Tampilkan postingan dengan label DAS. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label DAS. Tampilkan semua postingan
Relawan yang berada di antara sampah di dasar Ciliwung - Katulampa (Foto: Suparno Jumar)

Hujan yang jarang turun di Bogor akhir-akhir ini membawa dampak yang cukup jelas jika kita tengok di Bendung Katulampa. Jauh berbeda ketika banjir jadi primadona siaran berita di tivi-tivi nasional kita, Bendung Katulampa yang mengalirkan derasnya air sungai Ciliwung yang termahsyur tiba-tiba menjadi kering kerontang memperlihatkan bebatuan dan balok-balok pemecah arus di dasar bendung. Sungguh pemandangan yang kontras. Salah satu penanda rusaknya DAS adalah fluktuasi aliran yang tinggi. Pun demikian di Ciliwung ini, kontras ini menunjukkan betapa sakitnya sungai yang menyimpan sejarah panjang dalam peradaban manusia penghuni Bogor hingga Ibu Kota Jakarta sana. Kerusakan ini tak hanya untuk manusia tapi untuk semua mahkluk hidup penghuninya. Bahkan menurut Menteri Kehutanan Siti Nurbaya, sudah 90% makhluk hidup di Sungai Ciliwung sudah rusak. Entah berapa banyak ikan asli Ciliwung yang telah hilang.
Yang lebih miris lagi, dengan surutnya air maka dasar sungai menjadi terlihat jelas dan hampir bisa ditebak apa yang ada di sana. SAMPAH! Sepertinya tak berlebihan jika Kang Parno menyebut bahwa Bogor ini sudah 'darurat sampah'. Bahkan rata-rata sampah harian yang masuk ke Sungai Ciliwung per hari mencapai 7 ton, menurut KLHK. Angka ini tentu akan mudah untuk dihitung jika ingin mengetahui berapa banyak sampah setahun di Kali Ciliwung. Dari sejumlah itu, berapa sih yang bisa diangkut, dibersihkan oleh Pasukan Orange, Laskar Karung, dinas-dinas lain? Dan kemana kah akan lari sampah-sampah ini? Tak lain pasti ke laut. Indonesia telah menjadi penyumbang ke-2 terbesar sampah di lautan yaitu sebesar 187,2 juta ton per tahunnya. Miris banget.
Kembali ke Katulampa pagi itu. Beberapa orang relawan yang berkumpul, dikomandoi oleh Pak Andi Sudirman sang Kuncen Katulampa, kita sepakat untuk turun ke sungai melakukan apa yang kita bisa untuk mengurangi beban sampah. Nah, saking banyaknya sampah yang ada, kita dihadapkan pada pilihan dilematis antara mengangkat sampah ke atas namun terbatas atau membakar sampah yang ada di badan sungai. Akhirnya kita memilih untuk membakar sampah yang ada. Kenapa? Karena ternyata di dasar sungai banyak juga ranting dan batang pohon yang menyangkut di batuan pemecah arus yang akhirnya jadi tempat sangkutan sampah-sampah yang lain. Nah di situlah akhirnya sampah dibakar. Kondisi dasar sungai yang kering juga memudahkan hal ini dilakukan. Ini mengingatkanku pada satu istilah yang kukenal lewat salah satu drama dengan latar dunia penerbangan, yaitu istilah 'Second Best Option' atau pilihan terbaik kedua. Memang membakar sampah bukanlah pilihan terbaik, tapi itu adalah pilihan terbaik kedua karena pilihan pertama sulit untuk dilakukan.
Membakar sampah di dasar sungai
"Membakar sampah itu dilarang lho dalam Perda Kota Bogor.", Pak Ntis menyampaikan. Ya, tapi bagaimana lagi? Jawaban kami serempak sama. Toh, buang sampah ke sungai juga melanggar peraturan. Lagi pula, di Katulampa sini udara cukup terbuka sehingga tidak akan terlalu mengganggu asapnya ke pemukiman warga. Tapi bagaimana dengan karbon yang dilepaskan? Yah, itu pertanyaan juga sebenarnya. Tapi kita kembali lagi pada 2nd best option tadi.
Suara ledakan dari batang-batang bambu yang terbakar memeriahkan suasana pagi itu. Sengatan matahari dan unggunan api membuat suasana semakin panas dan gerah. Banyak hal yang kita temukan pagi itu, dari sisa-sisa lebaran korban yang benar-benar memakan korban akibat masih saja ada orang yang membuang jeroan hewan ke sungai, ada ikan mati karena kekeringan ataupun keracunan, dan jangan tanya berapa banyak Anakonda Ciliwung yang kita temukan. Setiap ledakan bambu terbakar kita sambut dengan ketawa. "Sudah beneran seperti perang ya.", terdengar celetukan seseorang. Ini memang sebuah perang.
Selama hampir 2 jam kami berada di dasar sungai di bawah bendung Katulampa. Kami lakukan apa yang kami bisa. Ya, pilihan terbaik kedua memang bukan lah pilihan terbaik.
Setelah naik ke sungai, Pak Andi dan kawan-kawan di Posko Katulampa sudah menyiapkan sajian 'ngaliwet' yang sungguh sedap dan diakhiri dengan obrolan kopi.
Sungguh luar biasa kan cara kami menggunakan akhir pekan.
Relawan Laskar Karung setelah kegaiatan (Foto: Rey Tisna)

