Tampilkan postingan dengan label Heart to Heart. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Heart to Heart. Tampilkan semua postingan

Satu hati untukmu, untukku. 
Dalam hiruk pikuk pikiran yang melaju cepat menyisakan pandangan bakal kabut tebal yang menutup semua pandangan, tiba-tiba aku bertemu dengan sebuah hati. Dia yang kukenal sejak dulu, dia yang memberiku rasa tenang dan damai yang lama telah kurindukan. Sore ini dia menyapaku kembali, dalam lirih bisikan,  dalam diam tatapan,  dalam jernih sekelebat kesadaran, dia menyapaku. 

Seorang kawan berkata bahwa dalam hidup ini kita bersiklus, kita berputar, yang berarti kita akan selalu berada di satu titik yang tak pernah sama sekali waktu.  Kadang di atas, di pertengahan, di bawah, dimana saja selama masih dalam siklus itu. 

Mentari sore ini membiaskan sinarnya di dedaunan semak yang kulihat indah. Hal-hal sederhana ini kan yang dulu pernah membawaku pada senyum merekah penuh syukur atas kehidupan. Pun kini kurasa. Meski kadang sulit bagiku membuka mata. Namun tidak sore ini, sebuah hati membukakan diri untukku kembali. Terima kasih. 

Dalam siklus ini, mari kita menjalani setiap tahapnya dengan suka cita, ataupun duka yang merupakan sisi lain dari suka. Hidup ini seimbang kan. Nikmati semuanya. Jadikan dia pelajaran berharga. Setiap hari, jam, detik waktu kita tak akan pernah terulang, jadi nikmati saja, jalani saja,  dan hadapi saja hari ini. Pun besok dan besoknya lagi. Sapalah mentari pagi, dan ucapkan selamat malam pada sanubari. Hingga damai menghampiri, dan hati selalu menyapa diri, mengucap syukur untuk segala apapun itu, yang menjadikan kita hidup dan belajar darinya. 

Selamat sore. 
Terima kasih telah menyapa kembali. 
Aku rindu. 
Damai ini. 

Grace Vanderwaal,

Ya, dia adalah pemenang dari AGT 2016. Seorang komposer, penyanyi yang waktu itu baru berumur 12 tahun telah berhasil menjadikan namanya terkenal melalui kegelisahannya mengenal dirinya sendiri. "I don't know my name. I don't play by the rules of the game.", sebuah potongan lirik dan juga potongan kehidupan yang aku rasa adalah milik semua orang terlepas dari berapa kah usianya.

Beberapa hari terakhir ini, Grace Vanderwaal telah menjadi inspirasiku untuk kembali berani bermimpi akan 'sebuah pemandangan dimana aku akan berada di masa depan'. Dalam sebuah pidato kemenangannya setelah mendapatkan penghargaan di Billboard 2017, Grace mengatakan entah apa yang terjadi jika 2 tahun sebelumnya dia tidak berani bermimpi melihat dirinya di panggung megah dihadapan penonton yang mendengarnya, entah apakah dia akan benar-benar di sana? Benar kan? Semua itu berawal dari mimpi. Mimpi kita menjadi jalan menuju nyata.

Lalu, apa yang bisa kulihat dari diriku sekarang? Saat waktu terus mengalir tanpa memberi ampun barang sejenak untuk sedikit beristirahat tanpa memikirkannya. Waktu tak bisa memberi dispensasi pada pemalas yang melarikan diri dunia, lari dari mimpinya, lari dari dirinya sendiri. Sudah saatnya untuk kembali menggenggam harapan akan hari esok. Aku mungkin tak tahu namaku, dan aku tak bisa bermain sesuai aturan permainan. Aku hanya manusia biasa yang selalu ingin tak biasa namun takut untuk menuju ketakbiasaan.

Lalu, bagaimana?

Grace oh Grace, apa yang kulakukan ketika aku berumur 12 tahun? Ah, kurasa aku masih SD waktu itu. Aku baru merasakan cinta pertamaku yang kandas bahkan sebelum aku sadar itu cinta. Aku masih bermimpi bahwa Jakarta adalah sebuah negeri dongeng yang tak akan pernah terjamah. Aku bermimpi tentang sepeda yang dijanjikan tapi tak pernah terbelikan. Aku bermimpi menonton televisi di rumahkku yang nyaman tanpa harus memekarkan payung saat hujan tiba di malam hari. Apakah aku menyalahkan kehidupan? Tidak.

Satu dan lain hal adalah berhubungan. Dan aku yang sekarang mungkin adalah aku yang dulu sangat kubenci. Aku berubah menjadi orang yang kubenci. Aku takut.

Dan kemudian, saat ini, aku mendengarkan 'Beautiful Thing' dari Grace Vanderwaal yang entah kenapa kurasakan ingin kunyanyikan untuk diriku sendiri. Untuk aku dan diriku sendiri. Aku mencoba mencari hiburan.


