Tampilkan postingan dengan label Ciliwung. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ciliwung. Tampilkan semua postingan
Relawan yang berada di antara sampah di dasar Ciliwung - Katulampa (Foto: Suparno Jumar)

Hujan yang jarang turun di Bogor akhir-akhir ini membawa dampak yang cukup jelas jika kita tengok di Bendung Katulampa. Jauh berbeda ketika banjir jadi primadona siaran berita di tivi-tivi nasional kita, Bendung Katulampa yang mengalirkan derasnya air sungai Ciliwung yang termahsyur tiba-tiba menjadi kering kerontang memperlihatkan bebatuan dan balok-balok pemecah arus di dasar bendung. Sungguh pemandangan yang kontras. Salah satu penanda rusaknya DAS adalah fluktuasi aliran yang tinggi. Pun demikian di Ciliwung ini, kontras ini menunjukkan betapa sakitnya sungai yang menyimpan sejarah panjang dalam peradaban manusia penghuni Bogor hingga Ibu Kota Jakarta sana. Kerusakan ini tak hanya untuk manusia tapi untuk semua mahkluk hidup penghuninya. Bahkan menurut Menteri Kehutanan Siti Nurbaya, sudah 90% makhluk hidup di Sungai Ciliwung sudah rusak. Entah berapa banyak ikan asli Ciliwung yang telah hilang.
Yang lebih miris lagi, dengan surutnya air maka dasar sungai menjadi terlihat jelas dan hampir bisa ditebak apa yang ada di sana. SAMPAH! Sepertinya tak berlebihan jika Kang Parno menyebut bahwa Bogor ini sudah 'darurat sampah'. Bahkan rata-rata sampah harian yang masuk ke Sungai Ciliwung per hari mencapai 7 ton, menurut KLHK. Angka ini tentu akan mudah untuk dihitung jika ingin mengetahui berapa banyak sampah setahun di Kali Ciliwung. Dari sejumlah itu, berapa sih yang bisa diangkut, dibersihkan oleh Pasukan Orange, Laskar Karung, dinas-dinas lain? Dan kemana kah akan lari sampah-sampah ini? Tak lain pasti ke laut. Indonesia telah menjadi penyumbang ke-2 terbesar sampah di lautan yaitu sebesar 187,2 juta ton per tahunnya. Miris banget.
Kembali ke Katulampa pagi itu. Beberapa orang relawan yang berkumpul, dikomandoi oleh Pak Andi Sudirman sang Kuncen Katulampa, kita sepakat untuk turun ke sungai melakukan apa yang kita bisa untuk mengurangi beban sampah. Nah, saking banyaknya sampah yang ada, kita dihadapkan pada pilihan dilematis antara mengangkat sampah ke atas namun terbatas atau membakar sampah yang ada di badan sungai. Akhirnya kita memilih untuk membakar sampah yang ada. Kenapa? Karena ternyata di dasar sungai banyak juga ranting dan batang pohon yang menyangkut di batuan pemecah arus yang akhirnya jadi tempat sangkutan sampah-sampah yang lain. Nah di situlah akhirnya sampah dibakar. Kondisi dasar sungai yang kering juga memudahkan hal ini dilakukan. Ini mengingatkanku pada satu istilah yang kukenal lewat salah satu drama dengan latar dunia penerbangan, yaitu istilah 'Second Best Option' atau pilihan terbaik kedua. Memang membakar sampah bukanlah pilihan terbaik, tapi itu adalah pilihan terbaik kedua karena pilihan pertama sulit untuk dilakukan.
Membakar sampah di dasar sungai
"Membakar sampah itu dilarang lho dalam Perda Kota Bogor.", Pak Ntis menyampaikan. Ya, tapi bagaimana lagi? Jawaban kami serempak sama. Toh, buang sampah ke sungai juga melanggar peraturan. Lagi pula, di Katulampa sini udara cukup terbuka sehingga tidak akan terlalu mengganggu asapnya ke pemukiman warga. Tapi bagaimana dengan karbon yang dilepaskan? Yah, itu pertanyaan juga sebenarnya. Tapi kita kembali lagi pada 2nd best option tadi.
Suara ledakan dari batang-batang bambu yang terbakar memeriahkan suasana pagi itu. Sengatan matahari dan unggunan api membuat suasana semakin panas dan gerah. Banyak hal yang kita temukan pagi itu, dari sisa-sisa lebaran korban yang benar-benar memakan korban akibat masih saja ada orang yang membuang jeroan hewan ke sungai, ada ikan mati karena kekeringan ataupun keracunan, dan jangan tanya berapa banyak Anakonda Ciliwung yang kita temukan. Setiap ledakan bambu terbakar kita sambut dengan ketawa. "Sudah beneran seperti perang ya.", terdengar celetukan seseorang. Ini memang sebuah perang.
Selama hampir 2 jam kami berada di dasar sungai di bawah bendung Katulampa. Kami lakukan apa yang kami bisa. Ya, pilihan terbaik kedua memang bukan lah pilihan terbaik.
Setelah naik ke sungai, Pak Andi dan kawan-kawan di Posko Katulampa sudah menyiapkan sajian 'ngaliwet' yang sungguh sedap dan diakhiri dengan obrolan kopi.
Sungguh luar biasa kan cara kami menggunakan akhir pekan.
Relawan Laskar Karung setelah kegaiatan (Foto: Rey Tisna)

