(Catatan: Riska, Bang Asun, Pak Ntis, Habibah, dan nama-nama yang kucatut, mohon ijinnya ya.. Hehehe)


Siapa yang suka bangun pagi di akhir pekan?!  Adakah? Apakah aku? Akupun ragu. Dan ini adalah cerita tentang Sabtu pagi-ku di pertengahan Desember. Cerita yang berlatarkan Ciliwung dan ke-tiba-tiba-an (mungkin kalau istilah Inggrisnya Ke-suddenly-an kali ya) niatku yang ujug-ujug muncul. Simak ya.

Jumat malam itu aku buka-buka dan kubaca SMS masuk. Satu SMS yang selalu hadir tiap Jumat itu berbunyi: "KPC Bogor Sabtu 12/12/15 mulung sampah bebersih Ciliwung. Kumpul pkl 08.00 wib di depan mesin pencacah plastik KPC Sempur. CP Joko 021xxxx.". Aih, beberapa kawan-kawanku di Bogor pastilah sudah sangat akrab dengan SMS itu. Kamu juga sering dapat ya? Hehehe.. Seingatku dulu, ada ratusan nomer HP yang mendapatkan SMS rutin itu tiap Jumat. Dan ini sudah tahun ke-7, KPC Bogor bergelut dengan Ciliwung, mengajak puluhan-ratusan-bahkan ribuan orang untuk menengok kembali sungai yang pernah jadi wajah sejarah Pajajaran ini. (Kenapa sejarah? Aku teringat cerita jalur tamu dan jalur bangsawan, cerita dari Mas Hari Kikuk tentang sungai ini di jaman dulu.). Kubaca sekilas SMS itu, dan ujug-ujug aku merasa berkepentingan untuk ke Sempur. Okelah, fix! Besok pagi aku ikut mulung. Kuajak Habibah, kawan kosanku yang masih muda belia, dan tak banyak cingcong dia langsung jawab "Oke mbak!".

Tidak jauh, meskipun tak bisa dibilang dekat juga. Kami sampai di Sempur, turun dari angkot 03 yang sesak, jam 8 kurang sepuluh menit. Di tempat berkumpul kulihat seorang ibu paruh baya sedang asik menikmati sebatang rokok. Alamak, jadi pengen juga. Ups, tahan dulu. Kusapa si ibu dan kutanya apa dia datang untuk KPC. Eh, ternyata dia hanya sedang menikmati pagi rupanya. Ah, yasudahlah. Tak berapa lama, Pak Joko sang CP (Contact Person) muncul. Dia mengatakan akan datang juga kawan dari IPB, tepatnya dari Fakultas Ekologi Manusia yang ingin gabung mulung Sabtu pagi ini. Ah, baguslah. Semakin rame biar semakin seru. Dan datanglah mereka, 5 cewek berkerudung dengan kaos hijau pastel kembar. Salah seorang membawa tripod dan lainnya membawa kamera DSLR. Tarohan, pasti tugas kuliah. Hehehe.. Dan memang benar dugaanku.  Mereka pun membuat entahlah, semacam film mungkin, dengan mewawancarai Pak Joko. Aku dan Habibah, melihat-lihat saja sambil sesekali selfie di pinggir sungai. Waktu berselang dan Pak Ntis datang membawa senjata kami: KARUNG!!!

Laskar Karung KPC - Sabtu pagi itu
(Photo by: Sutisna Rey)
Aku dan Habibah mulai mulung duluan. Kuambil 2 karung, satu untuk seorang dan kami turun ke sungai. Kulihat, sampah banyak nyangkut di tepi sungai, terbawa banjir semalam. Gak kebayang, sampah dari mana saja ini? Mulailah aku dan Habibah mulung apa yang bisa dipulung, mulai dari bungkus detergen, bungkus indomi, hingga kutang dan puluhan popok bayi. Nah, yang terakhir itu perlu digaris-bawahi, POPOK BAYI. Astaga,...! Kenapa ya orang-orang ini? Sakit jiwa? Kenapa banyak banget ya popok bayi di kali? Sejak mulung kapan tahun, popok bayi seakan jadi tamu wajib. Bahkan, pernah nih, aku dapat popok bayi yang masih segar berisi. Pasti tahu kan isinya apa? Pokoknya, warnanya gak kalah gonjreng dibanding bendera partai sebelah itu. Jadi gatel pingin ngomongin popok nih. Yuk mari,..

Penggunaan popok bayi sekali pakai sepertinya memang menjadi hal yang perlu diperhatikan. Karena sepertinya, para ibu-ibu (atau bapak-bapak?) penggunanya masih bingung bagaimana cara mengelolanya. "Make'nya sih gampang. Sekali bayi brott langsung buang gak perlu dicuci." Iya sih. Tapi, buangnya gak harus di kali juga. Lalu dimana? Di tempat sampah? Bau kali, jorok, dll. Lah, dikira dibuang di kali gak jorok? Sebenarnya aku pun gak tahu gimana caranya buang popok bayi bekas yang benar. Maklum belum pernah ber-bayi. Apakah di kuning harus dibuang dulu di WC, atau langsung aja buang bareng sama popok-popoknya. Entahlah. Tapi yang jelas, yang make harusnya tahu. Yang jual harusnya juga ngasih tahu. Btw, dikasih tahu gak sih? Jadi ingat sama Jeng Riska, sang dewi Ikan dari Surabaya yang pernah getol mengangkat fenomena popok bayi ini juga. Jeng, gimana sekarang kondisi Kali Surabaya? Apakah popok masih banyak dijumpa? Bang Asun sempat mengajak ber-ide,"Gimana ya caranya biar orang gak buang popok di kali? Apa perlu kita bikin mitos? Orang kita kalau ke mitos lebih cepat percayanya!". Ah, bener juga kataku. Bikin aja rumor,"Buang popok di kali bisa bikin ruam pantat bayi.". Kali-kali aja itu manjur. Sudahlah, popok bayi mah. Lanjut  lagi,..

Oops, ada popok bayi pasti di sana!
(Photo: Sutisna Rey)

Kawan-kawan dari IPB pun ikut nyemplung bersama, jadi ada 5 tambah 2 tambah 2, ahh. 9 orang totalnya yang mulung hari ini. Lumayanlah. Kami bersemangat mengangkut sampah-sampah itu. Aku, paling senang, mengais-ngais sampah yang nyangkut di celah batu. Sampah kayak gitu, kelihatannya dikit, tapi wooo...aslinya banyak. Lebih seru lagi kalau nemu 'Anaconda Ciliwung'. Dijamin keringat mengucur deras. Satu demi satu sampah kami masukkan karung, hingga kemudian tercium baru menyengat yang hampir membuatku muntah. Di dunia ini, hanya satu bau yang bisa membuat mataku langsung merah berair dan perutku seakan mau keluar. Bau bangkai. Dan di Sabtu pagi inipun, bau ini hampir berhasil membuatku mual. Aku tidak sanggup lagi dan tak berapa kami penuhi karung, kami berhenti. Kebetulan karung juga sudah habis, meskipun sampah masih berserakan. Cukup hari ini. Kamipun berpisah dan kembali ke aktivitas masing-masing. Hampir jam 10 pagi waktu itu.