"You think that you know my heart
And you probably do
So I'm always with you
I could stay with you for hours
In an empty room
And never get bored
Never have nothing to do
You're my other half
You're what makes me me
What makes me smile
When I fall down and can't get back, get back, get back up
On my feet

Without you here I am boring
Something inside you is triggering
It makes me myself
Makes me funny,

You're a beautiful thing
We're a beautiful thing together
Even when the weather is low
You're a beautiful thing
We're a beautiful thing together
Even when the weather is low
We find the rainbow
Up in the sky
You'd say don't you cry, it's all gonna be alright

If we ever gone through a fight oh that would be bad
'Cause you know all of my secrets
But I know all of yours
We make hours turn into seconds together
The weight of the world feel like a feather
'Cause we're holding it right in our hands
You're my other half
You're what makes me me
What makes me smile
When I fall down and can't get back up, get back, get back up
On my feet

Without you here I am boring
Something inside you is triggering
It makes me myself
Makes me funny

You're a beautiful thing
We're a beautiful thing together
Even when the weather is low
You're a beautiful thing
We're a beautiful thing together
Even when the weather is low
You and me

Together, we'll forget what we have been told
We'll live in our own dream world
You and me, forever
We'll forget what we have been told
We will take on the whole world
Without you here I am boring
Something inside you is triggering
It makes me myself, it makes me funny

You're a beautiful thing
We're a beautiful thing together
Even when the weather is low
And that's a beautiful thing "   (Beautiful things - Grace Vanderwaal)





Di suatu pagi yang cerah, aku teringat pada suatu ketika, pada suatu saat aku tak pernah berpikir tentang apa makna tersembunyi di balik aksi manusia. Pikiranku hanya satu, bahwa semua manusia itu indah, bahwa semua manusia adalah kebaikan. 

Pagi ini, aku teringatkan. Aku teringatkan pada satu masa ketika hatiku damai dan tenteram. Sekalipun tak pernah kusimpan prasangka karena aku yakin keindahan kehidupan. Aku yang merasa bahagia, meski hanya oleh sorotan mentari pagi hangat yang menyapa. Aku yang tersenyum lebar, seakan mengerti bahasa alam ketika sang angin menerpa. "Ya, aku mengerti.", bisikku saat itu. 

Hingga kini, pagi ini, aku pun mulai ingin berani bertanya, "Aku yang dulu masihkah sama?". Sejenak kuingat satu masa sebelum pagi ini, ketika aku pun mulai ragu dengan diriku sendiri, aku mulai mempertanyakan secara tajam tentang aku yang masihkah aku? Dan, aku tak berani menjawab. Prasangka buruk membuatku sementara lupa, niat yang terbelokkan membuatku buta. Aku tidak suka ini, aku tidak ingin ini. 

Pagi ini, bersama sinar hangat mentari pagi yang mengetuk hari setelah sekian lama muram dan menangis, aku juga ingin mencoba memanggil diriku dulu. Aku yang lebih bisa tersenyum lebar, dengan dada penuh udara kebebasan, dengan kepercayaan bahwa keindahan itu adalah mutlak di semua kehidupan. Karena aku ingin percaya, bahwa di atas semua apapun itu, cintaku adalah untuk Sang hidup dan kehidupan, dan untuk Sang Dzat yang memberikannya. 

Semoga lain kali, aku akan selalu mengingat pagi ini. Meski tanpa secangkir kopi, meski tanpa sebatang rokok, aku bisa merasakan betapa indahnya hari ini. 



Dramaga, 22 Februari 2017
Ketika aku rindu rumahku. Rindu masa-masa terindah saat mimpi dan nyata bersatu. Saat orang-orang tercinta masih disekelilingku, memelukku, mengusap  air  mata bocahku. Ayah, ibu dan saudara-saudaraku. Aku rindu. Dan, kini kembali aku jadi bocah ingusan yang kangen rumah. Meskipun aku sadar betul, tanpa ampun sang waktu mungkin telah mengubah rumah yang dulu pernah kukenal, atau hanya aku yang telah berubah. Satu yang pasti, aku pernah menjadi anak kecil yang bahagia, dikelilingi orang tercinta, dan melaluinya dengan sangat sempurna. Terimakasih semua.

Kulalui masa kecilku
masa bahagia yang t’lah terukir indah
dihatiku…
Satu masa t’lah kulewati
satu impian t’lah ku raih untukmu
ayah bundaku

Namun kasihmu bagai puisi
hangat senyumu menerangi jiwaku
selamanya…
Perjalananku bagai cerita yang tak mungkin
berakhir bahagia tanpa doamu

Tiada tempat yang paling indah
selain rumah kita
Tiada masa yang paling indah
selain bersama mereka yang tercinta

Bawalah aku kembali kemasa kecilku dulu
dan biarlah kukenang rasa itu
sebagai pelepas rinduku…


'Bawalah Aku Kembali' (Ihsan Tarore ft Dira Sugandi)





suatu senja di Tanjung Pendam



Semalam ngobrol sama teman super dekat, my best buddy. Katanya sih dia mau lebih kenal  diriku ini. Aih-aih  dek, aku bahkan kadang berpikir aku ini tak  terlalu kenal siapa aku ini.

Belum lama lah aku membuat simpulan sementara tentang aku ini, perempuan diberi nama sudiyah yang jujur lebih nyaman dipanggil Nonette, yang ternyata aku ini orangnya Caper banget. Caper- cari perhatian, iya benar cari perhatian. Aku belum lama ini mikir-mikir, "Kenapa aku begini, kenapa aku begitu? 'Ada Apa Dengan Aku?'. Kayaknya nggak kenapa-kenapa sih, tapi kenapa ada kenapa? Halah, malah bermain  kata. 

Ada bebarapa kisah masa laluku yang membuatku mikir aku ini orang caper, aku bagilah sedikit di sini.

1. Waktu SD, aku ngebet pengen jadi ketua kelas. Wih, jarang-jarang ada ketua kelas anak perempuan. Dan, di kelas 6 aku berhasil jadi ketua kelas, yang selalu mimpin baris masuk kelas atau mimpin berdoa sebelum mulai pelajaran. 'Siap grak! Berdoa mulai!'. Mission complete!