Referensi:
Menteri Siti: 90% Makhluk Hidup di Sungai Ciliwung Sudah Rusak: http://news.detik.com/berita/d-2929961/menteri-siti-90-makhluk-hidup-di-sungai-ciliwung-sudah-rusak





“Baru kali ini aku ‘mabok t*i’!”

Ya, beberapa tahun terakhir ini, sampah kayak apapun bentuknya sudah sering kutemui di sungai, Ciliwung terutama. Dari popok bayi, kemasan plastik, kain lusuh, daging busuk, hingga sampah raksasa seperti sofa dan kasur, bahkan yang mungkin paling jorok sekalipun yaitu kotoran manusia, rasa-rasanya sudah bukan hal yang asing lagi bagiku. Tapi ya, ini benar-benar seperti shock therapy juga bagiku, ternyata semua belum apa-apa dibanding yang kutemui waktu Susur Sungai Ciliwung di Sukasari sekitar 2 minggu lalu. Benar-benar, baru kali itu aku merasakan pusing, wajah panas, mual, hampir muntah dan bahkan nangis berkaca-kaca setelah 2 jam berjalan menyusur tepian Ciliwung di salah satu kelurahan di Kota Bogor itu. Ya, aku mabok! Bukan karena mabok kendaraan atau mabok alkohol apalagi mabok cinta, ini mabok t*i. Mungkin agak kasar ya, tapi memang sepertinya istilah itu yang kutemukan paling pas dengan apa yang kurasakan saat itu. Eits, ini bukan kisah pesimis, jadi lanjut terus bacanya.

Jadi ceritanya, Sabtu 15 Juli 2017 kemarin, kita dari Komunitas Peduli Ciliwung (KPC) Bogor ingin mengadakan Susur Sungai. Jika biasanya ‘mulung sampah’, kita waktu itu ingin nyusur lokasi di Ciliwung yang agak jarang kita datangi sambil lihat-lihat kondisi kekinian bantaran. Kita pilihlah Kelurahan Sukasari dan Babakan Pasar karena masih dekat dari pusat Kota Bogor sehingga aksesnya mudah. Nah, mulai dari jam 9 pagi sampai jam 11 siang itulah, kita menyusuri tepian Sungai Ciliwung di Sukasari. Di situlah, aku dan sepertinya semua teman-teman yang ikut nyusur waktu itu benar-benar diuji kesabaran dan daya tahannya. Setelah berjalan sekitar 5-10 menit dari Roti Unyil Venus Jalan Siliwangi, kita melewati permukiman padat dengan gang-gang sempit terjal menurun, pertanda wilayah itu sebetulnya adalah tebing sungai, kamipun tiba di pinggiran Ciliwung.

