Tampilkan postingan dengan label My Thought. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label My Thought. Tampilkan semua postingan
Bunga Sepatu (Hibiscus rosa-sinensis)

Sebuah tulisan acak yang tersusun dari rasa inginku berlatih menulis sesuatu agar bisa mengeluarkan segala pikiran dalam bentuk tulisan. Kali ini aku akan memanfaatkan 10 menit untuk menulis tentang kenapa aku suka sekali mengenal tumbuhan-tumbuhan, siapa nama mereka, dari mana asalnya, dan segala sesuatu tentang si cantik yang selalu mempesona.

Bunga yang cantik, dedaunan, dan tanaman-tanaman hijau warna-warni telah menjadi bagian hidupku yang panjang, sejak dari aku kecil dulu. AKu masih teringat ketika kecil pernah memiliki sebuah kebun mini di depan rumahku yang sederhana. Kecil sekali kebunku, mungkin hanya berukuran 1,5 meter kali 0,5 meter. Namun di sana aku menyayangi sekali tanaman-tanaman itu. Bahkan sempat aku menangis ketika satu buah cabai yang sudah berbuah diambil satu oleh Bapakku. Ya, aku menangis rasanya seperti kehilangan kesayangan yang kupelihara hari ke hari.

Dan kini, kesenangan terhadap tanaman dan dunia tumbuhan semakin menjadi padaku. Aku suka sekali mengumpulkan foto-foto tanaman-tanaman cantik dimanapun berada kutemui, terutama mereka yang belum kukenal. Kemudian foto-foto itu akan kujadikan koleksi dengan mencari nama-nama mereka. Aku mencari lewat google, sebuah alat pencarian termudah saat ini. Selain itu, aku juga pernah menggunakan aplikasi identifikasi tumbuhan. Dan beberapa jenis tanaman telah kuketahui namanya dari aplikasi ini. AKu juga tak jarang bertanya kepada kawan-kawan yang jago dan ahli identifikasi tanaman. Salah dua dari mereka adalah Mbak Lidia Chang dan Bu Yayuk. Rasanya nyambung ketika ngobrol dengan mereka. Hobi yang sama mungkin menjadikan sesuatu obrolan menarik. Meskipun dengan Mbak Lidia hampir tak pernah ketemu secara langsung, hanya via media sosial.

Mengenali tumbuhan-tumbuhan ini membuatku merasa ada kepuasan tersendiri yang menyenangkan. Damai rasanya. Aku merasakan saat berinteraksi dengan bunga-bunga dan dedaunan itu bagai meditasiku, membawaku pada duniaku yang menyenangkan, dan sejenak aku bisa berada dalam imajinasi warna-warni dunia yang indah. Ya, begitulah, mungkin bunga-bunga ini adalah jalan meditasiku. Dan saat ini aku sudah mulai mengumpulkan dan terus mengumpulkan tentang dunia tumbuhan yang selalu menawanku. Senang sekali menggeluti bidang ini. Dan aku pun juga memiliki kebun kecil di belakang rumah yang saat ini bagai istanaku, bersama para cacing-cacing tanah, dan mikroba-mikroba penyubur tanah, yang selalu kuminta kebaikannya dari alam semesta memberikan kedamaian bagiku dan bagi kami semua. Rasanya bisa memanen sendiri sayuran di kebun, sembari melihat bunga-bunga mekar dan buah-buahan muncul dari tangkainya. Rasanya sungguh mendamaikan jiwa ini.

Itulah sekilas kenapa aku ingin selalu mengenal mereka.


Lihat koleksi foto-foto tanaman dan bunga ya di sini, sekaligus nama-nama mereka.
https://www.instagram.com/sekoya_flowers/


Semalam ngobrol sama teman super dekat, my best buddy. Katanya sih dia mau lebih kenal  diriku ini. Aih-aih  dek, aku bahkan kadang berpikir aku ini tak  terlalu kenal siapa aku ini.

Belum lama lah aku membuat simpulan sementara tentang aku ini, perempuan diberi nama sudiyah yang jujur lebih nyaman dipanggil Nonette, yang ternyata aku ini orangnya Caper banget. Caper- cari perhatian, iya benar cari perhatian. Aku belum lama ini mikir-mikir, "Kenapa aku begini, kenapa aku begitu? 'Ada Apa Dengan Aku?'. Kayaknya nggak kenapa-kenapa sih, tapi kenapa ada kenapa? Halah, malah bermain  kata. 

Ada bebarapa kisah masa laluku yang membuatku mikir aku ini orang caper, aku bagilah sedikit di sini.

1. Waktu SD, aku ngebet pengen jadi ketua kelas. Wih, jarang-jarang ada ketua kelas anak perempuan. Dan, di kelas 6 aku berhasil jadi ketua kelas, yang selalu mimpin baris masuk kelas atau mimpin berdoa sebelum mulai pelajaran. 'Siap grak! Berdoa mulai!'. Mission complete!

2. Waktu SMP kelas 2 aku pernah (tidak menyangka juga) jadi Juara Umum ke-3 dari 8 kelas (A-F). Artinya nilaiku tertinggi ke-3 dari seluruh kelas 2. Namaku dipanggil lho pas pengumuman setelah upacara, dikasih hadiah dari Kepala Sekolah. Wih, tepuk tangan meriah dari seluruh sekolah. Cukupkah? Ternyata enggak juga! Setelah berjaya di juara umum dadakan, aku banting nilai jadi entah bontot ke-berapa gitu. Hahaha.. "Kamu kenapa?", tanya guru dan teman-teman. Mission complete!

3. Nah, masuk SMA nih. Ospek dimulai. Kepikiran gimana caranya biar gampang dikenal orang. Ha! Bikin ulah. Akhirnya Ospek  hari pertama aku sengaja telat 1 jam. Dan, berhasil jaya. Aku kena hukum gila-gilaan,  dijadikan contoh  tidak baik. (Bodo amat, yang penting  sudah terkenal sekarang. :P. Kakak kelas yang ganteng-ganteng pun pada heran dan kepo, siapa gerangan adek nakal ini? hehehe)

Biar cepet terkenal lagi gampang caranya,  masuk ekskul yang populer! Aku nembak 3: OSIS, Paskibra dan Sispala.  Sayang OSIS aku gak keterima, bandel kali ya. Kenapa Paskib? Karena terkesan elit. Kenapa Sispala? Karena terkesan liar dan sedikit urakan. Berbalik arah kan? Yah, dan itu justru menyenangkan. Short cut!

