Tampilkan postingan dengan label Travelling. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Travelling. Tampilkan semua postingan

Bahwa sebuah perjalanan itu, traveling itu, tidak terbatas pada jalan-jalan badan saja, mengunjungi tempat baru saja, bertemu orang baru saja dan belajar budaya baru saja. Bertemu dengan sisi lain diri sendiri juga adalah sebuah petualangan yang menakjubkan! 

Well, (Fyuh, sebenarnya aku paling anti nulis campur baur bahasa Indonesia-Inggris tapi memang kadang 'rasa'nya beda, feelnya beda. Hahaha.. So, lupakan dulu sekarang.) . Balik lagi, well, cerita ini berawal ketika pada suatu libur panjang akhir minggu aku bingung mau ngapain. Mau naik gunung gak ada temen, mau jalan jauh dikit duit mepet dan jalanan macet dimana-mana, ngabisin waktu di rumah rasanya sayang banget. Hingga kemudian Sheila, seorang kawanku yang kece badai, ngusulin "Mbak, gimana kalau kita cosplay-an?". 

Semua orang pasti punya hal-hal yang ingin dilakukan dalam hidupnya, yah semacam Bucket list lah (siapa yang sudah lihat filmnya? Cung!) yang berisi hal-hal yang ingin dilakukan sebelum waktu hidup habis, 'Things to do before you die!'. Nah, aku dan pastinya kamu juga punya kan daftar semacam ini. Aku juga ada! Selain ingin bertemu penguin langsung di Antartika, salah satu daftar di Bucket list-ku adalah bermain kostum atau Cosplay.

Ajakan Sheila tentunya adalah pertanda bahwa saatnya telah tiba satu dari bucket listku perlu dicoret. Sip, mari kita cobain bermain kostum, berdandan memainkan suatu karakter dalam balutan kostum dan pamer di depan orang banyak. Rencana untuk ber-cosplay di Tokyo bolehlah tertunda, kita bisa berekspresi juga di dekat sini, dan Kota Tua Jakarta adalah pilihan utama. Apa yang cocok dengan Kota Tua, tentunya noni-noni Belanda ( yang ujung-ujungnya malah cosplay jurig). Haha! Let's just do it.

So, hari itu tanggal 26 September, aku dan Sheila dibantu Habibah yang setia jadi asisten dan juga Jamani Uyee sang fotografer melakukan petualangan seru. Yah, minimal buatku lah. Aku merasakan kesenangan yang mirip saat kurasakan saat aku jalan-jalan. Ada rasa baru, ada petualangan baru. Bedanya, ini bukan lagi eksplorasi ruang, budaya dan manusia di luar sana, tapi lebih ke sesuatu yang ada pada diriku sendiri yang selama ini masih terpendam. Dan ketika dia dibebaskan, wuhhh rasanya itu lho, kayak sedang menatap megahnya Gunung St. Helens di Washington sana. Sumpah deh!

Jadi, kesimpulanku adalah konsep traveling itu bukan melulu jalan-jalan, bisa juga dengan mewujudkan hal-hal yang sangat ingin kita lakukan, segila apapun, seaneh apapun, se-absurd apapun. Yah, asal jangan yang kriminal aja.

Terimakasih ya,
  • untuk Sheila sang partner yang mau gila bersamaku,
  • Untuk Jamani Uyee yang mau jadi fotografer kami (I am your fan!)
  • Untuk Habibah yang menjadi asisten terbaik
  • Dabibah untuk kostum
  • Dan untuk diriku sendiri juga yang mau melakukan petualangan seru ini.


Berikut adalah beberapa foto karya sang fotografer saat kami cosplay-an kemarin. Keren kan! :)  Lain kali bolehlah cosplay-an lagi. Jadi zombie kayaknya seru juga. :D

Note: Aku tidak pakai buka kbbi ataupun oxford dictionary, jadi arti kata ya suka-suka.. hehe


Dandan dulu :)

Another good shot! :)

Ujung-ujungnya jadi begini :P
Kayaknya ini yang paling bagus deh. :)

Fotografer kita +jamani uye 

Behind the scene lah ceritanyah :)



Let's travel, let's adventure, let's have fun! 

Kenapa harus jalan?

Pernahkah mendengar kalau orang mau lebih nasionalis harus sering jalan-jalan? Pasti sering kan? Kalau kamu seorang yang suka jalan atau seorang traveler, kamu pasti tahu yang kumaksud. Tapi, kalau kamu yang jarang jalan atau bahkan tidak pernah jalan, nah di tulisan ini aku akan ngajak kamu sedikit mikir, kenapa orang yang sering jalan-jalan biasanya lebih nasionalis.  

Kemana kita harus jalan-jalan agar bisa lebih nasionalis, lebih mencintai negeri ini? Ada dua pandangan yang berbeda dan saling melengkapi. Apa perlu keliling Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari kota metropolis Medan, Jakarta hingga ke pedalaman Papua sana? Ataukah, kamu perlu berjalan lebih jauh ke mancanegara, menjelajah negeri orang yang kadang tak kita pahami bahasanya dan asing rasa makanannya, mulai dari metropolitan dunia seperti New York, Tokyo, Paris hingga negeri antah berantah di jantung gurun-gurun negeri Afrika sana? Well, apa pendapat kamu teman? 