Referensi:
Menteri Siti: 90% Makhluk Hidup di Sungai Ciliwung Sudah Rusak: http://news.detik.com/berita/d-2929961/menteri-siti-90-makhluk-hidup-di-sungai-ciliwung-sudah-rusak





“Baru kali ini aku ‘mabok t*i’!”

Ya, beberapa tahun terakhir ini, sampah kayak apapun bentuknya sudah sering kutemui di sungai, Ciliwung terutama. Dari popok bayi, kemasan plastik, kain lusuh, daging busuk, hingga sampah raksasa seperti sofa dan kasur, bahkan yang mungkin paling jorok sekalipun yaitu kotoran manusia, rasa-rasanya sudah bukan hal yang asing lagi bagiku. Tapi ya, ini benar-benar seperti shock therapy juga bagiku, ternyata semua belum apa-apa dibanding yang kutemui waktu Susur Sungai Ciliwung di Sukasari sekitar 2 minggu lalu. Benar-benar, baru kali itu aku merasakan pusing, wajah panas, mual, hampir muntah dan bahkan nangis berkaca-kaca setelah 2 jam berjalan menyusur tepian Ciliwung di salah satu kelurahan di Kota Bogor itu. Ya, aku mabok! Bukan karena mabok kendaraan atau mabok alkohol apalagi mabok cinta, ini mabok t*i. Mungkin agak kasar ya, tapi memang sepertinya istilah itu yang kutemukan paling pas dengan apa yang kurasakan saat itu. Eits, ini bukan kisah pesimis, jadi lanjut terus bacanya.

Jadi ceritanya, Sabtu 15 Juli 2017 kemarin, kita dari Komunitas Peduli Ciliwung (KPC) Bogor ingin mengadakan Susur Sungai. Jika biasanya ‘mulung sampah’, kita waktu itu ingin nyusur lokasi di Ciliwung yang agak jarang kita datangi sambil lihat-lihat kondisi kekinian bantaran. Kita pilihlah Kelurahan Sukasari dan Babakan Pasar karena masih dekat dari pusat Kota Bogor sehingga aksesnya mudah. Nah, mulai dari jam 9 pagi sampai jam 11 siang itulah, kita menyusuri tepian Sungai Ciliwung di Sukasari. Di situlah, aku dan sepertinya semua teman-teman yang ikut nyusur waktu itu benar-benar diuji kesabaran dan daya tahannya. Setelah berjalan sekitar 5-10 menit dari Roti Unyil Venus Jalan Siliwangi, kita melewati permukiman padat dengan gang-gang sempit terjal menurun, pertanda wilayah itu sebetulnya adalah tebing sungai, kamipun tiba di pinggiran Ciliwung.

“Yang sabar ya...”, kata Pak Tisna. Pak Tisna mah udah sering main kemana-mana, jadi dia mungkin sudah tahu cobaan apa yang akan kita hadapi nanti. Aku sudah mencium aroma-aroma keganjilan ketika kulihat selokan kecil penuh sampah berserakan di sepanjang tangga semen curam yang diapit bangunan menuju tepi sungai. Dan,...

Eng ing eng...

Wilujeng Sumping ti Ciliwung Sukasari!

