Tampilkan postingan dengan label TNGHS. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label TNGHS. Tampilkan semua postingan

(Baru saja merapihkan file-file di laptop dan nemu catatan harian penelitianku untuk skripsi dulu. Penelitian yang berjudul "Perubahan Pola Interaksi Masyarakat dengan Hutan ".  Tahun 2011 tepatnya aku melakukannya, tak terasa udah 3 tahun lalu. Daripada ngendon di laptopku mending aku unggah saja di sini. hehehe. Akan aku bagi-bagi beberapa part berdasar hari )

Pemandangan dari Cilodor

Hari 6

3 Juni 2011

Catatan ini aku buat tanggal 4, aku benar-benar kecapekan kemarin dan tidur jam 8 malam. Keinginan untuk membuat catatan ini kalah oleh kantuk yang tak tertahankan sehingga games memory pengantar tidurku pun aku tinggalkan.

Tanggal 3 juni aku mulai pukul 8 pagi, seperti biasa oleh sinar silau mentari dari balik gorden kamar. Hari ini hari jumat, hari pendek jika di kantoran, tapi di sini hal ini menjadi hal yang biasa. Seperti kemarin aku mengkompilasi data yang aku dapatkan pada tanggal 2 juni dan menulis beberapa paragraf di draft kondisi umum. Namun tak berapa lama tidak bisa melanjutkan apa yang sebenarnya ingin aku tulis yaitu memulai analisis.

Siang hari aku ikut berkumpul dengan-dengan ibu-ibu di dekat kompleks ini, sekedar mengobrol santai dan bebas. Ibu penjual bensin di depan rumah Bu Kosih bercerita tentang usahanya menjual bensin dan menjual perlengkapan sepeda motor. Usaha itu dilakukan karena suami ibu itu tidak bisa bertani dan selain karena tidak memiliki lahan pertanian. Untuk mencari nafkah, dilakukan dengan menjual bensin. Dahulu, suami ibu itu mencari uang dengan menjadi ojek. Saat dulu orang masih belum banyak yang memiliki motor, usaha ini sangat menjajikan yaitu setiap harinya bisa mencapai 100 ribu. Namun saat ini, hampir semua orang memiliki motor dan sudah jarang orang yang memanfaatkan jasa ojek. Untuk ojek saat ini, mendapat 20 ribu perhari saja sudah menguntungkan. Dari itu, suami ibu beralih dari ojek menjadi pedagang bensin.

Bensin dibeli dari SPBU Kalapa Nunggal yang berjarak sekitar satu jam dari sini dengan sepeda motor. Biasanya belanja dilakukan dua hari sekali sebesar 120 liter. Harga bensin di SPBU adalah 4500 rupiah dan ibu menjual 5000 rupiah per liter, atau dengan keuntungan 500 rupiah perliternya. Untuk membeli bensin di SPBU dikenai biaya 1000 rupiah per jerigen. Uang ini  adalah pungutan yang diberlakukan oleh pengusaha SPBU itu.

Usaha dagang bensin di sini membuat ‘capek hati’ kata ibu. Hal ini dikarenakan banyak pembeli yang berhutang. Baik sepeda motor maupun mobil angkutan sering kali berhutang. Yang membuat kesal adalah saat utang itu ditagih, banyak yang menunda pembayaran bahkan ada yang mengelak telah berhutang. Dengan untung 500 per liter, jika ada penghutang yang tidak membayar hutangnya, untung itu menjadi berkurang banyak, bahkan pernah merugi. Namun hal ini tidak bisa dihindari karena memang kebiasaan di sini seperti ini.
 
Jalan menuju Cilodor rusak
Pukul 2 sore, aku pergi ke Cilodor Dusun Leuwi Waluh. Kampung ini terletak tidak terlalu jauh dari pusat desa Cipeuteuy, mungkin sekitar 1 km. Jalan menuju kampung ini menanjak dari jalan utama desa. Jalanan menuju kampung merupakan jalan berbatu dan tanah yang licin dan becek. Lebar jalan cukup luas, yaitu kira-kira muat satu mobil lewat. Namun kondisi jalan kurang baik sehingga untuk berjalan motorpun sangat sulit. Posisi rumah-rumah penduduk di kampung ini menyebar dan berjauhan. Hal ini berbeda dengan kondisi di Kampung Darmaga di mana pemukiman penduduk mengumpul di satu wilayah.

Parit di Cilodor, airnya bersih

Lahan pertanian di kampung ini cukup luas, dan sebagian besar atau bahkan hampir seluruhnya adalah tanah Eks HGU PT.Intan Hepta.