4. Masuk kuliah. Masih ingin caper? Kayaknya iya. Skip lah yang ini. Rahasia dapur.

Yah, gitu deh. Aku tuh kayaknya emang gak suka dengan yang monoton. Kalau semua berwarna putih, aku pengennya jadi hitam. Biar kelihatan cuy. Segitunya amat ya jadi orang. Tapi sadar nggak sadar,itu memang begitu, dan terjadi sudah. 

Resiko? Jujur, tak terlalu kupedulikan. Kayaknya aku ini  lebih tertarik ke konsep 'caper'nya itu, tak peduli gimana caranya. Makanya, butuh teman yang rada waras yang bisa bilang 'stop' ketika aku sudah mulai melewati batas. Butuh manager-lah. Hehehe. Ada yang bersedia? Joking!

Ibaratnya aku itu Gon yang butuh didampingi Killua. Yoi, HxH mania. Hei Killua, kamu dimana? :P




"Kalau pengen ngrasain nikmatnya malam minggu, maka jadilah orang kantoran.", seorang kawan pernah berkata.

Kok bisa? Bukannya dari Senin sampai ketemu Senin lagi hari masih begitu-begitu juga. Lalu, kenapa akhir pekan jadi istimewa?

Ah! Aku ingat sebuah perumpamaan lama, "Jika ingin membuat dirimu lebih pintar, maka beradalah di antara orang bodoh.".

Jika ingin Sabtu-Minggu menyenangkan, jadikan hari lain menjadi tidak menyenangkan!

Nah, nyambung kan.

Ngopi dulu yuk. (Doodle ala-ala, ku, Mau rekues boleh lho :P )

Aku jadi berpikir lagi, kenapa aku merasa apa yang para orang kantoran itu rasakan. Weekend terasa jadi sangat dirindukan. Ah, jangan-jangan.... Ah, itulah, tak perlu kutuliskan.

Tapi,... Ini tapi, jika saja bisa menjadikan setiap hari menyenangkan layaknya akhir pekan, bukankah pasti akan keren?! "Everyday is weekend seperti itu.  Kkkk (ini bunyi ketawa nyinyir becanda ceritanya.)

Ketika Senin sampai Jumat, dari pagi sampai sore menjadi wajib bagiku untuk duduk manis di depan meja dan menghadap layar komputer, entah mengerjakan apapun itu demi karir yang katanya akan membawa kepada masa depan yang lebih pasti, aku merasa malah kepastian itu membuat aku jadi was-was. Lha kok bisa?

Dan ketika Jumat sore tiba, dan rasanya seolah hidup mengembalikanku pada warna-warna tak terduga, aku menjadi deg-degan, excited lah. Ah, mau ngapain ya akhir pekan ini? Naik gunung Salak pasti asyik, ngikut teman-teman manjat tebing keknya seru juga, jalan-jalan ke kota dan bereksperimen aneh-aneh kayaknya juga lumayan, atau bisa juga di kamar aja nonton dorama, nulis review dan ber-fangirl-ria di fandom Jpop? Seru banget pastinya! Gilak! Banyak banget rasanya yang ingin kulakukan di 2.5 hari dari 7 hari yang ada. Aku selalu bersemangat.


Lagi kangen juga sama emak Roma. :) Naik gunung kapan lagi euy?

Was-was di 5 hari sebelumnya kenapa? Karena bosan. Boredom, bosan adalah momok (atau teman) yang selalu menyertaiku selama ini. Entah setan (atau malaikat) yang selalu menjadi pengikutku untuk apapun yang kulakukan dari dulu yang menuntut pola, sesuatu yang bisa ditebak. Itu kurasa enggak asyik, kurang hidup. Bayangan harus menghabiskan waktu tanpa jejak itu menyakitkan imajinasiku. Sumpah ngeri! Meskipun ada sudut hati yang berbisik, "Songong banget lu! Kapan belajar serius dan menjadi orang dewasa?!", katanya. Tapi suara itu lemah sekali sehingga aku abaikan saja.

Ups! Tapi jangan salah, bosan yang kurasakan adalah tentang rutinitas ya, polanya. Ini beda dengan apa yang pekerjaannya sendiri. Aku jatuh cinta dengan dunia riset sejak dulu dengan satu alasan bahwa riset itu membawa sesuatu yang kita belum tahu, gak ketebak, dan itu seru. Jadi, aku tegaskan dulu bahwa aku mencintai pekerjaanku. Dan aku merasa, aku bisa bertanggung-jawab untuk output dan jadwal yang telah aku sepakati. Semoga paham maksudku. 


Aku berandai, lalu bagaimana ketika aku bisa mewujudkan semboyan 'everyday is weekend' itu? Tiap hari libur terus?

Nah, aku jadi kepikiran juga. Ketika sesuatu itu acak dan tidak membentuk suatu keteraturan atau tidak berpola, maka ada yang menyebut ini sebagai pola acak. Persis sama dengan ungkapan 'tidak memilihpun adalah sebuah pilihan'. Tunggu dulu, tiba-tiba aku kepikiran.

Apa!!! (nada lebay sinetron kita sambil melotot) Jadi, selama ini---- Ya, benar banget Net (ngomong ke aku sendiri), "Kita itu tidak pernah bisa bebas dari pola seperti halnya kita tidak bisa bebas dari pilihan." Selama kita hidup, kita akan dihadapkan pada semua itu. Jikapun kamu bisa liburan sepanjang waktu, kamu akan bosan dengan liburanmu itu!  Hahaha… Meskipun liburan itu dibayar? (Mana ada? Yang seleb liburan itu di tipi-tipi? Eh, itu juga kerja neng!) Mangkanya para pengangguran itu banyak yang setres karena terlalu banyak waktu luangnya.

Intinya, muncul persamaan yang menarik nih. Jika kerja di weekday sama dengan membosankan, dan ketika setiap hari libur terus-terusan juga membosankan. Maka,
Every day is weekend = Everyday is weekday.
Weekend = weekday
Ha ha ha.. Balik lagi kan jadinya. Weekend sama weekday itu gak ada bedanya. Sama saja.. Toh waktu masih 24 jam sehari dan ya begitu-begitu saja. Lalu apa bedanya? Tentunya kita yang bikin beda, rasa kita sebagai manusia. Aku agak ragu ketika berpikir apakah si Mamet, kucingku itu punya weekday dan weekend. Bagi dia ya sama aja, makan tidur pup, makan tidur pup, tiap hari begitu.

