Tampilkan postingan dengan label Melinsum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Melinsum. Tampilkan semua postingan


"Hati-hatilah kau Diyah. Ingat,kamu ini perempuan. Jangan hanya berani ini-itu sendirian saja,...."

Ketika aku mulai emosi dan jengah saat beradu pendapat tentang masalah 'gender', aku mengartikan bahwa aku sudah mulai masuk dalam kehidupan komunitas itu. Ya, kekhawatiran yang ditujukan padaku adalah bentuk peduli dan juga penerimaan bahwa aku sudah menjadi bagian dari mereka. Namun begitu, satu sisi 'modern'ku selalu menolak cara berpikir yang kuanggap tidak relevan dan tidak beralasan. Tapi tetap, aku mengungkapkan ketidak setujuanku dengan cara sebaik dan sesopan mungkin, meski jujur di dalam diriku sempat panas juga. Ha ha..

Waktu itu, tahun 2013 aku berada di melinsum, salah satu dusun kecil di wilayah Sukadana, Kayong Utara, Kalimantan Barat. Di desa yang sarat masalah ini, orang-orang hidup dengan sangat bersahaja. Keramahan orang-orang dan keterbukaan mereka padaku membuat aku selalu terharu dan terkenang, bahkan saat aku sudah lama tak bersua. Masih ingat aku, saat itu di Melinsum orang-orang sedang kebingungan bertani karena tanggul air asin yang jebol yang memporak-porandakan satu-satunya sawah padi di dusun itu. Dan kebingungan lainnya, terseretnya mereka dalam konflik lahan dengan taman nasional Gunung Palung.

September 2013 adalah kali ke-2 aku mengunjungi Melinsum. Aku mulai mengenali dusun yang juga telah kunobatkan sebagai kampung halaman ke-2 ku setelah Boyolali. Begitu juga tentang perbedaan peranan laki-laki dan perempuan di sana, dari pembagian kerja, pengambilan keputusan kelompok, dan lain-lainnya.

Di Melinsum, laki-laki adalah pemimpin sekaligus yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan finansial. Sedangkan wanita bertanggung jawab mengurusi pekerjaan rumah tangga dari mencuci, memasak, mengurus anak, dan lain-lain. Laki-laki bekerja bertani, berladang ataupun menjadi buruh. Sedangkan perempuan mengurusi keperluan keluarga, namun seringjuga ikut membantu bertani. Tidak semuanya begitu, ada juga perempuan yang membuka usaha warung dan mendapatkan penghasilan tambahan. Sebenarnya, dari sisi pekerjaan, aku tidak melihat adanya perbedaan besar.


Aku dan perempuan-perempuan Melinsum




Bagaimana dengan hak, status, atau apalah itu, kurasa laki-laki memiliki keistimewaan lebih. Misalnya saja di proses pengambilan keputusan terkait desa atau perpolitikan, laki-laki mendominasinya. Tapi kulihat pihak perempuan tidak menjadikan itu sebagai masalah. Jika kutanya, jawabannya pasti "dari dulu juga begitu."

Suatu hari, aku menyampaikan rencanaku pada Bang Edi, tuan rumah tempat aku menginap selama beberapa lama. Kusampaikan jika aku ingin mengunjungi Desa Batu Barat di Teluk Melano yang lokasinya memang cukup jauh dari Melinsum. Aku akan ke sana sendirian, menyusul seorang kawan di sana. Jarak yang cukup jauh, daerah yang belum kukenal, dan desa terpencil di pedalaman adalah alasan yang cukup baik bagi Bang Edi untuk mengkhawatirkan keselamatanku. Aku selalu diingatkannya tentang ke-perempuan-anku. "Hati-hati kamu. Ingat kamu perempuan. Jangan suka jalan sendirian....", katanya. Anehnya, aku tidak suka itu.

Kenapa? Aku yang sering jalan sendirian kemana-mana, yang selalu berpikir positif bahwa pada dasarnya semua orang itu baik asal kita juga baik, yang selalu percaya bahwa antara laki-laki dan perempuan sama saja, menjadi agak gerah dengan itu. Aku jadi senewen dan bete, meski di dalam hati. Rupanya saat itu aku lupa satu hal, aku adalah seorang peneliti sosial.
Yah, setidaknya itu keinginanku.

Karena kebetulan aku perempuan dan aku adalah bagian dari mereka yang mungkin saja disini masih terlalu 'dijaga, aku jadi uring-uringan. Padahal jika kepalaku jernih, aku pasti senang dikata begitu. Nasehat Bang Edi padaku adalah wujud penerimaan mereka pada keberadaanku. Aku adalah bagian dari keluarga besar di sana. Apa mungkin aku ge-er? Tidak! Dulu, sebelumnya, mereka tidak pernah memberikan nasehat apapun padaku. Mungkin karena aku orang luar?

Aku beruntung sekali bisa berjodoh dengan Melinsum. Dusun kecil di Kalbar itu akan selalu jadi kampung ke-2ku yang selalu kurindu untuk pulang. Banyak hal lucu, menarik, menyenangkan, menjengkelkan, menggelikan dan semua yang selalu terkenang. Bahkan nasehat 'ingat, kamu ini perempuan.' juga selalu membuatku tersenyum. Aku bisa saja tidak setuju dengan nasehat itu, tapi aku tetap menyukainya.