Aku, meski tidak seluruhnya, beruntung pernah melakukan keduanya. Aku pernah beberapa kali jalan-jalan (atau lebih tepatnya kerja) di jauh-jauh pedalaman Sumatra, Kalimantan hingga Sulawesi sana. (Ah,aku belum berkesempatan ke Papua) Aku pun beruntung sempat menjelajah (kerja juga) di negeri Paman Sam yang termahsyur itu dan sekedar berjalan-jalan di beberapa negara tetangga Asia. Apa yang kudapat kemudian? Nasionalisme kah? Mungkin iya jika rasa cinta ini disebut demikian. Tapi ada rasa yang beda antara keduanya meski berujung pada satu cinta pada Ibu pertiwi, pada sang Mother land.

Meskipun beberapa kalipun aku jalan-jalan di Indonesia, aku selalu saja terkejut dan menemukan hal-hal baru. Seperti waktu itu, aku jalan ke daerah Simpang Hilir, sebuah kecamatan cukup terpencil di Kalimantan Barat. Di salah satu desanya, aku tinggal lebih dari seminggu, menginap di rumah penduduknya. Desa yang berada di antara perkebunan sawit luas dan hutan tropis Kalimantan yang terlihat lebat, aku menyadari bahwa banyak hal yang selama ini tidak kuketahui tentang tanah yang katanya adalah tumpah darahku ini. Tidak hanya keindahan alam yang mempesona tapi juga kenyataan yang tidak seindah poster wisata. Aku melihat sendiri betapa negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini tidak selamanya indah. Selalu ada cerita sedih di sela-selanya. Kerusakan lingkungan dan kisah sedih penduduknya seakan memberiku gambaran lain akan negeri ini yang tak akan kutahu jika aku tak merasanya sendiri. Aku sempat menuliskan kegalauanku akan hal itu di tulisan ini (klik: Batu Barat dan Melinsum). 


Tak hanya cerita pilu, cerita indahpun masih banyak kutemui. Suatu waktu, aku sempat berjalan-jalan ke Lembah Bada, suatu lembah hijau nan indah yang dikelilingi bukit dan gunung di tengah-tengah Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Di sana, aku menemukan wajah lain dari Indonesia. Sumpah, pertama kali ke sana, aku benar-benar merasa terpesona. Bagaimana tidak! Di dalam komunitas yang masih menjunjung tinggi adatnya ini, aku merasa bagai di negeri antah-berantah namun masih berasa di rumah. Ya, di sini, masyarakat adat Bada memiliki banyak tradisi unik, bahasa yang beda dan tentunya keramah-tamahan khas negeri kita tercinta. Meskipun di Poso sering terdengar berita kerusuhannya, tapi di Bada semua begitu berbeda. Orang-orang di sini hidup damai berdampingan satu sama lain dan mereka sangat terbuka terhadap kedatangan tamu dari luar. Ah, pokoknya aku betah banget di sini. Langit biru Bada bahkan menginspirasi menulis sebuah puisi cinta untuknya, coba cek ini (klik: Langit Bada). Segala keunikan ini seakan membuatku semakin bangga menjadi bagian dari tanah air ini. 


Aku dan anak-anak di Batu Barat, Simpang Hilir, Kalbar (2013)
Alam Bada yang indah dan langit birunya yang memukau (2013)

Setelah sekian kali aku berjalan-jalan di tanah air, aku pun berkesempatan menginjak tanah di benua seberang. Amerika adalah salah satu negara di mana aku sempat selama 7 bulan mencoba menggaulinya. Apa yang kudapatkan? Semua serba wow! Wajar saja, negeri Paman Sam ini konon adalah negeri paling kuat sedunia, Superpower katanya. Iya memang! Di Amerika, aku menemukan banyak hal baru, suasana baru dan temuan-temuan baru. Masyarakat yang lebih perlente, kota yang lebih besar, gedung-gedung tinggi yang lebih megah, jalan-jalan yang lebih bersih dan teknologi yang lebih canggih. Hampir semua yang lebih ini dan itu aku jumpai di sini. Tapi, apakah aku lebih suka tinggal di sini? Ah, jujur saja iya. Siapa sih yang tidak ingin tinggal lebih nyaman dalam lingkungan yang lebih rapih? Tapi apa iya cukup sedemikian halnya?