Kenalin, ini Mamet yang (mungkin) gak tahu konsep weekday-weekend. 


Kita sebagai manusia bisa bikin hari-hari kita jadi tidak membosankan. Bagaimana? Menurutku sih ya dengan mengkombinasikan antara aktivitas kehidupan kita yang beragam itu dengan seimbang. Orang kan macam-macam ya. Dan sah saja ketika masing-masing orang memilih cara mereka sendiri. Kalau boleh bikin proposal sih ya, bisa nggak sih jam kerja kantoran dikurangi? Hahaha…Kan seminggu ada 7 hari, kenapa nggak fifty-fifty?

Ada yang tahu kah, siapa dulu yang nyiptain sistem 5:2? Siapakah  yang memulai mitos weekday dan weekend? Siapakah yang menjadikan Senin menjadi momok banyak orang ngantor?

Mari kita akhiri teror 'I hate Monday' ini. Jadikan tiap hari menjadi berwarna-warni. We can work anywhere and anytime we want. Ambil secangkir kopi, ngudud bagi yang suka dimanjakan nikotin, atau sekedar mengawang menikmati angin di Senin pagi. Free your self.


I love everyday! 


SEE YOU ON TOP! 


Doodling, bahasa gaulnya corat-coret, menjadi semacam hal yang menyenangkan kulakukan akhir-akhir ini.  IPad  yang biasanya ngganggur di kamar akhirnya jadi lebih sering bekerja. Berbekal aplikasi gratis dan ujung jemari, aku mulai corat-coret. Dan, ternyata menyenangkan banget. Tidak banyak waktu, paling lama 30 menit-an untuk menggambar satu doodle. Inspirasi datang dari mana saja, mulai dari foto, kenangan, dan bahkan obrolan dengan orang-orang. Dan tak kusangka, hasilnya membuatku senang. Ya, terlepas bagus atau tidaknya hasil corat-coret itu. Tapi, yang jelas aku senang. Bersama dengan hashtag #dailydoodle, adalah keinginan saat ini agar aku bisa meluangkan paling 15-30 menit setiap harinya untuk doodling. Kenapa? Karena ini seperti semacam healing, mengembalikan lagi semangat menjalani waktu. Berimajinasi dan berkreasi tanpa batas.

Di bawah ini adalah beberapa hasil doodle-anku beberapa hari terakhir. Gimana menurut kalian?





Yang mau lihat-lihat hasil lainnya dan untuk update bisa follow aku instagram aku di @sudiyah262. Let's have fun! 

Bahwa sebuah perjalanan itu, traveling itu, tidak terbatas pada jalan-jalan badan saja, mengunjungi tempat baru saja, bertemu orang baru saja dan belajar budaya baru saja. Bertemu dengan sisi lain diri sendiri juga adalah sebuah petualangan yang menakjubkan! 

Well, (Fyuh, sebenarnya aku paling anti nulis campur baur bahasa Indonesia-Inggris tapi memang kadang 'rasa'nya beda, feelnya beda. Hahaha.. So, lupakan dulu sekarang.) . Balik lagi, well, cerita ini berawal ketika pada suatu libur panjang akhir minggu aku bingung mau ngapain. Mau naik gunung gak ada temen, mau jalan jauh dikit duit mepet dan jalanan macet dimana-mana, ngabisin waktu di rumah rasanya sayang banget. Hingga kemudian Sheila, seorang kawanku yang kece badai, ngusulin "Mbak, gimana kalau kita cosplay-an?". 

Semua orang pasti punya hal-hal yang ingin dilakukan dalam hidupnya, yah semacam Bucket list lah (siapa yang sudah lihat filmnya? Cung!) yang berisi hal-hal yang ingin dilakukan sebelum waktu hidup habis, 'Things to do before you die!'. Nah, aku dan pastinya kamu juga punya kan daftar semacam ini. Aku juga ada! Selain ingin bertemu penguin langsung di Antartika, salah satu daftar di Bucket list-ku adalah bermain kostum atau Cosplay.

Ajakan Sheila tentunya adalah pertanda bahwa saatnya telah tiba satu dari bucket listku perlu dicoret. Sip, mari kita cobain bermain kostum, berdandan memainkan suatu karakter dalam balutan kostum dan pamer di depan orang banyak. Rencana untuk ber-cosplay di Tokyo bolehlah tertunda, kita bisa berekspresi juga di dekat sini, dan Kota Tua Jakarta adalah pilihan utama. Apa yang cocok dengan Kota Tua, tentunya noni-noni Belanda ( yang ujung-ujungnya malah cosplay jurig). Haha! Let's just do it.

So, hari itu tanggal 26 September, aku dan Sheila dibantu Habibah yang setia jadi asisten dan juga Jamani Uyee sang fotografer melakukan petualangan seru. Yah, minimal buatku lah. Aku merasakan kesenangan yang mirip saat kurasakan saat aku jalan-jalan. Ada rasa baru, ada petualangan baru. Bedanya, ini bukan lagi eksplorasi ruang, budaya dan manusia di luar sana, tapi lebih ke sesuatu yang ada pada diriku sendiri yang selama ini masih terpendam. Dan ketika dia dibebaskan, wuhhh rasanya itu lho, kayak sedang menatap megahnya Gunung St. Helens di Washington sana. Sumpah deh!

Jadi, kesimpulanku adalah konsep traveling itu bukan melulu jalan-jalan, bisa juga dengan mewujudkan hal-hal yang sangat ingin kita lakukan, segila apapun, seaneh apapun, se-absurd apapun. Yah, asal jangan yang kriminal aja.

Terimakasih ya,
  • untuk Sheila sang partner yang mau gila bersamaku,
  • Untuk Jamani Uyee yang mau jadi fotografer kami (I am your fan!)
  • Untuk Habibah yang menjadi asisten terbaik
  • Dabibah untuk kostum
  • Dan untuk diriku sendiri juga yang mau melakukan petualangan seru ini.


