23 Mei 2013


Seharian di perjalanan yang lumayan lancar. Sudah pagi-pagi benar aku terbangun. Jam 6. Kabut di luar masih tebal menyelimuti bukit-bukit. Aku masih berhutang menuliskan sejarah panjang Bada yang harus keselesaikan sebelum aku pulang. Di pagi yang masih rabun itu, aku sudah harus menghidupkan layar dan mulai mengetik. Bersyukur karena ternyata kemudian Ibu Femmy langsung membawakan segelas kopi susu hangat. Pas sekali menemani pagi ini.

Sekitar 15 menit aku memulai khusyu’ memandang layar dan menarikan jari di keyboard, Praska datang. Dari matanya yang masih sembab, terlihat kesan bahwa dia belum lama terbangun dari tidur, bahkan belum sempat mencuci muka. Meskipun begitu, Praska tetap cool. J .

Kuberikan topi NordWand kesayanganku pada Praska sebagai  kenang-kenangan. Karena kutahu dia sering bermain-main di luar rumah, di bawah terik mentari Bada, maka kupikir sebuah topi akan bisa menjadi salah satu teman baiknya yang berguna. Lalu Gledis kuberikan seperangkat spidol dan stabilo. Ya,.. karena dia suka menggambar dan mewarnai. Tiba-tiba perasaan segan untuk berpisah kembali hadir. Huhh,...



Jam 8 pagi kami berangkat ke Gintu. Mobil travel yang akan mengantarku ke Palu akan menjemputku dari Gintu. Seperti biasa aku dibonceng Bang Adi. Hampir sejam kemudian, kami sampai di Gintu.
Tidak seperti kemarin, suasana rumah di Gintu cukup ramai. Ada beberapa orang di rumah itu. Perbincangan pun dimulai dengan suasana meriah. Kedatangan Pak Obet, masih saudara juga dengan Ibu Femmy membuat suasana semakin meriah. Pak Obet ini sungguh lucu. Namun demikian dia juga sangat cerdas. Beberapa kali dia melemparkan joke-joke yang sebenarnya sangat kritis namun menjadi lucu karena pembawaannya. Dia membahas tentang kekhawatiran maraknya penjualan tanah di Bada kepada para pendatang, kesenjangan ekonomi yang bisa saja muncul karena pendatang umumnya lebih maju daripada pribumi, dan situs-situs arkeologi yang mungkin saja memiliki motif terselubung pengangkutan pusaka Tampo  Bada’ ke luar wilayahnya. Uhh, pokoknya tema-tema krusial deh. Hanya saja tetap lucu dan membuat orang terbahak-bahak.

Baru kemudian aku tahu kalau Bang Obet ini adalah mantan polisi. J
Jam 10 mobil muncul. Aku berpamitan dengan semua orang di rumah itu. Aku masuk mobil dan berangkat. Beberapa kali mobil berhenti: mengantarkan barang, mengambil titipan  orang-orang, menjemput penumpang, dll. Baru sekitar jam 11.30 mobil benar-benar beranjak meninggalkan Bada. Nama sopir adalah Iksan, pemuda 25 tahun berkuiit gelap dengan potongan rambut gaya Kangen Band. Namun demikian, selera musiknya lumayan J, bukan Kangen Band juga. Ini terdengar dari musik-musik yang disetelnya di mobil. Wkwkwk.
---
Jalan masih rusak, bahkan di beberapa tempat muncul bekas longsoran baru yang membuat jalan rusak itu menjadi lebih sempit. Sempat ada sebuah bus butut pengangkut barang yang kesulitan melewati jalan sempit bekas longsoran. Iksan dan temannya turun membantu evakuasi bus itu dan aku ikut turun menontonnya. Ngeri juga melihat bus yang hampir jatuh melayang ke jurang itu. Tapi syukurlah semua bisa diatasi.
---
Jam 3 sore kami sampai di Tentena. Perjalanan lanjut ke Poso. Di Poso, suasananya mencekam. Beberapa spanduk besar bergambar foto-foto DPO yang katanya teroris. Wooo,... ngeri sekali terlebih jika melihat tentara-tentara yang lalu lalang menyandang senapannya.
---
Poso berlalu dan perjalanan dilanjutkan. Malam ini terang bulan, cerah tanpa hujan. Semilir angin malam membuatku ngantuk dan terlelap di perjalanan. Sesekali terbangun ketika sang sopir dengan lincahnya membelok-belokkan mobilnya di tikungan-tikungan tajam dengan kecepatan yang menurutku cukup tinggi.
--
Padi buta aku sampai di Palu. Aku mencari penginapan dibantu oleh Iksan. Cukup usaha juga karena ternyata banyak penginapan yang penuh. Mungkin sedang ada acara entah apalah yang membooking semua kamar-kamar penginapan ini. Beruntung masih ada penginapan yang masih menyediakan kamar kosong. Penginapan Kartika di Jalan W. Mongisidi.
--
Setelah mandi akupun tidur. Perjalanan hari ini membuatku ngantuk dan berat mata.

Selamat tidur. Biarkan bulan di luar sana bersinar purnama. Cukuplah aku tertidur dalam pulas istirahat yang membawa energi baruku esok hari.




"Ibarat tiga ekor burung yang sedang terbang berkejaran. Burung yang paling di depan adalah dunia, burung yang kedua adalah manusia, burung  yang terakhir adalah kematian. Burung yang kedua selalu mengejar burung yang pertama, dan burung yang ketiga selalu mengikuti dari belakangnya. Ketika manusia mengejar dunia, dia juga harus sadar bahwa kematian selalu membuntuti di belakangnya."

Pelajaran berharga hari ini kudapatkan dari "Rojer", tukang jual rokok, tisu dan pulsa keliling di lingkungan kampus IPB yang katanya kampus bebas rokok. Bukan rokok, bukan pula pedagang atau masalah kampus yang membuatku tertarik, namun ucapan2 Rojer yang membuatku berpikir beberapa hal.

Siang itu, setelah beberapa jam berkutat dengan pekerjaan di depan laptop di perpustakaan IPB, aku memutuskan untuk makan siang di Kantin Kornita di Fakultas Kehutanan. Karena bukan mahasiswa lagi, maka tidak heran ketika tiba di sana aku memilih untuk duduk sendiri. Ya, tidak ada yang kukenal kecuali  beberapa pedagangnya saja. Ketika itulah kulihat Rojer, si pedagang keliling rokok. Dipanggil dengan sebutan "Rojer" karena setiap dia lewat untuk berjualan selalu berteriak "Rojer Rojer". Dia pun duduk dekat denganku. Sedikit obrolan ringan sekedar sapaan hingga akhirnya berkembang menjadi kuliah kehidupan. Bukan aku dosennya, sepertinya di sini aku merasa menjadi murid dari si Rojer.


Dengan lancar Rojer menceritakan tentang dirinya. Bagaimana dia bekerja sudah bertahun-tahun dengan berjualan barang dagangannya dan bagaimana dia menjalani hidupnya yang yaa,..... begitu-be gitu saja. Bukan keluhan! Hanya pernyataan. Satu hal darinya. Dia selalu mengikuti pengajian, dia selalu mengikuti diskusi  dan ceramah agama.  Tidak hanya di satu tempat, tapi di beberapa tempat dengan imam/ kyai yang berbeda. Dan dari sanalah kemudian dia memberitahuku banyak hal. Filosofi dunia, hidup, dan mati dalam analogi tiga burung yang terbang berkejaran itulah salah satunya. Dia dapatkan analogi itu dari seorang kyai yang dia tidak ingat lagi namanya.

Tentu saja aku juga banyak bertanya. Selalu dengan intro jawaban yang sama:

"Makanya ngajiii!!! biar nambah ilmunya...."

Haaa,.... Sungguh siang yang indah. Bukan hal baru sebenarnya. Apa yang Rojer sampaikan adalah sesuatu yang pernah kudengar juga. Namun rasanya semua itu menjadi baru ketika itu kudengar dari orang yang tak terduga.

 Ilmu memang tak terbatas. Dia di mana saja, kapan saja, di siapa saja. Tergantung kita, bisa menerimanya atau tidak. Jika mengutip kata Masriadi, "Dunia ini ibaratnya adalah bank data, semuanya ada. Tergantung kita, apakah bisa memiliki software yang tepat untuk membuka data itu". Rasa-rasanya, siang ini aku dapat  memiliki software sederhana untuk membuka sedikit data yang tersimpan di Rojer. hehehe...

--------------------
Sebelum pulang kutanya nama asli Rojer. Sambil mengelak dia hanya memberikan petunjuk: "Pokoknya huruf depannya C dan belakangnya P". Ini sih sangat gampang. "CECEP" tembakku dengan sangat yakin. apa lagi coba nama yang cocok buat orang Sunda? dan ternyata tebakanku tidak meleset..