Ternyata tidak selalu demikian. Semakin jauh dengan kampung halaman malah membuatku semakin memikirkannya. Huru-hara di negeri tercinta yang kadang tak pernah terjamah meski hanya sekedar lewat berita, malah kucari-cari dari negeri yang jauh di sana. Apa yang terjadi dengan rumah ya? Bagaimana orang sini memandang Indonesia? Bagaimana ini dan itu segala rupa tentang rumah jadi ingin kuketahui. Segala rupa tentang Indonesia yang dibahas di luar sana selalu ingin membuatku berkata, “That’s my home country and it’s very beautiful! I am Indonesian!”. Di setiap kesempatan, aku selalu menyampaikan betapa negeri kepulauan tropis terbesar di dunia itu adalah rumahku, kampungku, dan ibu pertiwiku. Kadang aku merasa aneh juga. Ketika di rumah sendiri kadang aku merasa kesal dengan segala rupa masalahnya, namun di luar sana aku selalu membanggakan tanah airku. Ah,.. memang benar ya. Kadang jarak itu penting untuk membuat kita menyadari betapa berharganya apa yang kita miliki. Begitu pula negeri ini. Kita bisa saja menjadi sangat mencintainya, merindukannya ketika kita jauh darinya. Kalau kamu gak percaya, coba saja! Dan rasakan, betapa hanya Indonesia tempatmu untuk pulang kembali. Bahkan sambal terasi pun akan membuatmu rindu setengah mati.

Di tengah rimba Redwood di California pun aku ingat rumah (2014)
Melihat di seberang Sungai Sumida, Tokyo Skytree yang termahsyur pun
aku masih ingat rumah :)

"That Indonesia is my beloved home country!", I said. (Oregon, 2014)


Banyak hal yang bisa kita temui jika sering jalan-jalan. Cinta pada negeri salah satunya. Entah itu di dalam negeri atau di luar negeri, semua akan membuat kamu mencintainya, mungkin dari sisi yang berbeda. Ya, memang demikian karena wujud cinta bisa berupa apa saja dan datang dari mana saja. Makanya, sering jalan-jalanlah. Temukan diri sendiri, temukan dunia, dan temukan cinta pada rumah kita. 

Damn, I love Indonesia!

Sambil berkaca-kaca, mengingat kembali suatu musim gugur di benua seberang sambil bersenandung rindu,...

“...Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh, tidak kan hilang dari kalbu
Tanahku yang kucintai, Engkau kuhargai

...Walaupun banyak negeri kujalani
Yang mahsyur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku, di sanalah ku rasa senang

Tanahku tak kulupakan, Engkau kubanggakan.”

(Tanah Airku - Ibu Soed)

- Tulisan ini disertakan dalam lomba 'jalan-jalan nasionalisme' yang diadakan Travel On Wego Indonesia- 

Kampung Halamanku, Boyolali di Kaki Merapi-Merbabu yang selalu kurindu 




Kenapa sih orang traveling? Kenapa orang harus meninggalkan zona nyamannya? Kenapa juga orang harus melihat dunia  luar yang mungkin asing dan tidak menyenangkan? Apa kamu hobi traveling? Yah, kalau kamu sudah punya hobi itu, maka tidak akan sulit untuk menjawab pertanyaan di atas. 

Atau mungkin sebaliknya jika kamu anak rumahan, mungkin akan sedikit sulit mengerti bagaimana juga menjawabnya. Traveling bukanlah sesederhana jalan-jalan atau plesiran ke tempat-tempat wisata. Traveling adalah satu esensi di manusia yang musti kudu dilakukan. Kenapa? Karena manusia itu tidak diciptakan di satu tempat untuk menjadi lengkap. Dia harus mencari pecahan-pecahan, bagian dari dirinya di seluruh dunia. Selama dia hidup dan seterusnya begitu. Seperti juga jodoh, tidak diciptakan langsung di dekat kita. Kita harus menempuh perjalanan untuk mengetahuinya. 

Traveling juga begitu, kita bisa ketemu diri kita hanya kita mencarinya. Tapi, untuk menemukan apa yang dicari, tak semua orang berani. Kenyamanan telah menjadi belenggu yang mematikan gerak dan nyali. Kenapa? Apa orang belum bisa dikatakan lengkap dengan dirinya sendiri? Bukan begitu juga. Yang terpenting sebenarnya adalah perkembangan diri. Perkembangan dan pertumbuhan itu yang dimaksud dengan pecahan diri. 

Tak akan puas seseorang mencari apa yang dicarinya. Kepuasan itu hanya bisa dicari jika kita berjalan. Ujung-ujungnya orang mencintai pencarian daripada apa yang dicari. Orang menyukai traveling dibanding destinasinya. Orang lebih suka rebutannya dibanding permen yang direbutkannya. Kesenangan, adrenalin, kepuasan batin, itulah yang paling aku suka saat traveling. Berapapun biayanya, apapun resikonya, berapapun lamanya, traveling seakan tak terasa menuntut satupun itu. Bahagia tanpa syarat. Hahaha.. Karena itulah aku suka hidup, mencintai kehidupan. Karena di situlah aku bisa terus berjalan dan menempuh perjalanan. 

Let's go on a travel guys!

(Tulisan 10 menit ngacak lagi nih. Mikir tema traveling tapi malah lari kemana-mana. Hehehe... )

Mahameru 2013


Ngapain sih harus naik gunung? Pernah gak sih mendengar pertanyaan ‘basi’ itu? Tentunya, para pendaki gunung sudah seringkali mendengar pertanyaan ‘ngapain’ ini berulang kali sampai bosan. Nah, apa yang akan teman-teman pendaki jawab? Pasti macem-macem jawaban, dan tak sedikit pula yang bahkan tak bisa memberikan jawabannya. Saking bingungnya, dan tidak tahu juga sebenarnya ngapain sih mereka mendaki? 