Ya, bisa dipastikan, kamu tahu apa yang kami lihat kan? Sampah! Yang ngapung, yang di tanah, yang nyangkut, yang apa saja lah ada. Anakonda? Pastinya banyak! Karung mana karung?!! Pak Ntis, mana karung? Hahaha.. Sepertinya jiwa tukang sampah lama-lama jadi bawaan pengen mulung terus. Tapi, kita kudu sabar karena tujuan kita adalah nyusur. Jadi, kita jalan-jalan cantik dulu saja ya sambil poto-poto. Kami pun melanjutkan perjalanan.
Kami sempat selfie bersama anak-anak Sukasari 
Di awal-awal perjalanan, kami cukup dapat banyak hiburan. Di Sukasari ini, lanskap (semoga tak salah istilah) di sepanjang sekitar sungai cukup menarik. Bebatuan keras yang menjadi tepian bak pantai batu ada di sini. Ada anak kecil sedang bermain layangan dengan saudaranya, anak-anak lain sedang main air di sungai, ada pohon kelapa yang melambai ditiup angin sepoi-sepoi. Dan, aliran sungai yang cukup deras membuat seolah-olah dia bersih, padahal enggak, karena sampah-sampah pada hanyut semua. Ya, meskipun ada juga nih di dekat seindah ini, benar-benar pemandangan spektakuler, ‘kasur springbed keramat di tengah kali’! Buset banget! Siapa yang tidur di situ coba? Jin penunggu? Kepikiran banget, segeblek apa orang yang tega buang springbed ke kali?!! Mungkin belum kenyang makan bangku sekolah, atau jangan-jangan menu bangku sekolahnya kurang bergizi? (apaan sih!)


Springbed ajaib, tempat tidur siapa ini? (foto: Rey Sutisna)
Ya, begitulah kira-kira. Selama mungkin 30 menitan waktu dihabiskan di tempat menarik itu, sambil ngobrol ringan tentang Ciliwung. Ngambil sejumlah video dan juga foto. Faiza, kawan baru dari Jakarta yang baru perdana banget ikut nyemplung ke Ciliwung sepertinya seru banget ngobrol dengan anak-anak kecil yang sedang main air. Semangat kakak..
Dan kitapun lanjutkan perjalanan. Dan mimpi burukpun dimulai.

Keindahan lanskap yang di awal tadi kita temukan sebenarnya memang bonus untuk apa yang akan kita lewati. IYA! Sepanjang perjalanan di tepi bantaran (mungkin sekitar setengah kilometer lah, gak tahu lah, pokoknya sampai Sukamulya) semakin lama semakin lama semakin warna-warni dengan aneka sampah! Dimana-mana sampah, hingga saat kita berjalan kaki pun harus pandai-pandai melangkahkan kaki agar tak menginjak sampah, atau meminimalisir lah. Arrgghh! Sulit lah menggambarkan betapa mengerikannya apa yang kami lihat waktu itu, lihat lah sendiri. Sengaja aku pasang hanya 1 foto sampah karena jijay banget, tapi hampir semua tempat ya seperti itu kondisinya. Untuk yang kepo gambar-gambarnya silakan saja intip facebook atau twitter KPC, dijamin banyak koleksinya. 

Hampir dimana-mana seperti ini. 
Dan waktupun belalu, hingga kemudian, setelah selama hampir 2 jam di sungai, aku tiba-tiba pusing. Kenapa? Pas kutengok ke bawah ada si lalet ijo nempel ke yang ijo-ijo. Ya, kita tahu sih, memang pada kenyataannya hampir semua saluran MCK warga yang tinggal di sekitar sungai mengalirkannya ke Ciliwung. Aku juga tahu itu. Tapi, ketika melihat si lalet ijo itu aku puyeng. Sumpah puyeng. Om Parno yang mengajak semua tim untuk foto bersama pun hampir kutolak. Tapi, kupaksakan turun juga. Kita nangkring di batu-batu besar yang tersisa dari Ciliwung sebagai kenangan Susur Sungai hari itu. Hingga kemudian, ada pipa yang mangarah ke sungai mengalirkan air dengan kencang. Airnya muncrat kemana-mana, warnanya aaaarrgghh..... geuleuhhh.. Sepertinya di atas rumah-rumah itu ada yang lagi semedi! OMG, ingin segera kulari dari kenyataan ini. Dan setelah itulah, kami putuskan untuk selesaikan nyusur ini. Aku tak tahan lagi. Aku sudah mabok t*i.