Sambil berjalan di tepi sungai, Habibah mengatakan, "Enak juga ya melakukan begini di akhir pekan?". Aku pun sedikit terhenyak dengan pernyataan itu. Enak? Apanya yang enak? Kalau enak kan pasti banyak orang yang akan turun. Aku berpikir, apa yang bisa dilakukan untuk menjadikan orang juga merasa 'enak' seperti yang Habibah rasakan, seperti juga yang aku rasakan. Rasa enak yang absurd inilah yang mahal. Rasa 'enak' inilah yang bisa menjadi fondasi dasar semua kegiatan yang berdasarkan ke-suka-rela-an atau voluntarisme. Tak ada orang yang dibayar di sini, tak ada fasilitas apapun di sini. Bahkan, yang akan ditemui adalah gundukan sampah yang bahkan menggunung, berbau busuk dan menjijikkan. Tapi, ada yang bilang itu semua 'Enak'.

Aku teringat dulu, setahun lalu aku sempat menanyakan hal yang sama pada beberapa orang di Oregon sana, "What makes you do that voluntary works? Why do you want to do it?". Kenapa orang mau-maunya bersihin rumput di taman kota, kenapa mereka mau nyumbang duit banyak untuk restorasi ikan? Buat apa mereka merelakan waktu untuk ini dan untuk itu? Dan jawabannya hanya sederhana, "I feel good with it.". Sesederhana itu saja. Orang merasa baik, orang merasa enak. Mungkin seperti Habibah bilang 'enak' tadi. 

"Apa kamu punya ide untuk KPC Bogor Net?", tanya Bang Asun dan Pak Ntis siangnya, di kantor FWI yang sudah jadi rumah singgah wajib sehabis mulung, selain tentunya kantor INFIS. Pertanyaan ini agak-agak berat gimana gitu ya. Jujur, aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri dan kerja yang sebenarnya sibuk gak sibuk. Setelah beberapa waktu aku tidak datang di Sabtu pagi, aku merasa tidak layak menjawab pertanyaan itu. Tunggu, tunggu! "Come on Net, this is not very you! ", kudengar aku memarahi diriku sendiri. Hahaha... Oke, oke. Aku coba jawab pertanyaan itu.

Jadi, sama seperti yang kuceritakan tentang Habibah dan rasa 'enak'nya yang absurd itu. Intinya adalah bagaimana membuat orang merasakan 'enak' itu, 'feel good' itu. Bagaimana membuat Ciliwung mempesona bagi mereka? Bagaimana membuat sungai ini menjadi ajang orang-orang berekpresi. Orang yang mau ibadah, bisa bersyukur dan beramal di Ciliwung. Orang yang agak narsis (saya misalnya) bisa selfie-selfie sambil mulung sampah Ciliwung biar kelihatan jadi orang baik. Hahaha.. Yang doyan bermedsos, bisa update status entah di Fesbuk, Twitter, Path, instagram atau apapun lah dengan hashtag Ciliwung. Orang yang doyan nulis pasti akan banyak bahan tulisan. Orang yang suka riset bisa juga cari bahan riset. Atau orang yang memang doyan nyemplung kali  ya tinggal nyemplung aja. Hehehe.. Sepertinya sederhana kan. Memang pada dasarnya, niat ber-voluntary, umumnya sederhana. 

Bagaimana cara? Yok cari bareng-bareng. Yang jelas nyata bagiku adalah, kalau tujuannya kampanye ya harus dilihat banyak orang, didengar banyak orang. Biarkan orang tahu dan melihat. Kalau mereka lihat kita 'enak' toh mereka pasti akan ikutan. Kalau 'enak' sendiri mah apa bedanya sama 'itu'. Hahaha... Maaf, saya nulis ini sudah agak malam sih,  jadi sedikit nyrempet-nyrempet.  Sepertinya sudah ngantuk saya, jadi sudahan dulu ya. Yang jelas, 'enak absurd' itu yang perlu dicari dan mari temukan itu bersama-sama. 

Bukankah begitu kawan?

Salam cinta dan rinduku pada sungai, gunung, hutan, alam semesta dan manusia yang sangat indah. Muachh..

Dan terutama untuk Ciliwung yang berhasil membuatku bangun pagi di Sabtu pagi! Good job C!


Minggu, 13 Desember 2015 (23:49)

Kaos Ijo kawan-kawan FEMA IPB, aku dan Habibah. C...
(photo by: Sutisna Rey)

Giliran teman-teman FEMA IPB, Pak Joko, Pak Ntis, dan Habibah
(Fotonya pastinya aku yang njepret :) )

-----

Sebagian cerita dari MeNeHe 41 hari ini :)
Tidak mudah untuk bisa bertemu dan berkumpul dengan kawan lama. Tapi, tidak sulit juga. Seperti pula malam ini. Tanpa basa-basi, tanpa rencana berarti, byarrr..., begitu saja, aku bisa bersua dan sekedar berbagi cerita dengan teman sekelas semasa kuliah dulu, MeNeHe 41. Untuk Sandhi, Lita, Amri, Clara, dan Priyo, aku senang sekali bisa ketemu kalian lagi setelah sekian lamanya. Jika bisa mengekspresikan diriku sebebasnya, aku pasti akan jingkrak-jingkrak ketemu kalian. Sayangnya, aku masih jadi orang yang pemalu seperti biasanya. Ehemm,...

Malam ini, dan juga seperti dulu juga, yang menjadi hot artisnya adalah 'Si Peneliti dari Kendal -Manokwari'. You know who lah gaes! Sandhi Imam Maulana sepertinya tetap akan kurus kering dengan 46 kilo-nya itu seperti pula tetap koplak dan secablak  yang kutahu ketika ia masih belum jadi S.Hut.  Gaes, padahal sekarang doi udah Master, lulusan kampus beken di Ausie, buntutnya sudah dua pula, tapi Sandhi tetap aja Sandhi yang sama. Sama? Sama-sama masih 'ndeso'. Sorry San, tapi cerita pengalamanmu di Ausie yang paling nempel di kepalaku lho. Ingat cewek berhanduk? Atau si 40%? Atau gaya-gayaan di Belanda? Hahaha... Konyol sumpah! But, I like it! Just so you know lah, aku juga tetep 'ndeso' kok. Justru itu 'point of interest'mu. Tak doakan semoga cita-citamu kabul ya. (Dan semoga ngikutin kamu deh yang urusan 8 tahun. Kalau bisa kurang. Amiinnn)

Amri juga gak banyak berubah, kecuali sedikit ukurannya saja agak naik. Hehehe. Suaranya masih rendah dan pelan, seperti dulu, hingga kadang aku tidak dengar apa yang dia katakan. Pak Komti punya rencana mulia lho untuk bikin reuni MeNeHe 41. Ayo support Amri jadi komti alumni! (Btw, sampai sekarang aku gak tahu apa itu arti atau kepanjangan komti. Apa komandan inti ya? Au ah.. ) Salam buat Ayu ya. Ciee, pasangan cinlok.

Priyo masih bulet, eh tambah bulet ding malah. Bersama sang istri tercinta, doi bela-belain datang ke pertemuan malam ini meskipun katanya habis kecapean seharian ngaduk semen. Ngecor katanya. Ngecor apaan sih kamu Pri? Clara juga, sehabis pulang kerja disempat-sempatin datang. Aku, saking kupernya, sampai gak paham kalau Clara sudah married dan bahkan punya buntut 2 tahun. Kemana saja aku selama ini?! Tapi, beneran lho Clar, kamu masih kelihatan seperti gadis. Hehehe.. (Pasti senang nih kalau dibilang begini.)