2. Waktu SMP kelas 2 aku pernah (tidak menyangka juga) jadi Juara Umum ke-3 dari 8 kelas (A-F). Artinya nilaiku tertinggi ke-3 dari seluruh kelas 2. Namaku dipanggil lho pas pengumuman setelah upacara, dikasih hadiah dari Kepala Sekolah. Wih, tepuk tangan meriah dari seluruh sekolah. Cukupkah? Ternyata enggak juga! Setelah berjaya di juara umum dadakan, aku banting nilai jadi entah bontot ke-berapa gitu. Hahaha.. "Kamu kenapa?", tanya guru dan teman-teman. Mission complete!

3. Nah, masuk SMA nih. Ospek dimulai. Kepikiran gimana caranya biar gampang dikenal orang. Ha! Bikin ulah. Akhirnya Ospek  hari pertama aku sengaja telat 1 jam. Dan, berhasil jaya. Aku kena hukum gila-gilaan,  dijadikan contoh  tidak baik. (Bodo amat, yang penting  sudah terkenal sekarang. :P. Kakak kelas yang ganteng-ganteng pun pada heran dan kepo, siapa gerangan adek nakal ini? hehehe)

Biar cepet terkenal lagi gampang caranya,  masuk ekskul yang populer! Aku nembak 3: OSIS, Paskibra dan Sispala.  Sayang OSIS aku gak keterima, bandel kali ya. Kenapa Paskib? Karena terkesan elit. Kenapa Sispala? Karena terkesan liar dan sedikit urakan. Berbalik arah kan? Yah, dan itu justru menyenangkan. Short cut!

4. Masuk kuliah. Masih ingin caper? Kayaknya iya. Skip lah yang ini. Rahasia dapur.

Yah, gitu deh. Aku tuh kayaknya emang gak suka dengan yang monoton. Kalau semua berwarna putih, aku pengennya jadi hitam. Biar kelihatan cuy. Segitunya amat ya jadi orang. Tapi sadar nggak sadar,itu memang begitu, dan terjadi sudah. 

Resiko? Jujur, tak terlalu kupedulikan. Kayaknya aku ini  lebih tertarik ke konsep 'caper'nya itu, tak peduli gimana caranya. Makanya, butuh teman yang rada waras yang bisa bilang 'stop' ketika aku sudah mulai melewati batas. Butuh manager-lah. Hehehe. Ada yang bersedia? Joking!

Ibaratnya aku itu Gon yang butuh didampingi Killua. Yoi, HxH mania. Hei Killua, kamu dimana? :P




"Kalau pengen ngrasain nikmatnya malam minggu, maka jadilah orang kantoran.", seorang kawan pernah berkata.

Kok bisa? Bukannya dari Senin sampai ketemu Senin lagi hari masih begitu-begitu juga. Lalu, kenapa akhir pekan jadi istimewa?

Ah! Aku ingat sebuah perumpamaan lama, "Jika ingin membuat dirimu lebih pintar, maka beradalah di antara orang bodoh.".

Jika ingin Sabtu-Minggu menyenangkan, jadikan hari lain menjadi tidak menyenangkan!

Nah, nyambung kan.

Ngopi dulu yuk. (Doodle ala-ala, ku, Mau rekues boleh lho :P )

Aku jadi berpikir lagi, kenapa aku merasa apa yang para orang kantoran itu rasakan. Weekend terasa jadi sangat dirindukan. Ah, jangan-jangan.... Ah, itulah, tak perlu kutuliskan.

Tapi,... Ini tapi, jika saja bisa menjadikan setiap hari menyenangkan layaknya akhir pekan, bukankah pasti akan keren?! "Everyday is weekend seperti itu.  Kkkk (ini bunyi ketawa nyinyir becanda ceritanya.)

Ketika Senin sampai Jumat, dari pagi sampai sore menjadi wajib bagiku untuk duduk manis di depan meja dan menghadap layar komputer, entah mengerjakan apapun itu demi karir yang katanya akan membawa kepada masa depan yang lebih pasti, aku merasa malah kepastian itu membuat aku jadi was-was. Lha kok bisa?

Dan ketika Jumat sore tiba, dan rasanya seolah hidup mengembalikanku pada warna-warna tak terduga, aku menjadi deg-degan, excited lah. Ah, mau ngapain ya akhir pekan ini? Naik gunung Salak pasti asyik, ngikut teman-teman manjat tebing keknya seru juga, jalan-jalan ke kota dan bereksperimen aneh-aneh kayaknya juga lumayan, atau bisa juga di kamar aja nonton dorama, nulis review dan ber-fangirl-ria di fandom Jpop? Seru banget pastinya! Gilak! Banyak banget rasanya yang ingin kulakukan di 2.5 hari dari 7 hari yang ada. Aku selalu bersemangat.


Lagi kangen juga sama emak Roma. :) Naik gunung kapan lagi euy?

Was-was di 5 hari sebelumnya kenapa? Karena bosan. Boredom, bosan adalah momok (atau teman) yang selalu menyertaiku selama ini. Entah setan (atau malaikat) yang selalu menjadi pengikutku untuk apapun yang kulakukan dari dulu yang menuntut pola, sesuatu yang bisa ditebak. Itu kurasa enggak asyik, kurang hidup. Bayangan harus menghabiskan waktu tanpa jejak itu menyakitkan imajinasiku. Sumpah ngeri! Meskipun ada sudut hati yang berbisik, "Songong banget lu! Kapan belajar serius dan menjadi orang dewasa?!", katanya. Tapi suara itu lemah sekali sehingga aku abaikan saja.

