasan dengan Pekon Sukanegara dan di sebelah timur berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).

Pekon Pahmungan memiliki ketinggian antara 10-50 mdpl. Pekon Pahmungan dilalui oleh beberapa sungai, diantaranya Way Ngison Balak, Way Ngison Lunik, Way Rawang, Way Umbul dan Way Aying. Aliran Sungai yang masih jernih digunakan masyarakat untuk keperluan sehari-hari (Koswara, 2006). Luas Pekon Pahmungan adalah 2010 ha yang terdiri dari tiga dusun. Topografi Pekon Pahmungan terdiri dari areal datar sampai lereng. Areal datar digunakan sebagai daerah persawahan dan pemukiman, sedangkan areal lereng atau dengan topografi curam digunakan sebagai lahan repong damar (agroforest damar).

Masyarakat Pekon Pahmungan adalah masyarakat pendatang dari Marga Haji Muara Dua Sumatera Selatan. Mereka mendatangi Pekon Pahmungan pada tahun 1870 untuk bermukim. Hutan yang terdapat di Pekon Pahmungan pada saat mereka datang masih asli. Asal nama Pahmungan sendiri berasal dari permong yang dalam Bahasa Lampung berarti pertemuan antara dua buah sungai. Untuk menunjang hidupnya masyarakat membuka hutan untuk berkebun dan menanam padi (sawah), sambil menunggu panen, mereka menanam kopi, di selang pohon damar dan buah-buahan (durian, duku, petai dan jengkol) (FKKM, 2002).

Pada tahun 1900, salah satu poyong-poyong (orang tua dahulu/nenek moyang) menjadi pedagang besar dan menjual hasil bumi ke Singapura. Di sana mereka melihat bahwa getah damar memiliki harga yang tinggi. Kemudian mereka memberi tahu masyarakat Pekon Pahmungan bahwa getah damar berpotensi untuk diperdagangkan. Informasi tersebut menyebar dengan begitu cepat sehingga pada tahun 1930 masyarakat mulai menyemai bibit damar dan membudidayakannya. Proses penanaman bibit mengikuti penebangan atau lebih dikenal dengan tanam tunggul. Pada tahun 1935 Pemerintah Hindia Belanda menetapkan suatu kawasan hutan tetap yang tidak boleh dibuka dengan nama Hutan Kawasan atau lebih dikenal dengan Boschwezen / BW (FKKM, 2002).

Tahun 1950, masyarakat Pekon Pahmnungan mulai menuai hasil dari penanaman damar dan buah-buahan yang akrab mereka sebut dengan istilah repong damar, sehingga kesejahteraan juga mulai meningkat. Sekitar tahun 1993 – 1997 dilakukan pemasangan patok HPT (Hutan Produksi Terbatas) dan HL (Hutan Lindung) yang melintasi lahan repong milik masyarakat di sekitar Krui yang dilakukan oleh pemerintah orde baru. Pemasangan patok ini menimbulkan perlawanan dari masyarakat Krui, khususnya Pahmungan. Dari perlawaanan masyrakat tersebut akhirnya pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dengan No.47/Kpts-II/1998 yang menyatakan areal repong damar seluas 29.000 ha sebagai Kawasan Dengan Tujuan Istimewa atau KDTI (Foresta, 2000).


Sumber

Foresta, H de, Kusworo, A, Michon, G, Djatmiko, WA. 2000. Ketika Kebun Berupa Hutan: Agroforest Khas Indonesia-Sebuah Sumbangan Masyarakat. International Centre for Research in Agroforestry, Bogor : Indonesia

Koswara, Engkos. 2006. “Peranan dan Kontribusi Hutan Rakyat Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani : Studi Kasus Pekon Pahmungan Kecamatan Pesisir Tengah Kabupaten Lampung Barat”. Skripsi. Bogor : Program Studi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB
Suatu hal yang hanya bisa kunikmati sendiri.
Ingin kubagi?
Tapi bisakah?

Jika aku hanya membagi batu, atau angin untuk mengenyangkan mereka

Takkan bisa dicerna

Sulit.
Hampa.
Menyiksa.

