Tampilkan postingan dengan label Mimpi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mimpi. Tampilkan semua postingan
Di suatu gedung dengan dua ruang yang tak bersekat. Sepertinya sedang ada acara seni di suatu suasana yang mirip dengan kampus. Aku di sana bersama dengan sejumlah penonton yang gayanya mirip mahasiswa IPB. Tak terlalu ramai, mungkin hanya ada kurang dari seratus orang di sana. 

Kuberjalan melalui pintu masuk dan kulihat ada panggung di sebelah kananku. Panggung pendek, hanya 3- cm-an yang di atasnya dipenuhi alat musik band. Satu kejutan yang tak membuatku terkejut di alam mimpi adalah ada Duta Sheila On 7 di sana, nampak sedang menyetel alat-alat musik itu. Aku berlalu dan menuju ruang sebelahnya. 

Ruangan itu tak memiliki kursi satupun. Hanya ada tikar di lantai yang diperuntukkan bagi penonton. Panggung 30 cm-an pun juga ada di sana. Bedanya, panggungnya sangat luas, hampir 2/3 dari seluruh ruangan. Apa gerangan? Ternyata pertunjukan tari dan juga drama musikal.

Aku duduk berselonjor di barisan paling depan penonton yang tidak banyak. Kunikmati sajian pentas tersebut sambil bergumam, "Wah, enak juga ya nonton acara beginian di paling depan.". Aku ingat beberapa waktu sebelumnya, aku tidak mendapatkan posisi terbaik untuk menonton pertunjukan. (Dalam dunia nyata mungkin ini adalah acara Cap Go Meh minggu kemarin. :D)

Ada 4 penari di panggung itu. Mereka menarikan bersama beberapa tarian yang menurut pengetahuanku yang terbatas ini adalah tarian kontemporer. Yang membuatku terpesona adalah kostum mereka, sungguh menawan dan heboh. Kostum yang digunakannya mirip dengan kostum-kostum glamor di acara-acara karnaval Amerika sana. Warna-warni dan berkilauan. Beberapa kali kulihat para penari mundur dari panggung dan mengganti kostumnya secara kilat dibantu oleh asisten-asisten yang jumlahnya banyak. Mungkin lebih banyak dibanding penontonnya. Aihh,...

Di penghujung acara tari, 4 orang itu menyanyikan lagu tanpa mikrophone. Suara mereka bagus, tapi sayang tak terlalu keras terdengar. Sesekali ada penyanyi yang turun panggung menghampiri penonton, mungkin agar interaksinya lebih dalam. Aku diam saja menikmatinya. 

Setelah selesai menyanyi dalam drama musikal itu, 2 diantara penari tiba-tiba bergabung dengan penonton. Mereka berkerudung dengan gaya kerudung anak kuliahan. Bukannya duduk tapi mereka berbaring. Satu diantaranya berkata pada penonton, "Tarikkan aku tikarnya dong." Salah seorang penonton menarik salah satu tikar dobel di dekatnya dan memberikannya pada 2 orang itu. Merekapun menggunakan tikar itu sebagai selimut. Merekapun beristirahat, seakan tak peduli jika di ruang sebelah bunyi musik band mulai mengalun.

Intro-intro lagu yang kukenal milik S07 mulai mengalun. Acara seni memang akan ditutup oleh penampilan bandnya Duta ini. Intro lagu 'Sahabat Sejati' mengalun dan membuat penonton di ruang tari bersemangat untuk pindah ke ruang sebelah. Aku merasa kurang tertarik dan biasa saja. Aku tak tahu apakah aku juga ikut beranjak atau malah diam saja.

"Sahabat sejatiku. Hilangkah dari ingatanmu, di hari kita saling berbagi. Dengan kotak sejuta mimpi.....", Duta-pun bernyanyi. 


Dan itu pula yang mengakhiri mimpiku pagi ini. 


@himawari262









Di suatu pesta atau mungkin hajatan atau bisa jadi festival, dalam sebuah ruang gedung yang cukup besar yang mungkin berisi sekitar ratusan orang, aku di sana. Ada sebuah panggung di hadapan barisan kursi-kursi undangan dan seseorang berdiri di atasnya, memegang mikrofon berkabel tanpa tiang dan menyanyi: karaoke! Satu persatu orang menyanyi, menyumbangkan lagu untuk acara itu. Suara tak selalu merdu bahkan nyaris sumbang meski tak kuingat jelas bagaimana suara mereka. Lalu kulihat kakak laki-lakiku di sana, Mas Eko. 

Mas Eko beberapa kali menyanyikan lagu di panggung depan, bolak-balik mungkin sampai 4-5 kali. Para hadirin di acara itu nampaknya sangat antusias untuk menyumbangkan satu lagu. Aku belum ada keinginan untuk itu. Sungkan rasanya. Tidak semua orang duduk di tempat duduknya. Mereka menyebar tak beraturan di dalam ruangan besar itu, bisa kukatakan mirip dengan acara bebas setelah acara seremoni selesai. Dan orang-orang bergantian menyanyi, meski tak semua orang memperhatikannya. Kulihat para 'penyanyi' itu bahagia, bisa eksis kurasa. 

