Mahameru 2013 |
Ngapain sih harus naik gunung? Pernah gak sih mendengar pertanyaan ‘basi’ itu? Tentunya, para pendaki gunung sudah seringkali mendengar pertanyaan ‘ngapain’ ini berulang kali sampai bosan. Nah, apa yang akan teman-teman pendaki jawab? Pasti macem-macem jawaban, dan tak sedikit pula yang bahkan tak bisa memberikan jawabannya. Saking bingungnya, dan tidak tahu juga sebenarnya ngapain sih mereka mendaki?
Aku juga begitu! Aku mencintai mendaki bahkan jauh sebelum pertama kali aku mendaki. Kok bisa? Ada ceritanya itu, lain kali akan kuceritakan. Aku memulai petualanganku di gunung sejak kelas 1 SMA bersama organisasi pecinta alam (Sispala) di sekolahku saat itu. (Terimakasih untuk OP2A Persada! Satu hal terbaik di masa abu-abuku selain cinta monyetku dulu.) Gunung Merbabu adalah gunung yang pertama kucoba daki meskipun pada akhirnya aku tidak sampai di puncak tertingginya kala itu. Aku pernah mendengar orang berkata, "Hanya ada 2 kemungkinan setelah orang pertama kali naik gunung: Kalau gak kapok ya pasti ketagihan." Nah, aku masuk yang golongan terakhir. Aku ketagihan! Sejak saat itu, mendaki gunung seakan menjadi rutinitas yang bahkan kalau setahun saja tidak ngicipin gunung akan membuatku gelisah. Hingga aku kuliah dan bergabung di LAWALATA-IPB, kenal dengan dunia pecinta alam se-Indonesia, lulus, dan sampai saat ini jadi kuli kantoran, keinginanku untuk bercinta dengan hutan dan gunung seperti tak pernah padam. Bagaimana ketekunan dan kesetiaan itu terjaga?
Merbabu 2002(?)
|
Selalu ada alasan untuk segala sesuatu. Jika tak bisa menjelaskan, itu hanya belum tersadari saja. Secara naluriah manusia pasti memiliki motif untuk setiap perbuatannya. Perlu usaha dan waktu juga untuk mendapatkan apa yang kita cari itu. Aku pun pernah tidak paham hingga bingung sendiri. Kegalauanku mencari arti pendakian, berpuncak sesaat setelah aku turun dari pendakian Gunung Sindoro di Jawa Tengah di tahun 2008. Saat itu, tiba-tiba aku melamunkan, merenungkan, menggelisahkan dan mempertanyakan alasan mendasar kenapa aku selalu mendaki dan mendaki. Aku mencari apa yang kucari? Yah, seperti itulah. Mirip lirik lagu ya? Ha... Bahkan, aku sampai berkaca-kaca meski tak sampai menangisinya. Hingga bertahun-tahun kemudian, aku menemukan alasanku sendiri kenapa aku tidak bisa untuk tidak naik gunung.
Sindoro 2008 |
Di pendakianku yang ke-sekian kali, di pergantian tahun menuju 2013, aku menghabiskan waktuku di Semeru. Bersama teman-teman yang menjadi tim terbaik pendakian yang pernah kutemui, aku menemukan alasanku sendiri. Tidak hanya itu, seorang kawan -sebut saja namanya Bang Sandi- bahkan menyebutkan 3 hal istimewa yang hanya akan kita temukan saat mendaki gunung. Tiga hal yang disebutkan itu adalah sesuatu yang kuanggap memang benar adanya. Dan, aku bisa menjadikan ini pula sebagai alasan yang kucari, kenapa selama ini aku selalu mendaki dan mendaki. Ini pula menjadi penguat hati, bahwa apa yang kucintai ini bukan sekedar bayangan semu yang tidak berwujud atau hanya sekedar obsesi.
Ini sebut saja Bang Sandi : p |
"Ada 3 hal yang bisa kita dapatkan dengan mendaki gunung", kata Bang Sandi. Apa itu?
1. Kita bisa mengenal alam dari dekat. Kita bisa merasakan, melihat, menyentuh dan menjiwai apa yang terjadi dengan alam kita. Hutan lebat, kabut yang tebal, air jernih yang mengalir, udara dingin yang menusuk, pasir yang berdebu, dan banyak hal yang bisa kita rasakan di sana. Ada keindahan dan kedamaian yang tidak akan tertandingi saat kita benar-benar bisa bersama dengan alam. Tak hanya keindahan, kadang getir dan sedih pun muncul saat kita melihat banyaknya sampah, hutan yang rusak, tanah yang longsor dan air yang tercemar. Bisakah rasa ini hadir saat kita tak pernah mengenalnya? Tidak bisa. Meskipun tak bisa disangkal bahwa sering kerusakan yang menyesakkan dada ini terjadi akibat ulah 'mereka yang mengaku juga sebagai pendaki dan pencinta".