Last but least, Lita. Lita datang bersama anak dan suami. (OMG! Kapan aku juga bisa beranak juga ya? Nunggu yang mau buahin dulu kali ya.. Hahaha... ) Ingat dulu, aku sering ke kosan Lita buat nyalin tugas kuliah, minta bahan ujian, dll. Karena setahuku, Lita itu paketannya dengan Nui, maka aku sempatin ngambil selfie bareng Lita. Tujuannya? Jelas, buat bikin iri Nui. Ayok, Nui kapan ke Bogor? Gak kangen apa ngrumpi sama aku?

Aku dan Lita
Ada yang penasaran kita ngobrolin apa saja malam ini? Hah,... Anak Kehutanan pasti ngomongin hutan. Tentunya tak jauh dari kondisi kehutanan kita yang semakin parah. Kabut asap dimana-mana dan bagaimana ini seharusnya kondisi ini bisa segera diselesaikan. Halahh,... Serius banget ya?! Atuh mah gimana lagi, 4 dari 6 orang yang ngumpul di sini gawenya di bawah KLHK kabeh. Dari kabut asap, loncat-loncat ke oops Manokwari lagi! Terus ngomongin jaman kuliah, lalu balik ke Manokwari lagi. Hahaha.. Canda lho. Bagi yang punya nama-nama berikut ini, mohon diperhatikan, karena kalian telah jadi bahan omongan kita malam ini, yaitu: Catur si punk mania, Ivan yang tak ada duanya, Eko pak polisi, Iis Han Han yang entah berada dimana, Fatah yang sedang di seberang dunia, pak dosen Khalifah, Rejos dan bakso raksasanya, Nui dan Wati sang guru SMK, Yumte dan Christina pasangan cinlok kita, Eris dan Denpasarnya, Topan sang Eo ber-rebana kita, Satrio yang tak ada duanya, dan trio wek-wek lulus terakhir angkatan kita-Huda, Ivan, aku. Lhoh aku? Iya gaes. Bagi mungkin yang belum tahu, aku lulus benar-benar paling terakhir di angkatan 41, "Sang Khotaman-Penutup-Penyempurna". Lol..

Hampir lupa. Bahkan, kita juga ngomongin Anton SIREGAR sang artis orkestra kita yang dulu sempat pamitan ingin berkarir di Suriname. Apakah kalian masih ingat kawan kita satu-satunya Siregar yang bukan orang Batak itu?

Sebenarnya sih hampir kalian semua kami sebut namanya malam ini. Jadi, jangan khawatir kawan. Kalian akan selalu jadi bahan rumpian nostalgia kita kok. :)

MeNeHe 41 adalah satu dari sekian komunitas pertemanan dalam hidupku yang berwarna-warni. Kalian-kalian adalah warna-warna di dalamnya. Satu per satu dari kalian punya kesan di dalam memoriku. Jika berkesempatan dan kalian berkenan, aku bisa kok menceritakannya. Hehehe...  Terimakasih ya teman, untuk waktu dan kesempatannya. Meskipun waktu berlalu begitu cepat, tapi memori kita akan selalu ada dan terasa baru kemarin terjadi.

Sungguh, malam ini sangat menyenangkan. Bahkan Sandhi bilang kalau belum sembuh kangennya. Aku juga sama San. Tapi, apa daya, waktu tetaplah berbatas, dan besok kita harus kembali jadi kuli kehidupan, demi dapur masing-masing yang bahkan jumlahnya ada yang lebih dari satu. Hehe. 

Seorang kawanku dari Amrik (fyi,her name is Dori.)pernah bilang padaku satu kalimat yang ingin juga kukatakan pada kalian semua.

-"It's amazing how the time flies by, but not the memories. Isn't it interesting how each of us is brought together in life?"-


-21 Oktober 2015-
Sudah salah dari sananya. Mungkin itu yang terlintas di pikiran ketika mendengar pernyataan Pak Wiwid, "Mahzab yang dipakai untuk menyusun UU Tata Ruang kita adalah mahzab Amerika, yang tentu saja tidak cocok diterapkan di Indonesia." Pak Wiwid adalah seorang pegawai pemerintah daerah yang bekerja di Dinas PUPR Kabupaten Banyumas bagian Tata Ruang.

Disebutkan bahwa, sebelum disahkannya UU Penataan Ruang nomor 26 tahun 2007, penataan ruang di Indonesia berkiblat pada sistem penataan ruang ala Eropa yang mengatur ruang dalam blok-blok besar dan tidak secara detail. Sedangkan di UUPR terbaru, kiblat itu beralih ke Amerika. Kalau Pak Wiwid, menyebutnya sebagai 'mahzab Amerika'. Penataan ruang ala Amerika adalah penataan ruang untuk menata sebuah daerah baru. Perencanaan dibuat dengan detail dalam blok-blok yang sudah ditentukan sedemikian rupa. Kenapa kemudian hal ini menjadi tidak sesuai ketika diterapkan di Indonesia?

"Kondisi Amerika dan Indonesia sudah jelas berbeda", kata pak Wiwid. Penataan ruang ala Amerika ditujukan pada daerah yang masih kosong sedangkan untuk Indonesia adalah ruang yang sudah berkembang. Pensyaratan  perencanaan pada tingkat detail akan membuat masalah baru yang bahkan tidak secara langsung menyinggung tata ruang itu sendiri, misalnya saja masalah sosial, ekonomi dan turunan-turunannya. Coba kita tengok sekilas tentang si RDTR atau Rencana Detil Tata Ruang.

--
Kenapa RDTR menjadi kendala utama dalam penataan ruang? Ya, karena bahkan RDTR itu belum ada. Aturan yang seharusnya ada tapi belum ada. Ribetnya penyusunan perencanaan membuat hal-hal dasar seperti rencana ini terus molor. Jika di tingkat atas sudah terlambat, maka dipastikan yang di bawah-bawahnya juga ikut terlambat.

RDTR  menjadi suatu keharusan bagi sistem penataan ruang kita yang mengacu pada UUTR. Untuk mengatur suatu ruang, diperlukan suatu rencana detail yang mencakup blok-blok pemanfaatan ruang yang sudah diperhitungkan dengan masak-masak. Sepertinya baik-baik saja disini. Lalu, apa masalahnya?

Masalah muncul ketika ruang yang diatur adalah ruang yang sudah berkembang, sudah ada isinya, sudah terbangun. Akan lebih sulit untuk membuat penataan pada ruang yang terbangun dibanding pada lahan yang masih kosong. Mengatur ruang yang sudah berpenghuni berarti berurusan pula dengan para penghuninya. Dan seperti yang pernah aku tuliskan sebelumnya, bahwa sesuatu peraturan itu tidak berlaku mundur maka peraturanlah yang harus menyesuaikan dengan kondisi yang sudah ada. Bagaimana kemudian ruang yang sudah berkembang ini diatur? Nah, di sinilah nanti akan terjadi proses interaksi termasuk tarik ulur kepentingan yang tentunya tidak bisa sederhana, apalagi yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Sudah dipastikan akan sangat ribet. Tidak ada cara mudah tanpa resiko untuk mengatur yang sudah seperti ini. Kalau menyitir apa yang Ahok pernah katakan tentang bagaimana cara paling gampang menata ulang Jakarta, ya diratakan lalu dibangun ulang. Artinya, tidak mudah memang mengatur yang sudah 'teratur'. (Teratur dalam artian sudah bercokol duluan, tidak sama artinya dengan rapi.)