“Yang sabar ya...”, kata Pak Tisna. Pak Tisna mah udah sering main kemana-mana, jadi dia mungkin sudah tahu cobaan apa yang akan kita hadapi nanti. Aku sudah mencium aroma-aroma keganjilan ketika kulihat selokan kecil penuh sampah berserakan di sepanjang tangga semen curam yang diapit bangunan menuju tepi sungai. Dan,...

Eng ing eng...

Wilujeng Sumping ti Ciliwung Sukasari!

Ya, bisa dipastikan, kamu tahu apa yang kami lihat kan? Sampah! Yang ngapung, yang di tanah, yang nyangkut, yang apa saja lah ada. Anakonda? Pastinya banyak! Karung mana karung?!! Pak Ntis, mana karung? Hahaha.. Sepertinya jiwa tukang sampah lama-lama jadi bawaan pengen mulung terus. Tapi, kita kudu sabar karena tujuan kita adalah nyusur. Jadi, kita jalan-jalan cantik dulu saja ya sambil poto-poto. Kami pun melanjutkan perjalanan.
Kami sempat selfie bersama anak-anak Sukasari 
Di awal-awal perjalanan, kami cukup dapat banyak hiburan. Di Sukasari ini, lanskap (semoga tak salah istilah) di sepanjang sekitar sungai cukup menarik. Bebatuan keras yang menjadi tepian bak pantai batu ada di sini. Ada anak kecil sedang bermain layangan dengan saudaranya, anak-anak lain sedang main air di sungai, ada pohon kelapa yang melambai ditiup angin sepoi-sepoi. Dan, aliran sungai yang cukup deras membuat seolah-olah dia bersih, padahal enggak, karena sampah-sampah pada hanyut semua. Ya, meskipun ada juga nih di dekat seindah ini, benar-benar pemandangan spektakuler, ‘kasur springbed keramat di tengah kali’! Buset banget! Siapa yang tidur di situ coba? Jin penunggu? Kepikiran banget, segeblek apa orang yang tega buang springbed ke kali?!! Mungkin belum kenyang makan bangku sekolah, atau jangan-jangan menu bangku sekolahnya kurang bergizi? (apaan sih!)


Springbed ajaib, tempat tidur siapa ini? (foto: Rey Sutisna)
Ya, begitulah kira-kira. Selama mungkin 30 menitan waktu dihabiskan di tempat menarik itu, sambil ngobrol ringan tentang Ciliwung. Ngambil sejumlah video dan juga foto. Faiza, kawan baru dari Jakarta yang baru perdana banget ikut nyemplung ke Ciliwung sepertinya seru banget ngobrol dengan anak-anak kecil yang sedang main air. Semangat kakak..
Dan kitapun lanjutkan perjalanan. Dan mimpi burukpun dimulai.

Keindahan lanskap yang di awal tadi kita temukan sebenarnya memang bonus untuk apa yang akan kita lewati. IYA! Sepanjang perjalanan di tepi bantaran (mungkin sekitar setengah kilometer lah, gak tahu lah, pokoknya sampai Sukamulya) semakin lama semakin lama semakin warna-warni dengan aneka sampah! Dimana-mana sampah, hingga saat kita berjalan kaki pun harus pandai-pandai melangkahkan kaki agar tak menginjak sampah, atau meminimalisir lah. Arrgghh! Sulit lah menggambarkan betapa mengerikannya apa yang kami lihat waktu itu, lihat lah sendiri. Sengaja aku pasang hanya 1 foto sampah karena jijay banget, tapi hampir semua tempat ya seperti itu kondisinya. Untuk yang kepo gambar-gambarnya silakan saja intip facebook atau twitter KPC, dijamin banyak koleksinya. 