Berikut adalah beberapa foto karya sang fotografer saat kami cosplay-an kemarin. Keren kan! :)  Lain kali bolehlah cosplay-an lagi. Jadi zombie kayaknya seru juga. :D

Note: Aku tidak pakai buka kbbi ataupun oxford dictionary, jadi arti kata ya suka-suka.. hehe


Dandan dulu :)

Another good shot! :)

Ujung-ujungnya jadi begini :P
Kayaknya ini yang paling bagus deh. :)

Fotografer kita +jamani uye 

Behind the scene lah ceritanyah :)



Let's travel, let's adventure, let's have fun! 
(Catatan: Riska, Bang Asun, Pak Ntis, Habibah, dan nama-nama yang kucatut, mohon ijinnya ya.. Hehehe)


Siapa yang suka bangun pagi di akhir pekan?!  Adakah? Apakah aku? Akupun ragu. Dan ini adalah cerita tentang Sabtu pagi-ku di pertengahan Desember. Cerita yang berlatarkan Ciliwung dan ke-tiba-tiba-an (mungkin kalau istilah Inggrisnya Ke-suddenly-an kali ya) niatku yang ujug-ujug muncul. Simak ya.

Jumat malam itu aku buka-buka dan kubaca SMS masuk. Satu SMS yang selalu hadir tiap Jumat itu berbunyi: "KPC Bogor Sabtu 12/12/15 mulung sampah bebersih Ciliwung. Kumpul pkl 08.00 wib di depan mesin pencacah plastik KPC Sempur. CP Joko 021xxxx.". Aih, beberapa kawan-kawanku di Bogor pastilah sudah sangat akrab dengan SMS itu. Kamu juga sering dapat ya? Hehehe.. Seingatku dulu, ada ratusan nomer HP yang mendapatkan SMS rutin itu tiap Jumat. Dan ini sudah tahun ke-7, KPC Bogor bergelut dengan Ciliwung, mengajak puluhan-ratusan-bahkan ribuan orang untuk menengok kembali sungai yang pernah jadi wajah sejarah Pajajaran ini. (Kenapa sejarah? Aku teringat cerita jalur tamu dan jalur bangsawan, cerita dari Mas Hari Kikuk tentang sungai ini di jaman dulu.). Kubaca sekilas SMS itu, dan ujug-ujug aku merasa berkepentingan untuk ke Sempur. Okelah, fix! Besok pagi aku ikut mulung. Kuajak Habibah, kawan kosanku yang masih muda belia, dan tak banyak cingcong dia langsung jawab "Oke mbak!".

Tidak jauh, meskipun tak bisa dibilang dekat juga. Kami sampai di Sempur, turun dari angkot 03 yang sesak, jam 8 kurang sepuluh menit. Di tempat berkumpul kulihat seorang ibu paruh baya sedang asik menikmati sebatang rokok. Alamak, jadi pengen juga. Ups, tahan dulu. Kusapa si ibu dan kutanya apa dia datang untuk KPC. Eh, ternyata dia hanya sedang menikmati pagi rupanya. Ah, yasudahlah. Tak berapa lama, Pak Joko sang CP (Contact Person) muncul. Dia mengatakan akan datang juga kawan dari IPB, tepatnya dari Fakultas Ekologi Manusia yang ingin gabung mulung Sabtu pagi ini. Ah, baguslah. Semakin rame biar semakin seru. Dan datanglah mereka, 5 cewek berkerudung dengan kaos hijau pastel kembar. Salah seorang membawa tripod dan lainnya membawa kamera DSLR. Tarohan, pasti tugas kuliah. Hehehe.. Dan memang benar dugaanku.  Mereka pun membuat entahlah, semacam film mungkin, dengan mewawancarai Pak Joko. Aku dan Habibah, melihat-lihat saja sambil sesekali selfie di pinggir sungai. Waktu berselang dan Pak Ntis datang membawa senjata kami: KARUNG!!!

Laskar Karung KPC - Sabtu pagi itu
(Photo by: Sutisna Rey)
Aku dan Habibah mulai mulung duluan. Kuambil 2 karung, satu untuk seorang dan kami turun ke sungai. Kulihat, sampah banyak nyangkut di tepi sungai, terbawa banjir semalam. Gak kebayang, sampah dari mana saja ini? Mulailah aku dan Habibah mulung apa yang bisa dipulung, mulai dari bungkus detergen, bungkus indomi, hingga kutang dan puluhan popok bayi. Nah, yang terakhir itu perlu digaris-bawahi, POPOK BAYI. Astaga,...! Kenapa ya orang-orang ini? Sakit jiwa? Kenapa banyak banget ya popok bayi di kali? Sejak mulung kapan tahun, popok bayi seakan jadi tamu wajib. Bahkan, pernah nih, aku dapat popok bayi yang masih segar berisi. Pasti tahu kan isinya apa? Pokoknya, warnanya gak kalah gonjreng dibanding bendera partai sebelah itu. Jadi gatel pingin ngomongin popok nih. Yuk mari,..

Penggunaan popok bayi sekali pakai sepertinya memang menjadi hal yang perlu diperhatikan. Karena sepertinya, para ibu-ibu (atau bapak-bapak?) penggunanya masih bingung bagaimana cara mengelolanya. "Make'nya sih gampang. Sekali bayi brott langsung buang gak perlu dicuci." Iya sih. Tapi, buangnya gak harus di kali juga. Lalu dimana? Di tempat sampah? Bau kali, jorok, dll. Lah, dikira dibuang di kali gak jorok? Sebenarnya aku pun gak tahu gimana caranya buang popok bayi bekas yang benar. Maklum belum pernah ber-bayi. Apakah di kuning harus dibuang dulu di WC, atau langsung aja buang bareng sama popok-popoknya. Entahlah. Tapi yang jelas, yang make harusnya tahu. Yang jual harusnya juga ngasih tahu. Btw, dikasih tahu gak sih? Jadi ingat sama Jeng Riska, sang dewi Ikan dari Surabaya yang pernah getol mengangkat fenomena popok bayi ini juga. Jeng, gimana sekarang kondisi Kali Surabaya? Apakah popok masih banyak dijumpa? Bang Asun sempat mengajak ber-ide,"Gimana ya caranya biar orang gak buang popok di kali? Apa perlu kita bikin mitos? Orang kita kalau ke mitos lebih cepat percayanya!". Ah, bener juga kataku. Bikin aja rumor,"Buang popok di kali bisa bikin ruam pantat bayi.". Kali-kali aja itu manjur. Sudahlah, popok bayi mah. Lanjut  lagi,..

