Kenapa harus jalan?
Pernahkah mendengar kalau orang mau lebih nasionalis harus sering jalan-jalan? Pasti sering kan? Kalau kamu seorang yang suka jalan atau seorang traveler, kamu pasti tahu yang
kumaksud. Tapi, kalau kamu yang jarang jalan atau bahkan tidak pernah jalan, nah di tulisan ini aku akan ngajak kamu sedikit
mikir, kenapa orang yang sering jalan-jalan biasanya lebih nasionalis.
Kemana kita harus jalan-jalan agar bisa lebih nasionalis, lebih mencintai negeri ini? Ada dua pandangan yang
berbeda dan saling melengkapi. Apa perlu
keliling Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari kota metropolis Medan,
Jakarta hingga ke pedalaman Papua sana? Ataukah, kamu perlu berjalan lebih jauh
ke mancanegara, menjelajah negeri orang yang kadang tak kita pahami bahasanya
dan asing rasa makanannya, mulai dari metropolitan dunia seperti New York,
Tokyo, Paris hingga negeri antah berantah di jantung gurun-gurun negeri Afrika
sana? Well, apa pendapat kamu teman?
Aku, meski tidak seluruhnya,
beruntung pernah melakukan keduanya. Aku pernah beberapa kali jalan-jalan (atau lebih tepatnya kerja) di jauh-jauh pedalaman Sumatra, Kalimantan
hingga Sulawesi sana. (Ah,aku belum berkesempatan ke Papua) Aku pun beruntung
sempat menjelajah (kerja juga) di negeri Paman Sam yang termahsyur itu dan sekedar berjalan-jalan di beberapa negara tetangga Asia. Apa yang kudapat kemudian?
Nasionalisme kah? Mungkin iya jika rasa cinta ini disebut demikian. Tapi ada rasa yang beda antara keduanya meski berujung pada satu cinta pada Ibu pertiwi, pada sang Mother land.
Meskipun beberapa kalipun aku jalan-jalan di Indonesia, aku selalu saja terkejut dan menemukan hal-hal baru. Seperti waktu
itu, aku jalan ke daerah Simpang Hilir, sebuah kecamatan cukup terpencil di
Kalimantan Barat. Di salah satu desanya, aku tinggal lebih dari seminggu,
menginap di rumah penduduknya. Desa yang berada di antara perkebunan sawit luas
dan hutan tropis Kalimantan yang terlihat lebat, aku menyadari bahwa banyak hal
yang selama ini tidak kuketahui tentang tanah yang katanya adalah tumpah
darahku ini. Tidak hanya keindahan alam yang mempesona tapi juga kenyataan yang
tidak seindah poster wisata. Aku melihat sendiri betapa negeri yang katanya
gemah ripah loh jinawi ini tidak selamanya indah. Selalu ada cerita sedih di
sela-selanya. Kerusakan lingkungan dan kisah sedih penduduknya seakan memberiku
gambaran lain akan negeri ini yang tak akan kutahu jika aku tak merasanya sendiri. Aku sempat menuliskan kegalauanku akan hal itu
di tulisan ini (klik: Batu Barat dan Melinsum).
Tak hanya cerita pilu, cerita indahpun masih banyak kutemui. Suatu waktu, aku sempat berjalan-jalan ke Lembah Bada, suatu lembah
hijau nan indah yang dikelilingi bukit dan gunung di tengah-tengah Kabupaten
Poso, Sulawesi Tengah. Di sana, aku menemukan wajah lain dari Indonesia.
Sumpah, pertama kali ke sana, aku benar-benar merasa terpesona. Bagaimana
tidak! Di dalam komunitas yang masih menjunjung tinggi adatnya ini, aku merasa
bagai di negeri antah-berantah namun masih berasa di rumah. Ya, di sini,
masyarakat adat Bada memiliki banyak tradisi unik, bahasa yang beda dan
tentunya keramah-tamahan khas negeri kita tercinta. Meskipun di Poso sering
terdengar berita kerusuhannya, tapi di Bada semua begitu berbeda. Orang-orang
di sini hidup damai berdampingan satu sama lain dan mereka sangat terbuka
terhadap kedatangan tamu dari luar. Ah, pokoknya aku betah banget di sini. Langit biru Bada bahkan menginspirasi menulis sebuah puisi cinta untuknya, coba cek ini (klik: Langit Bada). Segala
keunikan ini seakan membuatku semakin bangga menjadi bagian dari tanah air ini.