Ups! Tapi jangan salah, bosan yang kurasakan adalah tentang rutinitas ya, polanya. Ini beda dengan apa yang pekerjaannya sendiri. Aku jatuh cinta dengan dunia riset sejak dulu dengan satu alasan bahwa riset itu membawa sesuatu yang kita belum tahu, gak ketebak, dan itu seru. Jadi, aku tegaskan dulu bahwa aku mencintai pekerjaanku. Dan aku merasa, aku bisa bertanggung-jawab untuk output dan jadwal yang telah aku sepakati. Semoga paham maksudku. 


Aku berandai, lalu bagaimana ketika aku bisa mewujudkan semboyan 'everyday is weekend' itu? Tiap hari libur terus?

Nah, aku jadi kepikiran juga. Ketika sesuatu itu acak dan tidak membentuk suatu keteraturan atau tidak berpola, maka ada yang menyebut ini sebagai pola acak. Persis sama dengan ungkapan 'tidak memilihpun adalah sebuah pilihan'. Tunggu dulu, tiba-tiba aku kepikiran.

Apa!!! (nada lebay sinetron kita sambil melotot) Jadi, selama ini---- Ya, benar banget Net (ngomong ke aku sendiri), "Kita itu tidak pernah bisa bebas dari pola seperti halnya kita tidak bisa bebas dari pilihan." Selama kita hidup, kita akan dihadapkan pada semua itu. Jikapun kamu bisa liburan sepanjang waktu, kamu akan bosan dengan liburanmu itu!  Hahaha… Meskipun liburan itu dibayar? (Mana ada? Yang seleb liburan itu di tipi-tipi? Eh, itu juga kerja neng!) Mangkanya para pengangguran itu banyak yang setres karena terlalu banyak waktu luangnya.

Intinya, muncul persamaan yang menarik nih. Jika kerja di weekday sama dengan membosankan, dan ketika setiap hari libur terus-terusan juga membosankan. Maka,
Every day is weekend = Everyday is weekday.
Weekend = weekday
Ha ha ha.. Balik lagi kan jadinya. Weekend sama weekday itu gak ada bedanya. Sama saja.. Toh waktu masih 24 jam sehari dan ya begitu-begitu saja. Lalu apa bedanya? Tentunya kita yang bikin beda, rasa kita sebagai manusia. Aku agak ragu ketika berpikir apakah si Mamet, kucingku itu punya weekday dan weekend. Bagi dia ya sama aja, makan tidur pup, makan tidur pup, tiap hari begitu.

Kenalin, ini Mamet yang (mungkin) gak tahu konsep weekday-weekend. 


Kita sebagai manusia bisa bikin hari-hari kita jadi tidak membosankan. Bagaimana? Menurutku sih ya dengan mengkombinasikan antara aktivitas kehidupan kita yang beragam itu dengan seimbang. Orang kan macam-macam ya. Dan sah saja ketika masing-masing orang memilih cara mereka sendiri. Kalau boleh bikin proposal sih ya, bisa nggak sih jam kerja kantoran dikurangi? Hahaha…Kan seminggu ada 7 hari, kenapa nggak fifty-fifty?

Ada yang tahu kah, siapa dulu yang nyiptain sistem 5:2? Siapakah  yang memulai mitos weekday dan weekend? Siapakah yang menjadikan Senin menjadi momok banyak orang ngantor?

Mari kita akhiri teror 'I hate Monday' ini. Jadikan tiap hari menjadi berwarna-warni. We can work anywhere and anytime we want. Ambil secangkir kopi, ngudud bagi yang suka dimanjakan nikotin, atau sekedar mengawang menikmati angin di Senin pagi. Free your self.


I love everyday! 


SEE YOU ON TOP! 


It's time to move on! O jikan desu!

Rasa gelisah, rada-rada takut, tapi juga bersemangat rasa-rasanya menjadi rutinitasku beberapa minggu terakhir. Pertanda babak baru dalam perjalananku harus segera dimulai. Ini pasti menyenangkan! Masih dengan hati berdebar-debar aku menjadi was-was, kejutan apa di depan sana? Mari kita songsong petualangan baru. Badai dan hujan tidak jadi penghalang, karena pemandangan di puncak sana sungguhlah sangat indah, dan kasur sehabis turun gunung adalah yang terbaik. Go for it!


Sunset at the Cedar Hill @sudiyah262

img source: here


Pemanasan nulis bebas sebelum nyelesaikan laporan kerja. Sambil mendengar lagu yang lagi menggalau di kepalaku, "Cinta Terlarang"nya The Virgin. Entah kenapa ya, lagu ini terngiang-ngiang sejak beberapa hari terakhir di kepalaku yang seakan penuh meskipun aku yakin gak penuh-penuh amat. Apa sih yang kupikirkan? Toh, aku bukan Pak Jokowi yang harus ngurus negara. Haha..

Kok ada ya cinta terlarang? Bukankah cinta itu adalah sesuatu yang bagaimanapun bentuknya itu adalah indah? Cinta tidak selamanya terkait ero kan? Menurutku sih sah-sah aja apapun cinta itu asal tidak ada yang tersakiti. Yah, meskipun itu tidak akan pernah mungkin. Masyarakat, kumpulan manusia yang membentuknya telah membuat sesuatu yang lebih nakutin dari manusia itu sendiri. Pantesan saja, aku merasa ngerti kenapa Eddie Vedder dengan indahnya bikin lagu "Society". …"Society, you're crazy breed!".

Hal-hal simpel dibikin sulit, yang gak ada diada-adain, yang gak logis dilogis-logisin, hal yang kecil  digedhe-gedhein, yang gedhe dikecil-kecilin, dan seterus-seterusnya. Apakah benar masyarakat seperti itu? Bisakah masyarakat kehilangan kemanusiaannya? Ngeri! Daripada menjadi zombie dalam kumpulan manusia yang hilang manusianya, apa mending kabur? Seperti si Alexander Supertramp yang meninggalkan segalanya karena sudah muak dengan 'society'?! 