Terimakasih ya Bang Cecep alias Rojer, untuk siang ini.



22 Mei 2013


Yey,... Besok kembali!! (Ke Palu J)

Antara senang dan juga sedih. Rasanya belum puas berada di Tuare dan di Bada. Namun waktu berlalu seperti tidak punya toleransi. Semuanya begitu cepat berlalu. Sudah menuju hari-hari deadline. Bisakah? Pasti bisa!

Aku bangun kesiangan lagi. Jam 8.00. Tidak bisa kusalahkan hari kemarin yang melelahkan, tak bisa juga kusalahkan kebiasaan, namun gara-gara kesiangan hari ini rencanaku untuk melihat fajar di Bada tertunda lagi. Kesempatan terakhirku adalah besok. Bisakah? Pasti bisa! (menulis sambil penuh keraguan J).

---- Aku menulis catatan ini sudah jam 12 malam. Beberapa saat lalu genset dimatikan. Ada lampu bertenaga aki di kamarku. Lumayan untuk penerangan di meja kerjaku. Binatang-binatang kecil yang terbang mengerumuni cahaya benar-benar menjadi teman, meski kadang membuatku gatal-gatal dengan gigitannya.---------

Hari ini diajak ke kebun coklat milik Mama Dini. Akupun ikut. Akhirnya aku menaiki gerobak kayu yang ditarik dua ekor sapi. Awalnya kurasa kasihan pada sapi-sapi itu, tapi memang sudah tugas mereka dari dulu ya begitu itu. “Yang sabar dan kuat ya wahai sapi-sapi!” J. Gerobak dikendarai oleh Om-nya Dini. Penumpangnya ada tiga: aku, Mama Dini, Gledis. Jalan menuju kebun cukup jauh dan di beberapa tempat becek banget. Di sepanjang perjalanan hanya ada kakao, sedikit kebun kopi, dan pohon-pohon hutan.

Ramai orang di beberapa titik sepanjang perjalanan: kelompok ibu yang sedang mengupas coklat, pemuda yang sedang membersihkan lahan, beberapa pemanen coklat. Setelah sekitar 20-30 menit kami sampai kebun Papa Dini. Kebun coklat yang cukup luas di tepi Sungai Leiriang. Di sana sudah ada empat orang, termasuk Papa Dini dan Kak Titi. Nampaknya mereka sedang beristirahat dari kerjanya. Pondok tempat berisitirahat cukup besar.

Ibu Femmy pun menyusul, kemudian Praska dan beberapa pemuda. Woo,.. rame jadinya. Kamipun makan siang bersama..


(OMG, jari-jariku rasanya kaku ngetik. Ngantukkk)

Pondok di kebun coklat

Jam 3 aku pulang kembali ke kampung, dibonceng motor boti : Papa Dini, aku, Gledis. Di tengah jalan aku disengat tawon. Sumpah sakitttt. Kepala langsung pusing dan kliyengan. Dan ternyata langsung bengkak. Hemm,.... oleh-oleh nih.
---

Malampun tiba. Aku diajak Ibu Femmy ke kepala desa. Niatnya mau pamitan. Namun kepala desa sedang di Gintu. Lanjut kami mengunjungi Om-nya Ibu Femi bernama Pak Adrianus S (S apa ya?). Dulunya beliau adalah Polhut, pensiun 2 tahun lalu. Sempat kami bercerita tentang hutan-hutan di sekitar Bada. Pak Adrianus pernah menyusuri hutan bahkan sampai Wumbu Wana. Woooww,...
---

Ketika pulang kutengadahkan langit malam purnama yang cerah. Bulang begitu cantik nangkring di langit sana. Suasana desa yang tak teraliri listrik ini seakan mendapatkan berkah dari cahaya Dewi Bulan. J. Romantis banget. Andai saja oh andai saja,.. mulai ngalamun...
Sampai di rumah, Ibu Femmy langsung meminjamkan baju adat miliknya. Aku berfoto dengan baju adat Bada. Hehehehe.... Meski tanpa make-up sedikitpun aku tetap akan bertekad meng-upload foto berharga ini.
---

Ketika jam setengah 10, aku kembali ke kamar dan mulai menulis. Belum berapa lama, kamarku diketuk. Rupanya Roni dan Jupy (yang tadi aku temui di kebun) hendak meminta file film. Oke deh, sekalian saja bertukar kontak. Jadilah kami ngobrol. Cukup lama juga, sambil menunggu transfer data. Alamat FB sudah kusimpan. Amann...
---
Sudah malam, saatnya berpamitan.
---
Ingin kuselesaikan tulisan yang belum selesai.
----
Genset mati, hewan-hewan kecil berlalu lalang. Kadang-kadang hewan terbang ini bagaikan pesawat yang gedubrukan menabrak mukaku. Hehehe,..
Semangat!!!

--- 

21 Mei 2013

Menelusur Sejarah (II)


Aku dan Pak H Mangela
Episode sejarah kembali lagi hadir di hari ini. Simpang siur yang 3 hari lalu membuatku pusing akhirnya hari ini terurai sudah. Terimakasih tentunya untuk nara sumber yang sangat fasih menceritakan kisah sejarah : Bapak Hendrik Mangela. Hari ini adalah episode khusus untuk Bapak satu ini.
--
Hari ini, sesuai rencana, kami akan memperbaiki kisah sejarah yang simpang siur. Yah, ingin kutekankan lagi bahwa meskipun sejarah bukan menjadi inti dari buku yang harus kutulis, namun unsur sejarah menjadi satu hal yang juga krusial. Penting. Menuliskan sejarah pun ternyata tidak semudah yang kubayangkan. Namun hari ini aku banyak belajar. Akupun berangkat dari Tuare jam 10.00, setelah Ibu Femi selesai mengajar di SD. Hari ini aku dipertemukan dengan Bapak Hendrik Mangela yang bertempat tinggal di Pada. Desa yang cukup jauh juga dari Tuare.

Seperti kemarin, kami menggunakan dua motor: aku berboncengan dengan Bang Adi, Ibu Femi menyetir sendiri. Semalam tidak hujan, jalan sedikit lebih kering dari kemarin-kemarin. Namun tetap saja di titik terlicin jalur Kageroa-Lengkeka, Ibu Femi menyerahkan motornya untuk diseberangkan oleh Bang Adi di jalan licin tersebut. Kami beristirahat sejenak di Gintu dan meneruskan perjalanan ke Pada. Langit cerah biru, awan putih, bukit-bukit hijau, udara panas.

Sesampainya di kediaman Pak Mangela, ternyata yang dicari tidak ada. Beliau sedang di Gintu, sedang ada pekerjaan penterjemahan Al Kitab ke Bahasa Bada yang menjadi tanggung jawabnya. Inilah resiko bertamu tanpa pemberitahuan. Hehehe... Jadinya untung-untungan. Kami memutuskan untuk ke Gintu saja, menyusul Pak Mangela.


Sebelum ke Gintu, Ibu Femi mengajakku ke Bomba untuk sejenak melihat situs penggalian arkeologi di dekat wilayah tersebut. Jalan menuju situs adalah jembatan gantung selebar 1 meter-an yang bergoyang-goyang jika dilewati orang. Jembatan gantung itu melintasi Sungai Tuare yang cukup lebar. Cukup deg-degan juga ketika jembatan berayu karena ada motor yang lewat. Sampailah di ujung jembatan dan rasanya lega sekali. Kulihat ada sebuah tulisan selamat datang. Ternyata lokasi yang dimaksud ini sudah masuk wilayah Desa Kolori.

Hanya sekitar 15 menit kami melihat situs  tersebut. Sepertinya barang-barang bekas penggalian tersebut adalah gerabah/ tembikar di masa lalu. Katanya barang-barang seperti ini memang banyak tersimpan, terkubur di tanah di Lembah Bada ini. Bahkan lokasi situs yang kami kunjungi hari ini terletak di halaman rumah orang. Betapa lembah yang penuh dengan misteri.

Kamipun kembali,..

Sempat mampir di Bewa, mencari-cari sinyal. Sial-nya hari ini aku lupa bawa HP. SShhh,.... Kebiasaan buruk!!! Jadilah aku menonton saja orang-orang yang berburu sinyal terbatas ini. Jika kuperhatikan betul-betul, hal ini unik juga. Motor-motor diparkir di tepi-tepi jalan dan orang-orang yang hampir semuanya memegang HP.