Di kampung Cilodor, aku berhasil menemui 6 orang responden. Hampir semua orang di Kampung ini adalah masyarakat pendatang dari luar desa. 4 orang responden berasal dari dari daerah Tugu Bandung (Kabandungan) dan mulai mendatangi daerah ini pada saat tanah HGU tersebut mulai digarap oleh masyarakat. Alasan yang mendasari mereka untuk pindah ke daerah ini adalah untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Di daerah asal, sebagian besar masyarakat adalah petani kecil yang memiliki lahan sempit atau bahkan tidak memiliki lahan. dengan adanya lahan luas terlantar HGU mereka berharap jika di tempat ini dapat bertani dengan lebih baik. Seorang responden yaitu Pak Ujil menyatakan bahwa tanah pertanian di Kampung Cilodor adalah tanah perjuangan, tanah yang didapatkan dari hasil perjuangan mendapatkan tanah garapan.

Hampir seluruh masyarakat di Cilodor tidak berinteraksi langsung dengan kawasan hutan. Alasan yang muncul adalah karena jarak yang jauh dan  luas lahan pertanian yang mereka kerjakan saat ini juga sudah mencukupi untuk kehidupan sehari-hari. Hanya ada seorang responden yang menyatakan bahwa dahulu pernah ikut melakukan tumpang sari pada saat jaman Perum Perhutani, namun saat ini tidak lagi.

Tanaman yang diusahakan oleh masyarakat Cilodor adalah pertanian sawah dan lahan kering. Sawah digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, sehingga hasil panen beras tidak dijual. Lahan kering ditanami sayur seperti kubis, cabe, dan pisang, singkong. Hasil panen sebagian dijual dan sebagian lagi untuk konsumsi pribadi. Di beberapa lahan garapan petani, terdapat beberapa sisa-sisa tanaman perkebunan Intan Hepta yaitu cengkeh dan teh. Masyarakat yang lahan garapannya terdapat tanaman  kehutanan tersebut memanfaatkannya untuk dijual atau dikonsumsi sendiri (teh). Panen cengkeh dilakukan selama 3 tahun sekali, sedangkan untuk teh dapat dipanen 2 minggu sekali atau sekitar 2 kali perbulan.

Setelah maghrib aku pergi ke rumah Pak Otoy, aku berjalan kaki saja ke rumahnya karena cukup dekat. Satu hal yang aku lupa adalah alat penerangan. Alat ini menjadi penting karena jalanan di sekitar sini jarang yang dipasang lampu penerangan. Untuk menuju rumah Pak Otoy, aku mengalami kesulitan karena harus menuruni tangga tanah yang licin sehabis hujan dengan penerangan minim dari nyala HP. Pak Otoy mengatakan jika PLN curang, karena dalam tagihan listrik perbulan terdapat iuran untuk penerangan jalan. Pada kenyataanya hanya ada satu lampu saja di pertigaan Cipeuteuy.
Di rumah Pak Otoy suasana sangat ramai, anak-anaknya sedang berkumpul. Ada sekitar 5 orang yang berkumpul di ruang tamu, pak Otoy dan Ibu, serta 3 orang anaknya yang semuanya sedang melihat TV. Anak-anak pak Otoy, seperti bapaknya cukup ramah dan vokal meski harus berbincang dengan orang baru. Aku sungguh merasa nyaman di sini J .

Aku bersama Pak Otoy, Bu Otoy, Pak Nana
Aku melengkapi data kuesioner yang dulu pernah aku tanyakan. Lalu aku menanyakan rumah Pak Nana yang dulu pernah juga ikut PHBM. Pak Otoy bersedia untuk mengantarkanku ke rumah Pak Nana. Pak Otoy sungguh baik hati. Pak Otoy dan Pak Nana adalah saudara sepupu selisih umur 2 tahun. Dari jaman muda dulu mereka adalah teman sepermainan. Pada jaman pelaksanaan tumpang sari, mereka juga bersama-sama melaksanakannya. Data yang didapatkan antara Pak Nana dan Pak Otoy tidak terlalu berbeda, selain pada luas lahan dan jumlah tanggungan keluarga. Pak Otoy dan Pak Nana, berbicara dengan santai dan menyenangkan, begitu pula Ibu Nana yang merupakan istri ketiga Pak Nana.

Pak Nana adalah petani yang tidak memiliki lahan pertanian resmi. Satu-satunya tanah yang dia miliki adalah tanah rumahna. Lahan pertanian yang saat ini dia kerjakan adalah tanah Eks HGU PT Intan Hepta. Karena tidak memiliki tanah, masyarakat dahulu sangat tergantung dari pertanian tumpang sari di lahan kehutanan. Namun, karena saat ini mereka dapat mengolah tanah di lahan Eks HGU Intan Hepta, maka mereka tidak terlalu tergantung dengan hutan.