Wooh… Badai pun datang! Badai di kepala datang lagi… Tanganpun mulai gerah ingin menari. Sepertinya pemanasanku sedikit berhasil. Dari cinta terlarang ke gilanya society. Pengen kabur jadinya. Tapi, semua juga mungkin tahu, kabur hanya bagi pecundang. Dan, aku tentu tak ingin jadi pecundang. 

Mending nyanyi dulu nih, 'Cinta Terlarang' dan 'Society'. Sungguh dua lagu yang gak nyambung baik genre maupun kisahnya.. Hehehehe... 







Selamat Pagi! 


Semua ini berawal dari ketertarikanku pada Beyonce atau yang lebih dikenal dengan julukan Queen Bey, bisa dibilang satu dari 'the sexiest women on earth'. Aku menjelajah jagad Youtube untuk sekedar menikmati alunan merdu suara sang Ratu. Hingga pada satu lagu super romantis berjudul 'Drunk In Love' yang dinyanyikan Queen Bey dan suaminya Jay Z. Tak lengkap rasanya jika menonton video di Youtube tanpa melihat sekilas komentar para viewer. Lalu, aku temukan komentar menarik, "I don't understand why someone like her can fall for Jay Z who has no sex appeal at all. What happen with her sex life now? Is it already dead?". Yang kemudian, komentar itu dijawab dengan sangat menarik juga, "She falls for Jay Z because he has a sexy idea. She falls for it!". 

Look at how Queen Bey staring at Jay Z, kind of cute! (img source: here)

Nah lho, di sanalah awal aku kepikiran dengan konsep sexy mind. Apa sebenarnya itu? Sekuat apakah keseksian pikiran ini hingga bisa melampaui batasan-batasan fisik?

Bagaimana menjalani dan memandang kehidupan, bagaimana membebaskan diri dalam ekspresi tak terbatas, dan bagaimana bersikap jujur pada nurani, seperti itu mungkin konsepnya yang bisa kucoba jabarkan. Tentu tidak semua orang bisa seperti itu, sama halnya tidak semua orang punya sex-appeal yang kuat secara ragawi. Orang-orang dengan pemikiran yang unik pasti akan menjadi menonjol di antara sekumpulan orang di dunia yang semakin terasa palsu ini. Ketertarikan pada sesuatu yang unik adalah bawaan manusia, basic instinct barangkali. Kalau sudah tertarik pasti jadi kepo, bawaannya ingin tahu terus. Kalau sudah begitu pasti akan mendekat dan semakin dekat. Byarr! Jadian deh. Hehehe.. 

Terlepas bagaimana pun wujud dan bentuknya, seseorang dengan sexy mind pasti akan selalu mendapatkan pengagumnya. Aku pun demikian, ketertarikanku pada seseorang boleh saja berawal dari fisik karena itu yang memang pertama bisa terlihat. Tapi, pemikiran yang jujur dan penuh petualangan adalah pesona tiada akhir bagi diriku yang selalu ingin punya teman yang seru. Teman yang bisa mengimbangi perangkat lunak di otakku yang liar. Agar sampai kapanpun nanti, aku tak perlu men-downgrade (Ups! Bisa jadi aku terlalu meninggikan diriku sendiri. Hehehe.. ) diriku sendiri hanya untuk sekedar menjadi compatible dengan seseorang yang tak pernah bisa kupahami. Begitu pula sebaliknya, aku takut juga jadi men-downgrade orang lain. Karena itu juga aku mudah jatuh hati pada orang-orang yang cerdas, bebas, dan liar. 

Yoi... Ada gak ya orang seperti itu? Pastinya ada lah. Aku percaya selalu hal itu. Dan kalau sudah kutemukan, seseorang dengan 'sexy and beautiful mind' itu pasti akan kuperjuangkan mati-matian agar selalu bisa bersamaku. ðŸ˜‰

Aku pun ingin jadi sexy, makanya aku coba jujur pada diri sendiri. Sudahkah ada yang tertarik? Hehehe...

Lalu, mengalunlah sendu lagu 'Jatuh hati' dari Raisa,... Ya, cinta memang banyak bentuknya. 

"... Ku terpikat pada tuturmu. Aku tersihir jiwamu. 
Terkagum pada pandangmu, caramu melihat dunia. 
Ku ingin kau tahu bahwa ku terinspirasi hatimu. 
Ku tak harus memilikimu, tapi bolehkah ku selalu di dekatmu... "




"For someone with the most beautiful and sexiest mind I've ever found, please let me always be by your side."



Kenapa harus jalan?

Pernahkah mendengar kalau orang mau lebih nasionalis harus sering jalan-jalan? Pasti sering kan? Kalau kamu seorang yang suka jalan atau seorang traveler, kamu pasti tahu yang kumaksud. Tapi, kalau kamu yang jarang jalan atau bahkan tidak pernah jalan, nah di tulisan ini aku akan ngajak kamu sedikit mikir, kenapa orang yang sering jalan-jalan biasanya lebih nasionalis.  

Kemana kita harus jalan-jalan agar bisa lebih nasionalis, lebih mencintai negeri ini? Ada dua pandangan yang berbeda dan saling melengkapi. Apa perlu keliling Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari kota metropolis Medan, Jakarta hingga ke pedalaman Papua sana? Ataukah, kamu perlu berjalan lebih jauh ke mancanegara, menjelajah negeri orang yang kadang tak kita pahami bahasanya dan asing rasa makanannya, mulai dari metropolitan dunia seperti New York, Tokyo, Paris hingga negeri antah berantah di jantung gurun-gurun negeri Afrika sana? Well, apa pendapat kamu teman? 

