img source: here |
“Mangan ora mangan sing penting ngumpul”
Sudah menjadi pepatah yang melekat pada kata “Jawa”, bahkan pepatah ini telah diangkat oleh band laris sekelas SLANK dalam salah satu lagunya yang cukup terkenal:
“Makan tak makan, asal kumpul....”
Mendengar kata merantau sendiri, kok asing ya kalo bagi orang Jawa, tentu saja berkebalikan dengan budaya ‘merantau’ orang-orang Minang dan Sumatra pada umumnya.
Meski orang Jawa terkenal tidak suka merantau, hanya tinggal di tanah kelahiran dan bersama-sama keluarga besar, namun kenyataannya tidak selalu begitu. Ya, selama ini bahkan aku sering melihat orang Jawa di mana-mana,
di se-antero Sumatra (tidak semuanya juga sih J), di Kalimantan, di Jawa Barat (meski membawa embel-embel ‘Jawa’ pada namanya, namun jangan salah, wilayah ini bukan Jawa dalam artian ‘Jawa’, masyarakat Jawa Barat lebih dikenal sebagai orang ‘Sunda’ yang jauh berbeda dengan ‘Jawa’), di ibu kota negara kita tercinta Jakarta, dan pasti juga di hampir seluruh wilayah Indonesia lain yang bahkan belum aku datangi. Orang Jawa seperti tersebar di seluruh pelosok nusantara. Meski lebih sering orang Jawa dikenal sebagai ‘korban’ transmigrasi, namun tidak sedikit juga yang memang benar-benar merantau, mencari kehidupan yang lebih baik di luar tanah kelahiran. Dan selama ini kulihat orang-orang perantauan dari Jawa cukup terkenal akan kegigihan dan keuletannya dalam bekerja.
Misalnya saja ketika kemarin aku berkesempatan mengunjungi Kampung Pangkalan Tapang di Kabupaten Ketapang Kalbar, yang merupakan kampung yang mayoritas dihuni oleh etnis Dayak, ada beberapa perantau dari Jawa yang menetap juga di kampung ini. Meski hanya beberapa keluarga saja, namun orang-orang Jawa ini terkenal sebagai petani sayur-mayur yang cukup sukses. Atau juga Mbah Jambul, seseorang yang aslinya berasal dari Yogyakarta yang aku temui di Sukadana, Kab. Kayong Utara Kalbar yang ternyata adalah petani singkong yang sukses juga di daerah setempat yang didominasi oleh etnis Melayu.
Ehmm.. Bukan berarti semua orang Jawa perantauan sukses, ada juga sebagian yang hanya bekerja sekadarnya, menjadi pekerja kasar juga.
Namun bukan itu yang menjadi perhatianku. Salah satu ciri orang Jawa di tanah rantau adalah mereka menganggap sesama perantau dari Jawa adalah sebagai saudara. Mungkin juga hal ini berlaku bagi daerah lain, namun sebagai orang Jawa, aku merasakan ada ikatan yang lebih kuat bagi kami, orang Jawa. Meski baru pertama kali bertemu, namun asalkan dari “Jawa” pasti cepat akrab. Ditambah lagi jika menggunakan bahasa Jawa dengan logat ‘medhok’, semakin cepatlah pula suasana melebur. Tidak peduli dari mana; entah Semarang, Solo, Banyuwangi, Trenggalek, bahkan Boyolali sekalipun asalkan Jawa, maka di tanah rantau semua akan menjadi satu jalinan kekeluargaan. Romantis sekali kan.
Kenapa aku terinspirasi menulis ini juga karena keromantisan seseorang yang aku temui di Pekanbaru, Riau beberapa bulan kemarin. Aku memanggil dia ‘Budhe’. Budhe yang lontong sayur dan sotonya selalu menjadi sarapan pagi selama di sana, Budhe yang sejak pertama bertemu memberikan keramahan ‘Jawa’ nya, Budhe yang berasal dari Banyuwangi dan telah merantau sejak muda, Budhe dengan segudang kisah-kisah masa mudanya, dan juga untuk kopinya mantap.
Meski baru sekali bertemu dengan Budhe, namun rasanya tak asing. Bahkan budhe bilang begini:
“Woalah, wong Jowo juga tho, wis sono mlebu ngomah kono, pengen mangan opo, cincai-cincai wae yo, podho-podho wong Jowo iki”
(wah, orang Jawa juga toh, sudah sana masuk rumah, mau makan apa, santai-santai aja ya, sama-sama orang Jawa ini)
Tentu saja hal-hal seperti membuatku sangat nyaman dimanapun aku berada. Dan tentu tidak hanya budhe saja, banyak juga saudara-saudara dari tanah Jawa yang aku temui di mana-mana yang membuatku merasa selalu rindu pada tanah kelahiranku. Dan aku rasa juga bahwa semua teman-teman yang merantau itupun juga merasakan kerinduan yang sama. Kerinduan akan tanah kelahiran nun jauh di sana di tanah Jawa. Keinginan berkumpul dengan sanak-keluarga, terpaksa harus ditepis demi berjuang untuk harapan hidup di masa depan. Siapa lagi yang mengerti perasaan ini jika bukan sesama perantau? Dan keramahan-tamahan, kekeluargaan dari saudara sedaerah di tanah rantau bagaikan pengobat rindu yang kadang tak bisa diwujudkan.
Ya. Romantisme orang Jawa di perantauan adalah wujud kerinduan akan tanah kelahiran.
0 komentar:
Posting Komentar