Jadi,

Biar hanya untukku sendiri lah

Tapi

aku tidak pelit kok

Jadi,

Kalo mau?
Aku siap membagi kenikmatan ini

Dan berharap
Batu dan angin yang kuberi
Terasa bagai udang goreng yang sangat enak itu


Saat itu, aku kelas 1 SD, tahun 1993. Suatu hari, wali kelas sekaligus guruku yang bernama Bapak Kasim di tengah-tengah pelajaran tiba-tiba keluar kelas. Saat itu masih pagi dan kejadian yang aneh inipun berlangsung.

Karena perginya Pak guru kelas menjadi kosong. Anak-anak di kelasku pun menjadi bingung dan canggung dengan suasana ini. Kelas yang tidak ada gurunya saat jam pelajaran membuat kami tak tahu harus berbuat apa.Dari hasil tunjuk di antara kami akhirnya diputuskan 2 orang yang akan mencari kejelasan dari ketidak jelalasan status ini. Dua orang duta kami yang seingatku semuanya laki-laki bernama Agung dan Frisa. Mereka diamanatkan oleh warga kelas 1 SD kami untuk mencari keberadaan Pak guru kami.

“Ayo neng ngomahe Pak Kasim wae! (Ayo ke rumah Pak Kasim saja!)” ajak Agung.
“Yo, ayo” kata Frisa.

Terjadilah dialog singkat tersebut di antara mereka dan langsung saja mereka menuju rumah Pak Guru yang kebetulan terletak tepat di sebelah kiri SD kami.

Tak beberapa lama, hanya sekitar 15 menit merekapun kembali ke kelas dan langsung dikerubuti oleh anak-anak yang lain. Aku hanya diam dan melihat dari bangku tempatku duduk. Aku masih malu dan canggung karena belum terlalu kenal dengan anak-anak kelas.

“Pak Guru ono tamu (Pak guru ada tamu)” Agung berkata.
“Trus awake dewe piye? (lalu kita gimana?)” tanya kami semua.

Tiba-tiba saja dari salah satu bangku murid ada yang nyangklong (membawa di pundak) tasnya. Entah siapapun oknum penyangklong tersebut telah berhasil membuat sebagian besar dari kami mengikutinya. Hampir semua warga kelas akhirnya nyangklong tas masing-masing dan berbondong-bondong berdiri di luar kelas. Suasana di luar sepi karena kelas-kelas lain masih jam pelajaran.

“Ayo mulih wae! Wis diijinke kok (ayo pulang aja! Sudah diijinkan kok)” ajak Agung.

Benar-benar sebuah provokasi yang sangat potensial berhasil pada kami. Sebagian besar dari kami mempercayai ucapan Agung karena memang tadi dia yang ke rumah Pak Kasim. Sebagian besar kami sudah berniat pulang meski banyak pula yang ragu-ragu. Lama waktu yang kami habiskan untuk bengong dan bingung, sambil nyangklong tas di depan pintu dan teras kelas. Pulang enggak, pelajaran juga bukan.

Tentu saja ini menjadi pemandangan yang cukup aneh di pagi hari bagi seluruh warga SD, saat melihat kelas termuda sekolah itu. Anak-anak paling kecil menyangklong tas dengan wajah bingung dan innocent.

Setengah jam kemudian Pak Guru kamipun akhirnya datang. Melihat kami di depan kelas dengan tas di bahu membuatnya marah. “Siapa yang nyuruh pulang?!!! Ayo masuk semua, baru ditinggal sebentar saja,......” bentak Pak guru dengan wajah yang meskipun aku lupa bagaimana, cukup membuatku takut.

Kami semua diam walau ada satu atau dua yang berani menyangkal sesuatu. Aku sendiri takut banget dan hanya diam menjadi saksi dan pendokumentasi peristiwa itu. Pelajaran dilanjutkan kembali.
Pulang pagi akhirnya gagal, plus kami mendapat bonus omelan dari Pak guru....
Masih samar-samar teringat, dulu ketika TK, entah nol kecil atau nol besar. Hari Jumat di sekolah selalu diadakan senam SKJ, tentunya SKJ 90. Aku yang masih terlalu polos hanya ikut-ikutan saja ketika disuruh berbaris di halaman sekolahku, TK Bustanul Atfal IV.