2. Kita bisa mengenal teman kita. Aku percaya bahwa mengenali seorang sahabat, itu bukan hal yang mudah. Kita bisa saja tahu, kita bisa saja sering bertukar senyum dan sapa, hingga bercanda bersama, tapi apakah kita cukup mengenal mereka? Menghabiskan waktu bersama di alam dapat membantu menjawab pertanyaan itu. Mendaki gunung dapat membuat kita mengenal lebih dalam teman-teman kita. Alam mendekatkan manusia seakan menghilangkan sekat yang terbentuk dari kehidupan sehari-hari yang penuh dengan intrik dan aturan. Tak hanya sesekali tapi seringkali, aku mendapatkan kejutan dari teman-temanku yang ternyata memiliki sifat dan karakternya masing-masing. Tidak ada yang sempurna, bahkan akupun pasti begitu bagi mereka. Namun, kehangatan yang tercipta saat bercengkerama dalam tenda, dengan segelas kopi panas yang kita minum bersama-sama adalah sesuatu yang sangatlah mahal. Dan aku, aku mencintai kalian semua, sahabat-sahabat yang pernah menemaniku menikmati perjalananku selama ini.
Salak I - 2014, tak ada ngalahin hangatnya tenda kita ya..:) |
dan gak ada yang ngalahi serunya poto-poto seperti ini. Oro-oro Ombo 2013 |
atau serunya masak-masak seperti ini! Salak - Mossa, 2014 |
3. Kita bisa mengenal diri kita sendiri. Bahkan, terkadang seseorang tak mengenal dirinya sendiri. Akupun demikian. Mendaki mengajarkanku bahwa aku adalah sesosok jiwa yang tidak selamanya sama dengan apa yang kupikirkan. Aku tak pernah menyangka bahwa aku akan selalu mengeluh saat aku kelelahan, atau bahkan menangis saat aku merasa tak kuat lagi melangkahkan kakiku yang semakin berat, atau aku akan menjadi orang yang apatis saat kedinginan, pemarah saat kecapekan, ataupun menjadi aku-aku lain yang aku bahkan tak tahu sebelumnya. Aku pun juga tak pernah menyangka bahwa langkah kaki yang kukira lemah ini bisa mencapai titik tertinggi yang terkadang bagai mimpi. Aku tidak akan pernah tahu sisi diriku itu jika aku tak pernah mendaki!
Kerinci 2008
|
Tiga hal itu kemudian akan membawa kita pada satu hal yang bisa merangkum semua. Kita akan mengenal Tuhan dan kebesarannya. Mendaki akan membawa kita pada pengalaman spiritual yang berbeda. Seorang kawan -sebut saja Embang- sering melakukan perjalanan sendirian, entah naik gunung atau hanya jalan ke hutan, untuk mencari pengalaman ini. Dia pernah berkata bahwa dia merasa dekat sekali dengan Tuhan saat tak ada lagi sesuatu di sekitarnya selain alam yang liar. Sendirian menghabiskan malam di Mandalawangi - Pangrango dan dikelilingi lolongan anjing hutan, itulah salah satu cerita Embang yang kuingat. Ya, meskipun aku sendiri tidak akan berani melakukan perjalanan solo seperti itu. Lagi pula itu terlalu berbahaya, kecuali mungkin para profesional dan juga para penekat.
Akupun punya alasanku sendiri yang kutemukan setelah aku turun dari Semeru. Aku sangat mencintai jawaban yang kutemukan itu. Kenapa? Ya karena akhirnya semua kegalauanku sirna dan kemantapan hatiku semakin dalam tertanam. Aku pun tak kan pusing lagi menjawab atas pertanyaan 'Ngapain sih naik gunung?'. Bagi yang berteman di Facebook denganku mungkin pernah melihat postinganku saat itu. Alasan sederhana kenapa aku mencintai mendaki gunung.
Satu hal sederhana saja: Bahwa aku ingin kasurku menjadi hal paling mewah dan bahwa tidurku menjadi tidur paling enak di dunia. Semua itu bisa kudapatkan dengan mendaki gunung!
Sejak itu pula aku jadi tahu kapan aku harus mendaki lagi. Saat tidurku gelisah dan kasurku mulai gak nyaman, itu pertanda adanya panggilan. Saatnya mendaki lagi! Yok, ke mana lagi kita kawan?!
"Why do I love hiking so much?" Finally, I got the best answer for that question. I got it in my journey to Mahameru. "Yes, I love hiking BECAUSE after hiking, my bed become the most comfortable place in the world". - Aku 2013 -
Pangrango 2011 |
Salak 4 - Desember 2014 |
----------