 
Mencari sinyal HP
  
Perjalanan dilanjutkan dan kami ke Gintu ujung. Kami menemui Pak Mangela di rumah Ibu Ita yang ternyata adalah pengurus AMAN juga di Bada. Sembari aku mengobrol dengan Bapak Mangela, Ibu Ita dan Ibu Femi berbincang di luar. Ya, aku dan Bapak Mangela mengobrol sebentar. Kami janjianuntuk bertemu lagi malam harinya. Kisah sejarah ini agak panjang dan saat ini beliau sedang bekerja jadi tidak bisa fokus untuk menceritakannya. Okeee...

Jadilah kami menunggu malam di Gintu. Sempat juga aku diajak ke rumah Bapak Leky Tompa, kakak Ibu Femi yang juga sekretaris MHTB, juga guru SMA di Bada. (Anak bungsu perempuan Bapak Leky bernama Caca sangat lucu sekali. Imut banget.) Bapak Leky memiliki rumah yang cukup luas. Di sini jugalah banyak keponakan dan keluarganya bertempat tinggal. Aku sempat mengobrolkan banyak hal dengan Bapak Leky: kakao, keluarga, pendidikan, pekerjaan, dan isu-isu terkini. Yahh,, lumayanlah untuk update berita dan nambah-nambah informasi.

Ketika senja kami kembali dan berapa lama kemudian berangkat ke Pada. Sesampai di tujuan, Bapak Mangela sudah menyambut kami, juga anjing galak miliknya yang dirantai. Gonggongannya cukup keras dan cukup untuk menakutiku jika saja dia tidak dirantai. Oke, lanjut,...

Bapak Hendrik Mangela, Nara Sumber sejarah


Aku meminta Bapak Mangela untuk menceritakan dan aku mencatat. Aku akan anggap versi sejarah yang pernah kutahu dan simpang siur itu tidak ada. Jadi semuanya dimulai dari nol. Mulailah kisah dituturkan. Ini dia ceritanya:

...... PRE –MEMORY (mirip di latihan-latihan upacara bendera, maka bagian ini akan aku skip saja. Pekerjaan khusus di lembar terpisah)....

Pada intinya adalah sejarah asal-usul yang dituturkan oleh Bapak Mangela lebih runut, lebih masuk akal karena tidak mengandung unsur dongeng dan magis, dan sesuai dengan periode sejarah di lain tempat. Nara sumber yang bisa dipercaya. Beliau dulu pernah jadi penilik sejarah selama 16 tahun dan juga kepala Depdikbud sampai akhir 2002. Beliau sudah berkutat dengan sejarah sejak dari muda, tidak heran jika saat ini ketika usianya mencapai 68 tahun beliau sangat fasih melafalkan sejarah tanah kelahirannya. Salute..


Setelah selesai, kami pulang. Mampir sebentar di Gintu untuk makan malam dan lanjutkan perjalanan ke Tuare, di tengah-tengah gerimis malam. Jalan malam cukup memberikan suasana yang benar-benar lain. Rasanya lebih lama sampai di tujuan. Badan sudah lelah dan pegal-pegal. Ketika kulihat ada tanda perbatasan desa Tuare, sungguh lega rasanya.

Jam 22.30. Kami baru tiba di Tuare.
(Praska langsung menyambut mama-nya. Anak yang baik J)

Oh Tuhan. Apa yang  harus kulakukan? Ketika aku mulai membuka laptop, jam sudah mulai menunjukkan malam tua. Aku juga lelah sekali. Tapi kisah hari ini serasa menumpuk tidak hanya di buku catatanku, tapi juga di otakku. Whoaaa,......

Ibu Femmy bilang sebaiknya aku tidur dan istirahat. Besok adalah hari istirahat. Ya, aku setuju dengan Ibu Femmy. Minimal catatan harian 15-20 menit.

Tidak terasa besok sudah harus kembali.



Tiba-tiba teringat Mahameru. Ehm, sungguh pesona beku puncak Semeru ini selalu menjadi angan-anganku. Suatu saat nanti pasti akan ke sana lagi. Meski hanya hitam, putih, abu-abu, namun di atas sana serasa sebuah dunia lain yang indah. Indah dalam bekunya, dalam sunyinya, dalam horison tanpa batasnya.

Yuk, mendaki gunung lagi,....

Mahameru, Januari '13 photo taken by Sandi Bakti





20 Mei 2013

Akhirnya ke Kageroa juga,...

Tiba-tiba tanggal sudah di Mei ini sudah berkepala “2”. Waktuku semakin sempit saja. Waktu yang diberikan untukku sebenarnya ingin kutawar lagi. Rasanya ingin lebih dan lebih. Tak ada rasa bosan ataupun beban. Yang kutahu hanya aku betah di sini. Yah, mungkin saja karena mungkin baru genap seminggu aku tinggal di sini. Banyak hal yang belum kutahu yang membuatku selalu ingin lebih dekat. Mungkin penasaran.

Pagi seperti biasanya tidak menyisakan sedikitpun bekas fajar untukku. Rekor bangun pagiku di sini adalah jam 6 (pas tim UKP3 datang) dan ketika itu matahari sudah memberikan warna asli bagi alam ini: hijau, biru putih. Bukan warna magis merah keemasan yang selalu menyihirku ketika kulayangkan pandang ke arah timur. Ahh,... suasana itu,...  Bangun pagi bagiku saat ini adalah kemewahan. Harga yang harus kubayar adalah begadang semalaman. Ketika begadang sampai pagi itulah mungkin aku sempat bersua dengan fajar. Untuk kemudian tidur lagi karena kelelahan. Haaa,...
Sarapan pagi nan lezat...
------ 
Hari ini harus ke Kageroa!!!!
-----

Siang ini aku ikut mandi di kuala (Bahasa Gimpu untuk sungai, Bahasa Bada= Uwai) bersama Praska, Vira dan Gledis. Akhirnya ada juga sesi mandi di sungai. Hehehe,... Kegiatan inilah yang hampir tak pernah luput aku lakukan jika sedang ada kegiatan di lapangan. Jika sudah ikut mandi di sungai, rasanya ada ikatan batin dengan tempat dan orang-orangnya. Itulah yang selalu kurasakan. (Selalu teringat ketika mandi di sungai dangkal di  Krui, mandi dengan selang sakti di Melinsum atau mandi air gambut berwarna hitam di Teluk Meranti). Semua momen-momen mandi itu selalu melekat dalam ingatanku.
Karena itu, marilah mandi di sungai. Tak perlu bersabun dan bersampo. Berenang hilir mudik juga sudah menyenangkan. Atau bisa juga bermain istana pasir di ‘pantai’ sungai.

Ketika mandi, kulihat ada dua orang perempuan sedang melakukan aktivitas domestik: mencuci piring, mencuci pakaian, dan mandi. Meskipun kebanyakan rumah telah memiliki  toilet dan fasilitas MCK sendiri dan ada juga bak-bak penampungan air komunal, namun sepertinya beberapa warga masih memilih sungai untuk keperluan domestiknya. Meskipun kulihat hal ini sudah sangat jarang.


---Kageroa; Pembagian wilayah Adat (Bapak Apolus Wengkau)

Menjelang sore aku ditemani Ibu Femi berangkat ke Desa Kageroa. Beruntung sore ini tidak hujan sehingga perjalanan lumayan lancar. Aku berangkat ditemani oleh Roni, adiknya Bang Adi. Setelah kuperhatikan dengan seksama, kakak-beradik ini memiliki model rambut yang sama. Hahaha,..

Kami sampai di rumah Bapak Apolus Wengkau. Beliau adalah ketua DPD-MHTB di Kageroa. Dulunya, beliau pernah menjabat kepala desa. Yap, Bapak ini termasuk salah satu orang yang dituakan, yang dihormati. Dia jugalah yang menjelaskan tentang sistem pembagian wilayah hutan Bada di acara upacara penyambutan tempo hari. Seperti sudah meramalkan kedatangan kami, Bapak Apolus seperti sedang menunggu kami dengan duduk di ruang tamu rumah kayunya. Rumah panggung dari kayu yang seperti rumah antik di antara rumah-rumah yang mulai bergaya ‘modern’.


