(Sudiyah Istichomah)
Desa adalah sekumpulan orang-orang yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu dalam waktu tertentu yang saling berinteraksi secara langsung dengan lingkungan alam sekitarnya membentuk satu kesatuan ekosistem. Sering kali desa diartikan secara umum sebagai suatu daerah yang terdiri dari masyarakat yang tertinggal dan jauh dari pusat perkembangan. Padahal jika ditelusuri lebih lanjut, Indonesia adalah negara yang tersusun dari berbagai masyarakat yang multikultural yang terbagi-bagi dalam kumpulan-kumpulan masayarakat yang tinggal menyebar di seluruh wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke dan dari Pulau Mianggas sampai Pulau Rote yang sebagian besar berbentuk “desa”. Sebutan Desa sendiri berasal dari Pulau Jawa dan bisa berlainan di lain lain daerah seperti penyebutan desa dengan nama “Pekon” bagi masyarakat Lampung, “Gampong” untuk masyarakat Aceh dan “Nagari” untuk masyarakat Sumatera Barat. Namun pada dasarnya konsep desa sendiri tidak begitu berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain
Setiap desa di seluruh nusantara memiliki ciri khas masing-masing dalam hal budaya dan adat istiadatnya. Budaya tersebut terbentuk merupakan hasil dari interaksi masyarakat dengan sesamanya dan dengan alam lingkungannya. Kekayaan alam Indonesia yang beraneka ragam memungkinkan terwujudnya bermacam-macam budaya yang ada pada masing-masing daerah. Budaya yang terbentuk meliputi seluruh aktifitas masyarakatnya, mulai dari bidang sosial seperti budaya gotong-royong, adat pergaulan, religius, sampai bidang fisik seperti budaya pertanian, arsitektur bangunan, tata ruang dan hal-hal lain.
Sebagai hasil dari interaksi yang terus menerus dan adaptasi jangka panjang terhadap lingkungan alam, desa telah berkembang menjadi tempat hunian/permukiman yang sesuai dengan kondisi alam lingkungan setempat. Banyak nilai-nilai yang tersimpan dalam sistem desa baik nilai sosial ataupun fisik yang perlu dipertahankan.
Perkembangan jaman dewasa ini telah banyak memberikan pengaruhnya pada tata kehidupan manusia di segala penjuru dunia tak terkecuali Indonesia. Dengan adanya globalisasi dan segala macam isu-isu di dalamnya telah merubah tatanan yang telah terbentuk pada tata kehidupan masyarakat Indonesia. Banyak daerah-daerah yang tergerus arus globalisasi yang pada akhirnya kehilangan ciri khasnya dan hanyut dalam arus tersebut, bahkan arus tersebut telah merubah sekian banyak “wajah” desa-desa di Indonesia yang begitu kaya akan budaya. Pengaruh modernisasi akan jauh lebih terasa di perkotaan. Perkembangan kota-kota di Indonesia saat ini bisa dikatakan cukup memprihatinkan. Hal ini terlihat dari banyaknya masalah-masalah di hampir seluruh kota-kota di Indonesia , mulai dari masalah sosial sampai masalah lingkungan hidup yang menjadi berita hampir setiap hari. Sebenarnya apa yang terjadi?
Dengan melihat nilai-nilai fisik desa yang sangat sesuai dengan konsep keberlanjutan, maka tidak ada salahnya nilai-nilai tersebut diterapkan di perkotaan sebagai upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial lingkungan hidup yang kerap terjadi di kota-kota di seluruh Indonesia.
Nilai-Nilai Fisik yang Tersimpan Dalam Desa
Nilai-nilai fisik yang tersimpan dalam desa merupakan implikasi langsung dari budaya dalam desa tersebut. Nilai-nilai tersebut dapat dilihat dari kondisi fisik atau penampakan fisik desa.
Nilai-nilai yang dimaksud yaitu sebagai berikut : 1) desa sebagai satu kesatuan ekosistem, 2) tidak adanya limbah dalam desa (zero waste), 3) Nilai estetika dan religi, 4) efisiensi energi dan optimalisasi energi, 5) Keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, dan 6) Multifungsi. Nilai-nilai tersebut akan coba diterapkan dalam perkotaan dalam bentuknya yang disesuaikan dengan kondisi kota yang bersangkutan.
