Cover inilah yang membuat saya langsung jatuh hati |
Judul : Acek Botak
Penulis : Idris Pasaribu
Bahasa : Indonesia
Tebal : 350 halaman
Penerbit : Kaki Langit, 2009
Skor : ***
Sinopsis:
Kisah dimulai ketika keluarga Bun Nyan harus melarikan diri dari peperangan yang terjadi di tanah kelahiran di Cina menuju ‘tanah harapan’ hingga mereka tiba di Sumatra Utara, dan akhirnya menetap di daerah Deli. Tidak seperti para pelarian lain yang setiba di tempat baru langsung mendaftar menjadi buruh atau pekerja di perkebunan setempat, Bun Nyan memilih untuk membeli sebidang tanah dan berusaha untuk menghidupi keluarganya dari tanah tersebut. Anak tertua Bun Nyan bernama Tan Sui Tak atau lebih sering dipanggil Atak adalah anak yang rajin bekerja keras dan disiplin.
Dia membantu ekonomi keluarganya dengan berjualan keliling di kompleks pekerja perkebunan dan di sekitarnya. Atak lebih dikenal sebagai Acek Botak karena memang dia gundul.
Dia membantu ekonomi keluarganya dengan berjualan keliling di kompleks pekerja perkebunan dan di sekitarnya. Atak lebih dikenal sebagai Acek Botak karena memang dia gundul.
Atak terlibat cinta segitiga dengan teman semasa kecilnya yaitu A Lin yang akhirnya menikah dengan A hong. Atak sendiri akhirnya menikah dengan perempuan keturunan Jawa bernama Sutinah. Atak membina kehidupan keluarganya dengan mandiri, dia mengusahakan bermacam usaha dari bertani, beternak itik dan juga berjualan dengan cekatan. Hasil yang dia peroleh pun dapat mencukupi kebutuhan keluarganya. Kehidupan keluarga Atak dan juga masyarakat Tiong hoa lain berjalan baik-baik saja sampai kemudian peperangan besar mengancam di daerah itu.
Atak dan beberapa pemuda Tiong Hoa lain ikut membantu dan ikut serta dalam peperangan itu bersama dengan para pejuang bumi putera hingga akhirnya kemerdekaan Indonesia dapat dicapai pada tahun 1945. Meskipun telah membantu berjuang, namun ternyata Atak dan juga masyarakat Tiong Hoa lainnya tidak dianggap sebagai orang Indonesia, mereka masih dianggap sebagai orang asing atau pendatang. Hingga pada suatu waktu pemerintah Indonesia akhirnya memberikan status warga negara bagi warga Tiong Hoa, meskipun mereka harus bersabar menunggu.
Pendapat saya:
Pertama kali melihat cover novel ini saya langsung tertarik. Sungguh tampilan cover yang sangat memikat mata, gambar seorang botak dengan tampilan orang Tiong Hoa sedang memikul keranjang, membuat saya penasaran apa isi ceritanya.
Saya membaca kisah ini selama beberapa hari dan mendapatkan sesuatu nilai yang mungkin tidak akan saya dapat jika saja saya menyerah untuk menyelesaikan membaca kisah ini. Kenapa? Jujur saja membaca novel ini membutuhkan perjuangan. Alur cerita mengalir lambat dan relatif datar membuat bosan untuk melanjutkannya. Tapi, perjuangan itu tidak akan sia-sia. Cerita dari penulis ini memang sederhana namun penuh dengan makna.
Dalam novel ini kita akan dapat mengetahui bahkan belajar bagaimana uletnya masyarakat Tiong Hoa dalam membangun perekonomiannya, dari usaha kecil hingga berkembang sedikit demi sedikit. Kita akan juga di ajak untuk berkeliling daerah Deli pada masa sebelum kemerdekaan, melihat juga bagaimana kehidupan di sana. Selain itu juga kita melihat melalui sudut pandang Atak, bagaimana warga Tiong Hoa yang tinggal di nusantara menganggap dirinya sebagai bagian dari negeri ini dan bagaimana kekecewaan yang dirasakan ketika ternyata sulit sekali untuk diterima menjadi bagian dari masyarakat di tanah harapan ini, Indonesia.
Maka, saya sungguh beruntung telah membaca buku ini. Dan saya katakan bahwa “Semua ini berawal dari Cover”.
0 komentar:
Posting Komentar