Kami masuk dan mulailah Ibu Femi menjelaskan maksud kedatangan kami. Langsung ke pokok permasalahan dan kamipun membahas tentang pembagian wilayah hutan.  Satu hal yang paling membuatku sedikit kaget dan juga tersenyum geli adalah ketika kami membahas Bulu Limbo. Kira-kira begini ceritanya:



Bulu limbo adalah bagian di puncak bukit yang terdapat danau kecil/ kolam. Bulu=bukit, Limbo=kolam. Wilayah ini termasuk dalam wilayah komunal yang tidak boleh sembarangan diolah. Dalam file yang kuterima sebelumnya, di Bulu Limbo ini banyak ditumbuhi tanaman kacang. Kacang? Sejak pertama aku sudah heran, kenapa kacang bisa tumbuh di air/ pucuk bukit? Ternyata dan oh ternyata, pertanyaanku terjawab sudah oleh Bapak Apolus. Yang banyak tumbuh di Bulu Limbo adalah Pohon Kacang.Yah, dengan huruf tebal agar jelas. Pohon Kacang ini adalah nama pohon (entah nama latinnya) yang banyak tumbuh di Bulu Limbo. Kayu pohon ini adalah salah satu yang bisa digunakan untuk membuat rumah (ramuan rumah). Meskipun sama-sama kacang, namun maknanya sudah sangat lain. Kupikir, kita harus berhati-hati dalam merekam informasi yang kita dapat. Kesalahan yang sepertinya kecil ini, ternyata tidak sekecil yang terkira. Itu yang kupikirkan. J

Ketika aku tanyakan apakah pembagian wilayah ini dikenal oleh semua masyarakat desa, Bapak Apolus mengatakan bahwa pengaturan ini mungkin sudah kurang dikenal oleh orang-orang di Desa Gintu, Bewa, Pada, dll yang lokasinya di tengah-tengah lembah, jauh dari bukit-bukit. Yang paling banyak berinteraksi dengan wilayah hutan dan perbukitan adalah orang-orang di Desa Kageroa, Tuare, dan desa-desa di LoreBarat lainnya serta Desa Bulili di Lore Selatan. Masuk akal juga sih.

Setelah membahas tentang kakau (hutan dalam Bahasa Bada), kami sempat juga membahas tentang ladang berpindah yang dulu pernah menjadi satu budaya dan saat ini banyak ditinggalkan. Ternyata membahas tentang ladang berpindah membawa memori masa lalu baik bagi Ibu Femi dan juga Bapak Apolus. Seru jadinya diskusi kami. Hingga sebelum akhir diskusi kutanyakan tentang kekhawatiran akan masa depan dan hal-hal lain.


Bapak Apolus merasa bahwa masa depan masyarakat Bada ini dia juga tidak tahu akan bagaimana. Ada kekhawatiran juga di masa depan jika nanti orang-orang tua yang sampai saat ini gigih mempertahankan adat budaya sudah tidak ada. Terlebih lagi dengan semakin berkembangnya jaman yang seakan sulit dikejar.



Sore ini cerah. Ketika kami pulang dari Kageroa sekitar jam 5.30, seperti kemarin, pelataran gereja ramai dengan orang-orang yang berolah-raga sore. Kami ikut bergabung dalam keramaian itu. Tampaknya hari ini lebih ramai dari kemarin. Lebih banyak orang yang berkumpul. Anak-anak kecil berlarian di halaman. Berguling-guling di tanah. Seru sekali melihatnya.
------
Malam menjelang, kami pulang.

Tidak seperti kemarin, aku libur dahulu untuk menggambarkan Gledis sesuatu. Aku ingin menyelesaikan kewajibanku dulu untuk merangkum menu utama hari ini: “Pembagian wilayah adat Tampo Bada”.
Okey!

Hari ini aku ingin membahas lengkap tentang hutan adat. Tapi entah kenapa, lampu yang bertenaga genset ini semakin berkunang-kunang. Apa pandanganku ya? Rasanya pendarnya semakin tidak stabil. Sama seperti katup mataku yang rasa-rasanya ikut tidak stabil. J Jam 22.54.

Sudah malam ternyata. Biarkan malam ini aku tertidur kurang nyenyak karena menanggung hutang hari ini. Sudah resiko. Aku memilih mengalah pada pendar lampu ini. Lagipula sebentar lagi genset akan selesai masa tugasnya hari ini.
Kisah berlanjut untuk esok hari.

Selamat tidur,..

Journey 9: Ibadah Minggu <--- before="" nbsp="" next----="">

Pagi ini seperti biasanya
langit timur masih merah merekah
mentari masih terbit dengan sihirnya mewarnai horizon dengan candiknya
Dingin embun yang mulai menipispun rasanya masih seperti kemarin ketika gerimis turun mencoba mengalahkan embun

Entah kenapa? Rasanya pagi ini aku mengerti, aku merasa, mereka seperti berbahasa
Seakan-akan aku melebur dalam dunia gaib pagi yang entahlah,...
aku tersesat dalam bahasa alam

Rasanya aku tahu,..

Ada seseorang menitipkan sesuatu
Dan pagi ini, alam mencoba menyampaikannya padaku

Aku terima pesanmu

Aku terima salammu
----------------------

19 Mei 2013

Minggu adalah waktunya Ibadah


Hari Minggu adalah hari yang istimewa bagi masyarakat di Tuare yang semuanya adalah Kristiani. Hari ini hampir semua pekerjaan di kebun berhenti. Semua orang beribadah. Semua orang melaksanakan kewajibannya pada Tuhan. Sejenak aku teringat kebiasaan masyarakat di sekitar Kampar yang sebagian besar libur kerja di hari Jum’at untuk melaksanakan ibadah Sholat Jum’at. Di sini juga begitu, libur Minggu untuk ibadah.

Di Bada khususnya di Tuare, Ibadah dilakukan berkelompok. Ada ibadah untuk ibu-ibu, bapak-bapak, pemuda, dan untuk anak-anak. Hari minggu ini dimulai ibadah jam 11.00. Lokasi ibadah ibu-ibu di rumah Mama Dini. Sesuai rencana dua hari yang lalu, aku ikut ke acara ini. Ketika aku ke sana sudah banyak ibu-ibu berkumpul dengan pakaian yang rapi. Untungnya aku bawa kemeja, jadi aku juga bisa ikutan rapi J. Beberapa ibu-ibu yang biasa kulihat membuatku pangling hari ini. Kakak Ratih, Kak Titi, Mama Dini, dan Ibu Femi, semuanya berpakaian rapi sekali. Ya, untuk beribadah kepada Tuhan , kita memang harus memberikan yang terbaik, tak terkecuali dengan apa yang kita kenakan. Di dalam ibadah ini ada 41 orang ibu-ibu. Di desa ini terdapat dua kelompok ibadah ibu-ibu.

Lokasi ibadah kali ini menggunakan teras dua buah rumah. Di tengah-tengahnya terdapat sebuah mimbar berukuran sedang bertutup kain hitam yang menghadap ke muka jalan. Di samping mimbar terdapat sebuah meja dan 3 buah kursi plastik. Kursi-kursi peserta ibadah lainnya terbagi menjadi dua sisi yang masing-masing menghadap mimbar tersebut.
Acara Ibadah Minggu kelompok Ibu di Tuare

Aku ikut duduk di tengah-tengah, di dekat pemimpin ibadah. Ehm, nervous juga sih. Namun aku tidak terlalu merasa aneh berada di tengah-tengah ibadah umat kristiani. Yah, secara! Beberapa kali aku mengikuti upacara pernikahan saudara-saudara atau temanku yang nasrani di gereja. Lagipula kakakku kan nasrani juga. Hehehe J. Berbeda itu indah kan...

(Ketika Mama Dini menyampaikan doa, dan aku juga ikut didoakan agar apa yang aku kerjakan lancar, agar aku diberkati Tuhan, dan semua doa yang baik-baik, Aku sungguh terharu. Terima kasih semua masyarakat Tuare. I love you all. Semoga semuanya juga dilindungi Tuhan.Gbu.)

Tidak terlalu lama acara berlangsung. Acara inti ibadah pun selesai dan suguhan mulai masuk. Kopi/ teh dan kue-kue. Manis banget,... Segelas kopi hitam manis hangat di siang hari dan kue-kue yang juga manis. Melengkapi siang hari yang indah ini.

Dan pada jam 12.30 dimulailah acara yang memang menarik perhatianku sejak kudengar ceritanya pertama kali. Yup! Acara lelang sayur-mayur sebagai bagian dari persembahan jemaat untuk gereja. Memang dari ketika aku datang tadi, aku melihat sejumlah bungkusan dan tas-tas keranjang yang berisi sayur-sayuran seperti sawi, kacang panjang, bayam, cabai, tomat, labu, singkong, dll. Tidak terlalu banyak sih, namun cukup mencolok mataku J.

Ketika acara ibadah, jemaat memberikan persembahan (dalam Islam mungkin infaq) berupa uang tunai atau hasil kebun/ternaknya. Uang tunai dikumpulkan melalui sebuah kantong yang diputarkan antar jemaat yang hadir (mirip-mirip kotak infaq keliling kalau di mesjid/pengajian). Sedangkan persembahan berupa hasil kebun/ternak dilelangkan di antara jemaat yang hadir. Uang hasil lelang itulah yang kemudian digunakan untuk persembahan. Uang persembahan dikelola oleh pengurus yang ditunjuk untuk kemudian digunakan untuk kepentingan bersama-sama. Dengan cara ini, semua orang dapat memberikan persembahan terbaiknya kepada Tuhan, tidak harus dengan uang tunai, namun dengan apa yang mereka miliki, misalnya sayuran.