Aku dan anak-anak di Batu Barat, Simpang Hilir, Kalbar (2013)
|
Alam Bada yang indah dan langit birunya yang memukau (2013) |
Setelah sekian kali aku berjalan-jalan di tanah air, aku pun
berkesempatan menginjak tanah di benua seberang. Amerika adalah salah satu
negara di mana aku sempat selama 7 bulan mencoba menggaulinya. Apa yang
kudapatkan? Semua serba wow! Wajar saja, negeri Paman Sam ini konon adalah
negeri paling kuat sedunia, Superpower katanya.
Iya memang! Di Amerika, aku menemukan banyak hal baru, suasana baru dan
temuan-temuan baru. Masyarakat yang lebih perlente, kota yang lebih besar, gedung-gedung
tinggi yang lebih megah, jalan-jalan yang lebih bersih dan teknologi yang lebih
canggih. Hampir semua yang lebih ini dan itu aku jumpai di sini. Tapi, apakah
aku lebih suka tinggal di sini? Ah, jujur saja iya. Siapa sih yang tidak ingin
tinggal lebih nyaman dalam lingkungan yang lebih rapih? Tapi apa iya cukup sedemikian
halnya?
Ternyata tidak selalu demikian. Semakin jauh dengan kampung halaman malah
membuatku semakin memikirkannya. Huru-hara di negeri tercinta yang kadang tak
pernah terjamah meski hanya sekedar lewat berita, malah kucari-cari dari negeri
yang jauh di sana. Apa yang terjadi dengan rumah ya? Bagaimana orang sini memandang Indonesia? Bagaimana ini dan itu segala rupa tentang rumah jadi ingin kuketahui. Segala rupa tentang Indonesia yang dibahas di luar sana
selalu ingin membuatku berkata, “That’s my home country and it’s very beautiful!
I am Indonesian!”. Di setiap kesempatan, aku selalu menyampaikan betapa negeri
kepulauan tropis terbesar di dunia itu adalah rumahku, kampungku, dan ibu
pertiwiku. Kadang aku merasa aneh juga. Ketika di rumah sendiri kadang aku
merasa kesal dengan segala rupa masalahnya, namun di luar sana aku selalu membanggakan tanah airku.
Ah,.. memang benar ya. Kadang jarak itu penting untuk membuat kita menyadari
betapa berharganya apa yang kita miliki. Begitu pula negeri ini. Kita bisa saja
menjadi sangat mencintainya, merindukannya ketika kita jauh darinya. Kalau kamu
gak percaya, coba saja! Dan rasakan, betapa hanya Indonesia tempatmu untuk
pulang kembali. Bahkan sambal terasi pun akan membuatmu rindu setengah mati.
Di tengah rimba Redwood di California pun aku ingat rumah (2014) |
Melihat di seberang Sungai Sumida, Tokyo Skytree yang termahsyur pun aku masih ingat rumah :) |
"That Indonesia is my beloved home country!", I said. (Oregon, 2014) |
Banyak hal yang bisa kita temui jika sering jalan-jalan. Cinta pada negeri
salah satunya. Entah itu di dalam negeri atau di luar negeri, semua akan
membuat kamu mencintainya, mungkin dari sisi yang berbeda. Ya, memang demikian
karena wujud cinta bisa berupa apa saja dan datang dari mana saja. Makanya,
sering jalan-jalanlah. Temukan diri sendiri, temukan dunia, dan temukan cinta pada
rumah kita.
Damn, I love Indonesia!