Aku berdiri di dekat meja sajian makanan prasmanan yang terletak di belakang kursi-kursi hadirin. Ada sebuah lorong pendek tak lebih panjang dari 5 meter di bagian itu dan aku bersandar di temboknya bersama seseorang hadirin yang kukenal. Kami berbincang santai seperti orang-orang lain juga yang membentuk grup-grup kecil. Lalu kulihat kakakku kembali naik ke atas panggung untuk menyanyi. Ah, baru aku tahu ternyata kakakku yang kupikir malu-malu, sekarang mendadak eksis di depan banyak orang. 

Kawanku bertanya, "Kenapa aku tidak ikut menyumbang lagu, menyanyi di atas panggung juga?". Apakah dia mengetahui gelisah di hatiku yang mungkin saja rasa grogi dan sungkan tampil di depan umum? Ah, aku tidak boleh terlihat lemah dan aku juga tidak ingin kalah dari kakakku. Aku beralasan, "Aku tak ingin bernyanyi tapi tak didengarkan. Aku tak ingin heboh sendiri tanpa ada yang memperhatikan." Sombong nian! Itulah aku.

Tak ingin termakan omongan sendiri, akupun memutuskan maju ke panggung. Kuambil mikrofon dan kupanggil para hadirin agar semua perhatian tertuju padaku. Kusampaikan bahwa aku akan menyanyikan sebuah lagu yang sangat bersejarah, sangat penting bagi semuanya. Sambil bicara aku juga berpikir, "Lagu apa yang cocok untuk ini? Aku bahkan tidak tahu!". Di tengah mata-mata yang tertuju padaku, aku tidak boleh gagal. Aku tahu mereka menunggu sesuatu yang besar dan mengguncang. Lalu aku tiba-tiba menyanyikan sebuah lagu yang entah darimana tiba-tiba terbersit di otakku. Lagu yang kupikir semua orang tahu. 

"From this moment, life has begun
From this moment, you are the one..."
                       (Shania Twain - From This Moment)

Lagu yang biasa dinyanyikan saat pesta pernikahan itu tiba-tiba mengalun dari mulutku, mencoba mengajak semua orang untuk ikut larut dalam pesan manis cinta di bait-bait syair lagu indah itu. 

Meski tak semua menyanyi, aku melihat sebagian besar orang bersama-sama membentuk paduan suara yang meski tak merdu tapi menyentuh kesadaranku. Setidaknya aku berhasil di sini.

Dan akupun bangun, di pagi terakhir di Cedar Mill - Portland, di atas kasur hangat dan empuk yang telah menemaniku selama 6 bulan ini. Ah,... Kuciumi bantal dan selimut kucel ini. Kuakhiri mimpi pagi.

Portland, 02 Desember 2014




Saat itu sepertinya siang yang mendung, gelap. Aku di kelas bersama kawan- kawanku saat jam istirahat menjelang. Ruang kelas yang suram membuatku tak bisa melihat dengan jelas di arah papan tulis dari bangkuku, nomer 3 dari belakang. Mataku tidak terlalu baik melihat di remang cahaya, aku minus 2! 

Kucari- cari saklar lampu dan kutemukan satu di dinding yang mepet bangku sebelahku. Kulihat ada saklar lampu dan juga lubang colok yang telah diisi alat kotak hitam semacam charger. Saklar lampu berada di tengah-tengah lubang colok yang dipenuhi alat-alat itu dengan  beberapa serabut tembaga kabel telanjang mencuat. Aku tahu, logam-logam itu konduktor dan bisa menghantarkan listrik. Kucoba menyentuh saklar listrik dengan ketakutan akan setrum. Klik.... Ternyata saklar yang kuturunkan balik lagi ke posisi semula. Lampu yang mulai menyala pun mati lagi. Kucoba dan kucoba lagi hingga aku sadar jika saklar ini selain harus diturunkan ceklekannya tapi juga harus diputar ke kanan untuk mengunci. Kucoba sedikit memutar ke kanan. Ah, belum jadi terputar aku duluan takut akan kawat tembaga yang mencuat. Aku tak punya nyali. 

Kucoba mencari saklar lain dan tiba-tiba ruang kelas....klap...menjadi terang di salah satu sisi belakang. Dari 4 lampu di penjuru kelas, satu menyala dan itu yang tepat di atasku. Kulihat-lihat siapa yang menyalakannya, ternyata ada seseorang kawanku, sepertinya perempuan yang menyalakan saklar yang ada di tembok dekat pintu masuk. Tiba-tiba lagi lampu menyala lagi. Sekarang 2 lampu menerangi ruang kelas. Kelaspun menjadi terang kecuali satu sudut yang masih muram, lampu di dekat papan tulis belum menyala. Padahal lampu itu yang paling penting karena menyinari papan tulis. Sedangkan saklar lampunya adalah yang tadi kucoba. Saklar yang berbahaya itu tadi!