Hampir dimana-mana seperti ini. 
Dan waktupun belalu, hingga kemudian, setelah selama hampir 2 jam di sungai, aku tiba-tiba pusing. Kenapa? Pas kutengok ke bawah ada si lalet ijo nempel ke yang ijo-ijo. Ya, kita tahu sih, memang pada kenyataannya hampir semua saluran MCK warga yang tinggal di sekitar sungai mengalirkannya ke Ciliwung. Aku juga tahu itu. Tapi, ketika melihat si lalet ijo itu aku puyeng. Sumpah puyeng. Om Parno yang mengajak semua tim untuk foto bersama pun hampir kutolak. Tapi, kupaksakan turun juga. Kita nangkring di batu-batu besar yang tersisa dari Ciliwung sebagai kenangan Susur Sungai hari itu. Hingga kemudian, ada pipa yang mangarah ke sungai mengalirkan air dengan kencang. Airnya muncrat kemana-mana, warnanya aaaarrgghh..... geuleuhhh.. Sepertinya di atas rumah-rumah itu ada yang lagi semedi! OMG, ingin segera kulari dari kenyataan ini. Dan setelah itulah, kami putuskan untuk selesaikan nyusur ini. Aku tak tahan lagi. Aku sudah mabok t*i.

Pengen pulang mandi dan gosok gigi, ngilangin daki, ngilangin memori. Tapi, tak baik juga rasanya jika apa yang kita lihat hanya disimpan untuk diri sendiri. Hal-hal yang kita temukan tepat di tepian Ciliwung tak akan bisa didapatkan jika hanya melihat dari kejauhan, dari kaca mobil, dari jendela mall, dari mana saja tanpa menyentuh langsung apa yang di sana. Susur sungai ini seperti membangkitkan kesadaran yang selama ini aku tak tahu, bahwa sesuatu yang lebih serius telah terjadi. Secara emosional, aku merasa hatiku rasanya miris, teiris-iris, sakit dan sedih. Tak hanya aku, mungkin semua kawan-kawanku yang ikut nyusur hari ini. Sekarang lalu apa?

“Ya, ini PR kita bareng-bareng.”, kata Om Parno pada Pak Udin, warga sekitar yang kebetulan sempat ngobrol dengan kita. Permasalahan sampah sungai ini lebih pelik daripada sekedar ‘kesadaran buang sampah di tempatnya’ yang kurang. Tapi, aku sih percaya, kalau beneran bisa bareng-bareng, sebenarnya ini adalah urusan sederhana. Kita, manusia, yang normal-lah, pasti tak suka dengan bau busuk sampah, kotornya, sumber penyakitnya. Masa sih manusia normal tidak mau tempat tinggalnya bersih? Pasti mau. Hanya saja, kadang kita-kaum urban yang merasa sudah agak tertib buang sampah-kurang paham bahwa mereka yang nyampah di sungai ini, memiliki prioritas lain yang mungkin saja dianggap lebih penting dari urusan sampah. Atau, mereka sebenarnya ‘bingung’, mau buang sampah dimana? Atau memang menganggap Ciliwung itu tempat sampah? Atau apa lagi? Ayoklah kita cari tahu.

NB: Meskipun demikian, aku tak akan kapok ke kali.

Mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang (Sukasari, 2017)


(Below is the result summary of my study while I was in World Forest Institute's fellowship program. This was also a paper material that was already accepted for IS-River conference in France-2015 which unfortunately I was not able to attend. I just want to share it again here on my personal blog.) 
----

Public Engagement in River Management, Lessons Learned From The Willamette River in USA to Indonesia’s River

Sudiyah Istichomah

Indonesia,  nonette262@gmail.com


ABSTRACT
There is an obvious need for the public to be involved in the management of natural resources, including forests, rivers, and resources. There are major challenges in Indonesia around river management such as floods, pollution, land conversion, and low community participation. The Minister of Environment stated that in 2014 75% of the large rivers in Indonesia were contaminated. This study aimed to explore how rivers are managed in the US, using the Willamette River in Portland as a case study. The focus was especially on public involvement  and how that can be applied to Indonesia. Many things can be learned from the Willamette River are 1) Government agencies are actively involved in community programs, the public are also actively involved, and there are nonprofit organizations that oversee government management, 2) Things like dam removal, installation of LWD for fish habitat, and re-meandering rivers are all management tools that would benefit Indonesia, 3) The use of an iconic species such as salmon as the impetus to restore the river is an excellent idea. Indonesia can look for an iconic  species  of their own , 4) Using the river as part of urban ecotourism. The Willamette River is a great Portland attraction for things like jogging, sailing, swimming, etc.