Kota Sebagai Satu Kesatuan Ekosistem
Kota sebagai satu kesatuan ekosistem berarti kota dengan kesatuan antara setiap unsur-unsur pembentuknya baik lingkungan biotik (hidup) maupun lingkungan fisiknya. Pembanguan kota harus mempertimbangkan kesatuan antara masyarakat kota, sarana prasarana, dan lingkungan alamnya. Kesemua hal tersebut tidak boleh dipisah-pisahkan, karena pelalaian satu hal saja akan menjadi masalah cepat atau lambat.
Kota Dengan Sistem Zero Waste
Kota dengan sistem zero waste berarti kota yang bebas limbah (sampah). Limbah berasal dari sisa-sia produksi maupun konsumsi yang merupakan bahan-bahan/zat-zat yang sudah tidak dipakai. Saat ini limbah merupakan masalah yang cukup serius di beberapa kota di Indonesia. Limbah tersebut dapat berupa limbah yang berasal dari rumah tangga maupun limbah industri. Penanganan limbah perkotaan saat ini masih menggunakan sistem TPA (Tempat Pembuangan Akhir) yaitu dengan mengumpulkan dan mengkonsentrasikan limbah-limbah pada satu tempat, tanpa perlakuan selanjutnya.
Dalam rantai kehidupan sisa-sisa organisme diuraikan oleh dekomposer yang berfungsi merombak sisa-sisa organisme yang kemudian akan dikembalikan lagi ke dalam siklus rantai makanan melalui penyerapan tumbuhan. Dalam sistem kota saat ini nampaknya kurang memperhatikan siklus ini.
Secara sederhana siklus kehidupan terdiri produksi, konsumsi, dekomposisi, kembali lagi pada produksi seperti terjelaskan pada pola rantai makanan dan energi.
Kota adalah konsumen, dalam artian kota tidak memproduksi sendiri bahan-bahan baku kehidupannya, misalnya bahan-bahan pangan masyarakatnya atau bahan baku industri hampir semuanya didatangkan dari luar kota (desa). Dari konsumsi tersebut dihasilkan limbah. Desa dalam hal ini berperan sebagai produsen. Masalah yang kemudian timbul adalah siapa yang berperan sebagai dekomposer?
Tentu sangatlah tidak bijak jika sampah perkotaan dipinggirkan di pinggiran kota tanpa pengelolaan yang memadai sehingga menjadi gangguan bagi warga pingiran kota yang tidak ikut serta dalam konsumsi tersebut.
Untuk mewujudkan sistem zerowaste dapat dimulai dari mengubah pola hidup masyarakat perkotaan. Pola hidup yang konsumtif harus dihilangkan dan dirubah menjadi pola hidup produktif. Perngurangan konsumsi berarti pula pengurangan limbah, terlebih lagi limbah-limbah yang sering kali menjadi masalah seperti limbah plastik dan limbah kaleng selain limbah industri-industri skala besar maupun kecil. Pengalihan penggunaan bahan yang tidak ramah lingkungan juga harus segera dilakukan. Penggunaan plastik ataupun kaleng sebagai bahan kemasan ataupun penggunaan lain sebisa mungkin diganti dengan bahan lain yang lebih mudah diurai seperti kertas.
Sudah saatnya sistem pengelolaan limbah harus dibenahi. Sistem TPA sudah tidak cocok diterapkan, karena terbukti sistem ini hanya melahirkan masalah-masalah baru baik masalah sosial maupun masalah lingkungan hidup.
Kota yang Estetik dan Religius
Pembangunan kota umumnya memperhatikan nilai estetika mulai tata ruangnya sampai pada detail bangunan sarana prasarana kota. Untuk menambah nilai estetika / keindahan kota sebaiknya kota dibangun dengan desain-desain yang bermutu. Selain nilai estetika, nilai religius sebaiknya juga dimasukkan dalam pembanguan kota. Hal inilah yang saat ini banyak terlupakan. Desain bangunan-bangunan kota sebaiknya menggunakan model arsitektur modern yang disesuaikan dengan budaya Indonesia, seperti misalnya penambahan ornamen etnik pada setiap bangunan.