Sekitar pukul 8 malam aku pamit dari rumah Pak Nana, dan pulang. Aku diantar sampai kandang ayam oleh Pak Otoy. Terimakasih lagi Pak Otoy.           
-----------        

Keluarga Pak Ujil di Cilodor dan aku :)

Ternak itik milik warga di Cilodor 
 
Catatan lainnya:
Hari 5: Cisarua - Dusun Koridor Halimun
(Baru saja merapihkan file-file di laptop dan nemu catatan harian penelitianku untuk skripsi dulu. Penelitian yang berjudul "Perubahan Pola Interaksi Masyarakat dengan Hutan ".  Tahun 2011 tepatnya aku melakukannya, tak terasa udah 3 tahun lalu. Daripada ngendon di laptopku mending aku unggah saja di sini. hehehe. Akan aku bagi-bagi beberapa part berdasar hari )


Pak Ne'an (Kadus Cisarua) dan aku :-)
HARI 5 : DUSUN CISARUA 

2 Juni 2011

Bangun pagi jam delapan langsung mencuci baju. Hari ini tidak mandi karena terasa dingin dan badan juga terasa kurang enak. Tak berapa lama setelah beres-beres, aku membantu Maryam memasak sop untuk sarapan kami. Di kamar mandi, ibu sedang mencuci baju yang sudah direndam selama 2 hari. Sedangkan anak-anak sedang pergi bermain memanfaatkan waktu libur mereka.

Siang ini aku manfaatkan untuk bermain dengan anak-anak. Karena mereka suka mewarnai, maka aku ajak mereka menggambar. Dan dari request ibu untuk mengajari anak-anak IPA maka aku mengajak anak-anak untuk menggambar dan mewarnai tumbuhan dan hewan. Serta menyambung-nyambungnya dengan dengan materi IPA. J . sehabis dhuhur aku kembali pada aktifitasku yaitu entri data yang kemarin aku dapatkan. Selama 1,5 jam akhirnya entri selesai juga.

Jam setengah empat berangkat menuju Cisarua di bawah hujan rintik-rintik yang sungguh mengkhawatirkanku akan menggagalkan agendaku hari ini. Agenda pertama adalah menemui Pak Ne’an yang merupakan Kadus Cisarua, sekaligus melengkapi kuesioner. Lalu baru menuju ke atas. Cisarua berbatasan langsung dengan Kabupaten Bogor. Tak berapa lama dari rumah Pak Ne’an lansung menemukan batas itu, yang sekaligus sebagai batas taman nasional.

Di perbatasan tersebut, terdapat banyak lahan garapan masyarakat. Banyak terlihat pertanian cabe di sepanjang jalan tersebut. Plang taman nasional pun sudah menghiasi sela-sela lahan garapan tersebut. Tanaman-tanaman kehutan setinggi 1-3 meter banyak terdapat di sela-sela tanaman pertanian masyarakat. Menurut petani, umurnya sekitar 5 tahunan. Dulu ada pemberian bibit oleh taman nasional untuk ditanam di antara tanaman pertanian masyarakat yang menggarap lahan TN.
Hari ini berhasil untuk mewawancarai 11 responden. Salah satu momen menyenangkan adalah ketika wawancara yang dilakukan di rumah Pak Acun Sukanti. Di rumah bapak ini, empat petani berkumpul termasuk bapak Acun sendiri. Ada juga Ibu Acun yang sangat ramah dan mengingatkanku pada Mae di rumah. Sedang apa ya Mae? (aku sayang my family J ).

Pak Tahwa, Pak Bae, Ibu Acun, Aku, Pak Acun 

Berikut beberapa rangkuman informasi:

Masyarakat di Cisarua hampir semuanya adalah petani, baik  petani di lahan milik sendiri, lahan milik orang lain, lahan eks HGU, dan lahan TN. Beberapa petani memanfaatkan lahan terlantar milik orang Cina (atau Taiwan) , mungkin seluas 10 patok, yang ditinggalkan oleh pemiliknya karena bangkrut. Masyarakat diijinkan oleh pemilik untuk mengolah lahan dengan syarat jika nanti lahan diminta harus langsung diberikan. Masyarakat yang memanfaatkan lahan HGU yang berada cukup jauh dari rumah mereka sehingga memerlukan waktu tempuh cukup untuk menuju kebun setiap harinya, biasanya dilakukan dengan menaiki motor. 

Masyarakat yang menggarap lahan taman nasional, beberapa adalah petani yang tidak memiliki lahan pertanian sama sekali. Dari 11 responden, terdapat 5 orang responden yang tidak memiliki lahan pertanian di luar kawasan sama sekali. Ketergantungan masyarakat terhadap pertanian di dalam kawasan cukup besar, terutama bagi mereka yang tidak memiliki lahan. umumnya masyarakat menjadikan lahan pertanian di kawasan sebagai sawah atau kebun sayuran.

Pak Oki dan keluarga, salah satu petani cabe di Dsn Cisarua.  