Aku juga begitu! Aku mencintai mendaki bahkan jauh sebelum pertama kali aku mendaki. Kok bisa? Ada ceritanya itu, lain kali akan kuceritakan. Aku memulai petualanganku di gunung sejak kelas 1 SMA bersama organisasi pecinta alam (Sispala) di sekolahku saat itu. (Terimakasih untuk OP2A Persada! Satu hal terbaik di masa abu-abuku selain cinta monyetku dulu.) Gunung Merbabu adalah gunung yang pertama kucoba daki meskipun pada akhirnya aku tidak sampai di puncak tertingginya kala itu. Aku pernah mendengar orang berkata, "Hanya ada 2 kemungkinan setelah orang pertama kali naik gunung: Kalau gak kapok ya pasti ketagihan." Nah, aku masuk yang golongan terakhir. Aku ketagihan! Sejak saat itu, mendaki gunung seakan menjadi rutinitas yang bahkan kalau setahun saja tidak ngicipin gunung akan membuatku gelisah. Hingga aku kuliah dan bergabung di LAWALATA-IPB, kenal dengan dunia pecinta alam se-Indonesia, lulus, dan sampai saat ini jadi kuli kantoran, keinginanku untuk bercinta dengan hutan dan gunung seperti tak pernah padam. Bagaimana ketekunan dan kesetiaan itu terjaga? 

Merbabu 2002(?)

Merapi 2003
Selalu ada alasan untuk segala sesuatu. Jika tak bisa menjelaskan, itu hanya belum tersadari saja. Secara naluriah manusia pasti memiliki motif untuk setiap perbuatannya. Perlu usaha dan waktu juga untuk mendapatkan apa yang kita cari itu. Aku pun pernah tidak paham hingga bingung sendiri. Kegalauanku mencari arti pendakian, berpuncak sesaat setelah aku turun dari pendakian Gunung Sindoro di Jawa Tengah di tahun 2008. Saat itu, tiba-tiba aku melamunkan, merenungkan, menggelisahkan dan mempertanyakan alasan mendasar kenapa aku selalu mendaki dan mendaki. Aku mencari apa yang kucari? Yah, seperti itulah. Mirip lirik lagu ya? Ha... Bahkan, aku sampai berkaca-kaca meski tak sampai menangisinya. Hingga bertahun-tahun kemudian, aku menemukan alasanku sendiri kenapa aku tidak bisa untuk tidak naik gunung. 

Sindoro 2008

Di pendakianku yang ke-sekian kali, di pergantian tahun menuju 2013, aku menghabiskan waktuku di Semeru. Bersama teman-teman yang menjadi tim terbaik pendakian yang pernah kutemui, aku menemukan alasanku sendiri. Tidak hanya itu, seorang kawan -sebut saja namanya Bang Sandi- bahkan menyebutkan 3 hal istimewa yang hanya akan kita temukan saat mendaki gunung. Tiga hal yang disebutkan itu adalah sesuatu yang kuanggap memang benar adanya. Dan, aku bisa menjadikan ini pula sebagai alasan yang kucari, kenapa selama ini aku selalu mendaki dan mendaki. Ini pula menjadi penguat hati, bahwa apa yang kucintai ini bukan sekedar bayangan semu yang tidak berwujud atau hanya sekedar obsesi.

Ini sebut saja Bang Sandi : p

"Ada 3 hal yang bisa kita dapatkan dengan mendaki gunung", kata Bang Sandi. Apa itu?

1. Kita bisa mengenal alam dari dekat. Kita bisa merasakan, melihat, menyentuh dan menjiwai apa yang terjadi dengan alam kita. Hutan lebat, kabut yang tebal, air jernih yang mengalir, udara dingin yang menusuk, pasir yang berdebu, dan banyak hal yang bisa kita rasakan di sana. Ada keindahan dan kedamaian yang tidak akan tertandingi saat kita benar-benar bisa bersama dengan alam. Tak hanya keindahan, kadang getir dan sedih pun muncul saat kita melihat banyaknya sampah, hutan yang rusak, tanah yang longsor dan air yang tercemar. Bisakah rasa ini hadir saat kita tak pernah mengenalnya? Tidak bisa. Meskipun tak bisa disangkal bahwa sering kerusakan yang menyesakkan dada ini terjadi akibat ulah 'mereka yang mengaku juga sebagai pendaki dan pencinta". 

2. Kita bisa mengenal teman kita. Aku percaya bahwa mengenali seorang sahabat, itu bukan hal yang mudah. Kita bisa saja tahu, kita bisa saja sering bertukar senyum dan sapa, hingga bercanda bersama, tapi apakah kita cukup mengenal mereka? Menghabiskan waktu bersama di alam dapat membantu menjawab pertanyaan itu. Mendaki gunung dapat membuat kita mengenal lebih dalam teman-teman kita. Alam mendekatkan manusia seakan menghilangkan sekat yang terbentuk dari kehidupan sehari-hari yang penuh dengan intrik dan aturan. Tak hanya sesekali tapi seringkali, aku mendapatkan kejutan dari teman-temanku yang ternyata memiliki sifat dan karakternya masing-masing. Tidak ada yang sempurna, bahkan akupun pasti begitu bagi mereka. Namun, kehangatan yang tercipta saat bercengkerama dalam tenda, dengan segelas kopi panas yang kita minum bersama-sama adalah sesuatu yang sangatlah mahal. Dan aku, aku mencintai kalian semua, sahabat-sahabat yang pernah menemaniku menikmati perjalananku selama ini. 