Aku, meski tidak seluruhnya, beruntung pernah melakukan keduanya. Aku pernah beberapa kali jalan-jalan (atau lebih tepatnya kerja) di jauh-jauh pedalaman Sumatra, Kalimantan hingga Sulawesi sana. (Ah,aku belum berkesempatan ke Papua) Aku pun beruntung sempat menjelajah (kerja juga) di negeri Paman Sam yang termahsyur itu dan sekedar berjalan-jalan di beberapa negara tetangga Asia. Apa yang kudapat kemudian? Nasionalisme kah? Mungkin iya jika rasa cinta ini disebut demikian. Tapi ada rasa yang beda antara keduanya meski berujung pada satu cinta pada Ibu pertiwi, pada sang Mother land.

Meskipun beberapa kalipun aku jalan-jalan di Indonesia, aku selalu saja terkejut dan menemukan hal-hal baru. Seperti waktu itu, aku jalan ke daerah Simpang Hilir, sebuah kecamatan cukup terpencil di Kalimantan Barat. Di salah satu desanya, aku tinggal lebih dari seminggu, menginap di rumah penduduknya. Desa yang berada di antara perkebunan sawit luas dan hutan tropis Kalimantan yang terlihat lebat, aku menyadari bahwa banyak hal yang selama ini tidak kuketahui tentang tanah yang katanya adalah tumpah darahku ini. Tidak hanya keindahan alam yang mempesona tapi juga kenyataan yang tidak seindah poster wisata. Aku melihat sendiri betapa negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini tidak selamanya indah. Selalu ada cerita sedih di sela-selanya. Kerusakan lingkungan dan kisah sedih penduduknya seakan memberiku gambaran lain akan negeri ini yang tak akan kutahu jika aku tak merasanya sendiri. Aku sempat menuliskan kegalauanku akan hal itu di tulisan ini (klik: Batu Barat dan Melinsum). 


Tak hanya cerita pilu, cerita indahpun masih banyak kutemui. Suatu waktu, aku sempat berjalan-jalan ke Lembah Bada, suatu lembah hijau nan indah yang dikelilingi bukit dan gunung di tengah-tengah Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Di sana, aku menemukan wajah lain dari Indonesia. Sumpah, pertama kali ke sana, aku benar-benar merasa terpesona. Bagaimana tidak! Di dalam komunitas yang masih menjunjung tinggi adatnya ini, aku merasa bagai di negeri antah-berantah namun masih berasa di rumah. Ya, di sini, masyarakat adat Bada memiliki banyak tradisi unik, bahasa yang beda dan tentunya keramah-tamahan khas negeri kita tercinta. Meskipun di Poso sering terdengar berita kerusuhannya, tapi di Bada semua begitu berbeda. Orang-orang di sini hidup damai berdampingan satu sama lain dan mereka sangat terbuka terhadap kedatangan tamu dari luar. Ah, pokoknya aku betah banget di sini. Langit biru Bada bahkan menginspirasi menulis sebuah puisi cinta untuknya, coba cek ini (klik: Langit Bada). Segala keunikan ini seakan membuatku semakin bangga menjadi bagian dari tanah air ini. 


Aku dan anak-anak di Batu Barat, Simpang Hilir, Kalbar (2013)
Alam Bada yang indah dan langit birunya yang memukau (2013)

Setelah sekian kali aku berjalan-jalan di tanah air, aku pun berkesempatan menginjak tanah di benua seberang. Amerika adalah salah satu negara di mana aku sempat selama 7 bulan mencoba menggaulinya. Apa yang kudapatkan? Semua serba wow! Wajar saja, negeri Paman Sam ini konon adalah negeri paling kuat sedunia, Superpower katanya. Iya memang! Di Amerika, aku menemukan banyak hal baru, suasana baru dan temuan-temuan baru. Masyarakat yang lebih perlente, kota yang lebih besar, gedung-gedung tinggi yang lebih megah, jalan-jalan yang lebih bersih dan teknologi yang lebih canggih. Hampir semua yang lebih ini dan itu aku jumpai di sini. Tapi, apakah aku lebih suka tinggal di sini? Ah, jujur saja iya. Siapa sih yang tidak ingin tinggal lebih nyaman dalam lingkungan yang lebih rapih? Tapi apa iya cukup sedemikian halnya?

Ternyata tidak selalu demikian. Semakin jauh dengan kampung halaman malah membuatku semakin memikirkannya. Huru-hara di negeri tercinta yang kadang tak pernah terjamah meski hanya sekedar lewat berita, malah kucari-cari dari negeri yang jauh di sana. Apa yang terjadi dengan rumah ya? Bagaimana orang sini memandang Indonesia? Bagaimana ini dan itu segala rupa tentang rumah jadi ingin kuketahui. Segala rupa tentang Indonesia yang dibahas di luar sana selalu ingin membuatku berkata, “That’s my home country and it’s very beautiful! I am Indonesian!”. Di setiap kesempatan, aku selalu menyampaikan betapa negeri kepulauan tropis terbesar di dunia itu adalah rumahku, kampungku, dan ibu pertiwiku. Kadang aku merasa aneh juga. Ketika di rumah sendiri kadang aku merasa kesal dengan segala rupa masalahnya, namun di luar sana aku selalu membanggakan tanah airku. Ah,.. memang benar ya. Kadang jarak itu penting untuk membuat kita menyadari betapa berharganya apa yang kita miliki. Begitu pula negeri ini. Kita bisa saja menjadi sangat mencintainya, merindukannya ketika kita jauh darinya. Kalau kamu gak percaya, coba saja! Dan rasakan, betapa hanya Indonesia tempatmu untuk pulang kembali. Bahkan sambal terasi pun akan membuatmu rindu setengah mati.