Terkait perubahan interaksi, terdapat beberapa catatan di Dusun Cisarua ini yaitu:
Ø  Petani yang meninggalkan lahan hutan. Alasan yang diungkapkan oleh petani yaitu antara lain adanya serangan babi, naungan pohon yang semakin rapat, dan jarak yang jauh. Misalnya Pak Adangyang memiliki kebun yang sudah ditinggalkan satu tahun kemarin karena menurutnya serangan babi sudah membuatnya rugi. Selain itu ada juga yang pernah mengikuti pertanian tumpang sari pada masa Perhutani selama 3-5 tahun. Saat ini tidak pernah lagi menggarap lahan kehutanan, karena tidak diperbolehkan lagi. Ketika ditanya, apakah mereka mau jika diberikan lahan oleh TN sekarang dan mereka memastikan pasti mau. Jadi kesimpulan sementara adalah petani-tersebut masih lapar lahan.
Ø  Petani yang menjadi petani hutan. Umumnya untuk hal ini, mereka adalah yang awalnya bekerja di kota dan karena berbagai alasan dan permasalahan mereka memilih untuk pulang dan bertani di kampung. Ada juga yang karena sudah pensiun dari pekerjaannya, pindah ke kampung untuk bertani.

Pada April 2011 ini pihak TNGHS telah melayangkan surat kepada para petani yang menggarap di lahan taman nasional untuk segera meninggalkan lahan pertaniannya dan tidak akan kembali lagi. Ketika ditanya tentang surat ini, petani menjawab bahwa pihak TN memberikan maklum dan keringanan untuk petani dengan catatan lahan tidak boleh diperluas dan di sela-sela tanaman pertanian harus ditanam dan dipelihara tanaman kehutanan.

Jenis tanaman kehutanan yang paling banyak disebutkan oleh masyarakat adalah rasamala, puspa, dan beberapa mahoni. 
-----
Andi dan Pak Ne'an
Bu Deti, salah seorang responden Dsn Cisarua dan anak2nya.
Makan malam 'Tutut' bersama keluarga 

Anak-anak menyeruput Tutut yang enak :-)

Catatan lainnya:

(Baru saja merapihkan file-file di laptop dan nemu catatan harian penelitianku untuk skripsi dulu. Penelitian yang berjudul "Perubahan Pola Interaksi Masyarakat dengan Hutan ".  Tahun 2011 tepatnya aku melakukannya, tak terasa udah 3 tahun lalu. Daripada ngendon di laptopku mending aku unggah saja di sini. hehehe. Akan aku bagi-bagi beberapa part berdasar hari ).

Mengangkut kayu bakar

HARI 4

01 Juni 2011

Menuju Dusun Leuwi Waluh

Hari ini dimulai pada pukul 8 saat aku bangun pagi dan langsung ditempa sinar mentari pagi yang menyilaukan dibalik gorden jendela. Dimulai dari mencuci baju dan keramas. Sebelum sarapan pagi Ibu Kosih berpamitan untuk pergi ke Sukabumi menjenguk anak adiknya yang sakit sehabis kecelakaan. Kemungkinan ibu pulang malam, dan mempersilakan aku untuk melayani diri sendiri di rumah. Ibu sudah memasak untuk sarapan pagi kami. Untuk makan siang jika ingin memasak nasi goreng juga boleh, nanti ditemani oleh Neng Maryam. Namun siang itu ternyata aku tidak makan, melainkan sore harinya sebelum berangkat ke Leuwi Waluh untuk mencari responden.

Pagi sampai siang aku gunakan untuk menandai kuesioner yang kemarin didapatkan. Aku menandai kuesioner berdasarkan jenis pemilikan lahan, sehingga menjadi 3 kategori. Sebenarnya aku ingin untuk mengkompilasi datanya, namun aku mengalami kesulitan untuk itu. Kesulitan itu adalah untuk menentukan beberapa variabel penduganya, seperti pendapatan, luas lahan. banyak di antara responden tidak mengetahui pasti berapa pendapatan dan luas lahannya. Untuk menduga pendapatan per bulan aku menggunakan pendekatan dari pengeluaran per bulan. Asumsi yang digunakan adalah pendapatan besarnya lebih dari pengeluaran atau minimal sama.

Pada sore hari hujan turun meski tidak terlalu lebat. Hal ini sempat membuatku ragu untuk melanjutkan jalan sore ini. Namun tak berapa lama hujan berhenti dan kami (aku dan andi) bersiap berangkat dengan meminjam motor A Robert. Terimakasih banyak untuk A Robert. Aku janji namanya akan aku tulis di skripsiku. Dan tentu saja untuk Andi, yang membantu banyak dalam proses ini. Selain membantu mengumpulkan data, juga telah mengantarku kemana-mana. Namanya akan aku tulis juga di skripsi J.

Desa Cihamerang - Nyasar di desa tetangga 

Perjalanan dimulai dengan nyasar ke Desa Cihamerang. Hal ini diketahui setelah sekitar 20 menit berjalan dan bertemu  sekitar 7 orang yang berkumpul di sebuah warung. 