Salak I - 2014, tak ada ngalahin hangatnya tenda kita ya..:) 
dan gak ada yang ngalahi serunya poto-poto seperti ini. Oro-oro Ombo 2013

atau serunya masak-masak seperti ini! Salak - Mossa, 2014

3. Kita bisa mengenal diri kita sendiri. Bahkan, terkadang seseorang tak mengenal dirinya sendiri. Akupun demikian. Mendaki mengajarkanku bahwa aku adalah sesosok jiwa yang tidak selamanya sama dengan apa yang kupikirkan. Aku tak pernah menyangka bahwa aku akan selalu mengeluh saat aku kelelahan, atau bahkan menangis saat aku merasa tak kuat lagi melangkahkan kakiku yang semakin berat, atau aku akan menjadi orang yang apatis saat kedinginan, pemarah saat kecapekan, ataupun menjadi aku-aku lain yang aku bahkan tak tahu sebelumnya. Aku pun juga tak pernah menyangka bahwa langkah kaki yang kukira lemah ini bisa mencapai titik tertinggi yang terkadang bagai mimpi. Aku tidak akan pernah tahu sisi diriku itu jika aku tak pernah mendaki!

Kerinci 2008

Kerinci 2008, With Abus Siraj, salah satu partner mendaki terbaikku!
Tiga hal itu kemudian akan membawa kita pada satu hal yang bisa merangkum semua. Kita akan mengenal Tuhan dan kebesarannya. Mendaki akan membawa kita pada pengalaman spiritual yang berbeda. Seorang kawan -sebut saja Embang- sering melakukan perjalanan sendirian, entah naik gunung atau hanya jalan ke hutan, untuk mencari pengalaman ini. Dia pernah berkata bahwa dia merasa dekat sekali dengan Tuhan saat tak ada lagi sesuatu di sekitarnya selain alam yang liar. Sendirian menghabiskan malam di Mandalawangi - Pangrango dan dikelilingi lolongan anjing hutan, itulah salah satu cerita Embang yang kuingat. Ya, meskipun aku sendiri tidak akan berani melakukan perjalanan solo seperti itu. Lagi pula itu terlalu berbahaya, kecuali mungkin para profesional dan juga para penekat. 

Akupun punya alasanku sendiri yang kutemukan setelah aku turun dari Semeru. Aku sangat mencintai jawaban yang kutemukan itu. Kenapa? Ya karena akhirnya semua kegalauanku sirna dan kemantapan hatiku semakin dalam tertanam. Aku pun tak kan pusing lagi menjawab atas pertanyaan 'Ngapain sih naik gunung?'. Bagi yang berteman di Facebook denganku mungkin pernah melihat postinganku saat itu. Alasan sederhana kenapa aku mencintai mendaki gunung. 

Satu hal sederhana saja: Bahwa aku ingin kasurku menjadi hal paling mewah dan bahwa tidurku menjadi tidur paling enak di dunia. Semua itu bisa kudapatkan dengan mendaki gunung!

Sejak itu pula aku jadi tahu kapan aku harus mendaki lagi. Saat tidurku gelisah dan kasurku mulai gak nyaman, itu pertanda adanya panggilan. Saatnya mendaki lagi! Yok, ke mana lagi kita kawan?!


"Why do I love hiking so much?" Finally, I got the best answer for that question. I got it in my journey to Mahameru. "Yes, I love hiking BECAUSE after hiking, my bed become the most comfortable place in the world". - Aku 2013 -
Pangrango 2011

Salak 4 - Desember 2014
----------
This is a story about the 2nd day I was in Japan, Dec 4th 2014.

There were so many new things I found there, from super-complicated rail system, beautiful creek, Japanese Park to warm coffee shop. The second day was actually the first day that I really felt Japan. As I can say, I only spent my first day in Haneda airport.

I didn't sleep at all at Haneda airport. If I calculated the times, I hadn't slept for almost 2 days! My last time for sleeping was in Portland, US. Eventhough I didn't feel sleepy at all, my body was so tired. Eventhough I want to take a rest, part of me always said,"Hey! Don't waste your time here by sleeping!". OMG! I really regretted that I didn't sleep on my 12 hours flight from California to Tokyo! Do you want to know why? Read this, the story about my first day in Japan

Jane recomendation route to go to
Tama Station from Haneda. 
My plan was to meet Jane, my Indonesian friend who lives in Tokyo. She is a first year student of UTFS (University Tokyo of Foreign Student).  She is my junior at Lawalata-IPB in Bogor. We agreed to meet at Tama Station - Asahi Cho, just around 10 minutes walking from her apartment inside the campus. She already  told me about the route for me to get there. I need to change the train and transit for several times. And it was really confusing.