KEYWORDS
Public engagement, involvement, river, USA, Indonesia


1           Introduction

      Indonesian River and Challenges

There is an obvious need for the public to be involved in the management of natural resources, including forests, rivers, and resources. Today, water and river management  is an important issue around the world. There are major challenges in Indonesia around river management such as floods, pollution, land conversion, and low community participation. The Minister of Environment stated that in 2014 75% of the large rivers in Indonesia were contaminated.

This study aimed to explore how rivers are managed in the US, using the Willamette River in Portland as a case study. The focus was especially on public involvement  and how that can be applied to Indonesia.

Why this study is important:
  1. Water is necessary for all life on earth. Rivers reflect the level care that is put into managing water resource and they need to be cared for.
  2. Learning how developed countries use public involvement in river management  in important so that developing countries can learn from these models.
  3. The Willamette River is an important river in Oregon. It flows through the city of Portland and has a complex management, influenced by the urban environment with many different governmental and interested parties engaged in its management.
For 6 six months fellowship program in World Forest Institute, June – November 2014, writer did a study to learn about river management within the USA, with case study of the Willamette River in Portland, Oregon State. The study’s objectives are to know about the general condition of the river management and to find lessons learned that can be applied in Indonesia.

Four main questions for this study are,
  1. What is the current state of management of the Willamette River in Portland?
  2. Who are the actors that play a role in the management of the river and what are the roles?
  3. Is there a forum that brings together those parties?
  4. How does it compare with the situation in Indonesia?
The research was conducted in two ways: interviews and literature studies. Interviews were conducted with government agencies, experts, non-profit organizations and the general public in random. Literature was reviewed from websites, journals, news and other sources. A number of  fieldtrips with the World Forest Institute also allowed me to gain knowledge about the management of natural resources, especially rivers of PNW in general.

2. RESULT

2.1 Willamette River – Portland, A river with a long history

The Willamette River Basin is the largest watershed in the state, covering more than 11,500 square miles. Portland occupies only a small fraction of the river’s drainage basin, about one-half of one percent, but is the most urbanized area. Native salmon, steelhead and other fish and wildlife species live within Portland’s urban boundary, and also  migrate through Portland to other parts of the Willamette River Basin, Columbia River Basin and beyond.
The Willamette River faces a lot of problems, including pollution and water quality. In 2000, the federal government established that the river has become one of the Super Fund site cleanup projects because of it’s heavy pollution. This program involves many stakeholders: governments, private companies, numbers of environmental organizations, and also the general public who actively care for the implementation of the programs.

Restoration carried out in upstream rivers and creeks also provide a major influence on the Willamette River in Portland. Restoration of the Willamette River, and generally in the PNW, is closely related to salmon, which has been included in the category of endangered species. Salmon migrations connect the downstream and upstream of river systems and salmon habitat restoration has proven beneficial for the restoration of the river as a whole. Various restoration programs are conducted with the involvement of the general public, such as  volunteer-based tree planting, cleaning streams of garbage, and invasive species removal.

2.2 Actors in Willamette River Management

Who are the actors in river management?
In general, there are four groups that play an active role in management: Government, Private companies/ land owners, nonprofit organizations, and the general public.

Government plays the largest role in river management. They set the policy and develop the manage plans. They engage the public throughout the entire process using various means. Some of these are: transparency – letting the media and public know of their plans, public comment periods for each program so they know what the public wants, providing public field tours, and creating advisory groups.

Nonprofit organizations such as Willamette Riverkeepers or watershed councils can play a complimentary role to government organizations. Through their programs and campaigns, they raise awareness about the river and encourage public to be more. They also can monitor the work of government.