Aku bertanya “Punten Pak, Bu, apakah di sini adalah Dusun Leuwi Waluh?”
dan dijawab kompak “ Bukan neng, disini mah sudah masuk Cihamerang, Leuwi waluh mah di atas sana tadi, pas pertigaan naek ke atas”.
“Ohh, jadi saya kebablasan ya, jadi harus kembali lagi?”
“enggak usah neng, terus saja nanti kalau ada portal pertigaan pilih jalan yang naek ke atas, nanti nglewati dusun Pameungpeuk, habis itu baru masuk Leuwiwaluh”
‘ohh, terimakasih”
(jadi aku nyasar nih)

Desa Cihamerang adalah batas sebelah selatan Desa Cipeuteuy. Desa  ini juga berbatasan langsung dengan kawasan TNGHS. Salah satu dusun yang berbatasan langsung adalah Dusun Pameungpeuk. Menurut keterangan dari Pak RT Ucok yang menjadi RT di Kampung Darmaga Dusun Leuwi waluh, masyarakat di dusun Pameungpeuk banyak yang menjadi penggarap di kawasan TNGHS. Hal ini berarti bahwa karakter kedua dusun (Pameungpeuk dan sebagian Leuwiwaluh) memiliki kemiripan. Hal ini disebabkan karena lokasi kedua dusun yang memang sama dalam hal berbatasan dengan taman nasional.

Di Pameungpeuk terdapat sebuah sekolah STM bernama STM Tijaan yang sepertinya menjadi satu-satunya STM di sekitar wilayah ini. Dari keterangan seorang warga yang anaknya bersekolah di sana, biaya perbulan SPP adalah 50 ribu.

Latihan rebana anak madrasah
Sedangkan di Kampung Sawah Dusun Leuwiwaluh terdapat sebuah madrasah yang letaknya bersebelahan dengan rumah Pak Mandor Ukat yang menjabat sebagai Kadus di sini. Kebetulan waktu kesana anak-anak sedang berlatih rebana untuk acara mauludan di kampung tersebut. Acara akan diadakan pada tanggal 19 Juni nanti. Aku pun diundang untuk datang di acara tersebut oleh Pak Ustad yang mengajari rebana. Senangnya.

Pendidikan anak-anak di Desa Cipeuteuy umumnya dobel antara pendidikan resmi dan pendidikan agama non formal. Pada pagi hari anak-anak bersekolah SD yang merupakan sekolah resmi dari pemerintah, dan selanjutnya anak-anak masih  bersekolah madrasah yang biasanya dari siang sampai sore sekitar pukul setengah 4. Anak-anak Pak Kosih pun begitu pula, baik Mela maupun Basar, harus bersekolah 2 kali. Dari cerita Ibu dan anak-anak, sebenarnya anak-anak kecapekan juga dengan sistem itu, namun memang dari dulu sudah biasa begitu. Anak-anak menjadi berkurang waktu main, karena dari pagi sampai sore harus beraktifitas di SD maupun madrasah. Saat libur nasional pun, biasanya mereka masih harus sekolah di madrasah, karena madrasah tidak libur.

Di Kampung Sawah terdapat perusahaan JABON (singkatan dari Jati Ambon) yang usahanya dalam bidang penanaman. Salah seorang pegawainya yaitu Pak Makmur mengatakan bahwa perusahaan ini baru. Upah pekerja 20 ribu per hari dan dibayarkan setiap sepuluh hari. Pekerjaan ini dijadikan pekerjaan utama oleh Pak Makmur karena bekerja di tempat ini memberikan penghasilan yang pasti dan rutin. Bertani hanya sebagai sampingan saja.

Tumpukan log kayu di tepi jalan
Responden pertama ditemui adalah Pak Mandor Ukat. Dari cerita Pak Ukat, dulu warga di Kampung Sawah banyak yang bertani di kawasan kehutanan (pada waktu masih dikelola oleh Perhutani). Pertanian yang dilakukan oleh warga kampung tersebut tidaklah lama, umumnya hanya sampai 1-2 kali musim tanam padi huma yaitu sekitar 1 tahunan. Namun saat ini, hal ini sudah tidak dilakukan lagi karena menurut keterangannya jaraknya terlalu jauh dan hasilnya juga kurang memuaskan.

Hal ini juga disebutkan oleh responden selanjutnya di kampung yang sama, yaitu Pak Jaji, Pak Ocih dan Pak Makmur. Mereka semua pernah menggarap lahan di kawasan hutan, namun saat ini sudah ditinggalkan. Beberapa menyebutkan bahwa bertani di hutan tidak menguntungkan dan rugi karena banyak diserang babi, selain karena juga jarak yang terlalu jauh (sekitar 2 km/1 jam jalan kaki). 

Mereka menyebutkan bahwa masyarakat di Leuwiwaluh yang masih banyak menggunakan kawasan hutan untuk pertanian adalah yang berada di Kampung Darmaga dan Kampung Cilodor yang berada di atas dan berbatasan langsung dengan kawasan hutan. Selanjutnya kami menuju ke Darmaga.
Jalan menuju darmaga menanjak dan berbatu-batu, sekitar 20 menit kami sampai di sana. 