Dengan memperhatikan nilai-nilai estetika dan religius, diharapkan masyarakat perkotaan tetap akan memiliki rasa cinta terhadap budaya sendiri dan tidak kehilangan jatidiri sehingga tidak mudah larut dalam arus modernisasi yang seringkali tidak sesuai dengan budaya bangsa.
Efisiensi dan Optimalisasi Energi di Kota
Konsumsi energi sangatlah besar, dapat dilihat mulai dari konsumsi bahan bakar untuk industri, lalu lintas, rumah tangga, sampai pada berbagai sarana prasarana kota. Untuk menjamin keberlangsungan penggunaan energi haruslah dilakukan efisiensi dan optimalisasi energi dalam artian penggunaan energi yang hemat, teapat danntidak boros.
Hal itu dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti pengaturan jumlah kendaraan bermotor di perkotaan untuk mengurangi kemacetan lalulintas. Kemacetan merupakan salah satu bentuk pemborosan energi yang hampir setiap hari terjadi di hampir setiap kota besar di Indonesia. Selain itu pembatasan penggunaan energi untuk hal-hal yang tidak perlu juga perlu digalakkan.
Untuk memenuhi kebutuhan energi kota, ada baiknya kota dapat memproduksi sendiri energi yang dibutuhkannya. Saat ini energi fosil masih menjadi sumber energi utama berbagai aktifitas di kota.Pengembangan energi alternatif merupakan gagasan yang cukup baik, seperti penggunaan energi surya/matahari sebagai sumber energi yanmg ditangkap melalui panel surya. Jika diumpamakan setiap gedung-gedung di kota memilki panel surya dan menghasilkan energi untuk minimal memenuhi kebutuhan nya sendiri maka dapat dibayangkakn berapa banyak penghematan energi fosil yang dilakukan.
Kota Dengan Keanekaragaman Hayati
Untuk mewujudkan kota dengan keanekaragaman hayati tinggi diperlukan adanya penyusunan tata ruang yang optimal yang mendukung hal ini. Keanekaragaman berarti banyaknya jenis-jenis hidupan dalam suatu tempat dalam hal ini kota. Pusat-pusat kehati tersebut dapat diwujudkan dengan adanya RTH(Ruang Terbuka Hijau) di perkotaan dalam bentuk yang bermacam-macam misalnya taman kota dan hutan kota. Dengan adanya RTH ini akan memeberikan peluang untuk hidupnya jenis-jenis hidupan lain selain manusia di perkotaan.
Pengembangan sarana prasarana kota dengan mengkombinasikan bangunan dan tumbuhan juga merupakan salah satu hal yang menarik. Misalnya gedung-gedung perkotaan diwajibkan membangun taman di dalamnya. Bukan suatu hal baru lagi pembangunan taman dalam gedung/atap gedung. Selain menambah keanekaragaman hayati kota, juga dapat menambah nilai estetika kota itu sendiri dan masih banyak manfaat positif lainnya.
Kota Multifungsi
Dengan terpenuhinya nilai-nilai sebelumnya, maka secara otomatis suatu kota akan mempunyai fungsi yang beraneka ragam, mulai dari tempat hunian, pusat industri, pusat budaya dan pusat modernisasi tanpa harus kehilangan fungsinya lingkungan hidupnya yang terjaga dengan baik.
Penutup
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, desa memiliki nilai-nilainya yang harus dipertahankan, bahkan diadaptasi pada sistem perkotaan. Pembangunan kota-kota di Indonesia saat ini banyak melalaikan kesatuan kehidupan manusia dengan lingkungan pendukungnya yang dibuktikan banyaknya masalah-masalah sosial dan lingkungan hidup di perkotaan. Sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan, tidak ada salahnya adaptasi nilai-nilai desa ke dalam kota dilakukan, tanpa meninggalkan identitas kota sendiri.
(note : catatan masa kuliah)