Private companies and land owners typically use a lot of water resources for their business and do have a voice in management of the water. They can support the government and nonprofit organizations that works for river by give fund or have partnership. Landowners usually do the stream restoration and conservation in their property.

The general public is the most important part of this system. The public can actively participate in river management in many ways: read the news and updates about government programs, give active responses during public comment periods, and volunteer in events related to the river.

There are of course many divergent opinions about and interests in the Willamette River. Public engagement is one way to help the various groups work together and understand each other interests in the water. However, developing  discussion forums and consensus on ideas and is difficult and requires a lot of work to have all the parties come together.

Are there forums that bring together interested parties?
Advisory councils and watershed councils provide a forum for people to meet and discuss their concerns about the river.
Watershed councils are locally organized, voluntary, non-regulatory groups established to improve the conditions of watersheds in their local area. They bring together local stakeholders from private, local, state, and federal interests in a partnership, to help plan restoration. In Oregon, there are at least 74 watershed councils that build a big network of people dedicated to supporting the work of river protection and restoration throughout the state.

2.3 Lessons Learned: From Portland to Indonesia
River management in Indonesia is led by the government. There are at least 14 ministries related to water management with the Ministry of Public Work being the main ministry in charge of infrastructure and management of the river. There are also several NGOs that are actively involved in water issues. But there is  a lack of participation by the general public.

In Indonesia, there is also a Water Resources Council, a forum of river management parties at the national or provincial level. They don’t function well however  because coordination is lacking and not everyone’s interests can be accommodated. The most interesting thing is the trend of community volunteer organizations like River Defenders which recently formed all around Indonesia as an expression of concern from a small number of the public for the poor condition of the river.

Many things can be learned from the Willamette River:
  •  Government agencies are actively involved in community programs, the public are also actively involved, and there are nonprofit organizations that oversee government management.
  • Things like dam removal, installation of LWD for fish habitat, and re-meandering rivers are all management tools that would benefit Indonesia.
  • The use of an iconic species such as salmon as the impetus to restore the river is an excellent idea. Indonesia can look for an iconic  species  of their own.
  • Using the river as part of urban ecotourism. The Willamette River is a great Portland attraction for things like jogging, sailing, swimming, etc.. Urban rivers in Indonesia have not been widely used for leisure purposes.

---------

img source: here 









Hutan TN Gede Pangrango dilihat dari Desa Cimande bersebelahan dengan Desa Pancawati, Caringin, Bogor. 


"Ya, di situ di DAS.", kata Pak Jamil (bukan nama asli) - seorang warga desa sambil menunjuk jurang tempat Sungai Cimande mengalir. Dalam hatiku aku was-was. Kenapa? Terdengar lagi satu istilah yang sempat membuatku berkerut : DAS atau Daerah Aliran Sungai. Jangan-jangan,.... Mari disimak apa yang terpikir olehku saat itu. 

Hari ini, aku mengunjungi Desa Pancawati, sebuah desa di Kaki Gunung Pangrango yang diapit oleh rimba yang kini telah berstatus Taman Nasional Gede Pangrango dan daerah-daerah industri terutama Pabrik Danone Aqua yang boleh dikatakan sebagai perusahaan air minum dalam kemasan terbesar di Indonesia. Di desa yang katanya merupakan daerah yang dekat atau malah memang daerah 'recharging area' - kawasan untuk serapan air tanah, berbagai kegiatan yang melibatkan perusahaan air itu pun menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Danone telah menggelontorkan dana CSRnya dan mungkin dana lainnya juga di sini. Melalui LSM lokal setempat, perusahaan itu telah membantu masyarakat setempat baik dalam bidang ekonomi ataupun pembinaan tentang lingkungannya. Tak lupa pula, ada peran taman nasional yang juga ikut kecipratan 'rejeki' dari adanya perusahaan besar ini. Nah, apa hubungannya dengan Pak Jamal dan DAS? Aku bukannya akan membahas tentang program ataupun untung rugi adanya interaksi ini. Aku hanya ingin menggaris-bawahi penggunaan istilah populer, terkesan scientific, cerdas, dan sering sekali disalah-pahami, yaitu DAS. 