Dan lelang sayur pun dimulai,...

Acara lelang sayur dipimpin oleh Mama Bela. (Ehm,.. Bela (5) yang cengeng, sempat menangis selama 15 menit ketika ibadah berlangsung J). Mama Bela dulunya adalah pemimpin kelompok ibadah ini sebelum digantikan oleh Ibu Kepala Sekolah SD yang aku lupa menanyakan namanya. (Aku hanya ingat jika ibu ini adalah Kepsek SD). Mama Bela bersuara lantang sambil mengangkat sayur yang akan dilelang.

“Sawi, daun kecil! Enak ini. Berapa?” Mama Bela
“Dua ribu!” terdengar suara
“Empat ribu!”terdengar lagi suara lainnya
“Ya, empat ribu!”Mama Bela mengakhiri sesi sayur sawi pertama sambil menyerahkan seikat sawi berdaun kecil ke pemenang lelang.
“Selanjutnya, Rica,.....” , “ labu,....”, “tomat segar,....” Mama Bela satu persatu menyelesaikan tugasnya untuk melelang satu per satu hasil bumi persembahan para jemaat.

Acara lelang yang pertama kali kulihat ini cukup seru. Tawar menawar menawar harga di antara ibu-ibu memang menyenangkan. Bagiku, seni tawar-menawar harga adalah salah satu seni tertinggi dari seorang perempuan. Memenangkan penawaran sama saja dengan memenangkan sebuah perang. Meskipun hanya selisih 1000 perak, namun ini masalah eksistensi. Hehehehe,....
Lelang sayur dalam acara ibadah

Selesailah sudah acara ibadah ini. Para hadirin berpamitan pulang. Ibu Femi sudah mulai mengumpulkan sayur-mayur lelang yang tadi dimenangkannya. Cukup banyak juga. Sebelum berpamitan, aku diajak berfoto dengan dua orang nenek yang mamakai baju dengan desain baju adat. Memang dari awal kedua nenek ini menarik perhatianku. Aku –pun berfoto dengan bantuan Ibu Femi tentunya. J

Kamipun berpamitan. Udara siang ini sungguh panas menyengat. Langit cerah berwarna biru seakan tidak berbatas di atas sana. Ingin rasanya berjalan, namun panas di ubun-ubun menahanku.

Di rumah, tepatnya di dapur orang-orang sudah berkumpul ramai sekali. Kulihat ada seorang pemuda yang sedang membakar bebek di atas kompor. (belakangan aku tahu namanya Roni, adeknya Bang Adi). Mama Dini sedang mengolah Ikan Mas. Dan seperti biasa, Piyu serta Vira sedang berduet melakukan tugas-tugasnya, memetik sayuran dan terkadang mencuci piring. Terkadang aku juga melihat Kak Sana yang mencuci piring. Anak-anak kecil, beberapa bapak-bapak, dan juga tentunya sejumlah ekor anjing berlalu lalang, ikut menyemarakkan suasana siang ini.

Owh,.... Hampir aku lupa bahwa siang ini memang ada sebuah keluarga dari Gintu yang memesan makan siang di penginapan ini. J

Sekitar jam 2 aku keluar sebentar untuk berjalan-jalan. Hanya untuk melihat-lihat kondisi di luar saja. Seperti biasa, Gledis mengikutiku, juga Praska. Ehm, Gledis dan Praska memang kompak sekali sepertinya. Di luar udara sudah tidak terlalu terik meski cahaya matahari masih menyilaukan. Kulihat ada seorang anak kecil laki-laki mungkin berusia 3 tahun. Sebelum kutanya namanya, Gledis sudah memberitahuku.

“Itu adiknya Piyu, namanya Alan” kata Gledis.
Ohhhh,....

Alan adalah anak kecil yang banyak tersenyum. Di setiap senyumnya selalu ada gigi yang terlihat. Hehehe. Alan adalah anak yang ramah dan sekaligus pemberani. Ketika kulihat ada sebuah gerobak kayu (yang katanya digunakan untuk mengangkut hasil panen) muncul ideku untuk memotret Gledis dan Alan. Sayangnya Gledis menolaknya. Mungkin malu, atau malas? ----- Tak berapa lama kulihat Vira berjalan menuju arahku dan sempat pula kuminta tolong padanya untuk memfotoku dengan latar gerobak kayu tadi. Terimakasih Vira. Upload menyusul. Wkwkwk

Kamipun kembali pulang. Beberapa tamu yang akan makan siang sudah mulai datang. Acara makan siang dilakukan di teras penginapan, tepat di dekat kamarku. Aku pun duduk-duduk di depan rumah, melihat anak-anak yang bermain dan di samping rumah kulihat beberapa pemuda sedang membakar ikan. Ingin sebenarnya melihat orang-orang sibuk membakar ikan, namun sungkan juga rasanya nimbrung di antara sekumpulan pemuda. :D .Aku ikut saja bermain dengan Gledis dkk. (Akhirnya Gledis mau juga difoto bareng Alan. Yess!)

Jalan sore: situs KALAMBA, persawahan, sungai, dan sore di pelataran gereja

Sekitar jam 4 sore, Ibu Femi mengajakku melihat Kalamba. Salah satu peninggalan megalith  di Tuare. Kalamba adalah semacam wadah yang digunakan untuk menyimpan barang/ ada juga yang mengatakan untuk mandi. Entahlah,..

Lokasi Kalamba tidak terlalu jauh dari permukiman, namun jalan menuju ke sana sedikit menanjak dan lokasinya agak tersembunyi. Sebenarnya sudah ada jalur menuju ke sana, namun karena jarang dilewati jalan setapak tersebut seperti tersembunyi di balik rimbunnya semak. Kami (aku dan Ibu Femi) dipandu oleh Eloy dan Mega, dua remaja SMP kelas 1. (Aku sudah kenal Eloy beberapa hari yang lalu.)

Setelah mengunjungi situs Kalamba kami melanjutkan perjalanan. Ibu Femi mengajakku berjalan-jalan menyusuri JUT (Jalan Usaha Tani) itu. Jalan setapak ini nanti menembus areal persawahan di ujung desa. Okey Ibu, mari kita berjalan-jalan. Di kanan-kiri jalan setapak aku melihat cukup banyak tanaman kakao yang sudah mulai berbuah. Beberapa di antaranya sudah berwarna kekuningan, mungkin sudah masak.

Setelah berjalan selama kurang lebih 15 menit, kami menemukan ada dua buah gubuk/saung dan kolam-kolam ikan. Ada seorang nenek beserta anak kecil yang sedang memancing dan seorang bapak yang sedang menjerang air di gubuknya. Kami mampir ke tempat tersebut, menyapa penghuninya dan sekaligus menumpang beristirahat. Setelah berkenalan kamipun berbincang. Nama bapak itu adalah Bapak Dani, masih saudara juga dengan Ibu Femi. Bapak Dani sudah beberapa lama ini baru sembuh dari sakit stroke. Karena sudah tidak bisa berkebun dan bekerja keras secara fisik lagi, maka Bapak Dani memutuskan untuk memelihara ayam dan juga beternak ikan kolam. Bapak Dani memelihara ayamnya di tempat ini, terpisah dari perkampungan sekitar jarak setengah jam perjalanan jalan kaki. Selain mendapatkan hasilnya, usaha ini juga sebagai salah satu obat stress, katanya. Memang sih, di sini suasananya damai sekali.

Sembari mengobrol, Eloy dan Mega sibuk mencari buah jambu yang ada di sekitar sini. Eloy memanjat pohon yang tidak terlalu tinggi itu dan mengambilkanku sebuah jambu matang berwarna kuning. Enak, manis. Makasih Eloy....

Bapak Dani-pun memberikanku sebuah telor ayam. Kecil dan imut, khas telor ayam kampung. Telor itupun langsung direbus di air mendidih yang sedang dimasak bapak. Setelah beberapa lama, telor diangkat dan bisa kumakan. Ketika aku buka, ternyata si telor yang sudah dierami hampir seminggu ini telah menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Hehehe,.. tetap saja aku melahapnya dengan nikmat. Rasa telor ayam kampung memang lezat, sangat berbeda sekali dengan telor ayam negeri.

Tadi hujan sempat turun rintik-rintik, kini saatnya kami pamit. Lanjutkan perjalanan!