Di tengah rimba Redwood di California pun aku ingat rumah (2014)
Melihat di seberang Sungai Sumida, Tokyo Skytree yang termahsyur pun
aku masih ingat rumah :)

"That Indonesia is my beloved home country!", I said. (Oregon, 2014)


Banyak hal yang bisa kita temui jika sering jalan-jalan. Cinta pada negeri salah satunya. Entah itu di dalam negeri atau di luar negeri, semua akan membuat kamu mencintainya, mungkin dari sisi yang berbeda. Ya, memang demikian karena wujud cinta bisa berupa apa saja dan datang dari mana saja. Makanya, sering jalan-jalanlah. Temukan diri sendiri, temukan dunia, dan temukan cinta pada rumah kita. 

Damn, I love Indonesia!

Sambil berkaca-kaca, mengingat kembali suatu musim gugur di benua seberang sambil bersenandung rindu,...

“...Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh, tidak kan hilang dari kalbu
Tanahku yang kucintai, Engkau kuhargai

...Walaupun banyak negeri kujalani
Yang mahsyur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku, di sanalah ku rasa senang

Tanahku tak kulupakan, Engkau kubanggakan.”

(Tanah Airku - Ibu Soed)

- Tulisan ini disertakan dalam lomba 'jalan-jalan nasionalisme' yang diadakan Travel On Wego Indonesia- 

Kampung Halamanku, Boyolali di Kaki Merapi-Merbabu yang selalu kurindu 



Mahameru 2013


Ngapain sih harus naik gunung? Pernah gak sih mendengar pertanyaan ‘basi’ itu? Tentunya, para pendaki gunung sudah seringkali mendengar pertanyaan ‘ngapain’ ini berulang kali sampai bosan. Nah, apa yang akan teman-teman pendaki jawab? Pasti macem-macem jawaban, dan tak sedikit pula yang bahkan tak bisa memberikan jawabannya. Saking bingungnya, dan tidak tahu juga sebenarnya ngapain sih mereka mendaki? 

Aku juga begitu! Aku mencintai mendaki bahkan jauh sebelum pertama kali aku mendaki. Kok bisa? Ada ceritanya itu, lain kali akan kuceritakan. Aku memulai petualanganku di gunung sejak kelas 1 SMA bersama organisasi pecinta alam (Sispala) di sekolahku saat itu. (Terimakasih untuk OP2A Persada! Satu hal terbaik di masa abu-abuku selain cinta monyetku dulu.) Gunung Merbabu adalah gunung yang pertama kucoba daki meskipun pada akhirnya aku tidak sampai di puncak tertingginya kala itu. Aku pernah mendengar orang berkata, "Hanya ada 2 kemungkinan setelah orang pertama kali naik gunung: Kalau gak kapok ya pasti ketagihan." Nah, aku masuk yang golongan terakhir. Aku ketagihan! Sejak saat itu, mendaki gunung seakan menjadi rutinitas yang bahkan kalau setahun saja tidak ngicipin gunung akan membuatku gelisah. Hingga aku kuliah dan bergabung di LAWALATA-IPB, kenal dengan dunia pecinta alam se-Indonesia, lulus, dan sampai saat ini jadi kuli kantoran, keinginanku untuk bercinta dengan hutan dan gunung seperti tak pernah padam. Bagaimana ketekunan dan kesetiaan itu terjaga? 

Merbabu 2002(?)

Merapi 2003
Selalu ada alasan untuk segala sesuatu. Jika tak bisa menjelaskan, itu hanya belum tersadari saja. Secara naluriah manusia pasti memiliki motif untuk setiap perbuatannya. Perlu usaha dan waktu juga untuk mendapatkan apa yang kita cari itu. Aku pun pernah tidak paham hingga bingung sendiri. Kegalauanku mencari arti pendakian, berpuncak sesaat setelah aku turun dari pendakian Gunung Sindoro di Jawa Tengah di tahun 2008. Saat itu, tiba-tiba aku melamunkan, merenungkan, menggelisahkan dan mempertanyakan alasan mendasar kenapa aku selalu mendaki dan mendaki. Aku mencari apa yang kucari? Yah, seperti itulah. Mirip lirik lagu ya? Ha... Bahkan, aku sampai berkaca-kaca meski tak sampai menangisinya. Hingga bertahun-tahun kemudian, aku menemukan alasanku sendiri kenapa aku tidak bisa untuk tidak naik gunung. 

Sindoro 2008

Di pendakianku yang ke-sekian kali, di pergantian tahun menuju 2013, aku menghabiskan waktuku di Semeru. Bersama teman-teman yang menjadi tim terbaik pendakian yang pernah kutemui, aku menemukan alasanku sendiri. Tidak hanya itu, seorang kawan -sebut saja namanya Bang Sandi- bahkan menyebutkan 3 hal istimewa yang hanya akan kita temukan saat mendaki gunung. Tiga hal yang disebutkan itu adalah sesuatu yang kuanggap memang benar adanya. Dan, aku bisa menjadikan ini pula sebagai alasan yang kucari, kenapa selama ini aku selalu mendaki dan mendaki. Ini pula menjadi penguat hati, bahwa apa yang kucintai ini bukan sekedar bayangan semu yang tidak berwujud atau hanya sekedar obsesi.

Ini sebut saja Bang Sandi : p

"Ada 3 hal yang bisa kita dapatkan dengan mendaki gunung", kata Bang Sandi. Apa itu?