Lagi pula, aku memang perempuan kan. Perempuan yang luar biasa tentunya. :)


Bang Edi dan istrinya




----------------------------


Ada seorang teman, bolehlah dibilang adik meski tak sebapak tapi seibu, Ibu pertiwi maksudnya.

Dua tahun lalu bertemu di kampung halamannya, di salah satu pulau paling kaya di dunia, Kalimantan alias Borneo. Dia tinggal di Dusun Melinsum bagian dari satu desa yang hanya namanya saja yang SEJAHTERA, di Sukadana, Kayong Utara, Kalimantan Barat.

Melinsum itu indah, meskipun kurasa kenyataan hidup itu tak selalu indah. Kesederhanaan, kebersamaan, perbedaan, petualangan, ah, rasanya masih banyak lagi hal lain yang membuatku jatuh cinta dengan Melinsum. Telah kunobatkan Melinsum sebagai kampung halaman ke-2ku setelah Boyolali.

Kembali ke kisah seorang teman, sebut namanya Rio. Anak yang lucu dan jenaka.Ah, aku tidak ingin menuliskan tentang Rio di tulisan ini. Nanti akan ada bagian khusus tentang dia. Hayhay... Di tulisan singkat ini aku hanya ingin menyampaikan pada Rio atau yang paling senang dengan nama 'sedikit alay' (upss sorry ya), EOZX atau apalah yang aku tidak tahu gimana membacanya, bahwa batas itu tidak ada. Itu yang kuyakini.

Karena sekarang Rio sudah punya blog sendiri, mulai rajin menulis, aku ingin menyampaikan betapa aku senang sekali. Ingin ke Melinsum ketemu langsung dengannya dan juga teman-teman lainnya, tapi kesempatan belumlah ada. Maka di negeri yang tidak terlalu jauh ini, aku sampaikan salamku.

Tetap semangat ya! Ini teman-temanku juga menyampaikan agar kamu tetap semangat ya. Tularkan semangat dan pengetahuanmu kepada teman-teman yang lain juga. Bicaralah tidak hanya pada diri sendiri tapi pada dunia! Sampaikan pendapatmu, sampaikan pikiranmu.
 

(Kapan ya bisa ke sana pas panen duren? :D )

Speak Up Your Mind!






Petang itu aku sedang menikmati makan malam bersama keluarga Bang Edi, ada istri dan 2 orang anak perempuannya, di rumah kayunya yang sederhana. Kami berkumpul di dapur yang juga dipakai sebagai ruang makan kecil berukuran 4 x 4 mungkin. Beralaskan tikar pandan kecil yang hanya muat untuk sajian makanan dan gelas minum. Dalam kesibukan itu, tiba-tiba ada suara dari pintu depan pertanda ada tamu yang datang.

"Assalamuaikum" terdengar suara seorang bapak paruh baya sambil membawa map entah bertuliskan apa. Mungkin urusan desa, maklum Bang Edi adalah seorang pamong desa.
Istri Bang Edi yang biasa kupanggil Kakak menjawab, "Yo, masuk sinilah. Lagi makan ini, makan lah!".
Si bapak itu lalu masuk menuju tempat kami makan, dan kemudian duduk sebentar. Kupikir dia akan ikut makan bersama kami, tapi ternyata dia hanya mengambil sejumput nasi dan memakannya. "Pusak saja." katanya. Setelah itu dia berlalu dan menunggu di ruang depan yang hanya berjarak 3 meter dari tempat makan kami.

Heh? Pusak? Apa itu?


Itulah pertama kalinya aku kenal dengan budaya pusak atau jamah. Budaya ini kutemui di masyarakat Melayu yang tinggal di Sukadana dan Teluk Melano, masih di Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat.

Pusak atau jamah berarti mencoba, mencicipi, atau menjamah makanan yang tidak sempat dimakan. Misalnya seperti kisah di atas, si bapak tamu tidak ikut makan malam bersama keluarga Bang Edi, tapi dia harus ikut mencicipi dan menjamah meski sedikit makanan itu. Itulah pusak. Atau ketika ada seorang suami yang akan pergi ke ladang atau ke suatu tempat, dia tidak sempat makan apapun. Maka sebelum pergi, dia harus memakan minimal sejumput makanan, bisa nasi, lauk, atau bahkan bubuk kopi.

Pada pokoknya, seperti yang kulihat dan juga kutelaah cerita dari beberapa orang, kewajiban pusak itu bisa muncul pada siapapun yang berhadapan dengan makanan, entah miliknya atau bukan tapi tidak sempat atau tidak bisa dimakan, maka wajib menjamahnya alias wajib pusak. Halah, trus kalo lagi makan di warung bagaimana? Itu lain cerita. Maksudnya bukan miliknya ini, misalnya jika bertamu lalu si tuan rumah menawari makan, tapi si tamu menolaknya.