Hanya 5 menit dan kami menemukan sebuah jembatan kayu yang menjadi jalan masuk ke areal persawahan. Wow,..... Sudah tampak padi menguning. Jika depan kamar penginapanku sawah-sawah berwarna hijau, kini saatnya berganti warna menjadi kuning di ujung desa. Sekuning baju-nya Mega J.

Musim tanam padi sawah di desa ini memang tidak serentak. Jumlah pasokan air yang cukup sepanjang tahun memungkinkan petani untuk menggarap sawahnya kapanpun. Saluran irigasi yang pernah kususuri beberapa hari yang lalu bersama kawan-kawan UKP3 dan juga Ibu Femi, adalah penyalur air untuk sawah-sawah di seluruh desa. Saluran utama sudah didinding semen dengan bantuan dana pemerintah. Di beberapa tempat saluran tersebut ada yang jebol meskipun bisa dikatakan belum terlalu lama dibangun.  Sumber air irigasi padi sawah di Desa Tuare berasal dari Sungai Tuare. (Btw aku baru tahu jika kata “Tuare” berasal dari suara Burung Maleo “tuare’,.. tuare’,.... ).

Kami menyeberangi sungai untuk bisa sampai ke jalan menuju perkampungan. Sungai itu tidak terlalu lebar dan cukup dangkal, namun arus lambat cukup mengancamku untuk terjatuh di air. Untungnya saja tidak. Aku dikawal Eloy dan Mega. Sungguh manja sekali aku ini!..  Bahkan anjing yang kami temui di sungai bisa berenang sendiri menyeberangi sungai. Anjing yang mengawal tuannya bekerja di kebun.
Di tepi sungai kami sempat mengambil lembar-lembar daun sirih. Sirih antibiotik alami yang dikenal semua orang, juga di sini. Buatku, Sirih ini nantinya akan kurendam dalam air panas di sebuah gelas. Setelah 30 menit, airnya kuminum. Ini jamu paling ampuh bagiku. Hehehehe...

Kamipun pulang ke kampung,...
Hujan tak jadi datang. Semua orang pun senang. Kulihat di depan pelataran gereja begitu banyak manusia berkumpul, bersuka cita, bergembira ria. J Lebih banyak kulihat para pemuda, meski tidak luput pula sejumlah ibu-ibu. Mereka semua berkumpul untuk merayakan sore yang indah. Para pemuda laki-perempuan bermain voli, beberapa pemuda bermain sepak takraw, anak kecil perempuan bermain lompat tali, anak kecil laki-laki bermain bola kaki, anak-anak sangat kecil sekali berlarian kesana-kemari. Selebihnya hanya menonton kemeriahan ini. Misalnya saja aku.

Ketika senja mulai datang kamipun pulang. Berpamitan dengan meriah sore yang hendak kembali ke sunyi malam. Rasanya ingin selalu sore. Ingin selalu ditemani cahaya terang yang tidak menyilaukan, ditemani hangat yang tidak membakar, dan sejuk yang tidak membuatmu merinding kedinginan. Sore adalah suasana yang dinantikan. 

Malam menjelang. Kami semua mulai beristirahat. Rencana hari ini ke Kageroa bertemu Bapak Apo terpaksa harus ditunda. Hujan yang melumat jalan kembali turun malam ini. Kami harus mengalah pada alam dalam hal ini. Siakan saja kau turun wahai sang hujan. Aku masih punya hari esok.

Setelah makan malam hangat yang lezat, aku pamit untuk kembali ke kamar. Saatnya menulis, menguraikan, merangkum apa yang terjadi hari ini dan prediksi esok hari. Rutinitas yang kadang tak terasa sudah menjadi  bagian dalam waktuku di Lembah Bada yang sunyi di malam hari....
-----------------Hari ini indah sekali------------------------- 19 Mei 2013-------------------------------------

Selamat tidur semuanya. Selamat beristirahat. 

anak-anak Tuare 

18 Mei 2013
Menelusuri Sejarah (I)

Ternyata menelusuri sejarah adalah sebuah pekerjaan yang tidak mudah. Semua catatan yang kupunya dari file kiriman Kipli sama sekali tidak cocok dengan apa yang kudengar dari narasumber sejarah hari ini. Jadi hari ini, aku diisi oleh kepusingan akan sejarah. Meski bukan inti dari riset yang kulakukan namun sejarah menjadi bagian penting juga. Jadi marilah menulis tentang sejarah .

Hari ini sebenarnya rencana kami adalah ke Bulili, menemui seseorang bapak anggota MHTB yang juga cukup tahu tentang sejarah adat di Tampo Bada. Kami berangkat sekitar jam 10 pagi. Aku membonceng Bang Adi dan Bu Femi bermotor sendiri. Cuaca yang sungguh cerah ini ternyata tidak membuat peruntungan kami baik. Hehehe. Si Bapak di Bulili ternyata tidak ada di rumah. Beliau sedang di Palu sudah sejak 2 minggu yang lalu untuk suatu keperluan. Kamipun melanjutkan kembali, mencari nara sumber baru yang mungkin ada di Gintu.

Bulili adalah desa yang cukup jauh dari Tuare. Sekitar hampir sejam kami harus bermotor ke sana. Jalan dari Gintu ke Bulili sudah berupa jalan aspal yang cukup bagus. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi jalan tanah Gintu – Tuare yang parah sekali kondisinya.

Sebelum ke Bulili kami singgah dulu di Gintu, di rumah adik Ibu Femi. Kami ngopi dulu sambil beristirahat setelah perjalanan hampir setengah jam di jalan becek. Aku sempat juga berjalan-jalan sebentar di sekitar untuk mengambil foto anak-anak SD yang baru pulang sekolah. Kupikir mereka malu-malu tapi ternyata mereka malah mengeruyukku. Cewek-cewek kecil ini sungguh lincah sekali. Mereka bahkan minta difoto rame-rame bergaya Chibi-chibinya Cherrybelle. OMG. Ini penampakan mereka.

Chibi-chibi dari Gintu

Setelah ngopi kami pergi dulu ke Desa Bewa, desa perbatasan dengan Gintu sebelah utara. Di desa inilah sinyal dapat terjangkau. Di desa inilah orang-orang dari seluruh Bada yang ingin menelpon atau ber-sms berkumpul. Aku sempat membeli pulsa juga di sebuah warung. Pulsa 20ribu seharga 24ribu. Ehm, wajar sih... Btw desa ini adalah desa si Desna Ratowo. Apa kabar dia ya?



Di warung ini Ibu Femi berkenalan dengan seorang wartawan sebuah mingguan. Selesai membeli aku juga ikut berkenalan. Namanya Pak Viktor, kepala cabang tabloid “FAJAR PENDIDIKAN” di Sulteng. Tabloid yang asalnya dari Sulsel ini merupakan tabloid yang banyak membahas tentang pendidikan meskipun juga memasukkan berita umum. Aku sempat bertukar nomer kontak dan email. Hitung-hitung menambah kenalan dan teman.  . Si bapak ini sedang survey dan melihat-lihat kondisi pendidikan di Lembah Bada yang menurutnya masih sangat kurang. Entah kurang apanya?

Aku coba untuk mengirim sms, namun beberapa masih pending. Kucek sinyal 3G namun tidak ada. Awalnya aku ingin menaikkan beberapa foto ke dunia maya, namun sepertinya sulit jadi kuurungkan saja setelah beberapa kali gagal mencoba. Ibu Femi sibuk selama beberapa saat dengan telepon yang masuk beberapa kali. Ehm, iya sih, Ibu Femi kan PD jadi otomatis termasuk orang sibuk. Hehehe. Semangat ibu..

Setelah dari Bewa barulah kami menuju Bulili. Bulili adalah desa yang akan dipetakan selanjutnya oleh tim UKP3 dari AMAN. Pertimbangan utama adalah karena di desa ini terdapat cukup banyak usaha tambang emas tradisional oleh masyarakatnya dan pernah ada investor tambang yang melirik usaha ini. Selain Bulili, ada beberapa desa lain juga yang terdapat tambang emas tradisionalnya namun paling banyak di Bulili.

Yang unik dari Bulili adalah slogannya : Bulili EMAS. Slogan ini terpasang di gerbang-gerbang rumah hampir semua penduduknya. Kupikir emas ya berarti emas. Tapi ternyata bukan. EMAS adalah akronim dari Ekonomi Masyarakat Akan Sejahtera. Owhhh... Lalu ada juga taman kecil dengan bunga warna-warni dan ada sebuah papah beratap bertulis wisma 5 bugenvil di depan satu rumah. Aku ambil fotonya. Setelah kuperhatikan, ternyata di masing-masing rumah ada taman kecil berikut papan namanya, misalnya Wisma 4 Mawar, wisma 6 xx, dll. So sweet banget.