Pemukiman di kampung ini mengelompok, sehingga rumah-rumah ke-39 KK yang berada di kampung ini semua berdekatan. Jarak kampung dari hutan adalah sekitar 200 meter. Sebagian petani di sana menggunakan kawasan hutan yang berbatasan dengan kampung untuk pertanian, biasanya untuk sawah. dari keterangan responden di Kampung ini, umumnya masyarakat memulai menggunakan kawasan hutan tersebut pada waktu setelah dilakukan tebangan tahun 1999. Warga memulai menggarap lahan bekas tebangan sekitar tahun 2000 an. Sebelumnya mereka hanya menggarap lahan milik sendiri atau lahan sewa yang luasnya sangat terbatas.

Pada awalnya, masyarakat tidak berani untuk menggarap lahan tersebut. Namun karena melihat tanah tersebut kosong dan tidak terpakai maka, beberapa masyarakat berinisiatif untuk menggarap lahan itu. Setelah beberapa orang memulai menggarap, masyarakat yang lain mengikuti menggarap lahan itu. Pihak taman nasional (saat ini) sudah melarang kegiatan tersebut, namun masyarakat sampai saat ini masih menggarapnya. Hal ini dikarenakan masyarakat membutuhkan lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Beberapa petani bahkan sama sekali tidak memiliki lahan milik, dan hanya mendapat penghasilan dari bertani di lahan TNGHS. Mereka berharap bahwa pihak TN memahami kondisi mereka yang memang sangat membutuhkan lahan untuk menyambung hidup. Hal ini juga mirip dengan yang terjadi di Kampung Cisalimar2 dimana sebagian besar warga sangat tergantung dengan lahan TNGHS untuk pertanian.

Luas lahan TNGHS yang dimanfaatkan oleh masyarakat tidak terlalu jauh berbeda satu sama lain. sekitar 3 patok atau sekitar 1200 meter persegi. Lokasi lahan dekat dengan sungai yang menjadi perbatasan hutan dan kampung. Beberapa tahun yang lalu pernah diadakan acara penanaman tanaman kehutanan yang diadakan pihak TN. Masyarakat ikut menanamnya.

Hasil hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat sampai saat ini adalah kayu bakar. Masyarakat kampung Darmaga masih mengandalkan kayu sebagai bahan bakar.  Dari dulu mereka memanfaatkan ranting-ranting pohon yang jatuh dan kering untuk bahan bakar sehari-hari. Hanya beberapa warga saja yang memanfaatkan bahan bakar gas, karena selain karena bantuan dari pemerintah yang terbatas, harga bahan bakar juga dianggap mahal. Sebagian mengatakan bahwa bahan bakar dari kayu lebih hemat karena tidak perlu membeli. Pengambilan kayu bakar ini tidak dilarang oleh pihak TN.

Letak Kampung Darmaga ini berada tepat di atas Kampung Gunung Leutik.

Beberapa dokumentasi 01 Juni 2011

Keluarga Pak Jaji dan keluarga


Pak Ukat, Kadus Leuwi Waluh

Warga Dramaga 2


(Baru saja merapihkan file-file di laptop dan nemu catatan harian penelitianku untuk skripsi dulu. Penelitian yang berjudul "Perubahan Pola Interaksi Masyarakat dengan Hutan ".  Tahun 2011 tepatnya aku melakukannya, tak terasa udah 3 tahun lalu. Daripada ngendon di laptopku mending aku unggah saja di sini. hehehe. Akan aku bagi-bagi beberapa part berdasar hari )

Persawahan di Sukagalih, Cipeuteuy 

Hari 2

Minggu, 15 Mei 2011

Hari ini minggu, dimulai dari setengah tujuh pagi. bangun pagi dengan sapaan mentari yang langsung menyilaukan jendela timur dari kamar tempat aku menginap di rumah berlantai dua milik orang tua A Kosar.
Hari ini rencana untuk jalan-jalan. Dalam bahasa  penelitian aku pakai istilah observasi. Obyek observasi adalah pola pemukiman warga, pola pertanian di dalam dan luar kawasan hutan, serta sosek nya. 
Hari ini tidak banyak yang bisa kutulis. Buntu rasanya. Perlu mungkin sesekali seperti ini :-(  

Aku pun pulang ke Bogor dulu untuk kemudian balik lagi 2 minggu lagi :-) 


 ________________REAL FIELD WORK_______________________

HARI 3

Senin, 30 Mei 2011

Hari ini adalah hari pertama aku memulai mengumpulkan data di lapangan. Dalam rencana dua minggu ini, aku akan mengoptimalkan waktu dan tenaga serta pikiran untuk tugas ini. J

Berangkat dari bogor jam setengah delapan pagi dan sampai di lokasi pukul sebelas kurang sepuluh menit. setelah berbincang-bincang sebentar, dilanjutkan agenda pertama yaitu mengurusi surat perijinan kepada pemerintah desa. Dari alur surat yang dianjurkan oleh kampus, seharusnya harus mengurus perijinan terlebih dahulu ke linmas kabupaten untuk selanjutnya tembusan ke kepala desa. Surat untuk kepala desa pun sebenarnya ditujukan kepada linmas kabupaten. Namun dengan pertimbangan jauhnya jarak kantor pemda yaitu di Pelabuhan Ratu, maka aku mencoba untuk langsung tembak ke desa. Dan hasilnya pun memuaskan, ijin langsung didapatkan dan agenda selanjutnya langsung dapat secara resmi dilakukan.