Kutanyakan apakah ada yang berani menyalakan? Semua hanya bergumam. Lalu Dian, kawanku mengatakan jika ia pernah kesetrum di sana. Ah, jadi makin takut aku dan yakin jika memang itu berbahaya. Tapi tiba-tiba ruang kelas benderang dan lampu semua menyala. Apa yang terjadi?
Aku tak tahu pasti. 

Di jam istirahat itu nampaknya aku keluar ruang kelas, mungkin jajan atau makan siang? Tak terlihat olehku. Saat aku kembali ke kelas, beberapa menit sebelum bel masuk berdentang, kulihat bangkuku sudah dipenuhi oleh 4 orang kawan sekelas, semua perempuan dan salah satunya adalah teman sebangkuku, Kris. Mereka terlihat sibuk menuliskan sesuatu, tergesa-gesa. Oh, ternyata itu adalah tugas PR dari guru Bahasa Inggris yang entah kenapa sang guru itu mirip antara Pak Kosim guru SDku dan Adi Bing Slamet. Bapak guru memberi tugas untuk membuat satu puisi dalam Bahasa Inggris. Sepertinya kawan-kawan ini belum mengerjakannya. Aku memakluminya dan menunggu sambil duduk di bangku depanku yang kosong. Sesekali kuintip apa yang dilakukan teman-temanku ini. Ahh, rasanya lega, aku sudah mengerjakan PR itu. 

Bel masuk berbunyi dan kawan-kawanku masih sibuk di bangkuku. Aku belum bisa duduk di sana dan aku juga merasa kasihan juga. Ya sudah, akupun tetap anteng duduk di bangku itu. Pak guru pun datang masuk ke kelas, memberi ucapan salam dan langsung menanyakan PR. Teman-teman di bangkuku seakan tak peduli dan tetap sibuk. Pak guru sudah mulai mengamati mereka. Aku merasa di atas angin. Entahlah, rasanya sudah mengerjakan PR itu memang sesuatu banget. 

Pak guru berkata bagi yang sudah siap boleh maju ke depan untuk membacakan puisinya. Tak ada satupun yang maju. Bahkan 4 kawan di bangkuku masih sibuk. Pak guru mulai menghampiri murid-muridnya, langsung menuju jalur bangkuku. Dia mengambil buku-buku tugas kawanku satu persatu yang sudah siap hingga saat tiba di bangkuku yang ramai diapun membubarkan kerumunan itu. Ah,....senangnya. Aku yang mulai cemas akhirnya bisa kembali ke bangkuku. Aku ingin segera memberikan  PR ku kepada Pak Guru. 

Ketika aku baru kembali ke bangkuku, Pak Guru sudah kembali ke depan kelas, hanya dengan membawa beberapa buku PR. Diapun mulai memeriksanya. Aku tak boleh ketinggalan. Kucari-cari buku tugasku dan kusadari ada yang salah dengan bangkuku. Aku memeriksa satu tas dan tak ada. Ternyata itu tas kawanku yang tadi duduk di situ. Aku marah-marah dan jengkel hingga kemudian ternyata yang kuomeli adalah Nika, yang duduk di bangku sebelah sedangkan tadi yang duduk di sini adalah Tere. Yang aneh adalah tas itu memang punya Nika. Kok bisa ada di situ? Nikapun marah juga karena merasa tak bersalah. Aku meminta maaf dan kukatakan jika tadi aku kira dia adalah Tere. Orang yang sedang dibicarakan hanya tersenyum lebar di bangku paling belakang sambil berucap maaf tanpa suara. Huhhh..

Kuperiksa dimana tasku dan kemudian aku mendapat kejutan lagi. Glodakan (loker) bangkuku berantakan sekali. Tas dan buku-bukuku semuanya ada di sana padahal aku ingat sekali jika sebelum keluar kelas aku memasukkan semua buku-bukuku di tas. Tas itu berwarna krem, merk Mountain Hardwear milikku yang dalam dunia nyata telah hilang di Pontianak tahun kemarin. Aku kesel minta ampun. Sambil ngedumel aku mencari-cari buku PRku, ingin segera kuberikan pada Pak Guru. Dumelanku ternyata membuat teman sebangkuku marah juga. "Apaan sih!", katanya. Kujelaskan kondisinya dan diapun akhirnya diam. Akhirnya kutemukan buku PR itu diantara bukuku yang lain yang hampir mirip semua sampulnya: bergambar bebek kartun warna-warni.

Kuambil buku itu, memeriksa isinya dan kutemukan hasil kerjaku. Ah lega.. Pak guru di depan kelas masih memeriksa PR dan mungkin segera menunjuk seseorang untuk membaca puisi Bahasa Inggrisnya. Di antara kawan-kawan yang duduk diam di bangkunya, aku berdiri dan maju ke depan, menjadi pusat perhatian. Aku bawa buku PR itu untuk kuberikan pada Pak Guru sambil berharap untuk bisa membaca puisi yang telah kubuat. 


Dan akupun terbangun dari tidurku
Jam 7.40 am, masih Cedar Hills, Portland - Oregon