Jalan becek penuh lumpur ini mengingatkanku pada sesuatu. Satu hal yang sangat kukenal hingga bahkan aku tak sanggup ingat meletakkannya di mana di ruang memoriku. Meskipun mendung kadang menyelimuti langit, namun birunya langit musim panas tak akan mampu terbendung oleh awan hitam.
Langit biru dan awan putih adalah pesonamu. Daya
yang mengikat hatiku sedemikian dalam dengan damai surgawi yang hanya bisa
kurasa tanpa ungkap kata. Namun sayang, sudah takdir jika surga berdamping
neraka. Di balik damai, aku rasakan gelisah. Ada sesuatu, entahlah, yang tak
bisa menyempurnakan imajinasiku. Ada yang mengusik pikiranku, menyentuh
keprihatinanku, menanyakan eksistensiku.
Semua begitu nyata: Tanah kuning yang
membelah hijaunya hutan sawit, tanah coklat berlumpur yang sesekali
menggulingkan setiap yang melewatinya, busa mengapung di parit-parit air
kehitaman, dan anak-anak kecil yang dengan riang berenang di dalamnya. Bercampur dengan
sesekali bau aneh menyengat entah darimana. Semua nyata mengusikku.
Ah, mereka tertawa. Orang-orang itu tertawa.
Ramah mereka menyapa, menyapa nasib yang tak dimengerti. Tersenyum pada masa
kini yang diharapkan dapat bersahabat. Karena masa lalu telah jadi mimpi sedang
masa depan tak sanggup memberi janji. Apa lagi yang bisa dilakukan selain
tertawa?
Teriknya siang di tengah jalan berdebu dan
hujan sesaat karena awan hitam yang tak mampu lagi menahan bobotnya, seakan
membawa bisikan. Aku dibisikkan, “Dulu di sini ada ‘kami’, dulu di
sini ada ‘dia’, dulu di sini ada ‘mereka’, dan dulu di sini ada....”.
Ada siapa? Apa? Kenapa?
Pertanyaan itu muncul selalu dalam diamku
yang tak terdiam. Aku selalu termenung dalam setiap gurau canda yang
kulontarkan. Semua begitu memutar otakku hingga aku pusing bahkan tak bisa
tidur.
Oh Tuhan, kenapa semua ini begitu sedih? Apa
yang salah dengan kami? Apa salahku? Dan pertanyaan terbesarku adalah aku bisa
apa? Sedang, aku hanyalah pahlawan kesiangan yang
selalu bermimpi besar. Meski mimpi hanyalah untuk pecinta tidur tapi aku masih
selalu berharap, “Tolong! Bangunkan aku sekarang! Siapapun itu”.
Batu Barat dan langit birunya |
------
Catatan di atas adalah kegelisahan
yang kurasakan saat aku berada di Desa Batu Barat, Teluk Melano, Kayong Utara,
Kalimantan Barat. Desa yang berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Palung dan
juga berdekatan dengan perkebunan sawit PT. CUS ini seakan menjadi pengalaman
pertamaku untuk lebih merasakan secara emosional hidup di desa-desa pinggiran
hutan dan kebun sawit skala besar.
Sebagai penikmat jalan-jalan di
pedalaman, aku sangat menyukai desa ini. Batu Barat yang dilalui oleh Sungai
Melano sungguh memiliki keindahan khas Bumi Borneo yang membuatku betah.
Orang-orang desa yang ramah, alam yang kaya, dan budaya yang berbeda dapat
kutemukan di sini. Namun, aku terusik oleh hal-hal kritis seperti kerusakan
lingkungan yang terjadi. Aku merasa trenyuh, dadaku sakit sekali.
Seperti yang kutuliskan sebelumnya,
banyak hal yang membuatku terheran-heran hampir tidak ingin percaya. Hutan
Kalimantan yang indah seperti yang digambarkan dalam-dalam poster wisata
rasanya jauh sekali. Meski Gunung Palung di depan mata tapi kebun sawit luaslah
yang paling dekat dengan Batu Barat. Jalan-jalan tanah di desa ini
membelah-belah perkampungan yang tersebar. Hanya sedikit jalan berplester yang
terpotong-potong di sana-sini. Jika hujan tiba, berubahlah jalan tanah
kekuningan itu menjadi ajang seluncur, licinnya minta ampun. Bahkan, akupun tak
berani menaiki motor jika kondisi jalan sudah seperti itu.
Rumah-rumah kayu dan sedikit rumah bertembok
semen berjajar rapi menghadap jalan.
Sebuah parit berisi air kehitaman – air gambut- yang digunakan orang-orang
untuk keperluan mandi dan cuci-nya. Air parit yang tak seberapa itu harus menanggung
beban buangan detergen dari sekian banyak manusia. Maka, busa nampak di mana-mana.
Jalan tanah di Batu Barat yang licin saat hujan. (2013) |
Jalanan di kebun sawit yang terlihat sama, sawit sejauh mata memandang (2013) |
Sedang jauh di kebun sawit, sudah
seperti dunia lain. Jalan-jalan tanah memotong-motong petak-petak sawit yang
pasti akan membuat siapapun bingung menentukan arah karena semua terlihat
serupa. Pondok-pondok pegawai dan buruh kebun seakan jadi kampung sendiri di
tengah rimba sawit. Ada yang bilang bahwa di dalam kebun bahkan lebih ramai
dari desa, lebih banyak fasilitasnya, ada sekolah bahkan puskesmas-nya.
Orang-orangpun katanya lebih memilih tinggal di sana.
Aku trenyuh karena di balik keramahan
orang-orangnya, di balik kesenanganku akan masa yang bagai liburan, ada rasa
sesak akan sesuatu yang kurasa ‘pernah ada’. Saat itu, aku terbayang-bayang
akan masa lalu Batu Barat. Apa yang pernah ada di sini? Siapa yang pernah ada
di sini? Ada apa dulu di sini? Kenapa jadi begini? Lalu, terbayang olehku juga
indahnya hutan Kalimantan yang pernah kutahu. Lalu, tiba-tiba aku bagai
tersayat sembilu. Rasanya miris, sakit sekali. Apa ya rasa ini? Aku seperti tidak
terima akan semua ini. Aku memikirkan orang-orang sini yang sepertinya
baik-baik saja. Mereka selalu tertawa, bergurau dan bahkan menggodaku dalam
candaannya. Tak ada yang salah kan? Jika semua baik-baik saja tapi kenapa aku
sedih sekali?
Nanda sedang memperhatikan ibunya meracik masakan. (2013) |
Anak-anak, masa depan Batu Barat |
Aku, yang pernah setidaknya belajar
tentang hutan, yang setidaknya punya gelar ber-embel-ember hutan, menjadi
merasakan beban tanggung jawab. Apalah itu yang disebut beban moral atau apapun
itu. Aku merasakannya. Rasa ingin melakukan sesuatu tapi tak tahu harus
bagaimana. Maka itulah, aku sebut diriku pahlawan kesiangan. Dalam pikiran yang
dangkal, aku ingin menjadi sosok yang ingin merubah kondisi. Agen perubahan
katanya. Tapi dalam nyata, aku hanya bisa bergumam sambil mengumpat nasib.
Mungkin tidak salah jika aku ini adalah seorang pemimpi. Tapi, segila-gilanya
aku dalam mimpi, aku pun ingin sesegera mungkin terbangun dari tidur. Aku ingin
hidup dan menjadi nyata. Tapi bagaimana?
Karena masa lalu adalah mimpi dan
masa depan tak sanggup berjanji, maka aku hanya punya saat ini. Sekarang yang akan
menentukan semuanya. Apakah aku akan tetap menjadi pahlawan kesiangan atau
setidaknya aku bisa mengubah jadwal bangun tidurku menjadi sedikit lebih pagi?
Siapa tahu.
Untuk Batu Barat dan kenangan biru
yang selalu menghantuiku sekaligus memberiku sejuta rindu.
Matahari Terbit di atas Sungai Melano, Batu Barat |
Dua kaki. Satu hal ngerjain yg nyata di depan mata, mungkin hal kecil seperti tidak menyumbang banyak terhadap change. Misal dalam kasus ku, memperbaiki speed reading and improve my English. Hal lainnya, menulis, berpikir besar yg diwujudkan seperti ngeblog begini. Dan kita akan ketemu di pengkolan besok. Hehe.
BalasHapus
HapusAda sedikit lega, ketika bisa mengungkap rasa lewat kata dan berharap ada orang lain yang bisa menangkapnya. Bahwa kegelisahan ini harus dicari jawabannya. Mencari cara untuk mencintai waktu dan kesempatan yang diberikan. Jadi semangat nulis lagi deh. :)