·         Data monografi desa sudah sebagian didapatkan. Saat ini di kantor kelurahan sudah dapat meminta data dalam bentuk print out, sehingga tidak perlu lagi mencatat atau poto kopi. Data ini sebagai bahan untuk kondisi umum. Design penelitian untuk penarikan contoh berdasarkan jumlah KK dengan tipe kepemilikan lahan tidak bisa dilakukan karena kebanyakan petani yang menggarap lahan perkebunan tidak terdaftar, sehingga cara ini ditinggalkan. Data kepemilikan lahan yang terdapat di kelurahan hanya lah lahan masyarakat yang memiliki sertifikat/akta jual beli/girik/SPPT.

·         Wawancara dilakukan pada sore hari dengan pertimbangan bahwa jika waktu pagi-siang banyak masyarakat yang bekerja di lahan pertanian. Jam 4 sore kami (aku, Izah, Andi, Mbak Itok) berjalan menuju calon responden pertama yaitu Pak Basri yang rumahnya sekitar 30 meter-an dari rumah A Kosar. Pak Basri adalah ustaz di lingkungannya dan lebih dikenal dengan Ustaz Basri. Kebetulan sekali rumah Pak Basri juga bersebelahan dengan musholla yang menurutku tidak terlihat seperti musholla karena kondisinya yang cukup tua dengan tembok yang mulai lapuk. Hari ini Pak Basri tidak ada di rumah dan sedang di rumah anaknya di Tangerang. Dan wawancara dilakukan dengan istrinya yaitu Ibu Rohanah.

·         Ibu Rohanah adalah orang yang ramah dan suka bercerita. Senang sekali mengobrol dengan dia, namun karena kendala bahasa, perjalanan wawancara menjadi kurang lancar. Pak Basri dulu adalah seorang Polisi khusus atau polisi hutan yang bekerja di Perhutani. Bapak bekerja di Perhutani membantu perhutani dalam penjualan kayu2 jika ada tebangan. Saat ini bapak basri bekerja sebagai petani dengan lahan milik dan eks HGU dengan luas yang cukup besar sampai ada lahan yang terlantar di daerah yang cukup jauh.
Interaksi yang dilakukan dulu adalah pengambilan kayu (pembelian kayu) di hutan perhutani sewaktu ada tebangan kira-kira 30 tahun yang lalu. Sekitar tahun 1980-an. Bapak tidak bertani di hutan maupun memanfaatkan hasil hutan lain.

Informasi dari Ibu Roh, dahulu pada awal pemakaian lahan eks HGU oleh masyarakat sekitar tahun 96-97 terdapat beberapa oknum di masyarakat yang meminta pungutan dari pemakaian lahan tersebut. Namun hal itu hanya sebentar terjadi karena masyarakat mengetahui bahwa pungutan itu tidak resmi dan hanya untuk kepentingan pribadi oknum tersebut. Saat ini lahan tersebut bebas pajak, bahkan sudah mulai diperjual belikan.

·         Pada malam hari kami mengikuti pelatihan koprasi yang dilakukan oleh Telapak terhadap 5 dusun di desa ini. Sepertinya masyarakat tertarik untuk membentuk koprasi. Di acara ini, sempat bertemu Pak Otoy yang 2 minggu lalu sempat memberikan banyak informasi tentang tumpang sari jaman dulu sebelum dia tinggalkan.


·         Bertemu dengan Pak Nana yang adalah sama seperti Pak Otoy, dahulunya adalah petani penggarap lahan perhutani yang sekarang beralih bertani di lahan eks HGU. Rencananya besok sore atau malam, aku akan mewawancarainya. Semoga bisa bertemu.



(Baru saja merapihkan file-file di laptop dan nemu catatan harian penelitianku untuk skripsi dulu. Penelitian yang berjudul "Perubahan Pola Interaksi Masyarakat dengan Hutan ".  Tahun 2011 tepatnya aku melakukannya, tak terasa udah 3 tahun lalu. Daripada ngendon di laptopku mending aku unggah saja di sini. hehehe. Akan aku bagi-bagi beberapa part berdasar hari )
Desa Cipeuteuy, Kabandungan, Sukabumi berbatas TNGHS

HARI 1
Sabtu, 14 Mei 2011

Setelah  keraguan untuk mendatangi Cipeteuy hari ini, ternyata aku jadi juga datang ke tempat ini. Sekitar 4 jam perjalanan dengan motor sewaan melalui jalanan sukabumi yang macet. Terimakasih banyak untuk Benn Siregar, karena hanya dengan kebaikannya dan kesediaanya untuk mengantarku kesini, aku dapat sampai di desa ini dengan baik. Thanks a lot.