Oops, ada popok bayi pasti di sana!
(Photo: Sutisna Rey)

Kawan-kawan dari IPB pun ikut nyemplung bersama, jadi ada 5 tambah 2 tambah 2, ahh. 9 orang totalnya yang mulung hari ini. Lumayanlah. Kami bersemangat mengangkut sampah-sampah itu. Aku, paling senang, mengais-ngais sampah yang nyangkut di celah batu. Sampah kayak gitu, kelihatannya dikit, tapi wooo...aslinya banyak. Lebih seru lagi kalau nemu 'Anaconda Ciliwung'. Dijamin keringat mengucur deras. Satu demi satu sampah kami masukkan karung, hingga kemudian tercium baru menyengat yang hampir membuatku muntah. Di dunia ini, hanya satu bau yang bisa membuat mataku langsung merah berair dan perutku seakan mau keluar. Bau bangkai. Dan di Sabtu pagi inipun, bau ini hampir berhasil membuatku mual. Aku tidak sanggup lagi dan tak berapa kami penuhi karung, kami berhenti. Kebetulan karung juga sudah habis, meskipun sampah masih berserakan. Cukup hari ini. Kamipun berpisah dan kembali ke aktivitas masing-masing. Hampir jam 10 pagi waktu itu.

Sambil berjalan di tepi sungai, Habibah mengatakan, "Enak juga ya melakukan begini di akhir pekan?". Aku pun sedikit terhenyak dengan pernyataan itu. Enak? Apanya yang enak? Kalau enak kan pasti banyak orang yang akan turun. Aku berpikir, apa yang bisa dilakukan untuk menjadikan orang juga merasa 'enak' seperti yang Habibah rasakan, seperti juga yang aku rasakan. Rasa enak yang absurd inilah yang mahal. Rasa 'enak' inilah yang bisa menjadi fondasi dasar semua kegiatan yang berdasarkan ke-suka-rela-an atau voluntarisme. Tak ada orang yang dibayar di sini, tak ada fasilitas apapun di sini. Bahkan, yang akan ditemui adalah gundukan sampah yang bahkan menggunung, berbau busuk dan menjijikkan. Tapi, ada yang bilang itu semua 'Enak'.

Aku teringat dulu, setahun lalu aku sempat menanyakan hal yang sama pada beberapa orang di Oregon sana, "What makes you do that voluntary works? Why do you want to do it?". Kenapa orang mau-maunya bersihin rumput di taman kota, kenapa mereka mau nyumbang duit banyak untuk restorasi ikan? Buat apa mereka merelakan waktu untuk ini dan untuk itu? Dan jawabannya hanya sederhana, "I feel good with it.". Sesederhana itu saja. Orang merasa baik, orang merasa enak. Mungkin seperti Habibah bilang 'enak' tadi. 

"Apa kamu punya ide untuk KPC Bogor Net?", tanya Bang Asun dan Pak Ntis siangnya, di kantor FWI yang sudah jadi rumah singgah wajib sehabis mulung, selain tentunya kantor INFIS. Pertanyaan ini agak-agak berat gimana gitu ya. Jujur, aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri dan kerja yang sebenarnya sibuk gak sibuk. Setelah beberapa waktu aku tidak datang di Sabtu pagi, aku merasa tidak layak menjawab pertanyaan itu. Tunggu, tunggu! "Come on Net, this is not very you! ", kudengar aku memarahi diriku sendiri. Hahaha... Oke, oke. Aku coba jawab pertanyaan itu.

Jadi, sama seperti yang kuceritakan tentang Habibah dan rasa 'enak'nya yang absurd itu. Intinya adalah bagaimana membuat orang merasakan 'enak' itu, 'feel good' itu. Bagaimana membuat Ciliwung mempesona bagi mereka? Bagaimana membuat sungai ini menjadi ajang orang-orang berekpresi. Orang yang mau ibadah, bisa bersyukur dan beramal di Ciliwung. Orang yang agak narsis (saya misalnya) bisa selfie-selfie sambil mulung sampah Ciliwung biar kelihatan jadi orang baik. Hahaha.. Yang doyan bermedsos, bisa update status entah di Fesbuk, Twitter, Path, instagram atau apapun lah dengan hashtag Ciliwung. Orang yang doyan nulis pasti akan banyak bahan tulisan. Orang yang suka riset bisa juga cari bahan riset. Atau orang yang memang doyan nyemplung kali  ya tinggal nyemplung aja. Hehehe.. Sepertinya sederhana kan. Memang pada dasarnya, niat ber-voluntary, umumnya sederhana. 

Bagaimana cara? Yok cari bareng-bareng. Yang jelas nyata bagiku adalah, kalau tujuannya kampanye ya harus dilihat banyak orang, didengar banyak orang. Biarkan orang tahu dan melihat. Kalau mereka lihat kita 'enak' toh mereka pasti akan ikutan. Kalau 'enak' sendiri mah apa bedanya sama 'itu'. Hahaha... Maaf, saya nulis ini sudah agak malam sih,  jadi sedikit nyrempet-nyrempet.  Sepertinya sudah ngantuk saya, jadi sudahan dulu ya. Yang jelas, 'enak absurd' itu yang perlu dicari dan mari temukan itu bersama-sama. 

Bukankah begitu kawan?

Salam cinta dan rinduku pada sungai, gunung, hutan, alam semesta dan manusia yang sangat indah. Muachh..

Dan terutama untuk Ciliwung yang berhasil membuatku bangun pagi di Sabtu pagi! Good job C!


Minggu, 13 Desember 2015 (23:49)

Kaos Ijo kawan-kawan FEMA IPB, aku dan Habibah. C...
(photo by: Sutisna Rey)

Giliran teman-teman FEMA IPB, Pak Joko, Pak Ntis, dan Habibah
(Fotonya pastinya aku yang njepret :) )

-----


Semua ini berawal dari ketertarikanku pada Beyonce atau yang lebih dikenal dengan julukan Queen Bey, bisa dibilang satu dari 'the sexiest women on earth'. Aku menjelajah jagad Youtube untuk sekedar menikmati alunan merdu suara sang Ratu. Hingga pada satu lagu super romantis berjudul 'Drunk In Love' yang dinyanyikan Queen Bey dan suaminya Jay Z. Tak lengkap rasanya jika menonton video di Youtube tanpa melihat sekilas komentar para viewer. Lalu, aku temukan komentar menarik, "I don't understand why someone like her can fall for Jay Z who has no sex appeal at all. What happen with her sex life now? Is it already dead?". Yang kemudian, komentar itu dijawab dengan sangat menarik juga, "She falls for Jay Z because he has a sexy idea. She falls for it!". 

