Aku bukan orang yang sabar, tapi untukmu aku relakan waktuku. Semenitpun adalah mahal untukku, tapi demi kamu berjam-jampun kubiarkan berlalu.
Siang menjelang sore. Saat kutengadahkan langit, matahari tidak segalak biasanya. Bias silau itu tidak ada, terbaur mendung abu-abu merata di setiap horison yang kulihat. Mungkin sebentar lagi hujan? Karna angin sepoi-sepoi yang makin membuat mataku redup sepertinya berkata demikian.
Kulihat sekelilingku, kuraba dengan tatapanku. Kira-kira tempat mana yang cocok untuk aku berteduh jika nanti hujan? J. Di depan tempatku duduk, terhampar lapangan rumput lengang. Kontras sekali dengan sekelilingnya yang dihiasi oleh gerobak-gerobak kecil pedagang kaki lima dan beberapa manusia dengan aktivitasnya masing-masing. Ada yang berjualan pulsa, makanan ringan, minuman, mie ayam dan masih banyak di seberang sana yang tak ku ketahui apa yang mereka jual. Mataku terlalu jauh menangkap pemandangan kecil 100 meter di depanku. Sedangkan di belakangku hanya ada beberapa warung dengan teras sempit. Dengan asumsi, jika nanti jadi hujan dan aku berteduh di sana aku akan tidak enak jika tidak beli sesuatu. Yah, memang sih, budaya ewuh-pakewuh masih ku bawa dari Jawa, tanah kelahiranku.
Yasudahlah, lupakan soal hujan yang tak pasti datang. Karna kabar angin tak selalu benar kan?
Sudah 1800 detik lebih aku menunggumu di lapangan ini. Sudah banyak hal yang aku coba lakukan untuk membunuh waktu, menghilangkan perekat mata yang makin kuat, isyarat rindu yang sangat dalam si tubuh pada sang kasur. J..hey. Tapi rinduku padamu, tentunya bisa mengalahkan itu semua.pasti.
Pertama aku membuka buku. Rencana pertama yang memang sudah kuniatkan untuk membunuh waktu aku menunggumu ini. Sudah kubawa dari kosanku buku berjudul “Dasar-Dasar Hukum Kehutanan”. Baru 3 halaman saja, dan bagaikan sirep yang sering dipakai maling untuk membius si empunya rumah agar terlelap. Aku ngantuk berat.
Lupakan baca buku, maen game HP saja. tapi ternyata lowbat. Menulis kerangka essay? Sudah kucoba juga, tapi memang hanya terhenti sampai kerangka saja. Hemmmm
2.38 pm
Sudah 10 menit aku menulis ini. Baru saja aku perhatikan di sebelah kanan depan tempat aku duduk, terlihat anak-anak SMP sedang berlatih baris-berbaris dan meneriakkan sesuatu yang membuat perhatianku teralih. Mungkin bunyi, tanda siap? Kualihkan sejenak pandanganku ke mereka seraya mengalihkan otakku pada kenangan lima setengah tahun lalu saat seragamku masih abu-abu. Saat aku dulu juga pernah belajar berbaris dan menjadi bagian dari Pasukan Pengibar Bendera sekolah. Ha. . Suatu kenangan manis yang terasa sudah lama sekali. Aku jadi ingin pulang ke kampung untuk reunian dengan teman-temanku dulu. Tapi sepertinya teman-temanku juga sudah tidak di kota itu lagi, seperti aku, saat inipun berada di sini, jauh dari tempat yang kurindukan saat ini.
Jauh di seberang sana, kulihat berdiri dengan gagah sebatang pohon yang sepertinya adalah beringin. Pohon yang paling gagah, paling tegap di antara sekelilingnya. Memancarkan daya tarik kemegahan yang menawan mata. Memang sih, horison depan mataku saat ini tertutup barisan hijau pepohonan yang membentuk pagar hidup. Sungguh menawan, memancarkan kehidupan, menawarkan damai yang entah dari mana tak bisa kudeskripsikan.
Suatu realita hukum alam jika hidup harus berdampingan dengan mati, jika kaya harus bersebelahan dengan miskin. Begitu jugakah...? Pohon-pohon hijau itu harus bertetangga dengan sungai di baliknya, memaksanya untuk menjadi penjaga dan sekailgus saksi betapa sungai itu telah merana. Sungai itu telah kehilangan kemegahannya. Mengertikah kamu? Lupakan saja, tapi tolong pikirkan.
2.54 pm
Saat kuangkat kepala, kubuyarkan bayangan Ciliwung dan kulihat di depanku sudah lebih banyak yang berkumpul di tempat ini. Aktivitas meningkat disini. Latihan tim sepak bola yang telah mengisi kekosongan lapangan. Orang-orang yang hanya sekedar nongkrong, duduk-duduk dan anak-anak yang melintas dari pulang sekolah. Seperti rutinitas satwa yang aktivitasnya tinggi di pagi dan sore hari, lapangan ini pun sepertinya begitu juga.
3.05
Angin semilir sudah menjadi lebih dingin. Langit abu-abu merata, kini semakin gelap di tengah-tengahnya, seperti membentuk tudung di atas sana. Kekhawatiranku akan sang hujan muncul lagi. Tapi tak ada apapun yang bisa kulalukan. Aku tak mampu mencegah air-air itu turun.
Aku masih menunggumu datang untuk menjemputku.
Burung-burung gereja di tengah lapangan kadang-kadang muncul di permukaan, terbang rendah dan kemudian hilang lagi di rerumputan. Indah.... Kulihat sambil lalu dan mengawang pada saat-saat aku menunggumu, bukan hari ini, tapi dulu, di suatu saat yang telah silam. Rentang waktu yang tidak akan kembali, tapi menyisakan tapaknya sampai nanti. Aku ingin mengenangnya. Setelah kupaksa pikirku, aku memilih untuk hanya merasakannya, tidak untuk menulisnya di sini.
3.10 pm
Kira-kira satu jam lagi kamu datang menjemputku. Satu jam telah berlalu dan satu jam lagi yang masih harus kulalui. Tapi tidak apa, untuk bisa mendapat perhatianmu, untuk bisa semotor berdua denganmu, aku rela. Meski harus berjam-jam pun.
Tempat aku duduk saat ini sungguh sangat nyaman. Aku menyukainya. Ada 5 buah tempat duduk seperti ini di lapangan ini, berjajar menghadap lapangan dengan naungan tajuk lebat dari pohon-pohon angsana yang entah berapa puluh tahun umurnya. Angin sore yang mendingin menyisir daun-daun angsana yang rapat-rapat itu, membentuk gelombang gerakan yang aku yakin sekali jarang ada yang memperhatikan. Karena aku sendiripun sangat jarang memperhatikannya.
Aku mulai bosan untuk menulis, bukan karna tak ada yang bisa kutulis, tapi karna sepertinya perekat mataku mulai beraksi lagi. Aku rasa juga bahasaku sudah mulai kacau..... biarlah....
Aku masih semangat menunggumu menjemputku. Sambil ditemani 3 keping biskuit, aku berhenti menulis dan mulai menikmati manis krim vanilla.
3.25
Baru saja SMS mu sampai. “ Aku ke sana sekarang”. ...... senang sekali rasanya. Aku akan menunggumu. Aku akan bertahan di tempat dudukku, melihat apapun yang bisa kulihat, menulis apa yang bisa kutulis.
Saat aku menunggumu menjemputku, aku menemukan kerinduanku.
0 komentar:
Posting Komentar