Jam 4 sore, aku sampai di Desa Cipeteuy dan langsung menuju rumah A Kosar. Beruntung sekali aku langsung dapat menemuinya. Langsung ke poin penting hari ini, yaitu tujuanku untuk menjajagi penelitian yang akan mengantarku menjadi seorang sarjana (Amiinnnn).

Dalam trip pertamaku ini, tujuanku adalah :
1.       Untuk mengetahui apakah terjadi perubahan pola interaksi antara masyarakat dengan hutan berdasarkan design  pola yang telah dibuat: yaitu berdasarkan penggunaan lahan.
2.      Jika terjadi perubahan, bagaimanakah bentuk2 pola interaksi dan perubahannya yang dilakukan oleh masyarakat terhadap hutan
3.       Mendapatkan daftar orang-orang yang melakukan perubahan interaksi dengan hutan.

Dari ketiga tujuan tersebut, yang pertama cukup menyenangkan jawaban yang kuperoleh, karena pada obrolan pertama dengan A Kosar yang aku kategorikan sebagai seorang tokoh desa mengiyakan asumsiku. Asumsi bahwa di desa ini telah terjadi perubahan pola interaksi seperti yang aku bayangkan.

Hasil diskusiku dengan A Kosar hari ini:

-          Hutan di desa ini semuanya merupakan hutan bagian dari kawasan TNGHS yang sebelumnya berstatus Perhutani. Batas desa berada di tengah hutan (saat ini sedang ada kegiatan pemetaan batas luar desa) --(Cari peta eks Perhutani dan batas desa. Lokasi dilakukan PHBM. (di kantor Perhutani? Internet? ) )

-          Pemanfaatan hutan/lahan hutan oleh masyarakat melalui skema PHBM yang dimulai sejak tahun ? . pemanfaatan lahan berupa tumpang sari, dll. Dusun2 yang paling banyak masyarakat ikut PHBM adalah Dsn Leuwiwaluh, Pandan Arum, dan Cisarua. Hal ini terkait dengan lokasi dusun yang lebih dekat dan berbatasan langsung dengan hutan. Sedangkan dusun Cipeteuy dan Arendah lebih sedikit yang ikut PHBM.  ---(Cari informasi tentang Program Perhutanan Sosial dan PHBM. Esp Di Cipeteuy)

-          Perubahan pemanfaatan lahan hutan oleh masyarakat terjadi. Jika dikaitkan dengan definisi perubahan pola interaksi yang dibuat sbb:
ü  Dari petani pengguna lahan menjadi tidak. Hal ini terjadi pada beberapa petani yang dahulunya mengikuti program PHBM, namun saat ini telah menghentikan aktifitas tersebut. Info lebih lanjut dapat menghubungi Kepala Dusun Cipeteuy Bapak Otoy yang termasuk dalam golongan ini. Pak Otoy adalah petani di hutan di Dusun Cisarua.
ü  dari tanpa penggunaan lahan menjadi pengguna lahan. masyarakat yang awalnya bekerja di perkotaan (sebagai buruh, pedagang, penambang,dll) kembali pulang ke desa dan memilih untuk bertani di hutan dan ikut dalam program PHBM. Alasan yang digunakan umumnya adalah karena penghasilan di kota juga tidak memberikan hasil banyak, sedangkan mereka juga harus lama jauh dari rumah.  Hal ini terjadi kampung Cisalimar1, Cisalimar2, dan sekitarnya. ---(Wawancara tokoh Kampung Cisalimar, dan terkait)
ü  Penggunaan lahah untuk pertanian terbuka (kebun sayur, sawah) juga terjadi di dusun Leuwiwaluh.

-          Informasi tentang Perhutani dapat di akses di Kantor KPH di Cicurug. Sedang informasi dari perorangan yaitu dapat menghubungi Pak Endang (saat ini masih bekerja di Perhutani) dan Pak Ne’an yang dulu bekerja sebagai mandor Perhutani (kemungkinan Pak Ne’an mempunyai dokumen tentang PHBM). Keduanya tinggal di Dusun Cisarua.

-          Pernah dilaksanakan program MKK di desa ini, namun dinilai kurang berhasil cenderung gagal dan tidak berkontribusi apapun.
-          Konflik terbaru pada April 2011, program penghijauan oleh TN dan BPDAS ditentang oleh masyarakat karena kurangnya pendekatan dan sosialisasi yang baik kepada  masyarakat.
-          Kepala Desa Pak Acun Sunandar dapat menjadi sumber informasi, versi resmi pemerintah desa
-          Tidak ada tokoh desa yang besar yang mampu memobilasi massa. Masyarakat cenderung sendiri2.
-          Sebagian warga pendatang adalah warga yang membeli tanah eks HGU Intan Hepta. 

Next hari 2