Interaksi yang intensif antara masyarakat dengan golongan akademisi, peneliti, perwakilan perusahaan dan aktivis lingkungan yang kadang menggunakan kata-kata dan istilah tertentu, pasti akan menulari pula penduduk dampingan. Karena ini terkait air, maka istilah DAS ikut-ikut terbawa. Bagus di satu sisi. Tapi, jika terjadi kesalah-pahaman tentu menjadi kurang bagus. Nah, ini pula yang aku kuatirkan terjadi dengan Pak Jamal. Ketika dia menyebut kata DAS sambil menunjuk sungai dengan yakinnya, aku mulai ber-dejavu dengan pengalamanku dulu saat aku menemui permasalahan yang serupa. Orang seringkali aku temui menyalah-artikan definisi DAS dengan wilayah kanan-kiri sungai yang dibatasi garis sempadan sungai. Padahal, dua hal itu jelas tidak sama. (Ups, istilah bantaran dan sempada saja ternyata artinya beda. :O) 

"Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan." (UU no. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air). 

Sedangkan garis sempadan sungai adalah garis maya/khayal di kanan dan kiri palung sungai yang ditetapkan untuk perlindungan sungai (PP 38/2011 tentang Sungai). Nah, daerah antara garis sempadan dan palung sungai itu yang mungkin seringkali disalah-pahami sebagai DAS. Silakan disanggah jika asumsiku kurang tepat.

Apa yang membuat dua hal ini sering disama-artikan ya? Ada yang tahu? Monggo kalau mau urun suara bisa dikomen. 

Dengan perkataan Pak Jamil di atas tadi, aku berasumsi bahwa dia salah paham. (Aku akan coba cek lagi kapan-kapan. :) ) Pertanyaan lanjutannya adalah, darimana dia bisa salah paham? Ada dua kemungkinan, yaitu: dia memang salah paham sendiri atau jangan-janan memang pendamping masyarakat yang mengenalkan definisi DAS itu pada Pak Jamil sudah salah paham duluan. Tidak mustahil terjadi kemungkinan yang kedua. 

Nah, lalu yang menjadi perhatianku adalah penggunaan istilah dan bahasa-bahasa tertentu ketika berbicara dengan masyarakat umum. Kenapa ada jurusan khusus komunikasi dengan masyarakat di kampus-kampus terkenal, misalnya saja IPB yang punya KPM (Komunikasi Pengembangan Masyarakat)? Pasti karena berkomunikasi dengan masyarakat itu bukan perkara mudah. Karena itu diperlukan keterampilan khusus yang mumpuni agar apa yang kita sampaikan benar-benar pas dipahami oleh mereka, tidak kurang dan tidak lebih.Jangan sampai salah paham apalagi salah langkah. :)

Aku dulu sempat jengkel terhadap seorang kawan yang punya hobi ngomong dengan 'Bahasa Dewa' - suatu istilah untuk bahasa yang susah dipahami konteks maupun maknanya tapi terdengar 'wah' karenan banyaknya penggunaan kata-kata asing, serapan, dan akademis. Ampun banget orang-orang kayak gini! Pernah aku katakan langsung bahwa bisa saja bagi dia indikator seseorang itu cerdas adalah dari semakin tidak dipahaminya apa yang dibicarakannya. "Semakin orang gak paham, maka lo semakin keren dan cerdas!", kataku saat itu. Tapi, masa ya gitu sih? 

Aih, aku tetiba jadi teringat video rekamana Vicky Prasetyo saat pidato pemilihan Kades dengan bahasa Inggris ngaco-nya, yang diiringi para tetua desa yang manggut-manggut entah kagum, entah ngerti, atau entahlah. Jangan sampai kita seperti itu. 

Lhah kok, nyambungnya sama salah konsepsi DAS apa? Coba kamu sambungkan sendiri, lagipula semua ini hanya asumsiku.

Aku di TKP :)