---
Beberapa hari yang lalu, aku berbincang dengan salah seorang kawan bernama Dafid, yang lebih sering dipanggil Suki, yang baru saja pulang berpetualang di negeri tirai bambu Cina. Satu kesan yang dia miliki tentang Beijing, kota terbesar negeri itu adalah betapa bersih dan rapihnya kota itu. Lalu, yang membuatnya tertarik adalah sistem pemilikan tanah di sana. Di negara komunis itu, pemilikan tanah seluruhnya dikuasai oleh negara. Tidak ada satupun warga sipil yang boleh memiliki tanah. Lalu, bagaimana orang-orang tinggal? Suki menceritakan jika di sana, terdapat banyak rumah susun dan apartemen yang disewakan pada warga sipil. Jangka waktu sewa bisa sampai dengan 25 tahun. Suki menceritakan jika orang-orang Beijing biasanya mulai menyewa apartemen saat umur 4oan tahun di saat sudah mapan. Hak sewa rumah dapat diwariskan kepada anak, kerabat ataupun orang lain ketika pemilik hak meninggal atau melepas haknya sebelum masa sewa berakhir. Jadi, untuk masalah rumah bisa selesai di sana. Tapi, bagaimana dengan lahan pertanian? Bagaimana status petani? Itu, aku belum tahu dan masih terlalu malas untuk mencari tahu (baca: googling sendiri).

Aku jadi berpikir, apa mungkin sistem penguasaan lahan secara penuh seperti di negeri komunis lebih baik untuk negeri yang kadung semrawut ini? (Katanya sih.. )  Jadi, tidak ada lagi nanti ceritanya jual beli tanah ilegal, adanya tuan tanah yang maruk, kesenjangan pemilikan tanah, dll. Biar nanti itu negara yang bagi-bagi tanah untuk apa saja dan dimana saja. Dengan demikian, maka penataan ruang akan menjadi lebih simpel karena yang ngurusi cuman sepihak, tak perlu ribet dengan sengketa pemilikan ataupun hal-hal terkait penguasaan lainnya. Kalau begitu, apa perlu kiblatnya diganti lagi, dari Eropa ke Amerika lalu sekarang ke Cina? Ingat sabda Nabi, "Tuntutlah ilmu sampai negeri Cina!". Nah lhoh..

Jadi gimana enaknya?
Da,aku mah apah atuh?! Siapa sayah harus mikir mahzab tata ruang segala.

Kalau kita punya demokrasi Pancasila, kenapa tidak kita juga punya sistem tata ruang Pancasila. Ya, sistem tata ruang yang khas Indonesia, yang mewadahi keunikan dan kondisi nyata dari tanah negara (tercinta) ini. Bagaimana bentuknya, ya bisa dilobi-lobi. Lagipula, apa perlu kita bermahzab ke negara-negara lain yang toh kondisinya jauh berbeda. Indonesia ini 'the only one' loh, negara yang gak ada duanya di dunia ini. Ya memang, kita perlu belajar dari negara lain juga, tapi tetap harus punya jati diri dong. Nah..  Apaan lagi ini, kok nyambung ke identitas bangsa? Lhoh, bukannya memang masalah ruang berhubungan erat dengan identitas. Ah, mbuh lah…

Sudah dulu lah, ngalor ngidul - ngetan ngulon tentang mahzab tata ruang. Balik lagi, dah aku mah apa atuh yah..Hanya wong cilik yang kepo-an dan bercita-cita bisa ngaku jadi peneliti. (Biar kalau lain kali nulis gak perlu lagi pakai keterangan, 'Dah aku mah apa atuh'.Hehehe)

Jadi intinya, kalau kata Pak Wiwid kita salah mahzab.

(Ngomongin mahzab yang pake istilah Arab, jadi kepikiran, apa pindah mahzab ke Arab sekalian? :D  )


img source: here


Pemanasan nulis bebas sebelum nyelesaikan laporan kerja. Sambil mendengar lagu yang lagi menggalau di kepalaku, "Cinta Terlarang"nya The Virgin. Entah kenapa ya, lagu ini terngiang-ngiang sejak beberapa hari terakhir di kepalaku yang seakan penuh meskipun aku yakin gak penuh-penuh amat. Apa sih yang kupikirkan? Toh, aku bukan Pak Jokowi yang harus ngurus negara. Haha..

Kok ada ya cinta terlarang? Bukankah cinta itu adalah sesuatu yang bagaimanapun bentuknya itu adalah indah? Cinta tidak selamanya terkait ero kan? Menurutku sih sah-sah aja apapun cinta itu asal tidak ada yang tersakiti. Yah, meskipun itu tidak akan pernah mungkin. Masyarakat, kumpulan manusia yang membentuknya telah membuat sesuatu yang lebih nakutin dari manusia itu sendiri. Pantesan saja, aku merasa ngerti kenapa Eddie Vedder dengan indahnya bikin lagu "Society". …"Society, you're crazy breed!".

Hal-hal simpel dibikin sulit, yang gak ada diada-adain, yang gak logis dilogis-logisin, hal yang kecil  digedhe-gedhein, yang gedhe dikecil-kecilin, dan seterus-seterusnya. Apakah benar masyarakat seperti itu? Bisakah masyarakat kehilangan kemanusiaannya? Ngeri! Daripada menjadi zombie dalam kumpulan manusia yang hilang manusianya, apa mending kabur? Seperti si Alexander Supertramp yang meninggalkan segalanya karena sudah muak dengan 'society'?! 


Wooh… Badai pun datang! Badai di kepala datang lagi… Tanganpun mulai gerah ingin menari. Sepertinya pemanasanku sedikit berhasil. Dari cinta terlarang ke gilanya society. Pengen kabur jadinya. Tapi, semua juga mungkin tahu, kabur hanya bagi pecundang. Dan, aku tentu tak ingin jadi pecundang. 

Mending nyanyi dulu nih, 'Cinta Terlarang' dan 'Society'. Sungguh dua lagu yang gak nyambung baik genre maupun kisahnya.. Hehehehe... 







Selamat Pagi! 


Semua ini berawal dari ketertarikanku pada Beyonce atau yang lebih dikenal dengan julukan Queen Bey, bisa dibilang satu dari 'the sexiest women on earth'. Aku menjelajah jagad Youtube untuk sekedar menikmati alunan merdu suara sang Ratu. Hingga pada satu lagu super romantis berjudul 'Drunk In Love' yang dinyanyikan Queen Bey dan suaminya Jay Z. Tak lengkap rasanya jika menonton video di Youtube tanpa melihat sekilas komentar para viewer. Lalu, aku temukan komentar menarik, "I don't understand why someone like her can fall for Jay Z who has no sex appeal at all. What happen with her sex life now? Is it already dead?". Yang kemudian, komentar itu dijawab dengan sangat menarik juga, "She falls for Jay Z because he has a sexy idea. She falls for it!". 

Look at how Queen Bey staring at Jay Z, kind of cute! (img source: here)

Nah lho, di sanalah awal aku kepikiran dengan konsep sexy mind. Apa sebenarnya itu? Sekuat apakah keseksian pikiran ini hingga bisa melampaui batasan-batasan fisik?