Bulili Emas 

wisma 5 Bugenvil

Kami beristirahat untuk makan siang di Desa Runde, di sebuah warung kecil. Aku dan Bu Femi memesan “Binte” yaitu semacam sup jagung. Rasanya lumayan sih, namun untuk lidahku, aku perlu menambahkan sedikit garam. Ehm, satu hal lagi yang masih aneh buatku. Di sini, bukan hanya garam, gula, sambal, merica, kecap dan saos yang diletakkan di meja hidang sebagai bumbu tambahan bagi pemesan makanan, namu ada juga vetsin. Jadi vetsin ditambahkan sendiri di meja makan oleh pembelinya. Ini juga yang kulihat di warung Maley Bada di perjalanan  Tentena-Bada. Aku melihat seorang ibu memesan mie instant rebus dan kemudian dia menambahkan lagi vetsin di mie-nya itu. Heee..... sempet kaget juga sih. Bukankan mie instant itu kandungan MSG-nya sudah tinggi sekali? Eh ini ditambahin lagi! Gak kebayang kek mana rasanya? (sehat gak sih?)

Pak Taula, Baju Adat dan sekelumit kisah dongeng sejarah,---

Rumah di warung itu ternyata adalah milik seorang pembuat baju adat dari kulit kayu. Nama bapaknya Pak Anthonius Taula. Dia adalah orang yang paling ahli di bidang baju adat di Bada. Sudah banyak orang-orang dari dinas kebudayaan dan juga wartawan nasional yang mengunjungi bapak ini. Misalnya saja dia bercerita pernah masuk acara di Metro TV dan pernah ada juga wartawan dari TV lain (RCTI kalau tidak salah). Mulailah aku menanyakan tentang baju-baju itu, bagaimana proses pembuatannya, penggunaannya, sampai ke arti dari motifnya. Ehm, ternyata ribett sekali. Ingin menulisnya rinci di sini. Tapi lelah rasanya (pulang petang dan kehujanan di jalan benar-benar melelahkan). Mungkin besok pagi akan kurapikan tulisannya.

Bapak Toni (panggilan Pak Anthonius) sempat juga memakai baju adat itu. Yup. Sudah kuambil fotonya. Aku berjanji  pada diriku sendiri akan mempromosikan baju adat ini dengan cara menuliskannya di blogku, di kaskus, dan forum-forum yang kuikuti. Yahh, minimal itulah yang bisa kulakukan. .
Karena kupikir tahu tentang sejarah, akhirnya sekalian saja aku menanyakan tentang sejarah lahirnya komunitas adat di Lembah Bada ini. Lalu dimulailah episode sejarah panjang yang benar-benar menguras otakku. Bagaimana tidak? Hampir seluruh catatan dari Kipli (yang ditulis entah aku tidak paham), hampir semuanya tidak cocok dengan apa yang diceritakan si bapak ini. Memang sih ada nama-nama yang sama, namun garis ceritanya benar-benar acakabrut. Hampir satu jam-an lebih kami membicarakan sejarah ini. Aku akan menuliskan hasil obrolan ini dan nanti akan kutunjukkan lagi ke Pak Toni untuk dikoreksi. Pak Toni bilang bahwa dia masih ada garis keturunan dengan pemegang sejarah Bada. Yaa, aku sih percaya. Slow ya Bapak, saya akan coba menulisnya dengan baik. Semoga simpang siur sejarah ini bisa kita perbaiki bersama.

Setelah itu kami pamit pulang. Sebenarnya aku masih ingin banyak berbincang, namun  kondisi Ibu Femi sudah lelah selain juga memang sudah sore. Kami mampir dulu di Gintu lagi karena Ibu Femi berencana mengganti oli motornya meskipun akhirnya gagal karena bengkel sudah pada tutup. Ketika akan kembali ke Tuare hujan mulai turun lebat. Kami menunggu sejam. Karena tak berhenti juga akhirnya kami memutuskan untuk pulang saja. Untung aku membawa mantel plastikku. Lumayanlah untuk melindungi kepala, badan dan elektronik yang kubawa. Kami berangkat jam setengah 6. Jalanan sudah mulai gelap.

Setelah sampai di Tuare aku langsung mandi. Selesai mandi, Gledis dan Praska sudah menyambutku di depan kamar. Hee.. mungkin mereka sudah kangen aku ya?  Aku menggambar untuk kemudian diwarnai Gledis. Acara menggambar di malam hari sudah menjadi acara rutin 3 malam ini. Setelah menggambar barulah makan malam : Ikan Mas Bakar dan tumis kangkung. Enak Bangettt....
Akupun pamit ke kamar. Kulihat jam sudah jam 8. Kutulis jurnal harian ini. Mataku sudah sangat berat. Listrik masih mati. Sumber listrik masih dengan genset. Cahaya lampu yang dihasilkan tidak stabil dan berpendar-pendar membuat mataku cepat lelah. Uh, alasan saja !  (tapi ini serius). Kadang-kadang dilema juga. Malam hari adalah waktuku menulis, namun kondisi sungguh tidak nyaman dengan lampunya. Namun jika siang hari, listrik terbatas dan aku hanya mengandalkan batre laptop saja.

Semangattt...

Sudah dulu ah, besok pagi aku akan merapikan cerita sejarah yang memusingkan itu. Tidak bisa juga kupaksa malam ini karena benar-benar sudah low energy.

(jadi ingat candaan di 9gag.com “I am not lazy. I am just in power saving mode” . wkwkwk)
Besok hari Minggu, saatnya umat Kristiani ke gereja. Di sini kan mereka rajin sekali beribadah. Ehm, liat besok apa yang akan kudapatkan.

Selamat tidur. Semoga mimpi indah.
See you....

birunya langit Bada <--- -----="" before="" next-----="">

Tiba-tiba hari Jumat. Sekali-kalinya ini aku bangun siang. Jam 8 aku baru membuka mata. Jangan tanya di luar seperti apa. Orang-orang sudah ribut di dapur entah mengerjakan apa. Setelah mandi aku langsung menuju dapur, meminta segelas air hangat dan kemudian membuka agenda hari ini.

Setelah sarapan jam 9 aku berjalan-jalan menuju areal persawahan. Aku ditemani Praska dan Gledis. Cuaca sangat cerah hari ini. Hamparan sawah yang menghijau sangat kontras dengan langit yang berwarna biru pekat dan awan menggumpal yang sungguh putih. Rasa-rasanya dalam suasana seperti ini, seorang buta pun bisa menghasilkan foto-foto yang indah.

Hijau, Putih, Biru-Kontras alam


Sekitar satu jam aku berjalan-jalan di sawah. ketika jam 11 dan matahari mulai menyengat aku pulang.
Besok aku pergi ke Bulili, rencana mau ketemu salah seorang anggota MHTB. Tentunya banyak hal yang ingin kutanyakan.

Hari minggu aku akan ikut acara persembahan di gereja. Katanya nanti akan ada acara lelang bahan pangan misalnya sayur-mayur, telor, dll. Hasil lelang merupakan persembahan para jemaat untuk gereja. Dana yang terkumpul tiap minggu nantinya dipakai untuk keperluan bersama, misalnya jika ada warga yang sedang sakit dan memerlukan bantuan biaya atau jika ada duka/kematian. Ibu Femi bilang bahwa hasil lelang itu adalah persembahan para jemaat untuk Tuhan yang kemudian dikelola untuk kepentingan bersama. Cukup menarik kurasa.


Entahlah, hari ini aku merasa lelah. Malas sekali sungguh. Karena jadwal hari ini adalah mengkompilasi buku Panduan Hadat Tampo Bada maka aku tidak akan banyak menulis catatan harian. Selain itu lagipula memang tidak banyak informasi baru yang kudapat hari ini. Aku akan fokus dulu di buku ini.

Woahhh,...... terkadang menulis itu memang sangat melelahkan. Koreksi! Bukan terkadang tapi sering. Yahh meskipun begitu, aku tidak bisa bilang tidak mencintai pekerjaan ini. Nyatanya aku terus saja menulis dan menulis. Entah apapun itu. Rasanya lelah yang menyenangkan. Halahh,..
Tidak ada yang lebih menyenangkan dibandingkan meng-klik tombol send di email ketika mengirim draft final. Hehehehe... “Your message has been sent”... Ingin segera merasakan itu lagi. Semangat!!! Meskipun kantuk menjelang, meskipun harus tidur dulu namun semangat tak boleh padam. Hahaha,.. jadi pengen ngelantur kemana-mana.

Upss sudah malam ternyata, menuju jam 10 saatnya genset mulai istirahat. Aku juga ingin beristirahat. Hari ini adalah hari pertama siklus perbulanku. Memang tidak boleh dijadikan alasan, tapi pegal yang kurasakan memang sangat mengganggu konsentrasiku, belum lagi mules dan repotnya gonta-ganti. Fyuhh,...meskipun sudah belasan tahun merasakannya tetap saja repot.