Japanese Rail System

It was 5.17, the first monorail from Haneda to Tokyo. Actually, there are other option for public transportation from the airport, by bus or taxi. But, train is cheaper and it feels just like Japan, isn't it? That's why I chose it.   I saw the gate was opened. At 5:00 I went to ticket machine to purchase the ticket. The ticket machine was really a new thing for me. There's a button with for English instruction but I still had problem with it. I didn't know at all how to purchase it! Luckily, I met a young boy who was also buying ticket. He helped me to buy my first ticket train. It was 700 Yen from Haneda to Tokyo Station.

I need to purchase another ticket from Tokyo Station to use another rail company: JR Lines. It is the biggest and the most expensive company in Japan. It also runs the Shinkansen, the famous bullet train. I was looking for ticket machine when I saw a middle-aged woman, looked like a traveller, then I asked her about the ticket machine. Lucky! She speaks English. I forget her name, but I still remember she is from Thailand. She was really kind! She helped me to find the ticket machine, bought it, and even accompanied me to the next transit. It was helpful because I have 2 big luggages with me. She also helped me to carry one of those bag.
JR Line ticket machine

The Thailand lady told me that it was her second/third time visited Japan. She told me that Japanese were very kind and helpful. "It is always confusing at first but you will used to it. Japanese are kind. Ask them anything and they will help you.", she said. Then, I arrived at the Kanda station, time to say goodbye to the Thailand lady. See you next time! (Actually, I already noted her email address but it doesn't work. T_T).

It took 40 minutes from Kanda station to the next stop, Musashi-Sakai Station.  Rush hour hadn't started yet but it was already full of people. After arrived at Musashi-Sakai,  the next line was the last line. I tried to find the ticket machine for the local train 'Seibu Tamagawa line'. It was not easy to find it. I asked a japanese woman about it and of course with Eigo (English). I bet that she understood what I meant but it was difficult for her to say it. She pointed a direction outside the JRLine gate and said 'sumimasen' - sorry for several times. I got it! Then I bought a ticket for Tama Station. It was ¥350. I waited for about 5 minutes the train came. Tama Station is the 4th station from Musashi Sakai.

Phone box and Convenient Store are the best thing for traveler. 

Finally I arrived at Tama Station. I called Jane from a phone box near the station. I don't have cellphone to contact her and my smartphone was off, so the best option was to call her by public phone. In every station, you can find public phone with minimum charge of ¥100. It was helpful for me while I was there. While I was waiting, I saw a group of kids, high school students, and salarimen/women (worker) who were in hurry went to the train station. Rush hour! Jane picked me up then. OMG! I was really happy to see her. It had been almost 1 year since the last time I saw her. And we're ready go to Jane's apartment. I bought some frozen food from Familymart or just call it Famima, beside the station.



I had breakfast in Jane's room. We took a lot of times to chat. I really enjoyed chat with her. That time, she was busy with the exam in TUFS. I think, she studied too hard. Ha ha.. She is very diligent. Instant coffee that I bought from Famima prevented me to sleep. I almost forgot that I hadn't slept for almost 2 days. I didn't feel jet lag at all! I took my time in Jane's room for several hours, relaxed and did nothing but laid around on bed.

Fuji Mt from Jane's room. 

At 14:00, I asked Jane to go for sightseeing around Asahi Cho. There were 2 places I wanted to see that afternoon, which are Nogawa Creek and Osawa Ryokuchi Park. I borrowed Jane's Iphone. I need the maps application for my direction. Nogawa Creek is one of the nearest creeks and the park just next to it.  I walked around 25 minutes until arrived at the bridge beyond a creek, Nogawa Creek. I was so happy back then, the first water flow I met in Japan! Wow! Seems like I really fell in love with the river. 

Nogawa Creek is one of the river that flows into Tama river and will end in Tokyo Bay. Tama River is one of the class 1 rivers in Japan which means that it is very important. The water was clear and looked fresh. Next to the creek there is a park with many trees. It was almost winter but the leaves still looked yellow in many parts. It was so beautiful. It made my heart warm for a while. I saw a bird, I didn't know exactly what it was, maybe It was a kind of stork or heron. It played with water flow. To see a bird play in the creek like that is an unusual view for me. I was so happy for some reasons. :)


Nogawa Creek and Osawa Ryoukuchi Park


A bird in Nogawa Creek.

Next to the creek, there's a park called Osawa Ryoukuchi Park. The park was just like what I've imagined so far for a Japanese park. Although it was not that huge but the atmosphere was really peaceful. I heard the sound of the birds, water and the wind flow. I didn't take much time in the park because it was getting cold. I didn't need a cost to visit this park. It was free. :)

Osawa Ryoukuchi Park 

A boy statue in Osawa Ryoukuchi Park

A long the way home, I observed many things like the style of the houses, gardens, road, shops, the people passed by, traffic, etc. Everything was a new thing for me and I was very excited to see them. Somehow, it is difficult to describe all of them one by one. Instead of it, I would like to describe them with the photos but unfortunately, I didn't take lots of photos. :( 

Pedestrian beyond Nogawa Creek

I stopped by at 7-11 convenient store to buy some snacks. I was still shy to speak Japanese so I talked with English. The guy of 7-11 understood me quite well. "Sank you", he said. It is a sounds like Thank You for Japanese. I used to hear it a lot in drama!