Bagaimana menjalani dan memandang kehidupan, bagaimana membebaskan diri dalam ekspresi tak terbatas, dan bagaimana bersikap jujur pada nurani, seperti itu mungkin konsepnya yang bisa kucoba jabarkan. Tentu tidak semua orang bisa seperti itu, sama halnya tidak semua orang punya sex-appeal yang kuat secara ragawi. Orang-orang dengan pemikiran yang unik pasti akan menjadi menonjol di antara sekumpulan orang di dunia yang semakin terasa palsu ini. Ketertarikan pada sesuatu yang unik adalah bawaan manusia, basic instinct barangkali. Kalau sudah tertarik pasti jadi kepo, bawaannya ingin tahu terus. Kalau sudah begitu pasti akan mendekat dan semakin dekat. Byarr! Jadian deh. Hehehe.. 

Terlepas bagaimana pun wujud dan bentuknya, seseorang dengan sexy mind pasti akan selalu mendapatkan pengagumnya. Aku pun demikian, ketertarikanku pada seseorang boleh saja berawal dari fisik karena itu yang memang pertama bisa terlihat. Tapi, pemikiran yang jujur dan penuh petualangan adalah pesona tiada akhir bagi diriku yang selalu ingin punya teman yang seru. Teman yang bisa mengimbangi perangkat lunak di otakku yang liar. Agar sampai kapanpun nanti, aku tak perlu men-downgrade (Ups! Bisa jadi aku terlalu meninggikan diriku sendiri. Hehehe.. ) diriku sendiri hanya untuk sekedar menjadi compatible dengan seseorang yang tak pernah bisa kupahami. Begitu pula sebaliknya, aku takut juga jadi men-downgrade orang lain. Karena itu juga aku mudah jatuh hati pada orang-orang yang cerdas, bebas, dan liar. 

Yoi... Ada gak ya orang seperti itu? Pastinya ada lah. Aku percaya selalu hal itu. Dan kalau sudah kutemukan, seseorang dengan 'sexy and beautiful mind' itu pasti akan kuperjuangkan mati-matian agar selalu bisa bersamaku. ðŸ˜‰

Aku pun ingin jadi sexy, makanya aku coba jujur pada diri sendiri. Sudahkah ada yang tertarik? Hehehe...

Lalu, mengalunlah sendu lagu 'Jatuh hati' dari Raisa,... Ya, cinta memang banyak bentuknya. 

"... Ku terpikat pada tuturmu. Aku tersihir jiwamu. 
Terkagum pada pandangmu, caramu melihat dunia. 
Ku ingin kau tahu bahwa ku terinspirasi hatimu. 
Ku tak harus memilikimu, tapi bolehkah ku selalu di dekatmu... "




"For someone with the most beautiful and sexiest mind I've ever found, please let me always be by your side."


(Below is the result summary of my study while I was in World Forest Institute's fellowship program. This was also a paper material that was already accepted for IS-River conference in France-2015 which unfortunately I was not able to attend. I just want to share it again here on my personal blog.) 
----

Public Engagement in River Management, Lessons Learned From The Willamette River in USA to Indonesia’s River

Sudiyah Istichomah

Indonesia,  nonette262@gmail.com


ABSTRACT
There is an obvious need for the public to be involved in the management of natural resources, including forests, rivers, and resources. There are major challenges in Indonesia around river management such as floods, pollution, land conversion, and low community participation. The Minister of Environment stated that in 2014 75% of the large rivers in Indonesia were contaminated. This study aimed to explore how rivers are managed in the US, using the Willamette River in Portland as a case study. The focus was especially on public involvement  and how that can be applied to Indonesia. Many things can be learned from the Willamette River are 1) Government agencies are actively involved in community programs, the public are also actively involved, and there are nonprofit organizations that oversee government management, 2) Things like dam removal, installation of LWD for fish habitat, and re-meandering rivers are all management tools that would benefit Indonesia, 3) The use of an iconic species such as salmon as the impetus to restore the river is an excellent idea. Indonesia can look for an iconic  species  of their own , 4) Using the river as part of urban ecotourism. The Willamette River is a great Portland attraction for things like jogging, sailing, swimming, etc.



KEYWORDS
Public engagement, involvement, river, USA, Indonesia


1           Introduction

      Indonesian River and Challenges

There is an obvious need for the public to be involved in the management of natural resources, including forests, rivers, and resources. Today, water and river management  is an important issue around the world. There are major challenges in Indonesia around river management such as floods, pollution, land conversion, and low community participation. The Minister of Environment stated that in 2014 75% of the large rivers in Indonesia were contaminated.

This study aimed to explore how rivers are managed in the US, using the Willamette River in Portland as a case study. The focus was especially on public involvement  and how that can be applied to Indonesia.

Why this study is important:
  1. Water is necessary for all life on earth. Rivers reflect the level care that is put into managing water resource and they need to be cared for.
  2. Learning how developed countries use public involvement in river management  in important so that developing countries can learn from these models.
  3. The Willamette River is an important river in Oregon. It flows through the city of Portland and has a complex management, influenced by the urban environment with many different governmental and interested parties engaged in its management.
For 6 six months fellowship program in World Forest Institute, June – November 2014, writer did a study to learn about river management within the USA, with case study of the Willamette River in Portland, Oregon State. The study’s objectives are to know about the general condition of the river management and to find lessons learned that can be applied in Indonesia.

Four main questions for this study are,
  1. What is the current state of management of the Willamette River in Portland?
  2. Who are the actors that play a role in the management of the river and what are the roles?
  3. Is there a forum that brings together those parties?
  4. How does it compare with the situation in Indonesia?
The research was conducted in two ways: interviews and literature studies. Interviews were conducted with government agencies, experts, non-profit organizations and the general public in random. Literature was reviewed from websites, journals, news and other sources. A number of  fieldtrips with the World Forest Institute also allowed me to gain knowledge about the management of natural resources, especially rivers of PNW in general.

2. RESULT

2.1 Willamette River – Portland, A river with a long history

The Willamette River Basin is the largest watershed in the state, covering more than 11,500 square miles. Portland occupies only a small fraction of the river’s drainage basin, about one-half of one percent, but is the most urbanized area. Native salmon, steelhead and other fish and wildlife species live within Portland’s urban boundary, and also  migrate through Portland to other parts of the Willamette River Basin, Columbia River Basin and beyond.
The Willamette River faces a lot of problems, including pollution and water quality. In 2000, the federal government established that the river has become one of the Super Fund site cleanup projects because of it’s heavy pollution. This program involves many stakeholders: governments, private companies, numbers of environmental organizations, and also the general public who actively care for the implementation of the programs.

Restoration carried out in upstream rivers and creeks also provide a major influence on the Willamette River in Portland. Restoration of the Willamette River, and generally in the PNW, is closely related to salmon, which has been included in the category of endangered species. Salmon migrations connect the downstream and upstream of river systems and salmon habitat restoration has proven beneficial for the restoration of the river as a whole. Various restoration programs are conducted with the involvement of the general public, such as  volunteer-based tree planting, cleaning streams of garbage, and invasive species removal.

2.2 Actors in Willamette River Management

Who are the actors in river management?
In general, there are four groups that play an active role in management: Government, Private companies/ land owners, nonprofit organizations, and the general public.

Government plays the largest role in river management. They set the policy and develop the manage plans. They engage the public throughout the entire process using various means. Some of these are: transparency – letting the media and public know of their plans, public comment periods for each program so they know what the public wants, providing public field tours, and creating advisory groups.

Nonprofit organizations such as Willamette Riverkeepers or watershed councils can play a complimentary role to government organizations. Through their programs and campaigns, they raise awareness about the river and encourage public to be more. They also can monitor the work of government.

Private companies and land owners typically use a lot of water resources for their business and do have a voice in management of the water. They can support the government and nonprofit organizations that works for river by give fund or have partnership. Landowners usually do the stream restoration and conservation in their property.

The general public is the most important part of this system. The public can actively participate in river management in many ways: read the news and updates about government programs, give active responses during public comment periods, and volunteer in events related to the river.

There are of course many divergent opinions about and interests in the Willamette River. Public engagement is one way to help the various groups work together and understand each other interests in the water. However, developing  discussion forums and consensus on ideas and is difficult and requires a lot of work to have all the parties come together.

Are there forums that bring together interested parties?
Advisory councils and watershed councils provide a forum for people to meet and discuss their concerns about the river.
Watershed councils are locally organized, voluntary, non-regulatory groups established to improve the conditions of watersheds in their local area. They bring together local stakeholders from private, local, state, and federal interests in a partnership, to help plan restoration. In Oregon, there are at least 74 watershed councils that build a big network of people dedicated to supporting the work of river protection and restoration throughout the state.

2.3 Lessons Learned: From Portland to Indonesia
River management in Indonesia is led by the government. There are at least 14 ministries related to water management with the Ministry of Public Work being the main ministry in charge of infrastructure and management of the river. There are also several NGOs that are actively involved in water issues. But there is  a lack of participation by the general public.

In Indonesia, there is also a Water Resources Council, a forum of river management parties at the national or provincial level. They don’t function well however  because coordination is lacking and not everyone’s interests can be accommodated. The most interesting thing is the trend of community volunteer organizations like River Defenders which recently formed all around Indonesia as an expression of concern from a small number of the public for the poor condition of the river.

Many things can be learned from the Willamette River:
  •  Government agencies are actively involved in community programs, the public are also actively involved, and there are nonprofit organizations that oversee government management.
  • Things like dam removal, installation of LWD for fish habitat, and re-meandering rivers are all management tools that would benefit Indonesia.
  • The use of an iconic species such as salmon as the impetus to restore the river is an excellent idea. Indonesia can look for an iconic  species  of their own.
  • Using the river as part of urban ecotourism. The Willamette River is a great Portland attraction for things like jogging, sailing, swimming, etc.. Urban rivers in Indonesia have not been widely used for leisure purposes.

---------

img source: here 








Serayu River - Central Java (2011)


"If you have what it takes to make a big change in the environmental condition in this country, what would you want to do?", one of my friend asked me that question. And now, I am still thinking about that. A simple question doesn't always need a simple answer. It can be so much complicated. But, the simpler is the easier to understand, even for the answerer. So, I think that I would just to answer it in simple way.  

It was all started with my 'accidental' interest in river and water management issue that leads me to know a little faction of this big issue. What I know all this time is that there's something wrong with the water management in this country. And, just like everybody else, the easiest way to do is blaming the government. I said, "They should or shouldn't do this and that, bla bla bla...!". I always ask for action from others with justification that that's all their job and I do not have enough power to do it myself. Then, the question hit me for a second!  

If I have all the resources I need (fund, time, team) in order to change the current poor condition of the river in this country, what would I do? What I want to do? Hahaha.. It really hits me. I didn't have confidence answering it in a blink of eye.  Unexpectedly, I need more time to think. Whoaa...! I got something on my mind that really interest me. Maybe my confusion is just the same thing with what the government has. They have resources, they have power, but maybe they don't any confidence too, just like me. Or, is it just me who lack of imagination? Who knows?

Well, I will try to answer it here.

In this case, I will create a team whose members are credible and expert in the field.  “The right man in the right place”, they said. Every single person on earth has what they can or can’t do by themselves. To do something that we able to do is one of the ways to gain success in our work. Do not make mistake like put someone in the wrong place. Do not make me a singer while I am a tone-deaf person. Just like, do not make an economist to do some conservation jobs. It’s not about if they can’t do the work or vice-versa. Like in an Indian movie ‘3 Idiots’ I watched several years ago, “Can you imagine if Mariah Carey became an Engineer?!” It doesn’t mean that she can’t but her best is to be a singer.

My position? Of course, I would like to choose to be the leader. Why? My experience when I was chosen as a class representative in SD (elementary school) still lingers in my mind and I think it is not a bad idea to do it again. Post power syndrome! (Lol)

Then, I will just ask them the same question, “What would you like to do if you have what it takes to…”.  The right person in the right place and time will know the answer. We will work together as a perfect team! (Somehow, it feels like Multi Level Marketing.

As simple as that!

Further question? Let’s wait for the expert’s answer. Maybe ‘The Fish Goddess’ Riska Darmawanti has an answer regarding the river ecology, or the activist of Ciliwung Sudirman Asun has answer about people’ voluntarism, etc. The names I mentioned here just several names that came to my mind when I was writing this. So, it doesn’t mean anything actually.

How would I know the best person? How can I manage all of them? How to ensure everything is okay? How this and that? (OMG! Why this ‘How’ question is so complicated? How many ‘Hows’ are there? 

I am laughing to myself again. Maybe I am not qualified to be a good leader like I said. It’s a half joke! I would prefer to be one of the team members who work for the river. What can I do? Social Research maybe…. I am still learning too. 

And I don't think that this note can give the real answer to the question itself.

You?

img source: here 





Hutan TN Gede Pangrango dilihat dari Desa Cimande bersebelahan dengan Desa Pancawati, Caringin, Bogor. 


"Ya, di situ di DAS.", kata Pak Jamil (bukan nama asli) - seorang warga desa sambil menunjuk jurang tempat Sungai Cimande mengalir. Dalam hatiku aku was-was. Kenapa? Terdengar lagi satu istilah yang sempat membuatku berkerut : DAS atau Daerah Aliran Sungai. Jangan-jangan,.... Mari disimak apa yang terpikir olehku saat itu. 

Hari ini, aku mengunjungi Desa Pancawati, sebuah desa di Kaki Gunung Pangrango yang diapit oleh rimba yang kini telah berstatus Taman Nasional Gede Pangrango dan daerah-daerah industri terutama Pabrik Danone Aqua yang boleh dikatakan sebagai perusahaan air minum dalam kemasan terbesar di Indonesia. Di desa yang katanya merupakan daerah yang dekat atau malah memang daerah 'recharging area' - kawasan untuk serapan air tanah, berbagai kegiatan yang melibatkan perusahaan air itu pun menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Danone telah menggelontorkan dana CSRnya dan mungkin dana lainnya juga di sini. Melalui LSM lokal setempat, perusahaan itu telah membantu masyarakat setempat baik dalam bidang ekonomi ataupun pembinaan tentang lingkungannya. Tak lupa pula, ada peran taman nasional yang juga ikut kecipratan 'rejeki' dari adanya perusahaan besar ini. Nah, apa hubungannya dengan Pak Jamal dan DAS? Aku bukannya akan membahas tentang program ataupun untung rugi adanya interaksi ini. Aku hanya ingin menggaris-bawahi penggunaan istilah populer, terkesan scientific, cerdas, dan sering sekali disalah-pahami, yaitu DAS. 