1. Kita bisa mengenal alam dari dekat. Kita bisa merasakan, melihat, menyentuh dan menjiwai apa yang terjadi dengan alam kita. Hutan lebat, kabut yang tebal, air jernih yang mengalir, udara dingin yang menusuk, pasir yang berdebu, dan banyak hal yang bisa kita rasakan di sana. Ada keindahan dan kedamaian yang tidak akan tertandingi saat kita benar-benar bisa bersama dengan alam. Tak hanya keindahan, kadang getir dan sedih pun muncul saat kita melihat banyaknya sampah, hutan yang rusak, tanah yang longsor dan air yang tercemar. Bisakah rasa ini hadir saat kita tak pernah mengenalnya? Tidak bisa. Meskipun tak bisa disangkal bahwa sering kerusakan yang menyesakkan dada ini terjadi akibat ulah 'mereka yang mengaku juga sebagai pendaki dan pencinta". 

2. Kita bisa mengenal teman kita. Aku percaya bahwa mengenali seorang sahabat, itu bukan hal yang mudah. Kita bisa saja tahu, kita bisa saja sering bertukar senyum dan sapa, hingga bercanda bersama, tapi apakah kita cukup mengenal mereka? Menghabiskan waktu bersama di alam dapat membantu menjawab pertanyaan itu. Mendaki gunung dapat membuat kita mengenal lebih dalam teman-teman kita. Alam mendekatkan manusia seakan menghilangkan sekat yang terbentuk dari kehidupan sehari-hari yang penuh dengan intrik dan aturan. Tak hanya sesekali tapi seringkali, aku mendapatkan kejutan dari teman-temanku yang ternyata memiliki sifat dan karakternya masing-masing. Tidak ada yang sempurna, bahkan akupun pasti begitu bagi mereka. Namun, kehangatan yang tercipta saat bercengkerama dalam tenda, dengan segelas kopi panas yang kita minum bersama-sama adalah sesuatu yang sangatlah mahal. Dan aku, aku mencintai kalian semua, sahabat-sahabat yang pernah menemaniku menikmati perjalananku selama ini. 


Salak I - 2014, tak ada ngalahin hangatnya tenda kita ya..:) 
dan gak ada yang ngalahi serunya poto-poto seperti ini. Oro-oro Ombo 2013

atau serunya masak-masak seperti ini! Salak - Mossa, 2014

3. Kita bisa mengenal diri kita sendiri. Bahkan, terkadang seseorang tak mengenal dirinya sendiri. Akupun demikian. Mendaki mengajarkanku bahwa aku adalah sesosok jiwa yang tidak selamanya sama dengan apa yang kupikirkan. Aku tak pernah menyangka bahwa aku akan selalu mengeluh saat aku kelelahan, atau bahkan menangis saat aku merasa tak kuat lagi melangkahkan kakiku yang semakin berat, atau aku akan menjadi orang yang apatis saat kedinginan, pemarah saat kecapekan, ataupun menjadi aku-aku lain yang aku bahkan tak tahu sebelumnya. Aku pun juga tak pernah menyangka bahwa langkah kaki yang kukira lemah ini bisa mencapai titik tertinggi yang terkadang bagai mimpi. Aku tidak akan pernah tahu sisi diriku itu jika aku tak pernah mendaki!

Kerinci 2008

Kerinci 2008, With Abus Siraj, salah satu partner mendaki terbaikku!
Tiga hal itu kemudian akan membawa kita pada satu hal yang bisa merangkum semua. Kita akan mengenal Tuhan dan kebesarannya. Mendaki akan membawa kita pada pengalaman spiritual yang berbeda. Seorang kawan -sebut saja Embang- sering melakukan perjalanan sendirian, entah naik gunung atau hanya jalan ke hutan, untuk mencari pengalaman ini. Dia pernah berkata bahwa dia merasa dekat sekali dengan Tuhan saat tak ada lagi sesuatu di sekitarnya selain alam yang liar. Sendirian menghabiskan malam di Mandalawangi - Pangrango dan dikelilingi lolongan anjing hutan, itulah salah satu cerita Embang yang kuingat. Ya, meskipun aku sendiri tidak akan berani melakukan perjalanan solo seperti itu. Lagi pula itu terlalu berbahaya, kecuali mungkin para profesional dan juga para penekat. 

Akupun punya alasanku sendiri yang kutemukan setelah aku turun dari Semeru. Aku sangat mencintai jawaban yang kutemukan itu. Kenapa? Ya karena akhirnya semua kegalauanku sirna dan kemantapan hatiku semakin dalam tertanam. Aku pun tak kan pusing lagi menjawab atas pertanyaan 'Ngapain sih naik gunung?'. Bagi yang berteman di Facebook denganku mungkin pernah melihat postinganku saat itu. Alasan sederhana kenapa aku mencintai mendaki gunung. 

Satu hal sederhana saja: Bahwa aku ingin kasurku menjadi hal paling mewah dan bahwa tidurku menjadi tidur paling enak di dunia. Semua itu bisa kudapatkan dengan mendaki gunung!

Sejak itu pula aku jadi tahu kapan aku harus mendaki lagi. Saat tidurku gelisah dan kasurku mulai gak nyaman, itu pertanda adanya panggilan. Saatnya mendaki lagi! Yok, ke mana lagi kita kawan?!


"Why do I love hiking so much?" Finally, I got the best answer for that question. I got it in my journey to Mahameru. "Yes, I love hiking BECAUSE after hiking, my bed become the most comfortable place in the world". - Aku 2013 -
Pangrango 2011

Salak 4 - Desember 2014
----------