Yasudahlah... selamat tidur... Oyasumi---- semoga besok semua lebih baik-----


16 Mei 2013



Rasa-rasanya hari ini aku butuh mengisi ulang batere tenagaku. Lelah sisa berjalan kaki kemarin baru terasa pagi ini. Aku bangun jam 6.30. Ketika aku keluar kamar jam 7.30 Ibu Femi sudah berangkat mengajar di SD. Ibu Femi adalah guru agama di SD desa ini. Sarapan jam 8.00 dengan lauk telor dadar dan sayur hijau. Yummy,...

Sampai menjelang siang aku ditemani oleh Kak Titi bersama anaknya si Verna, Vira yang sedang libur menunggu hasil UN SMPnya, Bang Adi yang ternyata adalah guru olahraga  SMP di Kageroa, dan Bang xx (God, lupa lagi) yang pada awalnya kupanggil bapak namun bilang bahwa dia masih pemuda hehehehe.  

Aku sedang membuka kembali file tulisanku tentang sejarah Bada. Aku ingin menanyakan bagaimana sejarah Bada pada mereka. Bagaimana kisah-kisah ini disampaikan antar generasi dan bagaimana menjaganya. Jika kemarin aku sudah menanyakan pada Ibu Femi yang memang concern- di masalah adat-beradat, kini saatnya menanyakan pada orang umum. Kutanyakan pada Kak Titi tentang sejarah Bada, tentang Wiri Bangko, dan Lapabada. Dia menjawab bahwa dia juga mengetahui tentang sejarah itu meskipun tidak terlalu lengkap. Yang menarik adalah dia mendapatkan cerita itu dulu ketika kecil melalui dongeng sebelum tidur yang diceritakan nenek dan ibunya. Kutanya ke Vira, dan dia juga mengaku pernah mendengar cerita itu dari neneknya. Kak Titi pun katanya juga menceritakan kisah itu ke anaknya, Yeyen dan Verna.

Transfer informasi tentang sejarah Bada dilakukan oleh para perempuan terhadap anak-cucu mereka. Jika memang ini adalah caranya, maka semua terjawab sudah pertanyaanku tentang transfer informasi. Dongeng sebelum tidur memang menjadi cara ampuh untuk mewariskan pengetahuan. Setidaknya itu yang kuyakini.
-----
Siang ini aku awalnya aku akan diajak ke kebun sayur milik Mama Dini (Orang di sini memanggil perempuan yang sudah punya anak dengan panggilan Mama plus nama anak pertamanya. Misalnya Mama Dini yang memilki dua anak yaitu Dini dan Gledis, tetap saja dipanggil Mama Dini). Karena ada duka/layat di Gintu, maka Mama Dini harus pergi ke acara itu dulu. Aku menunggu sesiang itu yang dihiasi hujan turun cukup deras meskipun tidak deras. Dan Mama Dini tidak kunjung datang.
----


Sekitar menjelang sore, Ibu Femi datang dan mengajakku berbincang. Hujan sudah reda. Kami memperbincangkan banyak hal, yahh senang juga rasanya bisa berdiskusi banyak hal, mulai dari hubungan antar manusia, bahkan pengalaman hidup yang dapat dijadikan pelajaran berharga. Ibu menceritakan tentang anak semata wayangnya yang saat ini sudah hampir lulus SD bernama Praska. (Ibu Femi dipanggilnya Mama Aka – panggilan imut Praska J). Terlihat sekali Ibu Femi sangat menyayangi anak laki-lakinya yang kalau menurutku berparas gagah seperti tentara. Hehehe...

.......

Ini Praska

Tidak berapa lama kemudian Mama Dini datang, mengabarkan jika tadi dia sempat terjebak hujan deras di Lengkeka, di depan kantor kecamatan Lore Barat. Sambil menunggu hujan dia makan indomie dulu (Penting gak ya ini? Hehehe). Acara pergi ke kebun pun gagal. Hujan masih menakutkan untuk dilawan. Apalagi lokasi kebun cukup jauh. Kemudian jalan-jalan dialihkan saja ke sekitar permukiman. Sekitar pukul 4 sore aku dan Bu Femi mulai berjalan-jalan.



Rumah adat Bada

Pertama-tama kami mulai ke rumah adat. Jika kemarin aku hanya melewati rumah adat ini, maka hari ini aku memasukinya. Rumah adat yang terbuat dari kayu. Karena aku agak malas menulis hari ini, jadi mending kupasang saja foto-foto rumah adat itu.

Rumah adat ini sengaja dibuat memang untuk display bagi orang-orang yang ingin tahu tentang rumah nenek moyang masyarakat Bada jaman dulu. Selain itu juga untuk pengetahuan bagi anak-anak Bada tentang sejarah mereka. Lokasi rumah adat ini tepat di samping gereja besar sehingga cukup strategis. Meski berdebu, namun rumah adat ini masih sangat kokoh. Di dalamnya banyak replika peralatan-peralatan yang dulu digunakan oleh orang bada seperti belanga, kain dari kulit kayu, bakul, kantong sirih, gelas saguer, dan banyak barang-barang lain.

Letak perapian berada di tengah-tengah ruangan tunggal rumah. Tujuan perapian di tengah ini adalah untuk memberikan kehangatan yang merata bagi seluruh penghuni rumah




....................
Selesai dari rumah adat kami melanjutkan menuju jembatan desa yang melintas di atas Sungai Tuare. Ada beberapa bapak-bapak sedang memancing ikan dan seorang lagi menjala ikan. Aku sempat mendatangi sebentar dan seorang bapak yang memancing memberiku buah langsat sekantong. Hehehe... lumayan.  Perjalanan dilanjutkan dan kami mengunjungi tempat gilingan padi. Di tempat inilah masyarakat menggilingkan padi hasil sawahnya. Biaya penggilingan berupa beras juga, dipotong dari jumlah beras yang digiling. Setelah dari penggilingan kami menuju saluran irigasi.

Seperti kemarin, kami berjalan melintasi saluran irigasi. Namun kali ini arahnya terbalik, kami berangkat dari saluran yang paling dekat dengan kampung. Di sepanjang aliran irigasi, di belakang rumah-rumah penduduk, kulihat beberapa kandang babi dan beberapa kolam ikan. Babi adalah ternak penduduk Tuare yang cukup menguntungkan. Selain makanan dan perawatannya mudah, harga daging babi juga cukup baik. Harga sekilo daging babi yang masih kotor adalah 30ribu sedangkan yang sudah daging bersih mencapai 40ribu. Karena hampir di setiap kegiatan dan upacara, misal kematian, kelahiran, perkawinan banyak menggunakan babi, maka pemasaran babi cukup mudah meski hanya di dalam satu wilayah saja. Karena itulah banyak masyarakat memelihara babi. Sebagian besar babi dikandangkan dan hanya sejumlah kecil saja babi yang diliarkan/ dibiarkan di luar kandang.

Suasana persawahan menjelang senja sungguh indah. Benar-benar mempesona. Meski batere  kamera sudah mulai low,  namun kupaksakan dia bekerja menangkap momen2 senja ini. Sayang sekali terlewat.
Kami kemudian pulang mengingat hujan gerimis mulai turun. Kami sempat kehujanan meski tidak kuyup. Sesampai di rumah aku minum air putih hangat dan kemudian mandi.

Malam ini aku mulai mendekati anak-anak kecil. Aku coba temani mereka belajar. Aku gambarkan Gledis, anak kecil 5 tahun ini sebuah gambar untuk diwarnai. Ternyata memang menyenangkan bermain bersama anak-anak. Kali ini juga banyak anak-anak berkumpul di sekitarku. Ada Gledis, Dini, Yeyen, Verna, Piyu, Praska, Viktor, dan Vira (meski dia sudah ABG J). 

Malam ini makan dengan sayur dan ayam. Sungguh ayamnya enak banget bumbunya. Sayangnya dagingnya agak alot. Hehehe... ayam kampung sih, suka lari-lari jadinya berotot semua.
Sehabis makan aku diajak menonton tivi, nonton Take Me Out, acara cari jodoh yang pasti skenario. Ternyata acara ini sangat populer di Tuare. Aku menolak nonton. Mending aku tidur saja. hehehe. Jam 9 malam aku kembali ke kamar.


Ritual dimulai: Nulis, Plan besok, Ngapal Vocab, (Sungguh sebenarnya ingin banget nonton dorama tapi tidak mungkinL),tidurr......

Journey 5: Bonde, Sepe, Palindo  <---before -----="" next----=""> Journey 7: Birunya langit Bada