Interaksi yang intensif antara masyarakat dengan golongan akademisi, peneliti, perwakilan perusahaan dan aktivis lingkungan yang kadang menggunakan kata-kata dan istilah tertentu, pasti akan menulari pula penduduk dampingan. Karena ini terkait air, maka istilah DAS ikut-ikut terbawa. Bagus di satu sisi. Tapi, jika terjadi kesalah-pahaman tentu menjadi kurang bagus. Nah, ini pula yang aku kuatirkan terjadi dengan Pak Jamal. Ketika dia menyebut kata DAS sambil menunjuk sungai dengan yakinnya, aku mulai ber-dejavu dengan pengalamanku dulu saat aku menemui permasalahan yang serupa. Orang seringkali aku temui menyalah-artikan definisi DAS dengan wilayah kanan-kiri sungai yang dibatasi garis sempadan sungai. Padahal, dua hal itu jelas tidak sama. (Ups, istilah bantaran dan sempada saja ternyata artinya beda. :O) 

"Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan." (UU no. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air). 

Sedangkan garis sempadan sungai adalah garis maya/khayal di kanan dan kiri palung sungai yang ditetapkan untuk perlindungan sungai (PP 38/2011 tentang Sungai). Nah, daerah antara garis sempadan dan palung sungai itu yang mungkin seringkali disalah-pahami sebagai DAS. Silakan disanggah jika asumsiku kurang tepat.

Apa yang membuat dua hal ini sering disama-artikan ya? Ada yang tahu? Monggo kalau mau urun suara bisa dikomen. 

Dengan perkataan Pak Jamil di atas tadi, aku berasumsi bahwa dia salah paham. (Aku akan coba cek lagi kapan-kapan. :) ) Pertanyaan lanjutannya adalah, darimana dia bisa salah paham? Ada dua kemungkinan, yaitu: dia memang salah paham sendiri atau jangan-janan memang pendamping masyarakat yang mengenalkan definisi DAS itu pada Pak Jamil sudah salah paham duluan. Tidak mustahil terjadi kemungkinan yang kedua. 

Nah, lalu yang menjadi perhatianku adalah penggunaan istilah dan bahasa-bahasa tertentu ketika berbicara dengan masyarakat umum. Kenapa ada jurusan khusus komunikasi dengan masyarakat di kampus-kampus terkenal, misalnya saja IPB yang punya KPM (Komunikasi Pengembangan Masyarakat)? Pasti karena berkomunikasi dengan masyarakat itu bukan perkara mudah. Karena itu diperlukan keterampilan khusus yang mumpuni agar apa yang kita sampaikan benar-benar pas dipahami oleh mereka, tidak kurang dan tidak lebih.Jangan sampai salah paham apalagi salah langkah. :)

Aku dulu sempat jengkel terhadap seorang kawan yang punya hobi ngomong dengan 'Bahasa Dewa' - suatu istilah untuk bahasa yang susah dipahami konteks maupun maknanya tapi terdengar 'wah' karenan banyaknya penggunaan kata-kata asing, serapan, dan akademis. Ampun banget orang-orang kayak gini! Pernah aku katakan langsung bahwa bisa saja bagi dia indikator seseorang itu cerdas adalah dari semakin tidak dipahaminya apa yang dibicarakannya. "Semakin orang gak paham, maka lo semakin keren dan cerdas!", kataku saat itu. Tapi, masa ya gitu sih? 

Aih, aku tetiba jadi teringat video rekamana Vicky Prasetyo saat pidato pemilihan Kades dengan bahasa Inggris ngaco-nya, yang diiringi para tetua desa yang manggut-manggut entah kagum, entah ngerti, atau entahlah. Jangan sampai kita seperti itu. 

Lhah kok, nyambungnya sama salah konsepsi DAS apa? Coba kamu sambungkan sendiri, lagipula semua ini hanya asumsiku.

Aku di TKP :) 


Hit the right spot! 

Itulah yang terpikir olehku ketika mendengar kata 'pisang'. Hehehe... Ops! Jangan ngeres dulu ya. Pisang yang akan kubahas di sini adalah benar-benar yang berwujud buah, bukan buah yang lain. Hee.. Apa yang ditembak pas tepat sasaran oleh si pisang? Ada yang bisa tahu? Yup! Itu adalah rasa lapar yang kadang hadir di saat atau tempat yang kurang pas bagi kita untuk lapar. Misalnya, saat jam 10 pagi, sesaat setelah kita sarapan. Rasa lapar yang menggebu kala waktu jam makan siang belum datang, menjadikan pisang sebagai penyelamatmu. Atau, saat kamu sedang berada di lapangan, sedang dalam perjalanan hiking menyusuri jalan setapak di hutan yang tidak memungkinkanmu untuk sekedar berhenti makan. Tidak perlu khawatir! Ambil pisang, makanlah, dan kamupun akan terselamatkan. 

Begitu juga pagi ini, aku terselamatkan oleh si panjang kuning yang nikmat. Terimakasih pisang. 

Ada beberapa hal kenapa pisang menjadi buah penyelamat di saat darurat. Sejumlah alasan berikut ini adalah hasil pengalamanku sendiri dan juga pengamatanku terhadap sejumlah teman-temanku si penggila pisang. 

1. Pisang mudah dibawa dan ringkas. Yah, meskipun harus hati-hati karena cepat benyek. 
2. Harga pisang murah-meriah dan mudah dibeli dimana saja dan kapan saja. 
3. Rasa pisang enak meskipun ini sangat relatif tergantung masing-masing orang.
4. Pisang mudah dimakan, dikunyah dan dicerna. Ini bisa membantu bagi siapa saja yang punya kesulitan atau masalah dalam kunyah-mengunyah, misalnya bayi dan orang sakit gigi. 
5. Pisang bergizi tinggi lho, dan 
6. Pisang bisa menembak tepat di sasaran lapar. 

Masih banyak lagi kelebihan-kelebihan pisang yang lain. Kenapa pisang menjadi buah andalan saat lapar menjelang di saat yang kurang tepat. Ataupun seperti saat ini, saat gigi bungsuku merangsek naik dan memaksa rahangku untuk tidak terbuka terlalu lebar dan gusiku membangkak. Banana is my saviour. 

Damn, I love Banana! 





Kenapa harus jalan?

Pernahkah mendengar kalau orang mau lebih nasionalis harus sering jalan-jalan? Pasti sering kan? Kalau kamu seorang yang suka jalan atau seorang traveler, kamu pasti tahu yang kumaksud. Tapi, kalau kamu yang jarang jalan atau bahkan tidak pernah jalan, nah di tulisan ini aku akan ngajak kamu sedikit mikir, kenapa orang yang sering jalan-jalan biasanya lebih nasionalis.  

Kemana kita harus jalan-jalan agar bisa lebih nasionalis, lebih mencintai negeri ini? Ada dua pandangan yang berbeda dan saling melengkapi. Apa perlu keliling Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari kota metropolis Medan, Jakarta hingga ke pedalaman Papua sana? Ataukah, kamu perlu berjalan lebih jauh ke mancanegara, menjelajah negeri orang yang kadang tak kita pahami bahasanya dan asing rasa makanannya, mulai dari metropolitan dunia seperti New York, Tokyo, Paris hingga negeri antah berantah di jantung gurun-gurun negeri Afrika sana? Well, apa pendapat kamu teman? 