Musik pun mengalun. Ibu guru mencontohkan gerakan-gerakan senam, dan aku masih bingung sama sekali apa yang harus digerakkan. Karena keterbatasan peraga gerakan, maka aku dan kawan-kawanku hanya bergerak asal-asalan dan kacau.

Saat itulah muncul beberapa anak SD, mungkin sekitar lima orang yang ternyata adalah anak-anak SD Boyolali V yang kebetulan hari itu pulang pagi. Menjadi kebiasaan dan mungkin adat di kalangan anak-anak kecil, bahwa jika pulang pagi dari sekolah atau liburan, maka pasti bermain di TK. Melihat anak-anak SD itu, Ibu guru memanggil dan meminta mereka untuk menjadi contoh adik-adik TK melakukan SKJ. Mereka bersedia.
Kami, anak-anak TK semua ribut di belakang. Ada yang bilang mereka anak kelas lima. Saat senam teman-teman melakukannya dengan ramai sekali. Aku hanya mengikuti gerakan kakak-kakak SD itu, sambil terkagum-kagum ria terhadap mereka.

“wah, podho hebat, wis podho gedhe lan pinter (wah, mereka hebat, sudah besar dan pintar)” batinku dalam hati.

Ketika masih TK, melihat anak SD sudah membuatku terkagum-kagum. Sampai selesai senam dan masuk kembali ke kelas, aku masih terpaku sambil bergumam “podho hebat banget, kapan aku bisa koyo ngono? (mereka hebat banget, kapan aku bisa seperti mereka?)”.

SKJ '90
 
Masa kecilku yang indah aku habiskan di kota kecil di Kabupaten Boyolali,kalau boleh disebut dengan kota, tepatnya di Desa Karanggeneng, entah di mana itu. Dulu, aku lulus dari Taman Kanak-kanak yang bernama TK Bustanul Athfal IV, sekitar tahun 1992. Sudah pasti setelah itu aku lalu masuk SD. Saat itu aku didaftarkan ibuku di SD Boyolali VIII dengan alamat di Jalan Garuda nomor 3A Boyolali. Karena dibandingkan dengan SD Boyolali V yang lebih mahal yang juga terletak bersebelahan, SD VIII menjadi pilihan ibuku.

Aku berangkat dengan ibukju bersama ibu-ibu lain yang punya kepentingan sama. Samapi di sana, aku yang berumur 7 tahun masuk dari gerbang. Rasanya heran, kagum, dan tentu saja asing dengan sekolah yang punya begitu banyak ruang kelas. (dibanding dulu waktu TK yang hanya ada 2 kelas tanpa WC).

Aku enggak begitu paham apa yang dilakukan ibuku saat pendaftaran. Yang aku tahu hanyalah aku dan anak-anak lain yang juga didaftarkan bersamaku dimasukkan dalam satu ruang kelas (yang waktu itu adalah ruang kelas 4) untuk melakukan ujian masuk SD.

Kami diberi lembaran kertas ujian, seperti saat SPMB? Tentu saja enggak. Hanya disuruh mewarnai gambar yang aku tidak begitu ingat gambar apa. Dari rumah ibuku sudah membawakan pensil warna untukku. Masih ingat perasaan saat itu, takut “Bagaimana jika nanti tidak diterima?”

Ujian selesai dan dibacakan pengumuman yang isinya semua lulus meski ada satu anak yang perlu latihan lagi. Siapa itu? Aku tidak tahu, yang pasti itu adalah salah seorang teman Sdku. Waktu itu yang mendaftar sedikit, kurang dari 40 anak. Beda sekali dengan saat ini yang sampai-sampai mengantri dari pagi saking banyaknya pendaftar.

Di perjalanan pulang ibuku masih saja ngobrol dengan ibu-ibu lain. Aku tidak memperhatikan, yang ada dalam pikiranku adalah perasaan senang, puas dan terpikir “ mulai saat ini aku menjadi siswa SD”. Yah betul, aku sekarang sudah besar, karena aku sudah SD”.

Ditulis 2 Februari 2004