Coffee Shop is just the best thing in the evening!

I felt I need to go to a nice place and enjoy  a cup of hot coffee as a special gift to my self, just to relax and enjoy the time. After take a walk for more than half an hour, I decided to find a coffee shop nearby. I found a coffee shop named Kettle Coffee Shop and Restaurant near Tama Station. Without hesitation, I entered that warm room filled with the smell of coffee. I loved it!

World is just so nice to me. I feel like I was still in Wonderland, a dream land that I thought was over. But then, I realized that everywhere is a dreamland. You just need a little more imagination to see the magic in everyplace.

A cup of Amerikano - an American coffee, a small warm place, a rack of manga, oversea's souvenirs, a small pack of mix nuts, they were just perfect that evening. The owner, a couple husband and wife were very lovely. They're look so cute together. With strangers I never met before, I felt very comfortable. We chat about cliche things: about life and love. Ha ha...  With Japanese and English, we had a very nice chat. I felt like I was not stranger there. You know what, it was so familiar for me. That situation was not strange or awkward. It's 'Dorama Effect'! :D

That day was the birthday of the wife and they gave special treat for the guest, a small cup of 'Sake'. If you visit Japan and you do not try Sake, then I would like to say that you waste your chance. No offense. Ha ha ha... The birthday sake was so good. It was so sweet. "Amai", they said. I like sweet sake though. 

There was also a lady there. The owner introduced me to her and the four of us had a nice chat. The owner gave me gifts, a beautiful calendar and a set of new year chopsticks. Ureshii. I was so happy! I really enjoyed the time in the shop. I really wanted to visit it again next time.

New Year chopstick I received from Kettle Coffee shop


It was almost 19:30 when I went back to Jane's apartment. She was still studying with her friend. I had dinner, took a bath, made plan for the next day, and went to sleep. The second day in Japan was awesome. I learn  a lot of new things and met new people. I found a part of my self that I didn't know before. It might be cold outside but in my heart, everything was so warm inside. 

----------------------


Jalan becek penuh lumpur ini mengingatkanku pada sesuatu. Satu hal yang sangat kukenal hingga bahkan aku tak sanggup ingat meletakkannya di mana di ruang memoriku. Meskipun mendung kadang menyelimuti langit, namun birunya langit musim panas tak akan mampu terbendung oleh awan hitam.

Langit biru dan awan putih adalah pesonamu. Daya yang mengikat hatiku sedemikian dalam dengan damai surgawi yang hanya bisa kurasa tanpa ungkap kata. Namun sayang, sudah takdir jika surga berdamping neraka. Di balik damai, aku rasakan gelisah. Ada sesuatu, entahlah, yang tak bisa menyempurnakan imajinasiku. Ada yang mengusik pikiranku, menyentuh keprihatinanku, menanyakan eksistensiku.

Semua begitu nyata: Tanah kuning yang membelah hijaunya hutan sawit, tanah coklat berlumpur yang sesekali menggulingkan setiap yang melewatinya, busa mengapung di parit-parit air kehitaman, dan anak-anak kecil yang dengan riang berenang di dalamnya. Bercampur dengan sesekali bau aneh menyengat entah darimana. Semua nyata mengusikku.

Ah, mereka tertawa. Orang-orang itu tertawa. Ramah mereka menyapa, menyapa nasib yang tak dimengerti. Tersenyum pada masa kini yang diharapkan dapat bersahabat. Karena masa lalu telah jadi mimpi sedang masa depan tak sanggup memberi janji. Apa lagi yang bisa dilakukan selain tertawa?

Teriknya siang di tengah jalan berdebu dan hujan sesaat karena awan hitam yang tak mampu lagi menahan bobotnya, seakan membawa bisikan. Aku dibisikkan, “Dulu di sini ada ‘kami’, dulu di sini ada ‘dia’, dulu di sini ada ‘mereka’, dan dulu di sini ada....”.

Ada siapa? Apa? Kenapa?

Pertanyaan itu muncul selalu dalam diamku yang tak terdiam. Aku selalu termenung dalam setiap gurau canda yang kulontarkan. Semua begitu memutar otakku hingga aku pusing bahkan tak bisa tidur.

Oh Tuhan, kenapa semua ini begitu sedih? Apa yang salah dengan kami? Apa salahku? Dan pertanyaan terbesarku adalah aku bisa apa? Sedang, aku hanyalah pahlawan kesiangan yang selalu bermimpi besar. Meski mimpi hanyalah untuk pecinta tidur tapi aku masih selalu berharap, “Tolong! Bangunkan aku sekarang! Siapapun itu”.