Look at how Queen Bey staring at Jay Z, kind of cute! (img source: here)

Nah lho, di sanalah awal aku kepikiran dengan konsep sexy mind. Apa sebenarnya itu? Sekuat apakah keseksian pikiran ini hingga bisa melampaui batasan-batasan fisik?

Bagaimana menjalani dan memandang kehidupan, bagaimana membebaskan diri dalam ekspresi tak terbatas, dan bagaimana bersikap jujur pada nurani, seperti itu mungkin konsepnya yang bisa kucoba jabarkan. Tentu tidak semua orang bisa seperti itu, sama halnya tidak semua orang punya sex-appeal yang kuat secara ragawi. Orang-orang dengan pemikiran yang unik pasti akan menjadi menonjol di antara sekumpulan orang di dunia yang semakin terasa palsu ini. Ketertarikan pada sesuatu yang unik adalah bawaan manusia, basic instinct barangkali. Kalau sudah tertarik pasti jadi kepo, bawaannya ingin tahu terus. Kalau sudah begitu pasti akan mendekat dan semakin dekat. Byarr! Jadian deh. Hehehe.. 

Terlepas bagaimana pun wujud dan bentuknya, seseorang dengan sexy mind pasti akan selalu mendapatkan pengagumnya. Aku pun demikian, ketertarikanku pada seseorang boleh saja berawal dari fisik karena itu yang memang pertama bisa terlihat. Tapi, pemikiran yang jujur dan penuh petualangan adalah pesona tiada akhir bagi diriku yang selalu ingin punya teman yang seru. Teman yang bisa mengimbangi perangkat lunak di otakku yang liar. Agar sampai kapanpun nanti, aku tak perlu men-downgrade (Ups! Bisa jadi aku terlalu meninggikan diriku sendiri. Hehehe.. ) diriku sendiri hanya untuk sekedar menjadi compatible dengan seseorang yang tak pernah bisa kupahami. Begitu pula sebaliknya, aku takut juga jadi men-downgrade orang lain. Karena itu juga aku mudah jatuh hati pada orang-orang yang cerdas, bebas, dan liar. 

Yoi... Ada gak ya orang seperti itu? Pastinya ada lah. Aku percaya selalu hal itu. Dan kalau sudah kutemukan, seseorang dengan 'sexy and beautiful mind' itu pasti akan kuperjuangkan mati-matian agar selalu bisa bersamaku. ðŸ˜‰

Aku pun ingin jadi sexy, makanya aku coba jujur pada diri sendiri. Sudahkah ada yang tertarik? Hehehe...

Lalu, mengalunlah sendu lagu 'Jatuh hati' dari Raisa,... Ya, cinta memang banyak bentuknya. 

"... Ku terpikat pada tuturmu. Aku tersihir jiwamu. 
Terkagum pada pandangmu, caramu melihat dunia. 
Ku ingin kau tahu bahwa ku terinspirasi hatimu. 
Ku tak harus memilikimu, tapi bolehkah ku selalu di dekatmu... "




"For someone with the most beautiful and sexiest mind I've ever found, please let me always be by your side."


(Below is the result summary of my study while I was in World Forest Institute's fellowship program. This was also a paper material that was already accepted for IS-River conference in France-2015 which unfortunately I was not able to attend. I just want to share it again here on my personal blog.) 
----

Public Engagement in River Management, Lessons Learned From The Willamette River in USA to Indonesia’s River

Sudiyah Istichomah

Indonesia,  nonette262@gmail.com


ABSTRACT
There is an obvious need for the public to be involved in the management of natural resources, including forests, rivers, and resources. There are major challenges in Indonesia around river management such as floods, pollution, land conversion, and low community participation. The Minister of Environment stated that in 2014 75% of the large rivers in Indonesia were contaminated. This study aimed to explore how rivers are managed in the US, using the Willamette River in Portland as a case study. The focus was especially on public involvement  and how that can be applied to Indonesia. Many things can be learned from the Willamette River are 1) Government agencies are actively involved in community programs, the public are also actively involved, and there are nonprofit organizations that oversee government management, 2) Things like dam removal, installation of LWD for fish habitat, and re-meandering rivers are all management tools that would benefit Indonesia, 3) The use of an iconic species such as salmon as the impetus to restore the river is an excellent idea. Indonesia can look for an iconic  species  of their own , 4) Using the river as part of urban ecotourism. The Willamette River is a great Portland attraction for things like jogging, sailing, swimming, etc.



KEYWORDS
Public engagement, involvement, river, USA, Indonesia


1           Introduction

      Indonesian River and Challenges

There is an obvious need for the public to be involved in the management of natural resources, including forests, rivers, and resources. Today, water and river management  is an important issue around the world. There are major challenges in Indonesia around river management such as floods, pollution, land conversion, and low community participation. The Minister of Environment stated that in 2014 75% of the large rivers in Indonesia were contaminated.

This study aimed to explore how rivers are managed in the US, using the Willamette River in Portland as a case study. The focus was especially on public involvement  and how that can be applied to Indonesia.

Why this study is important:
  1. Water is necessary for all life on earth. Rivers reflect the level care that is put into managing water resource and they need to be cared for.
  2. Learning how developed countries use public involvement in river management  in important so that developing countries can learn from these models.
  3. The Willamette River is an important river in Oregon. It flows through the city of Portland and has a complex management, influenced by the urban environment with many different governmental and interested parties engaged in its management.
For 6 six months fellowship program in World Forest Institute, June – November 2014, writer did a study to learn about river management within the USA, with case study of the Willamette River in Portland, Oregon State. The study’s objectives are to know about the general condition of the river management and to find lessons learned that can be applied in Indonesia.

Four main questions for this study are,
  1. What is the current state of management of the Willamette River in Portland?
  2. Who are the actors that play a role in the management of the river and what are the roles?
  3. Is there a forum that brings together those parties?
  4. How does it compare with the situation in Indonesia?
The research was conducted in two ways: interviews and literature studies. Interviews were conducted with government agencies, experts, non-profit organizations and the general public in random. Literature was reviewed from websites, journals, news and other sources. A number of  fieldtrips with the World Forest Institute also allowed me to gain knowledge about the management of natural resources, especially rivers of PNW in general.