Semua orang harus melakukan pusak, baik laki-perempuan dan tua-muda. Kenapa harus begitu? Dipercaya oleh orang-orang Melayu itu, bahwa jika pusak dilanggar akan menimbulkan sial dan bencana bagi pelanggarnya. Dan apa saja sial yang bisa muncul dari pelanggaran pusak? Aku tanya-tanya beberapa orang dan jawabannya sungguh ngeri dan membuat bulu kuduk sedikit merinding. Aku beri 2 contoh sialnya. Pernah ada seorang anak muda yang akan berangkat main ke desa lain, dia tidak melakukan pusak sebelum pergi. Akhirnya dia mengalami kecelakaan dan terjatuh dari motornya, padahal menurutnya waktu itu tidak ada apa-apa. Heeh? Lalu pernah ada seorang yang pergi ke hutan untuk berladang, belum pusak sebelumnya dan dia tersesat di jalan yang hampir setiap hari dia lewati. Halah! Sial sekali kan? Itu cerita yang kudapat dari orang-orang sekitar daerah ini.

Tradisi pusak ini sepertinya hanya berlaku bagi orang lokal. Itu karena ketika aku kemana-mana aku tidak pernah pusak. Kutanyakan apa akibatnya lalu dikatakan bahwa kalau orang luar tidak apa-apa. Hanya penduduk asli yang harus pusak. Lalu bagaimana dengan makanan di warung? Yah, ini beda kasus sepertinya. Makanan di warung bebas dari pusak. Ya iya juga sih, bagaimana juga mau icip-icip dagangan orang. Menurut perkiraanku,berjualan makanan jadi di warung adalah hal baru. Ketika pusak lahir, tidak ada warung makan. Jadi pusak tidak diberlakukan di warung makan karena memang tidak sesuai juga. Coba dicek kalau saya salah.

Aku tidak tahu darimana asal muasal tradisi ini. Tapi aku rasa ini menarik. Di balik tradisi unik itu tersimpan sesuatu nilai pastinya. Menurutku pusak itu memiliki arti lain, selain daripada pencegah sial. Aku telah mencoba sedikit melihat arti pusak. Kira-kira seperti poin-poin di bawah ini.

  1.  Pusak itu menyimbolkan penghargaan kepada makanan sebagai sumber kehidupan. Makanan sangat dihargai di sini. Sebagai informasi tambahan, orang Melayu Kalbar jarang sarapan pagi. Biasanya mereka makan 2 kali sehari, siang dan sore/malam. Meskipun 2 kali tapi porsinya benar-benar porsi dewa alias sangat besar, bisa-bisa 1 pinggan penuh dan itupun masih nambah lagi.

  1. Pusak juga menunjukkan penghargaan kepada si pemasak. Meskipun kita tidak sempat memakan makanan yang ada, tapi minimal kita telah mencicipi hasil karya dari sang pemasak. (Padahal kalau sedikit mah mana kerasa ya. Hehehe).

  1. Pusak juga memperlihatkan penghargaan kepada orang lain. Misalnya antara si tamu dan tuan rumah. Tamu dipersilahkan makan adalah bentuk penghargaan tuan rumah pada tamunya. Tapi ketika si tamu menolak, maka minimal dia ikut sedikit mencicipi makanan si tuan rumah. Itu adalah wujud penghargaan juga pada tuan rumah. Jangan disamakan dengan tawaran makan basa-basi seperti pada umumnya, di Kayong Utara basa-basi itu jarang ada. Aku bahkan sering melihat tamu yang ikut makan dengan si tuan rumah.

  1. Pusak mengajarkan disiplin. Sudah pasti ini. Jarang kudapati orang yang berani melanggar pusak. Mungkin ancaman sialnya menakutkan. Ehm, sebenarnya poin ke-4 ini aku agak ragu-ragu menulisnya. Apakah benar demikian? Tidak apa-apa lah, kutuliskan saja.

Mungkin ada yang bisa berbagi tentang tradisi pusak ini? Silakan berbagi.








  
MCK = Mandi Cuci Kakus, bukan hal aneh. Mandi membersihkan badan,mencuci pakaian, dan buang hajat. Semuanya butuh air. Bagaimana ceritanya jika hanya ada sedikit air? Itupun harus berbagi dengan banyak orang? Sungguh, bagiku episode MCK di Melinsum adalah salah satu episode yang sangat istimewa. Berkesan, mendalam, dan lucu. 

SELANG SAKTI,....

Bayangkan! Ada sebuah selang panjang, berdiameter sekitar 3 cm yang mengalirkan air bersih nan segar. Sepertinya tidak ada yang salah dengan selang itu. Hemmm, tunggu dulu! Masalahnya selang itu sendirian. Dia sendirian, dia adalah satu-satunya, tak punya teman. Selang itulah satu-satunya penyalur  air bersih untuk satu Dusun Melinsum. Ya, meski banyak penyalur air lain, namun bisa dikatakan mereka semua mandul, tak ada air yang mengalir, meskipun mengalir juga sangat sedikit. Air untuk konsumsi, mandi, mencuci, dan juga keperluan lain banyak diambil dari selang sakti ini.
 
Selang ini mengambil sumber air dari sungai kecil di dalam hutan di kawasan Taman Nasional Gunung Palung (TNGPl). Selang ini berujung di belakang rumah seorang warga dusun yang rumahnya terletak paling ujung dan terdekat dengan hutan TNGPl. Rumahnya berada di tengah-tengah kebun karet luas. Dan di ujung selang inilah, warga berganti-gantian berurusan dengan air bersih. Bukan apa-apa, tapi memang tak ada pilihan lain. Ada yang mencuci pakaian, mandi, mengisi kin (jerigen air), dan lain-lain. Aku pun juga. Selama seminggu tinggal di Melinsum, aku juga menjadi bagian dalam ritual selang bergilir tiap pagi. Bukan piala bergilir, namun selang bergilir yang lebih berharga. 

Tiap pagi hari, sekitar jam 8 pagi setelah sarapan di rumah, aku bersama dengan kakak dan Indah menuju rumah Pak Pardi. Beliaulah sang tuan rumah si selang sakti. :) Jarak dari rumah sekitar 3 km membuat kami harus menggunakan bantuan sepeda motor untuk sampai di sana.  Sembari menenteng ember, pakaian kotor seluruh penghuni rumah, dan peralatan mandi serta baju ganti kamipun berangkat. Sampai di lokasi sekitar 15 menit kemudian dan selalu saja, si selang sakti tersebut tidak pernah nganggur. Ada saja penunggunya, entah ngisi kin, mencuci, atau mandi. 

Meski kadang lapak penuh, namun kami selalu saja bisa nyelip dan ikut mengantri selang. Ketika giliran tiba, maka pertama-tama kami mengurusi dulu cucian kotor yang menumpuk (Bagaimana tidak? baju kotor 7 orang. Kondisi air yang sulit ini membuat urusan mencuci jadi agak repot. Karena itu agar lebih praktis maka cucian orang serumah dijadikan satu. 4 orang anggota keluarga Bang Edi ditambah bajuku,  dan 2 orang teman dari Jepangku jadinya ada 7 paket. Siapa yang nyuci? Ya aku dan kakak. he3). Setelah mencuci barulah mandi. Habis mandi ganti baju. Ya, sebenarnya ini sangat sederhana jika saja tidak perlu ngantri selang. 

Apa jadinya jika selangnya ngantri? Ya, kadang-kadang ketika sabunan selang dipinjam oleh orang yang datang mengisi kin yang biasanya tidak pernah kurang dari 2 dan lebih sering lebih. Itu baru satu orang, lebih sering lagi beberapa orang yang ngantri. Jadi ya, meski sabun sudah kering di kulit, shampo sudah mengerak di rambut, namun selang sakti masih juga digilir entah kemana. Sabarrr.. Pernah ketika itu, menunggu selang sampai lebih dari 15 menit, jeda di antara mandi. Sumpah, kocak. 

Selesai mandi bukan berarti urusan selesai. Ganti baju di ruang terbuka ternyata membutuhkan skill khusus yang perlu diasah. Terlebih lagi ketika harus berada di tengah kerumunan orang (tentu saja mereka mengerumuni selang, bukannya orang ganti baju.hehehe). Beberapa kali aku kesulitan berganti baju, terutama urusan CD. Keki juga pakai barang privat begitu di depan bapak-bapak. Ya, tapi aku adalah pembelajar yang baik sehingga urusan ganti baju menjadi hal yang lagi-lagi konyol. hahaha...

Suatu kali aku pernah kebelet ingin buang hajat di tengah-tengah aktivitas mencuci. Kakak langsung menyodori aku seember air dan gayung. Dia bilang "Sana ee, dimana aja boleh!". Ehhhh, maksudnya? Ya, rahasia umum jika di Melinsum ini gosipnya hanya ada satu toilet yang bener-bener toilet. Jadi aku langsung 'ngeh' ketika dibilang dimana-mana boleh, artinya adalah aku harus ee di toilet raksasa seukuran kebun karet.  Suatu lokasi kurang aman, di balik semak menjadi pilihanku. Kurang aman karena menghadap jalan, dengan pertimbangan untung-untungan jika ada yang lewat berarti sedang apes. Dalam waktu dan tempo sesingkat-singkatnya, aku selesaikan ritual hajatku itu. Lega dan lagi-lagi lucu. 

Setiap hari. Kulewati pagiku dengan penuh kejadian-kejadian lucu. Selang sakti telah menjadi tali penghubung dan pengikatku dengan Melinsum. Aku banyak kenal teman-teman baru: ibu-ibu atau kakak-kakak teman  mencuci baju atau mandi, bapak-bapak yang mengisi kin, dan banyak lagi yang lain. Meski bisa dikatakan sangat sederhana bahkan minimalis, namun episode MCK dengan selang sakti adalah salah satu kenangant manisku di dusun kecil Melinsum di kaki Gunung Palung. 

Bersama-sama ibu-ibu Melinsum. Mereka adalah temanku mencuci tiap pagi :D


Melinsum: Air seperti ngambek di sini<--------------- span="span">

Air oh Air,

Kembali kita ke Melinsum. Dusun kecil di Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat. Dan sekarang ini aku ingin bercerita tentang AIR. Ya, air oh air.

Benar bahwa air di sini banyak, hanya saja bukan air tawar nan segar namun ‘air asin’ yang telah menjadi momok yang kehadirannya sudah menjadi suatu kebosanan. Bukan karena momok ini sudah tak menakutkan, masih tentunya, hanya saja dia terlalu sering datang sehingga kekuatan dari kebiasaan adalah kebosanan. Orang-orang di Melinsum sudah menjadikan momok air asin ini sebagai tamu rutin yang menyebalkan. Terlebih ketika purnama datang, bukan serigala jadi-jadian atau vampir dan setan-setan lain yang datang, namun momok air asin inilah tamu tetapnya.

Kebun kelapa di sekitar Melinsum yang sudah tak mau lagi berbuah..
Photo by: Haruki, 2012

Air asin yang rutin mendatangi sawah-sawah, rumah-rumah-rumah, kebun-kebun dan selalu berhasil menghancurkan segalanya. Tidak seperti bandang yang tiba-tiba datang dan kemudian hilang, air asin datang pelan-pelan dan perlahan pula hilangnya.


img source: here
Bahkan efek dari air asin ini, entah dipercaya atau tidak, dan malah sempat membuatku tertawa geli sekaligus getir adalah pada ayam.


“Gak hanya sawah mbak, semuanya tidak bisa di sini kalo udah terkena air asin. Kelapa tak mau berbuah, karet jadi mati, bahkan “ayam” pun kalo udah kena air asin, dia gak mau bertelor. Percaya atau gak, tapi kenyataannya begitu mbak!”


Aku teringat Bang Hadi pernah mengatakan hal ini pada kami. Aku tertawa. Aku prihatin juga. Bahkan ayam pun mulai ngambek di sini. Bang Hadi adalah seseorang yang tinggal di Melinsum ini dan selama aku dan teman-temanku di sana, dia adalah salah satu teman kami yang paling kocak, blak-blakan, namun tulus.

Ya, air asin alias banjir pasang atau banjir rob adalah tamu rutin di Melinsum.

Bukan hanya air asin yang merajuk, ternyata air tawar-pun begitu juga.

Banjir juga kah?

Ternyata, bukan. Air tawar merajuk dengan cara menjauh bahkan menghilang. Dan ini juga sangat merepotkan dan menyusahkan. Yahhh,...

Air bersih, sumpah di sini sulit. Tidak hanya di Melinsum, tapi hampir di beberapa desa di Kecamatan Sukadana ini. Di Melinsum sendiri, untuk berkepentingan dengan air bersih, jarak terdekat adalah sekitar 3 kilometer. Air untuk mandi, mencuci, masak dan minum diambil dari lokasi itu yang cukup jauh. Ya, kecuali jika berkenan untuk mandi atau minum air asin J.

Memang saat itu, ketika tinggal di sana musim kemarau sedang memuncak. Sumber air yang biasanya dapat mengalir sampai di rumah-rumah paling hilir pun tidak jalan. Sepanjang yang aku lihat, banyak keran-keran air yang sudah kering dan berdebu karena kelamaan tidak terpakai.

Meskipun dekat dengan hutan yang sepertinya masih lebat, namun air bersih selalu menjadi barang langka ketika kemarau. Karena daerah ini adalah daerah pesisir maka lupakan untuk membuat sumur.  Satu-satunya sumber air ya berasal dari gunung (hutan) baik sungai atau pun mata air yang banyak dialirkan ke rumah-rumah melalui pipa-pipa atau selang. Kemarau tiba dan debit air menurun drastis. Pipa-pipa dan selang air jadi pengangguran sementara. Meski sungai utama tidak kering, namun air-air seakan tidak mampu lagi merambat melalui pipa dan selang-selang itu.

Aliran sungai utama yang masih mengalirkan air menjadi tempat favorit berkumpul orang-orang setiap pagi dan sore. Tentunya mandi, dll. Jika kami pergi dari Melinsum – Sukadana atau sebaliknya, sering sekali terlihat motor-motor parkir di tepi jalan tanpa ada penunggu. Para penunggunya ternyata sedang ritual di sungai. Ya, itulah motor-motor orang-orang yang sedang mandi.

Selain barisan motor orang-orang mandi, di sepanjang jalan juga selalu (bahkan katanya hampir 24 jam) terlihat beberapa mobil bak yang memuat tangki air ukuran jumbo. Ternyata mereka itu adalah penjual air, meski ada juga yang memakai untuk konsumsi pribadi. Tangki-tangki air itu dijual di sekitar Kota Sukadana yang merupakan Ibu Kota Kabupaten Kayong Utara, baik nantinya air dijual satu tangki besar langsung ataupun diecer. Aku pun pernah melihat di Sukadana, beberapa orang antri membeli air dengan membawa jerigen. Harga 1 jerigen air itu katanya sih 5000 rupiah.

Ya, itulah air. Di Melinsum, air menjadi satu masalah yang rumit. Baik air asin maupun air tawar seakan sedang melakukan protes bersama. Entah kepada siapa mereka protes?

Ritual mandi dan mencuci setiap pagi di Melinsum meninggalkan banyak kisah lucu dalam memoriku. Selanjutnya... ...




Selama dua minggu aku tinggal di dusun ini. Dusun ini adalah salah satu dusun di Desa Sejahtera, Kecamatan Sukadana, Kabupaten Kayong Utara, Provinsi Kalimantan Barat. Sungguh suatu bagian perjalanan yang sangat berkesan untukku.

Rumah aku tinggal selama di Melinsum,
Photo by: Haruki
Ceritanya berawal ketika tiba-tiba saja aku bekerja sebagai intepreter dua orang mahasiswa dari Jepang yang akan penelitian di TN Gunung Palung. Ketika aku sedang terkena virus Japan Maniac dan getol-getolnya belajar bahasa Jepang, tawaran kerja itu muncul. Aku percaya kebetulan itu tidak ada, dan aku yakin ini bukan kebetulan. Yess..Pas banget, aku bisa dapat guru bahasa Jepang sambil kerja juga. Ternyata dua mahasiswa dari negeri sakura ini masih sangat muda, lebih muda dariku malah, hee, sehingga aku lebih suka menyebut mereka sebagai temanku daripada bosku. J. Meski tak sempat aku belajar bahasa Jepang dengan teman-teman baruku itu, namun yang kudapatkan malah lebih dari sekedar trip jalan-jalan di tempat baru yang belum pernah kukunjungi.


Kabupaten Kayong Utara adalah kabupaten yang baru terbentuktiga tahun lalu, 2009 dengan berbagai masalahnya yang terutama karena sebagian besar wilayah kabupaten ini merupakan wilayah Taman Nasional Gunung Palung. Konflik antara pembangunan wilayah dan areal konservasi menjadi dua hal yang selalu aku dengar. Terpikir olehku juga, ‘Kenapa daerah yang dulunya adalah Kecamatan Sukadana ini harus berdiri sendiri menjadi kabupaten baru?’ Entahlah, aku malas memikirkan urusan ini.


Salah satu lokasi penelitian teman-temanku ini adalah suatu dusun bernama Melinsum. Sebelum mendatangi tempat ini, aku sudah diberitahu kalau di daerah ini sulit air. Dan ketika pertama kali bertemu pegawai TN yang tinggal di desa yang sama bernama Mr.R, dia mengatakan bahwa memang air susah sekali, musim kemarau belum berakhir, bahkan untuk mandi saja harus ke sungai yang jaraknya hampir 4 kilometer dari rumahnya. Karena itulah akhirnya teman-temanku memilih untuk tinggal saja di Sukadana, ibu kota kabupaten yang terletak sekitar 13 km dari Melinsum, meski akhirnya juga kami hanya tinggal di sana sekitar 5 hari, hampir seminggu setelahnya kami tinggal di Melinsum. (OMG, Mister R, untill now I still can’t believe for what you said about us, I’m sorry but You really disappointed me)

Kami pun tinggal di Melinsum di rumah seorang penduduk yang sungguh sangat baik hati (aku benar-benar serius menuliskannya “baik hati”) bernama Pak Edi. Dia adalah seorang yang sangat sederhana kelihatannya, namun ketika sudah mengenalnya dia adalah seorang yang memiliki kekuatan dan cita-cita besar. Sangat yakin, suatu saat nanti Pak Edi akan menjadi ‘sesuatu’. Rumah Pak Edi adalah rumah panggung dari papan kayu berukuran tak lebih dari 5x10 meter yang sudah berumur puluhan tahun dengan beberapa papan kayu yang sudah lapuk. Jika siang hari kadang panas mentari khatulistiwa masih terasa menyengat dan di saat hujan katanya pasti bocor. Sungguh sangat sederhana. Namun kehangatan yang aku rasakan di rumah ini, sampai sekarang pun masih ada.

Rumah sederhana Bang Edi
Photo by: Haruki

Pak Edi dan keluarganya, istri yang biasa aku panggil Kakak, dan dua orang putrinya yang masih kecil: yang besar bernama Tessa baru masuk kelas 1 SMP dan adiknya ‘Indah’ masih berumur 5 tahun. Meski baru pertama kali bertemu-pun mereka semua menganggap kami adalah teman, sehingga kami pun tak segan, langsung akrab. Tidak ada fase malu-malu dalam hubungan-ku dengan keluarga ini. Bahkan di rumah kayu kecil milik Pak Edi ini, seketika menjadi seperti rumahku juga. Sungguh suatu keramah-tamahan tingkat dewa.

Tessa baru saja mulai belajar Bahasa Inggris, mungkin baru sepekan di minggu pertamanya di SMP. Tidak ada takut atau malu di dalam diri gadis kecil ini ketika kami baru berkenalan. Bahkan dengan antusias dia menghampiriku dan mengatakan ingin belajar bahasa baru itu. Bukan hanya itu saja, Tessa bahkan langsung mempraktekkannya dengan mencoba berbicara dengan dua orang teman Jepangku. Ya ampun, benar-benar hebat anak ini. Mungkin aku ketika seumuran dia, jika terjadi hal yang sama hanya akan malu-malu di ujung ruangan. Tapi Tessa, langsung mencari peluang yang ada. Great..

Bagaimana Indah? Gadis cilik ini juga tak mau kalah. Meski dia hanya malu-malu menggelendot di pangkuan Kakak, namun dia membisikkan ke ibunya “Orang Jepangnya ganteng-ganteng”. He3. Ternyata selera Indah cukup bagus juga. Memang temanku dari Jepang ini termasuk jajaran good looking enough. Mirip-mirip tampang bintang Korea yang lagi menjamur di Indonesia. Indah pun tahu itu.  

Jangan ditanya pengaruh Korea di daerah ini? Benar-benar dahsyat. Semua tentang Hallyu seakan merasuk jiwa (ini versi lebay). Drama korea (Boys Before Flower) menjadi tontonan wajib tiap malam, setidaknya di rumah Pak Edi, dengan penonton setianya adalah Kakak dan Indah. Tayangan musik K-pop juga menjadi tontonan rutin juga, terutama buat Tessa, meski dia juga tak tahu arti dari lagu-lagu yang sering dia dengar. Dan kondisi itu tentu juga berlaku hampir di semua wilayah ini. 

next : Melinsum- Air Asin VS Air BersihMelinsum-Air Asin VS Air Bersih

Lulus dari sebuah universitas dan menyandang gelar akademis di bidang kehutanan. Setelah bertahun-tahun berkutat dengan ilmu-ilmu dasar kehutanan. Lalu aku bekerja di bidang Air. Sumber Daya Air. 

antara air dan hutan
img source: here
Kadang terbersit di hati, apa aku salah jurusan? Apa aku salah pekerjaan?

   Memang sih, banyak yang bilang bahwa dunia kerja kadang tak mengijinkan kita untuk mempertahankan idealisme, mempraktikkan apa yang kita pelajari. Coba saja lihat, berapa banyak lulusan-lulusan yang bekerja di luar bidang keilmuannya. Ahli kehutanan bekerja di Bank, ahli perikanan bekerja di perusahaan asuransi, artis bekerja sebagai politikus :) dan tentu masih banyak lagi di sekitar kita. 

"The Right Man in The Right Place" kata Henry Fayol, seorang industrialis asal Prancis.



    Lalu apakah aku adalah orang yang tepat bekerja di air? Sedangkan dasar ilmuku adalah kehutanan? Apa konsekuensinya?

    Banyak pertanyaan-pertanyaan itu muncul, hingga akhirnya aku dapatkan jawabannya di suatu dusun kecil di pinggiran Taman Nasional Gunung Palung bernama Dusun Melinsum,  Suatu dusun di Desa Sejahtera, Kec. Sukadana, Kab. Kayong Utara. Selama hampir dua minggu aku berada di dusun ini.

    Masyarakat lokal di sini mengajarkan padaku tentang bagaimana kerasnya hidup, berbagai pilihan yang hampir tidak ada, harapan akan masa depan yang masih buram, dan kebaikan terhadap sesama. Bukan suatu rahasia jika sebagian besar kehidupan masyarakat di sekitar hutan, khususnya kawasan konservasi seperti Taman Nasional di negara ini, masih jauh dikatakan dari sejahtera. Mereka yang paling dekat dan berinteraksi tinggi dengan hutan adalah mereka yang paling memprihatinkan hidupnya. Namun keberadaan mereka juga kadang dianggap sebagai ancaman dan gangguan terhadap kawasan konservasi itu sendiri, meski mereka  sering lebih dulu ada dibanding status kawasan konservasi itu ditetapkan. 

Mengutip pendapat Santoso (2004) yang mengungkapkan bahwa istilah desa hutan (atau dalam hal ini adalah masyarakat di sekitar hutan) mengacu pada daerah yang berada di sekitar maupun dalam kawasan hutan. Istilah ini meletakkan desa sebagai bagian dari wilayah kehutanan dan keberadaan masyarakatnya dianggap kalangan tertentu (pemegang HPH dan pemerintah) sebagai ancaman terhadap keamanan hutan. Kondisi ini memunculkan persepsi negatif tentang masyarakat desa hutan, dimana semakin hutan dekat dari masyarakat semakin tidak aman. Sebaliknya jika semakin hutan tersebut jauh dari desa maka semakin aman. 

Konflik juga seringkali terjadi, tidak hanya di satu dua wilayah saja, namun menurut Rudianto (2009) pada saat ini tidak ada kawasan taman nasional di Indonesia yang bebas sama sekali dari konflik ruang dengan permukiman dan pertanian. Areal pemukiman dan pertanian yang bersinggungan dan/atau terletak di dalam kawasan konservasi sering dipandang sebagai okupasi ilegal atau tindak perambahan yang dapat mengancam kelestarian dan keutuhan kawasan. 

Bagaimana dengan masyarakat Melinsum sendiri? Tentu saja tidak jauh berbeda.

Wilayah dusun ini sendiri masih dalam wilayah abu-abu, hampir sebagian besar masuk dalam kawasan TN Gunung Palung. Kebun, sawah-sawah dan areal pertanian, bahkan rumah-rumah masyarakat masuk di dalam kawasan TN yang merupakan kawasan konservasi. Yang masyarakat tahu tentang taman nasional adalah bahwa 'segalanya dilarang'. Ini dilarang, itu dilarang, semuanya dilarang. Dan secara otomatis keberadaaan TN menjadi semacam 'musuh'. 

Tentu saja aku tahu bahwa pendapat itu salah. Ya, Taman Nasional tidak melulu adalah peraturan dan larangan. Tujuan TN sendiri juga menyangkut kesejahteraan masyarakat. Namun, mengapa anggapan itu muncul? Tentu menjadi pertanyaan ku. (Tinggalkan pertanyaan ini dulu)

Lalu apa kaitan antara kondisi ini dengan AIR yang telah memberiku jawaban.

Ya, ketika aku di sana itulah, musim kemarau sedang memuncak, sekitar awal September tahun ini. Air bersih menjadi barang langka yang sulit didapatkan. Tidak hanya di dusun ini saja, namun hampir terjadi di seluruh wilayah di sekitarnya. Hampir seluruh saluran air di rumah-rumah mati dan tidak mengalirkan air. Setiap sore, sungai menjadi tempat berkumpul orang-orang yang ingin mandi, mencuci dan berbagai keperluan lain. Letak sungai terdekat adalah sekitar 5 km dari Melinsum. 
Selain sungai, warga Melinsum juga mendapat air dari saluran air (lebih tepatnya selang) yang menyalurkan air dari mata air (atau sungai kecil) dari dalam hutan (tentunya di kawasan TN). Namun selang air itu hanya satu dan juga terletak di rumah seorang warga yang berada di pemukiman terakhir yang dekat dengan hutan. Jarak dari jalan utama Sukadana adalah sekitar 2-3 km, cukup jauh. Dan di sinilah aku setiap hari mandi dan mencuci bersama-sama dengan masyarakat Melinsum. Satu selang untuk semua. 

Selain kondisi sulit air itu, masyarakat Melinsum juga menderita akibat hancurnya lahan persawahan karena banjir air laut yang menggenangi hampir seluruh sawah. Memang, pasang air laut adalah hal alami, namun pasang di Melinsum seperti momok yang mengerikan. Hampir seluruh panen gagal, padi-padi mati, dan sawah rusak. Penyebab utamanya adalah karena tanggul yang membatasi antara kanal air laut dan sawah  jebol dan ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Kenapa tidak ada perbaikan tanggul ini? Ya, kembali lagi ke masalah kawasan. Lokasi persawahan yang terletak di kawasan TN menimbulkan masalah baru lagi. 

Jika petani tak bisa bertani lagi, Lalu apa yang harus mereka lakukan? 

Saya juga bingung ketika ditanya seperti itu. Tidak banyak yang dapat dilakukan oleh sebagian besar masyarakat. Bersawah tak bisa, berkebun dilarang, mau bekerja yang lainpun tidak memiliki ketrampilan dan keterbatasan pendidikan. Panen durian pun hanya setahun sekali sedang kebutuhan hidup selalu ada setiap hari. Lalu mau apa? Salah seorang warga mengatakan sembari bercanda namun aku tahu dia serius "Mungkin orang TN pengen kita mati di sini". 

Sebagian besar masyarakat bekerja 'macam-macam' alias apapun dikerjakan asalkan mendapatkan uang. Buruh bangunan, pedagang keliling, buruh tani, dan bahkan 'menggesek kayu' pun dijalani demi mempertahankan hidup hari per hari. Ya, menggesek kayu atau illegal logging, suatu istilah yang pernah populer beberapa waktu silam dan menjadi istilah umum saat ini. Bukan tanpa alasan beberapa masyarakat melakukan itu, mereka pun tahu betapa besar resiko yang ditanggung dan penghasilan yang juga tidak seberapa besar. Namun mau apa lagi?

Mulai dari sinilah kemudian jawaban pertanyaan awal saya terjawab. 

Para logger mengatakan pada  ku bahwa mereka hanya akan memotong kayu tertentu saja dan dalam jumlah tertentu saja. Kenapa? Ternyata jawabannya cukup mengejutkanku.

"Kalau hutan habis kita juga yang repot. Nanti air gak ada lagi. Sekarang saja hutan masih lebat air sudah sulit, apalagi kalau hutan habis dibabat. Bisa mati kita. Bunuh diri bersama itu namanya".

Haahhh....
Ternyata itulah alasannya. 

Jika air menjadikan masyarakat menjaga hutan. Maka air adalah kuncinya. 

Dan aku seketika menyadari, aku telah menemukan apa yang kucari. Kenapa aku bimbang dengan air namun tak kuasa meninggalkannya. Ya. Dengan menggeluti air maka aku akan tetap menjaga hutan. Semakin aku mencintai air maka cinta-ku pada hutan akan semakin bertambah. Bukankah begitu? Tiba-tiba aku ingin semakin giat belajar tentang hidrologi, ingin memahaminya, ingin mendalaminya. 


Dan aku juga menjadi tahu bahwa "aku berada di tempat yang tepat". 


Terimakasih Melinsum, untuk semua pelajaran dan pembelajaran yang telah aku dapatkan di sana. Selamanya jika aku masih sanggup mengingat, maka Melinsum tidak akan pernah aku lupakan. Dan selalu aku berharap bisa ke sana lagi, dan tentu saja harapan agar kehidupan lebih baik di masa depan kelak.


Pustaka

Rudianto AW. 2009. Analisis perkembangan permukiman dan kebun kopi di   Taman Nasional Bukit Barisan Selatan: Studi Kasus di Dusun Sidomakmur, Kecamatan Way Tenong, Kabupaten Lampung Barat [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Santoso H. 2004. Perlawanan di Simpang Jalan, Kontes Harian di Desa-Desa Sekitar Hutan di Jawa. Yogyakarta: Damar