Batu Barat dan langit birunya


------

Catatan di atas adalah kegelisahan yang kurasakan saat aku berada di Desa Batu Barat, Teluk Melano, Kayong Utara, Kalimantan Barat. Desa yang berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Palung dan juga berdekatan dengan perkebunan sawit PT. CUS ini seakan menjadi pengalaman pertamaku untuk lebih merasakan secara emosional hidup di desa-desa pinggiran hutan dan kebun sawit skala besar.

Sebagai penikmat jalan-jalan di pedalaman, aku sangat menyukai desa ini. Batu Barat yang dilalui oleh Sungai Melano sungguh memiliki keindahan khas Bumi Borneo yang membuatku betah. Orang-orang desa yang ramah, alam yang kaya, dan budaya yang berbeda dapat kutemukan di sini. Namun, aku terusik oleh hal-hal kritis seperti kerusakan lingkungan yang terjadi. Aku merasa trenyuh, dadaku sakit sekali. 

Seperti yang kutuliskan sebelumnya, banyak hal yang membuatku terheran-heran hampir tidak ingin percaya. Hutan Kalimantan yang indah seperti yang digambarkan dalam-dalam poster wisata rasanya jauh sekali. Meski Gunung Palung di depan mata tapi kebun sawit luaslah yang paling dekat dengan Batu Barat. Jalan-jalan tanah di desa ini membelah-belah perkampungan yang tersebar. Hanya sedikit jalan berplester yang terpotong-potong di sana-sini. Jika hujan tiba, berubahlah jalan tanah kekuningan itu menjadi ajang seluncur, licinnya minta ampun. Bahkan, akupun tak berani menaiki motor jika kondisi jalan sudah seperti itu.

Rumah-rumah kayu dan sedikit rumah bertembok semen berjajar  rapi menghadap jalan. Sebuah parit berisi air kehitaman – air gambut- yang digunakan orang-orang untuk keperluan mandi dan cuci-nya. Air parit yang tak seberapa itu harus menanggung beban buangan detergen dari sekian banyak manusia. Maka, busa nampak di mana-mana.

Jalan tanah di Batu Barat yang licin saat hujan. (2013)

Jalanan di kebun sawit yang terlihat sama, sawit sejauh mata memandang (2013)


Sedang jauh di kebun sawit, sudah seperti dunia lain. Jalan-jalan tanah memotong-motong petak-petak sawit yang pasti akan membuat siapapun bingung menentukan arah karena semua terlihat serupa. Pondok-pondok pegawai dan buruh kebun seakan jadi kampung sendiri di tengah rimba sawit. Ada yang bilang bahwa di dalam kebun bahkan lebih ramai dari desa, lebih banyak fasilitasnya, ada sekolah bahkan puskesmas-nya. Orang-orangpun katanya lebih memilih tinggal di sana.

Aku trenyuh karena di balik keramahan orang-orangnya, di balik kesenanganku akan masa yang bagai liburan, ada rasa sesak akan sesuatu yang kurasa ‘pernah ada’. Saat itu, aku terbayang-bayang akan masa lalu Batu Barat. Apa yang pernah ada di sini? Siapa yang pernah ada di sini? Ada apa dulu di sini? Kenapa jadi begini? Lalu, terbayang olehku juga indahnya hutan Kalimantan yang pernah kutahu. Lalu, tiba-tiba aku bagai tersayat sembilu. Rasanya miris, sakit sekali. Apa ya rasa ini? Aku seperti tidak terima akan semua ini. Aku memikirkan orang-orang sini yang sepertinya baik-baik saja. Mereka selalu tertawa, bergurau dan bahkan menggodaku dalam candaannya. Tak ada yang salah kan? Jika semua baik-baik saja tapi kenapa aku sedih sekali?

Nanda sedang memperhatikan ibunya meracik masakan. (2013)

Anak-anak, masa depan Batu Barat

Aku, yang pernah setidaknya belajar tentang hutan, yang setidaknya punya gelar ber-embel-ember hutan, menjadi merasakan beban tanggung jawab. Apalah itu yang disebut beban moral atau apapun itu. Aku merasakannya. Rasa ingin melakukan sesuatu tapi tak tahu harus bagaimana. Maka itulah, aku sebut diriku pahlawan kesiangan. Dalam pikiran yang dangkal, aku ingin menjadi sosok yang ingin merubah kondisi. Agen perubahan katanya. Tapi dalam nyata, aku hanya bisa bergumam sambil mengumpat nasib. Mungkin tidak salah jika aku ini adalah seorang pemimpi. Tapi, segila-gilanya aku dalam mimpi, aku pun ingin sesegera mungkin terbangun dari tidur. Aku ingin hidup dan menjadi nyata. Tapi bagaimana?

Karena masa lalu adalah mimpi dan masa depan tak sanggup berjanji, maka aku hanya punya saat ini. Sekarang yang akan menentukan semuanya. Apakah aku akan tetap menjadi pahlawan kesiangan atau setidaknya aku bisa mengubah jadwal bangun tidurku menjadi sedikit lebih pagi?
Siapa tahu.

Untuk Batu Barat dan kenangan biru yang selalu menghantuiku sekaligus memberiku sejuta rindu.

Matahari Terbit di atas Sungai Melano, Batu Barat


-------------------