Aku, meski tidak seluruhnya, beruntung pernah melakukan keduanya. Aku pernah beberapa kali jalan-jalan (atau lebih tepatnya kerja) di jauh-jauh pedalaman Sumatra, Kalimantan hingga Sulawesi sana. (Ah,aku belum berkesempatan ke Papua) Aku pun beruntung sempat menjelajah (kerja juga) di negeri Paman Sam yang termahsyur itu dan sekedar berjalan-jalan di beberapa negara tetangga Asia. Apa yang kudapat kemudian? Nasionalisme kah? Mungkin iya jika rasa cinta ini disebut demikian. Tapi ada rasa yang beda antara keduanya meski berujung pada satu cinta pada Ibu pertiwi, pada sang Mother land.

Meskipun beberapa kalipun aku jalan-jalan di Indonesia, aku selalu saja terkejut dan menemukan hal-hal baru. Seperti waktu itu, aku jalan ke daerah Simpang Hilir, sebuah kecamatan cukup terpencil di Kalimantan Barat. Di salah satu desanya, aku tinggal lebih dari seminggu, menginap di rumah penduduknya. Desa yang berada di antara perkebunan sawit luas dan hutan tropis Kalimantan yang terlihat lebat, aku menyadari bahwa banyak hal yang selama ini tidak kuketahui tentang tanah yang katanya adalah tumpah darahku ini. Tidak hanya keindahan alam yang mempesona tapi juga kenyataan yang tidak seindah poster wisata. Aku melihat sendiri betapa negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini tidak selamanya indah. Selalu ada cerita sedih di sela-selanya. Kerusakan lingkungan dan kisah sedih penduduknya seakan memberiku gambaran lain akan negeri ini yang tak akan kutahu jika aku tak merasanya sendiri. Aku sempat menuliskan kegalauanku akan hal itu di tulisan ini (klik: Batu Barat dan Melinsum). 


Tak hanya cerita pilu, cerita indahpun masih banyak kutemui. Suatu waktu, aku sempat berjalan-jalan ke Lembah Bada, suatu lembah hijau nan indah yang dikelilingi bukit dan gunung di tengah-tengah Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Di sana, aku menemukan wajah lain dari Indonesia. Sumpah, pertama kali ke sana, aku benar-benar merasa terpesona. Bagaimana tidak! Di dalam komunitas yang masih menjunjung tinggi adatnya ini, aku merasa bagai di negeri antah-berantah namun masih berasa di rumah. Ya, di sini, masyarakat adat Bada memiliki banyak tradisi unik, bahasa yang beda dan tentunya keramah-tamahan khas negeri kita tercinta. Meskipun di Poso sering terdengar berita kerusuhannya, tapi di Bada semua begitu berbeda. Orang-orang di sini hidup damai berdampingan satu sama lain dan mereka sangat terbuka terhadap kedatangan tamu dari luar. Ah, pokoknya aku betah banget di sini. Langit biru Bada bahkan menginspirasi menulis sebuah puisi cinta untuknya, coba cek ini (klik: Langit Bada). Segala keunikan ini seakan membuatku semakin bangga menjadi bagian dari tanah air ini. 


Aku dan anak-anak di Batu Barat, Simpang Hilir, Kalbar (2013)
Alam Bada yang indah dan langit birunya yang memukau (2013)

Setelah sekian kali aku berjalan-jalan di tanah air, aku pun berkesempatan menginjak tanah di benua seberang. Amerika adalah salah satu negara di mana aku sempat selama 7 bulan mencoba menggaulinya. Apa yang kudapatkan? Semua serba wow! Wajar saja, negeri Paman Sam ini konon adalah negeri paling kuat sedunia, Superpower katanya. Iya memang! Di Amerika, aku menemukan banyak hal baru, suasana baru dan temuan-temuan baru. Masyarakat yang lebih perlente, kota yang lebih besar, gedung-gedung tinggi yang lebih megah, jalan-jalan yang lebih bersih dan teknologi yang lebih canggih. Hampir semua yang lebih ini dan itu aku jumpai di sini. Tapi, apakah aku lebih suka tinggal di sini? Ah, jujur saja iya. Siapa sih yang tidak ingin tinggal lebih nyaman dalam lingkungan yang lebih rapih? Tapi apa iya cukup sedemikian halnya?

Ternyata tidak selalu demikian. Semakin jauh dengan kampung halaman malah membuatku semakin memikirkannya. Huru-hara di negeri tercinta yang kadang tak pernah terjamah meski hanya sekedar lewat berita, malah kucari-cari dari negeri yang jauh di sana. Apa yang terjadi dengan rumah ya? Bagaimana orang sini memandang Indonesia? Bagaimana ini dan itu segala rupa tentang rumah jadi ingin kuketahui. Segala rupa tentang Indonesia yang dibahas di luar sana selalu ingin membuatku berkata, “That’s my home country and it’s very beautiful! I am Indonesian!”. Di setiap kesempatan, aku selalu menyampaikan betapa negeri kepulauan tropis terbesar di dunia itu adalah rumahku, kampungku, dan ibu pertiwiku. Kadang aku merasa aneh juga. Ketika di rumah sendiri kadang aku merasa kesal dengan segala rupa masalahnya, namun di luar sana aku selalu membanggakan tanah airku. Ah,.. memang benar ya. Kadang jarak itu penting untuk membuat kita menyadari betapa berharganya apa yang kita miliki. Begitu pula negeri ini. Kita bisa saja menjadi sangat mencintainya, merindukannya ketika kita jauh darinya. Kalau kamu gak percaya, coba saja! Dan rasakan, betapa hanya Indonesia tempatmu untuk pulang kembali. Bahkan sambal terasi pun akan membuatmu rindu setengah mati.

Di tengah rimba Redwood di California pun aku ingat rumah (2014)
Melihat di seberang Sungai Sumida, Tokyo Skytree yang termahsyur pun
aku masih ingat rumah :)

"That Indonesia is my beloved home country!", I said. (Oregon, 2014)


Banyak hal yang bisa kita temui jika sering jalan-jalan. Cinta pada negeri salah satunya. Entah itu di dalam negeri atau di luar negeri, semua akan membuat kamu mencintainya, mungkin dari sisi yang berbeda. Ya, memang demikian karena wujud cinta bisa berupa apa saja dan datang dari mana saja. Makanya, sering jalan-jalanlah. Temukan diri sendiri, temukan dunia, dan temukan cinta pada rumah kita. 

Damn, I love Indonesia!

Sambil berkaca-kaca, mengingat kembali suatu musim gugur di benua seberang sambil bersenandung rindu,...

“...Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh, tidak kan hilang dari kalbu
Tanahku yang kucintai, Engkau kuhargai

...Walaupun banyak negeri kujalani
Yang mahsyur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku, di sanalah ku rasa senang

Tanahku tak kulupakan, Engkau kubanggakan.”

(Tanah Airku - Ibu Soed)

- Tulisan ini disertakan dalam lomba 'jalan-jalan nasionalisme' yang diadakan Travel On Wego Indonesia- 

Kampung Halamanku, Boyolali di Kaki Merapi-Merbabu yang selalu kurindu