2. RESULT

2.1 Willamette River – Portland, A river with a long history

The Willamette River Basin is the largest watershed in the state, covering more than 11,500 square miles. Portland occupies only a small fraction of the river’s drainage basin, about one-half of one percent, but is the most urbanized area. Native salmon, steelhead and other fish and wildlife species live within Portland’s urban boundary, and also  migrate through Portland to other parts of the Willamette River Basin, Columbia River Basin and beyond.
The Willamette River faces a lot of problems, including pollution and water quality. In 2000, the federal government established that the river has become one of the Super Fund site cleanup projects because of it’s heavy pollution. This program involves many stakeholders: governments, private companies, numbers of environmental organizations, and also the general public who actively care for the implementation of the programs.

Restoration carried out in upstream rivers and creeks also provide a major influence on the Willamette River in Portland. Restoration of the Willamette River, and generally in the PNW, is closely related to salmon, which has been included in the category of endangered species. Salmon migrations connect the downstream and upstream of river systems and salmon habitat restoration has proven beneficial for the restoration of the river as a whole. Various restoration programs are conducted with the involvement of the general public, such as  volunteer-based tree planting, cleaning streams of garbage, and invasive species removal.

2.2 Actors in Willamette River Management

Who are the actors in river management?
In general, there are four groups that play an active role in management: Government, Private companies/ land owners, nonprofit organizations, and the general public.

Government plays the largest role in river management. They set the policy and develop the manage plans. They engage the public throughout the entire process using various means. Some of these are: transparency – letting the media and public know of their plans, public comment periods for each program so they know what the public wants, providing public field tours, and creating advisory groups.

Nonprofit organizations such as Willamette Riverkeepers or watershed councils can play a complimentary role to government organizations. Through their programs and campaigns, they raise awareness about the river and encourage public to be more. They also can monitor the work of government.

Private companies and land owners typically use a lot of water resources for their business and do have a voice in management of the water. They can support the government and nonprofit organizations that works for river by give fund or have partnership. Landowners usually do the stream restoration and conservation in their property.

The general public is the most important part of this system. The public can actively participate in river management in many ways: read the news and updates about government programs, give active responses during public comment periods, and volunteer in events related to the river.

There are of course many divergent opinions about and interests in the Willamette River. Public engagement is one way to help the various groups work together and understand each other interests in the water. However, developing  discussion forums and consensus on ideas and is difficult and requires a lot of work to have all the parties come together.

Are there forums that bring together interested parties?
Advisory councils and watershed councils provide a forum for people to meet and discuss their concerns about the river.
Watershed councils are locally organized, voluntary, non-regulatory groups established to improve the conditions of watersheds in their local area. They bring together local stakeholders from private, local, state, and federal interests in a partnership, to help plan restoration. In Oregon, there are at least 74 watershed councils that build a big network of people dedicated to supporting the work of river protection and restoration throughout the state.

2.3 Lessons Learned: From Portland to Indonesia
River management in Indonesia is led by the government. There are at least 14 ministries related to water management with the Ministry of Public Work being the main ministry in charge of infrastructure and management of the river. There are also several NGOs that are actively involved in water issues. But there is  a lack of participation by the general public.

In Indonesia, there is also a Water Resources Council, a forum of river management parties at the national or provincial level. They don’t function well however  because coordination is lacking and not everyone’s interests can be accommodated. The most interesting thing is the trend of community volunteer organizations like River Defenders which recently formed all around Indonesia as an expression of concern from a small number of the public for the poor condition of the river.

Many things can be learned from the Willamette River:
  •  Government agencies are actively involved in community programs, the public are also actively involved, and there are nonprofit organizations that oversee government management.
  • Things like dam removal, installation of LWD for fish habitat, and re-meandering rivers are all management tools that would benefit Indonesia.
  • The use of an iconic species such as salmon as the impetus to restore the river is an excellent idea. Indonesia can look for an iconic  species  of their own.
  • Using the river as part of urban ecotourism. The Willamette River is a great Portland attraction for things like jogging, sailing, swimming, etc.. Urban rivers in Indonesia have not been widely used for leisure purposes.

---------

img source: here 








Serayu River - Central Java (2011)


"If you have what it takes to make a big change in the environmental condition in this country, what would you want to do?", one of my friend asked me that question. And now, I am still thinking about that. A simple question doesn't always need a simple answer. It can be so much complicated. But, the simpler is the easier to understand, even for the answerer. So, I think that I would just to answer it in simple way.  

It was all started with my 'accidental' interest in river and water management issue that leads me to know a little faction of this big issue. What I know all this time is that there's something wrong with the water management in this country. And, just like everybody else, the easiest way to do is blaming the government. I said, "They should or shouldn't do this and that, bla bla bla...!". I always ask for action from others with justification that that's all their job and I do not have enough power to do it myself. Then, the question hit me for a second!  

If I have all the resources I need (fund, time, team) in order to change the current poor condition of the river in this country, what would I do? What I want to do? Hahaha.. It really hits me. I didn't have confidence answering it in a blink of eye.  Unexpectedly, I need more time to think. Whoaa...! I got something on my mind that really interest me. Maybe my confusion is just the same thing with what the government has. They have resources, they have power, but maybe they don't any confidence too, just like me. Or, is it just me who lack of imagination? Who knows?

Well, I will try to answer it here.

In this case, I will create a team whose members are credible and expert in the field.  “The right man in the right place”, they said. Every single person on earth has what they can or can’t do by themselves. To do something that we able to do is one of the ways to gain success in our work. Do not make mistake like put someone in the wrong place. Do not make me a singer while I am a tone-deaf person. Just like, do not make an economist to do some conservation jobs. It’s not about if they can’t do the work or vice-versa. Like in an Indian movie ‘3 Idiots’ I watched several years ago, “Can you imagine if Mariah Carey became an Engineer?!” It doesn’t mean that she can’t but her best is to be a singer.

My position? Of course, I would like to choose to be the leader. Why? My experience when I was chosen as a class representative in SD (elementary school) still lingers in my mind and I think it is not a bad idea to do it again. Post power syndrome! (Lol)

Then, I will just ask them the same question, “What would you like to do if you have what it takes to…”.  The right person in the right place and time will know the answer. We will work together as a perfect team! (Somehow, it feels like Multi Level Marketing.

As simple as that!

Further question? Let’s wait for the expert’s answer. Maybe ‘The Fish Goddess’ Riska Darmawanti has an answer regarding the river ecology, or the activist of Ciliwung Sudirman Asun has answer about people’ voluntarism, etc. The names I mentioned here just several names that came to my mind when I was writing this. So, it doesn’t mean anything actually.

How would I know the best person? How can I manage all of them? How to ensure everything is okay? How this and that? (OMG! Why this ‘How’ question is so complicated? How many ‘Hows’ are there? 

I am laughing to myself again. Maybe I am not qualified to be a good leader like I said. It’s a half joke! I would prefer to be one of the team members who work for the river. What can I do? Social Research maybe…. I am still learning too. 

And I don't think that this note can give the real answer to the question itself.

You?

img source: here 





Hutan TN Gede Pangrango dilihat dari Desa Cimande bersebelahan dengan Desa Pancawati, Caringin, Bogor. 


"Ya, di situ di DAS.", kata Pak Jamil (bukan nama asli) - seorang warga desa sambil menunjuk jurang tempat Sungai Cimande mengalir. Dalam hatiku aku was-was. Kenapa? Terdengar lagi satu istilah yang sempat membuatku berkerut : DAS atau Daerah Aliran Sungai. Jangan-jangan,.... Mari disimak apa yang terpikir olehku saat itu. 

Hari ini, aku mengunjungi Desa Pancawati, sebuah desa di Kaki Gunung Pangrango yang diapit oleh rimba yang kini telah berstatus Taman Nasional Gede Pangrango dan daerah-daerah industri terutama Pabrik Danone Aqua yang boleh dikatakan sebagai perusahaan air minum dalam kemasan terbesar di Indonesia. Di desa yang katanya merupakan daerah yang dekat atau malah memang daerah 'recharging area' - kawasan untuk serapan air tanah, berbagai kegiatan yang melibatkan perusahaan air itu pun menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Danone telah menggelontorkan dana CSRnya dan mungkin dana lainnya juga di sini. Melalui LSM lokal setempat, perusahaan itu telah membantu masyarakat setempat baik dalam bidang ekonomi ataupun pembinaan tentang lingkungannya. Tak lupa pula, ada peran taman nasional yang juga ikut kecipratan 'rejeki' dari adanya perusahaan besar ini. Nah, apa hubungannya dengan Pak Jamal dan DAS? Aku bukannya akan membahas tentang program ataupun untung rugi adanya interaksi ini. Aku hanya ingin menggaris-bawahi penggunaan istilah populer, terkesan scientific, cerdas, dan sering sekali disalah-pahami, yaitu DAS. 

Interaksi yang intensif antara masyarakat dengan golongan akademisi, peneliti, perwakilan perusahaan dan aktivis lingkungan yang kadang menggunakan kata-kata dan istilah tertentu, pasti akan menulari pula penduduk dampingan. Karena ini terkait air, maka istilah DAS ikut-ikut terbawa. Bagus di satu sisi. Tapi, jika terjadi kesalah-pahaman tentu menjadi kurang bagus. Nah, ini pula yang aku kuatirkan terjadi dengan Pak Jamal. Ketika dia menyebut kata DAS sambil menunjuk sungai dengan yakinnya, aku mulai ber-dejavu dengan pengalamanku dulu saat aku menemui permasalahan yang serupa. Orang seringkali aku temui menyalah-artikan definisi DAS dengan wilayah kanan-kiri sungai yang dibatasi garis sempadan sungai. Padahal, dua hal itu jelas tidak sama. (Ups, istilah bantaran dan sempada saja ternyata artinya beda. :O) 

"Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan." (UU no. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air). 

Sedangkan garis sempadan sungai adalah garis maya/khayal di kanan dan kiri palung sungai yang ditetapkan untuk perlindungan sungai (PP 38/2011 tentang Sungai). Nah, daerah antara garis sempadan dan palung sungai itu yang mungkin seringkali disalah-pahami sebagai DAS. Silakan disanggah jika asumsiku kurang tepat.

Apa yang membuat dua hal ini sering disama-artikan ya? Ada yang tahu? Monggo kalau mau urun suara bisa dikomen. 

Dengan perkataan Pak Jamil di atas tadi, aku berasumsi bahwa dia salah paham. (Aku akan coba cek lagi kapan-kapan. :) ) Pertanyaan lanjutannya adalah, darimana dia bisa salah paham? Ada dua kemungkinan, yaitu: dia memang salah paham sendiri atau jangan-janan memang pendamping masyarakat yang mengenalkan definisi DAS itu pada Pak Jamil sudah salah paham duluan. Tidak mustahil terjadi kemungkinan yang kedua. 

Nah, lalu yang menjadi perhatianku adalah penggunaan istilah dan bahasa-bahasa tertentu ketika berbicara dengan masyarakat umum. Kenapa ada jurusan khusus komunikasi dengan masyarakat di kampus-kampus terkenal, misalnya saja IPB yang punya KPM (Komunikasi Pengembangan Masyarakat)? Pasti karena berkomunikasi dengan masyarakat itu bukan perkara mudah. Karena itu diperlukan keterampilan khusus yang mumpuni agar apa yang kita sampaikan benar-benar pas dipahami oleh mereka, tidak kurang dan tidak lebih.Jangan sampai salah paham apalagi salah langkah. :)

Aku dulu sempat jengkel terhadap seorang kawan yang punya hobi ngomong dengan 'Bahasa Dewa' - suatu istilah untuk bahasa yang susah dipahami konteks maupun maknanya tapi terdengar 'wah' karenan banyaknya penggunaan kata-kata asing, serapan, dan akademis. Ampun banget orang-orang kayak gini! Pernah aku katakan langsung bahwa bisa saja bagi dia indikator seseorang itu cerdas adalah dari semakin tidak dipahaminya apa yang dibicarakannya. "Semakin orang gak paham, maka lo semakin keren dan cerdas!", kataku saat itu. Tapi, masa ya gitu sih? 

Aih, aku tetiba jadi teringat video rekamana Vicky Prasetyo saat pidato pemilihan Kades dengan bahasa Inggris ngaco-nya, yang diiringi para tetua desa yang manggut-manggut entah kagum, entah ngerti, atau entahlah. Jangan sampai kita seperti itu. 

Lhah kok, nyambungnya sama salah konsepsi DAS apa? Coba kamu sambungkan sendiri, lagipula semua ini hanya asumsiku.

Aku di TKP :)