Sambil berkaca-kaca, mengingat kembali suatu musim gugur di benua
seberang sambil bersenandung rindu,...
“...Tanah
airku tidak kulupakan
Kan
terkenang selama hidupku
Biarpun
saya pergi jauh, tidak kan hilang dari kalbu
Tanahku
yang kucintai, Engkau kuhargai
...Walaupun
banyak negeri kujalani
Yang
mahsyur permai dikata orang
Tetapi
kampung dan rumahku, di sanalah ku rasa senang
Tanahku
tak kulupakan, Engkau kubanggakan.”
(Tanah Airku - Ibu Soed)
- Tulisan ini disertakan dalam lomba 'jalan-jalan nasionalisme' yang diadakan Travel On Wego Indonesia-
I completely agree to this wonderful woman. I know, compare to her, I havent been anywhere. But I agree, travel helps grow my nationalism. And the journey itself helps me discover myself. Keep traveling, get lost, you might be surprised with what you discover
BalasHapusUwahh.. So sweet. Let's get lost together sist.. JIka traveling diartikan pindah tempat, kita bisa bikin konsep baru traveling yang orientasinya bukan ruang, tapi ke petualangan aksi. Mari melakukan hal-hal yang out of the order, like what we will do this September! Yeay...
Hapuswow, saya setuju, bagaimanapun kondisinya negeri ini, rasa nasionalisme harus tetap n terus tumbuh dlm nurani rakyat Indonesia. dan itu bisa muncul dalam setiap perjalanan kita,
BalasHapushayuk terus berjalan :)
Benar banget. Apapun yang terjadi, kita harus tetap cinta pada pertiwi. Kalau bukan kita, siapa lagi? :)
HapusHayuk jalan-jalan.
Iya jalan-jalan tuh bikin kita mikir juga. Malah kadang mikirnya lebih keras dari biasanya ya bisa menumbuhkan rasa nasionalisme itu. Mba Nonet pernah bilang kalo jalan-jalan tuh pasti mikir "apa yang harus aku perbuat untuk negeri ini? ", menurutku itu pemikiran keras karena susah buat jawabnya.
BalasHapusWow sambal terasi, nasi jagung, sayur daun singkong, ikan asin tipis-tipis selalu membuatku merindukan rumah. Apalagi makannya di depan tungku.
Kadang mikir dan kepikiran hampir-hampir mirip. Ikut mikirin nasib negeri sudah jadi modal usaha untuk nasionalis. mungkin ya.
HapusMakanan paling enak sedunia emang cuman di Indonesia. Setujuuu.. Sambel trasi itu memang yang paling ngangenin, dimanapun kapanpun. :D
jalan jalan tu memang ngebuka wawasan baru, memunculkan banyak tanya yang bikin otak jungkir balik nyari jawabnya kadang-kadang. nasionalisme, cinta tanah air, belum nemu makna sebenarnya dari kata itu. masih coba nyari nyari lagi. kalo kita muai perduli Indonesia tu udah termasuk cinta tanah air belum sih ? rindu kampung halaman tu ...rindu yang bisa digolongka cinta atau sekedar rindu ingin pulang ? nasionalosme saat ini buat arya "aku ini lho orang indonesia . aku salah satu dari ribuan juta masyarakat yang berusaha memperbaiki diri untuk Indonesia. karena ini Indonesiaku, Indonesia kita."
BalasHapusMakna cinta itu memang sangat luas dan beragam. Cinta tanah air kudefinisikan mirip dengan cintaku pada seseorang. Aku merindukannya, ingin melakukan apapun untuknya, dan ingin berguna untuknya. Jadi, rasa ingin pulangpun adalah salah satu bentuk cinta itu. Hanya saja, ada satu yang mengganjal: Apakah cinta bisa jadi benci di kemudian hari? Eaaa... (jadi lagu.. )
HapusApapun itu, tetap jalan-jalan sepanjang kaki bisa melangkah dan pikiran masih bisa bekerja.
Stay young and keep learn forever! :)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus