Tampilkan postingan dengan label All about life. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label All about life. Tampilkan semua postingan


Dan ternyata, setiap kita mempunyai cerita. Berbeda tapi serupa. Banyak hal yang tidak saling kita ketahui tanpa saling bercerita. Masing-masing kita telah melalui banyak kisah yang mungkin hanya kita yang tahu pasti apa saja yang telah kita temui dan rasa.

Aku merindukanmu kawan, aku merindukan saat-saat muda kita tertawa tanpa beban kecuali asa. Masa-masa kita dulu pernah bersama merasa mimpi bagai di ujung mata. Semua begitu berkilauan sekarang kulihat. Masa-masa emas yang telah membeku abadi dalam ingatan kita bersama. Harta kita. Yang akan selalu menjadi tawa saat kita mengingatnya bersama.

Kesedihan kita kini, dan di masa-masa yang tak kita lalui bersama, biarlah menjadi katalis kedewasaan kita. Aku bersedih, kamu pun demikian. Aku bahagia, kamupun demikian. Kita punya cerita sendiri-sendiri. Jika bertemu nanti mari kita berbagi.

Sedikit kata-kata yang tiba-tiba kuluapkan padamu menjadi lucu seketika, mengingat rentang belasan tahun tak menjadikanku canggung membuka kegelisahan di dalamku. Terima kasih telah menjadi pendengarku. Dan kapanpun kau butuh telinga, sekedar telinga untuk gelisahmu, jangan ragu memanggilku. Ya, meskipun mungkin agak terasa kaku. 

Aneh, tak kuingat dulu seberapa akrabnya kita. Dan kitapun jarang bertegur sapa, bahkan di dunia maya. Tapi biarlah, apapun itu, aku senang bertemu kamu hari ini. Dan saat nanti kita bisa bertemu lagi, mari bercerita kembali, tentang kita yang dulu, ataupun kisah kita hari ini. 

(Sore itu, aku bertemu kawan lama yang sudah hampir 15 tahun tak bersua. Dan sore itu menyenangkan meski singkat terasa.) 


Di suatu pagi yang cerah, aku teringat pada suatu ketika, pada suatu saat aku tak pernah berpikir tentang apa makna tersembunyi di balik aksi manusia. Pikiranku hanya satu, bahwa semua manusia itu indah, bahwa semua manusia adalah kebaikan. 

Pagi ini, aku teringatkan. Aku teringatkan pada satu masa ketika hatiku damai dan tenteram. Sekalipun tak pernah kusimpan prasangka karena aku yakin keindahan kehidupan. Aku yang merasa bahagia, meski hanya oleh sorotan mentari pagi hangat yang menyapa. Aku yang tersenyum lebar, seakan mengerti bahasa alam ketika sang angin menerpa. "Ya, aku mengerti.", bisikku saat itu. 

Hingga kini, pagi ini, aku pun mulai ingin berani bertanya, "Aku yang dulu masihkah sama?". Sejenak kuingat satu masa sebelum pagi ini, ketika aku pun mulai ragu dengan diriku sendiri, aku mulai mempertanyakan secara tajam tentang aku yang masihkah aku? Dan, aku tak berani menjawab. Prasangka buruk membuatku sementara lupa, niat yang terbelokkan membuatku buta. Aku tidak suka ini, aku tidak ingin ini. 

Pagi ini, bersama sinar hangat mentari pagi yang mengetuk hari setelah sekian lama muram dan menangis, aku juga ingin mencoba memanggil diriku dulu. Aku yang lebih bisa tersenyum lebar, dengan dada penuh udara kebebasan, dengan kepercayaan bahwa keindahan itu adalah mutlak di semua kehidupan. Karena aku ingin percaya, bahwa di atas semua apapun itu, cintaku adalah untuk Sang hidup dan kehidupan, dan untuk Sang Dzat yang memberikannya. 

Semoga lain kali, aku akan selalu mengingat pagi ini. Meski tanpa secangkir kopi, meski tanpa sebatang rokok, aku bisa merasakan betapa indahnya hari ini. 



Dramaga, 22 Februari 2017


"Kalau pengen ngrasain nikmatnya malam minggu, maka jadilah orang kantoran.", seorang kawan pernah berkata.

Kok bisa? Bukannya dari Senin sampai ketemu Senin lagi hari masih begitu-begitu juga. Lalu, kenapa akhir pekan jadi istimewa?

Ah! Aku ingat sebuah perumpamaan lama, "Jika ingin membuat dirimu lebih pintar, maka beradalah di antara orang bodoh.".

Jika ingin Sabtu-Minggu menyenangkan, jadikan hari lain menjadi tidak menyenangkan!

Nah, nyambung kan.

Ngopi dulu yuk. (Doodle ala-ala, ku, Mau rekues boleh lho :P )

Aku jadi berpikir lagi, kenapa aku merasa apa yang para orang kantoran itu rasakan. Weekend terasa jadi sangat dirindukan. Ah, jangan-jangan.... Ah, itulah, tak perlu kutuliskan.

Tapi,... Ini tapi, jika saja bisa menjadikan setiap hari menyenangkan layaknya akhir pekan, bukankah pasti akan keren?! "Everyday is weekend seperti itu.  Kkkk (ini bunyi ketawa nyinyir becanda ceritanya.)

Ketika Senin sampai Jumat, dari pagi sampai sore menjadi wajib bagiku untuk duduk manis di depan meja dan menghadap layar komputer, entah mengerjakan apapun itu demi karir yang katanya akan membawa kepada masa depan yang lebih pasti, aku merasa malah kepastian itu membuat aku jadi was-was. Lha kok bisa?

Dan ketika Jumat sore tiba, dan rasanya seolah hidup mengembalikanku pada warna-warna tak terduga, aku menjadi deg-degan, excited lah. Ah, mau ngapain ya akhir pekan ini? Naik gunung Salak pasti asyik, ngikut teman-teman manjat tebing keknya seru juga, jalan-jalan ke kota dan bereksperimen aneh-aneh kayaknya juga lumayan, atau bisa juga di kamar aja nonton dorama, nulis review dan ber-fangirl-ria di fandom Jpop? Seru banget pastinya! Gilak! Banyak banget rasanya yang ingin kulakukan di 2.5 hari dari 7 hari yang ada. Aku selalu bersemangat.


Lagi kangen juga sama emak Roma. :) Naik gunung kapan lagi euy?

Was-was di 5 hari sebelumnya kenapa? Karena bosan. Boredom, bosan adalah momok (atau teman) yang selalu menyertaiku selama ini. Entah setan (atau malaikat) yang selalu menjadi pengikutku untuk apapun yang kulakukan dari dulu yang menuntut pola, sesuatu yang bisa ditebak. Itu kurasa enggak asyik, kurang hidup. Bayangan harus menghabiskan waktu tanpa jejak itu menyakitkan imajinasiku. Sumpah ngeri! Meskipun ada sudut hati yang berbisik, "Songong banget lu! Kapan belajar serius dan menjadi orang dewasa?!", katanya. Tapi suara itu lemah sekali sehingga aku abaikan saja.

Ups! Tapi jangan salah, bosan yang kurasakan adalah tentang rutinitas ya, polanya. Ini beda dengan apa yang pekerjaannya sendiri. Aku jatuh cinta dengan dunia riset sejak dulu dengan satu alasan bahwa riset itu membawa sesuatu yang kita belum tahu, gak ketebak, dan itu seru. Jadi, aku tegaskan dulu bahwa aku mencintai pekerjaanku. Dan aku merasa, aku bisa bertanggung-jawab untuk output dan jadwal yang telah aku sepakati. Semoga paham maksudku. 


Aku berandai, lalu bagaimana ketika aku bisa mewujudkan semboyan 'everyday is weekend' itu? Tiap hari libur terus?

Nah, aku jadi kepikiran juga. Ketika sesuatu itu acak dan tidak membentuk suatu keteraturan atau tidak berpola, maka ada yang menyebut ini sebagai pola acak. Persis sama dengan ungkapan 'tidak memilihpun adalah sebuah pilihan'. Tunggu dulu, tiba-tiba aku kepikiran.

Apa!!! (nada lebay sinetron kita sambil melotot) Jadi, selama ini---- Ya, benar banget Net (ngomong ke aku sendiri), "Kita itu tidak pernah bisa bebas dari pola seperti halnya kita tidak bisa bebas dari pilihan." Selama kita hidup, kita akan dihadapkan pada semua itu. Jikapun kamu bisa liburan sepanjang waktu, kamu akan bosan dengan liburanmu itu!  Hahaha… Meskipun liburan itu dibayar? (Mana ada? Yang seleb liburan itu di tipi-tipi? Eh, itu juga kerja neng!) Mangkanya para pengangguran itu banyak yang setres karena terlalu banyak waktu luangnya.

Intinya, muncul persamaan yang menarik nih. Jika kerja di weekday sama dengan membosankan, dan ketika setiap hari libur terus-terusan juga membosankan. Maka,
Every day is weekend = Everyday is weekday.
Weekend = weekday
Ha ha ha.. Balik lagi kan jadinya. Weekend sama weekday itu gak ada bedanya. Sama saja.. Toh waktu masih 24 jam sehari dan ya begitu-begitu saja. Lalu apa bedanya? Tentunya kita yang bikin beda, rasa kita sebagai manusia. Aku agak ragu ketika berpikir apakah si Mamet, kucingku itu punya weekday dan weekend. Bagi dia ya sama aja, makan tidur pup, makan tidur pup, tiap hari begitu.

Kenalin, ini Mamet yang (mungkin) gak tahu konsep weekday-weekend. 


Kita sebagai manusia bisa bikin hari-hari kita jadi tidak membosankan. Bagaimana? Menurutku sih ya dengan mengkombinasikan antara aktivitas kehidupan kita yang beragam itu dengan seimbang. Orang kan macam-macam ya. Dan sah saja ketika masing-masing orang memilih cara mereka sendiri. Kalau boleh bikin proposal sih ya, bisa nggak sih jam kerja kantoran dikurangi? Hahaha…Kan seminggu ada 7 hari, kenapa nggak fifty-fifty?

Ada yang tahu kah, siapa dulu yang nyiptain sistem 5:2? Siapakah  yang memulai mitos weekday dan weekend? Siapakah yang menjadikan Senin menjadi momok banyak orang ngantor?

Mari kita akhiri teror 'I hate Monday' ini. Jadikan tiap hari menjadi berwarna-warni. We can work anywhere and anytime we want. Ambil secangkir kopi, ngudud bagi yang suka dimanjakan nikotin, atau sekedar mengawang menikmati angin di Senin pagi. Free your self.


I love everyday! 


SEE YOU ON TOP! 


It's time to move on! O jikan desu!

Rasa gelisah, rada-rada takut, tapi juga bersemangat rasa-rasanya menjadi rutinitasku beberapa minggu terakhir. Pertanda babak baru dalam perjalananku harus segera dimulai. Ini pasti menyenangkan! Masih dengan hati berdebar-debar aku menjadi was-was, kejutan apa di depan sana? Mari kita songsong petualangan baru. Badai dan hujan tidak jadi penghalang, karena pemandangan di puncak sana sungguhlah sangat indah, dan kasur sehabis turun gunung adalah yang terbaik. Go for it!


Sunset at the Cedar Hill @sudiyah262

Kenapa ya jika di dalam perjalanan jauh ide-ide segar selalu banyak menyeruak muncul bak banjir gelombang tsunami yang memghantam otak? Yuhuuu.... Rasanya apapun bisa terjadi, diraih, dan dilakukan! Luar biasa bukan! Dunia imajinasi otak mempermainkan kebolehannya untuk menemukan solusi dan jawaban atas banyak pertanyaan kehidupan yang kadang tak kan ditemukan mesti dicari di dalam renungan. Perjalanan bisa menjawabnya! Dan saat ini, di dalam kotak bus Gunung Mulia, di perjalanan Bogor - Boyolali, aku juga terkena badai itu. Aku banyak terinspirasi dan menemukan keindahan akan rencana yang seakan tanpa cela.

Mungkin dalam perjalanan tak banyak hal yang bisa kita lakukan selain duduk manis di kursi penumpang. Mau ngapain coba? Mata menyaksikan pergantian pemandangan kehidupan dari luar kaca jendela, mempelajari kenyataan di luar sana. Saat itulah otak mulai bekerja, mencerna informasi yang diterima dan menghubungkan dengan hidup si empunya. Dalam kondisi rileks si otak akan lebih mudah menjangkau pikiran terdalam kita dan dengan mudah serta sederhana bisa menemukan solusinya. Ah, hebat nian desain manusia itu ya! Siapa pula penciptanya?! 

Kotak bus, gerbong kereta api dan lambung pesawat menjelma menjadi kotak emas yang kadang lebih pintar dari ruang kelas. Otak sendiri adalah sumber ilmu terbaik dibanding apapun. Dan perjalanan menjadi proses penginspirasian terbaik dibanding bertapa. Oh ya? Jika memang apa yang kupikirkan itu benar, maka tak salah jika orang bijak dari dulu selalu mengatakan "Merantaulah sebanyak mungkin! Lakukan perjalanan selagi muda!". Bukan hanya tempat tujuan yang menjadi tujuan, tapi perjalanan itu lah tujuannya. 

Ingat seorang kawan, pengembara juga, Gilang Embang yang selalu memberi inspirasi. Dia berkata bahwa di perjalanan itulah proses yang pentingnya. Benar banget itu! 

Awalnya aku ingin bermaksud menuliskan perjalanan dalam artian sederhana yaitu dari satu tempat ke tempat lain, tapi kurasa bahwa perjalanan ini bisa dimaksudkan ke sesuatu yang lebih luas, lebih universal. Perjalanan untuk apapun itu selalu memberikan kejutan bagi si pengembara. Apa kamu ingin hidupmu penuh kejutan? Aku sih iya! Karena itulah aku selalu ingin menjadi pengembara di hidup ini. Karena pada dasarnya, aku memilliki sejuta pertanyaan yang ingin kujawab melalui nurani yang kadang hanya terbuka saat aku sedang di jalan. 

Anybody wants to go with me? 




Img source: here

Raskin (Beras Miskin) diwacanakan akan dihapus. (Baca beritanya di sini) Beras yang dijual dengan harga super murah dengan kualitas super buruk ini apakah memang lebih baik dihapus atau dipertahankan?

Saya jadi ingat kisah Pak Mustofa dari Kelompok Tani Organik Al-Barokah di Ketapang - Kab. Semarang, satu dari produsen beras organik terbaik di negeri ini. Dia mengatakan bahwa, petani di kelompok tani itu juga mendapatkan bantuan 'Beras Miskin' ini. Padahal mereka itu produsen beras kelas 1! Aneh bin ajaib. Tapi gak boleh nolak bantuan kan, jadinya ya raskin dijual lagi atau kalau tidak ya jadi pakan ayam.

Jujur, emak saya sendiri di kampung juga dapat jatah raskin, soalnya para tetangga banyak yang tergolong kaya sedang rumah kami masih sama seperti 30 tahun lalu. Hehehe.. Tapi ya tentu saja, emak saya gak mau mengkonsumsi raskin. Siapa juga yang mau, wong berasnya sering berulat begitu. Ngeri kali.... Paling sering ya dijual lagi ke pasar, eh sebenernya sudah ada tengkulak yang sering datang ke rumah untuk ambil beras ini. Buka kartu deh.

Kenapa gak nolak saja? Aku pernah nanya gitu juga ke si Emak, dan dia jawab,"Mengko yen ora ditompo paling-paling dipangan karo petugase." (Nanti kalau tidak diterima, palingan dimakan sama petugasnya - alias dikorupsi.) Hadeuhh.. Memang jujur-jujuran, korupsi raskin sudah seperti rahasia umum, mulai dari harga yang sedikit dilambungkan, jatah yang sedikit dikurangkan, atau malah sekalian diembat.Hayo yang punya cerita dari kampungnya tentang korupsi raskin sini aku mbok dicritain.

Balik lagi ke Raskin yang akan dihapus. Ada yang bilang bahwa sebenarnya ada pihak-pihak yang membutuhkan bantuan beras ini. Siapa? Masyarakat miskin katanya. Tidak bisa salah juga. Mereka yang secara finansial tidak mampu membeli beras normal dalam arti sesuai harga pasar pasti akan terbantu jika ada beras yang harganya di bawah standar. Jika memang niat baik pemerintah adalah membantu mereka-mereka ini, ya bagus itu. Aku tidak bisa tidak setuju.

Tapi, masih ada tapinya. Kenapa kualitas beras bantuan untuk kemanusiaan ini sangat tidak manusiawi? Beras yang pecah, kotor, apak, kadang berbonus ulat dan kutu masih layakkah dikonsumsi? Untuk melihatnya saja aku malas, apalagi memakannya. Bahkan kurasa ayampun kalau tahu beras model begitu, enggan makannya. (Maaf ya Yam, aku sok-sokan jadi kamu. Padahal mungkin kamu tetap saja nyaplok tak peduli itu beras miskin ataupun beras kaya. Nyatut bentar ya untuk efek lebay.)

Kalau mau serius mau mbantu kok rasa-rasanya aneh. Niat apa enggak? Seperti salah satu tetanggaku yang sering memberi makanan yang 'hampir' basi ke rumah. (Sial! Dikiranya recycle bin apa ya!) Ya, kami terima wong dasarnya Wong Jowo itu kalau dapat rejeki harus nerima, gak boleh nolak. Ini juga demi rukun hidup bertetangga. Tapi ya itu, siapa juga yang mau makan begituan. Paling banter ya dikasih ke bebek atau ayam di kandang belakang. Kalau para unggas sudah tak mau lagi, ya masih bisa jadi pupuk untuk nyuburin tanah di kebon belakang yang ditumbuhi rumpun pisang. Niat baik itu tak selalu jadi baik, mungkin benar.

Apakah aku punya solusi? Tentu saja tidak. Aku kan bukan ahli pangan, ekonomi, pertanian, dll. Hehehe.. Kabur.... Mungkin bukan solusi tapi sedikit pemikiran. Kurasa memang bantuan beras mungkin perlu, tapi kualitasnya juga wajib ditingkatkan. Sedih rasanya melihat beras tak layak makan dijadikan bantuan. Bagi saya itu seperti penghinaan terhadap kemanusiaan. Lebih dari itu, dibanding beras miskin -(nama raskin sendiri kok agak gak enak di telinga ya, terdengar diskriminatif dan merendahkan. hehehe.. aku tersinggung) - kenapa bukannya subsidi untuk para petani kita ditingkatkan. Subsidi yang aku maksud tidak melulu duit, bisa apa saja yang bisa membantu mereka semakin produktif dan sehat. Harga beras dipasaran juga perlu dipantau agar tetap wajar dan normal. Orang-orang diberdayakan biar hidupnya makin sejahtera sampai tak doyan lagi melihat wujud 'beras berulat'.

Betewe, apakah kita ini masih impor beras? Atau kita ini ngekspor beras? Jangan bilang kita ngekspor beras bagus, impor beras murah, petani tercekik, dan beras buruk dikasih ke rakyat? Ini pikiran buruk aku, semoga saja enggak begitu. Sudah-sudah, suujon itu dosa!..

Soal raskin ini membuatku terpancing nulis uneg-uneg sepanjang ini. Padahal awalnya aku hanya ingin pajang di status fesbuk sambil mancing komen dari temen-temen di dunia sosmed sana. Eh, jadinya kepanjangan untuk sebuah status. Jadinya kularikan ke blog saja.
Oh raskin... Balada si Raskin! Begitu miskinkah rakyat Indonesia sampai diberi makan oleh  pemerintahnya dengan beras berulat? Alamak.. Sedih sekali hatiku.

Ah, jadi inget emakku lagi yang tiap bulan berjatah dan menjatah dalam lingkaran setan bernama 'raskin' ini.

Kalau menurut kamu bagaimana?
Kenapa ya bangun pagi itu susah?
Tapi di sisi lain, ada orang yang tak ada masalah dengan itu? Hingga ada sebutan 'morning person' dan yang 'non morning person'. Mengapa juga tidur paling enak adalah tidur d pagi hari? Pernah dengar dulu waktu kecil: kalau tidur subuh-subuh, para setan sedang membagikan selimut kulit kambing yang hangat untuk umat manusia agar mereka terlena dan meninggalkan kewajiban solat subuhnya. Hahahaha...... Mungkin selimut kulit kambing itu yang menjadi sebab utama munculnya kaum non morning person. 

Aku sudah mencoba banyak cara untuk bisa bermigrasi menjadi morning person, tapi godaan setan kan selalu enak ya. Jadinya susah untuk meninggalkan yang enak-enak. Alarm seganas apapun tak akan sanggup meruntuhkan selimut pagiku. Tidak sedikit waktu aku merasa kesal sendiri karena selalu kesiangan. Tapi ya bagaimana ya? Kaum morning person mungkin tak akan paham apa yang kurasakan. Susah bro! Bangun pagi itu tak semudah omongan Mariyo Teguh. 

Sebagai kaum non morning, hari ini aku bangun pagi, tak seperti biasanya. Aneh juga rasanya, terbangun sendiri di luar jadwal rutin. Aku menjadi bingung untuk melakukan apa. Hingga akhirnya kusambar tab ini, buka sosmed 5 menit, dan nyasar curhat di blog ini. Wah, lumayan juga ya bangun pagi, menjadi produktif begini, meski ini antara penting dan tidak penting. 

Sekali-kali boleh lah ya, melepas selimut kulit kambing yang nyaman dan bermigrasi menjadi morning person. 

Selamat pagi! 
Sugeng enjang! 
Wilujeng enjing! 
Good morning! 
Ohayo gozaimasu!
Bom dia!

Lake Quinault - Washington