Pengen pulang mandi dan gosok gigi, ngilangin daki, ngilangin memori. Tapi, tak baik juga rasanya jika apa yang kita lihat hanya disimpan untuk diri sendiri. Hal-hal yang kita temukan tepat di tepian Ciliwung tak akan bisa didapatkan jika hanya melihat dari kejauhan, dari kaca mobil, dari jendela mall, dari mana saja tanpa menyentuh langsung apa yang di sana. Susur sungai ini seperti membangkitkan kesadaran yang selama ini aku tak tahu, bahwa sesuatu yang lebih serius telah terjadi. Secara emosional, aku merasa hatiku rasanya miris, teiris-iris, sakit dan sedih. Tak hanya aku, mungkin semua kawan-kawanku yang ikut nyusur hari ini. Sekarang lalu apa?

“Ya, ini PR kita bareng-bareng.”, kata Om Parno pada Pak Udin, warga sekitar yang kebetulan sempat ngobrol dengan kita. Permasalahan sampah sungai ini lebih pelik daripada sekedar ‘kesadaran buang sampah di tempatnya’ yang kurang. Tapi, aku sih percaya, kalau beneran bisa bareng-bareng, sebenarnya ini adalah urusan sederhana. Kita, manusia, yang normal-lah, pasti tak suka dengan bau busuk sampah, kotornya, sumber penyakitnya. Masa sih manusia normal tidak mau tempat tinggalnya bersih? Pasti mau. Hanya saja, kadang kita-kaum urban yang merasa sudah agak tertib buang sampah-kurang paham bahwa mereka yang nyampah di sungai ini, memiliki prioritas lain yang mungkin saja dianggap lebih penting dari urusan sampah. Atau, mereka sebenarnya ‘bingung’, mau buang sampah dimana? Atau memang menganggap Ciliwung itu tempat sampah? Atau apa lagi? Ayoklah kita cari tahu.

NB: Meskipun demikian, aku tak akan kapok ke kali.

Mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang (Sukasari, 2017)


(Catatan: Riska, Bang Asun, Pak Ntis, Habibah, dan nama-nama yang kucatut, mohon ijinnya ya.. Hehehe)


Siapa yang suka bangun pagi di akhir pekan?!  Adakah? Apakah aku? Akupun ragu. Dan ini adalah cerita tentang Sabtu pagi-ku di pertengahan Desember. Cerita yang berlatarkan Ciliwung dan ke-tiba-tiba-an (mungkin kalau istilah Inggrisnya Ke-suddenly-an kali ya) niatku yang ujug-ujug muncul. Simak ya.

Jumat malam itu aku buka-buka dan kubaca SMS masuk. Satu SMS yang selalu hadir tiap Jumat itu berbunyi: "KPC Bogor Sabtu 12/12/15 mulung sampah bebersih Ciliwung. Kumpul pkl 08.00 wib di depan mesin pencacah plastik KPC Sempur. CP Joko 021xxxx.". Aih, beberapa kawan-kawanku di Bogor pastilah sudah sangat akrab dengan SMS itu. Kamu juga sering dapat ya? Hehehe.. Seingatku dulu, ada ratusan nomer HP yang mendapatkan SMS rutin itu tiap Jumat. Dan ini sudah tahun ke-7, KPC Bogor bergelut dengan Ciliwung, mengajak puluhan-ratusan-bahkan ribuan orang untuk menengok kembali sungai yang pernah jadi wajah sejarah Pajajaran ini. (Kenapa sejarah? Aku teringat cerita jalur tamu dan jalur bangsawan, cerita dari Mas Hari Kikuk tentang sungai ini di jaman dulu.). Kubaca sekilas SMS itu, dan ujug-ujug aku merasa berkepentingan untuk ke Sempur. Okelah, fix! Besok pagi aku ikut mulung. Kuajak Habibah, kawan kosanku yang masih muda belia, dan tak banyak cingcong dia langsung jawab "Oke mbak!".

Tidak jauh, meskipun tak bisa dibilang dekat juga. Kami sampai di Sempur, turun dari angkot 03 yang sesak, jam 8 kurang sepuluh menit. Di tempat berkumpul kulihat seorang ibu paruh baya sedang asik menikmati sebatang rokok. Alamak, jadi pengen juga. Ups, tahan dulu. Kusapa si ibu dan kutanya apa dia datang untuk KPC. Eh, ternyata dia hanya sedang menikmati pagi rupanya. Ah, yasudahlah. Tak berapa lama, Pak Joko sang CP (Contact Person) muncul. Dia mengatakan akan datang juga kawan dari IPB, tepatnya dari Fakultas Ekologi Manusia yang ingin gabung mulung Sabtu pagi ini. Ah, baguslah. Semakin rame biar semakin seru. Dan datanglah mereka, 5 cewek berkerudung dengan kaos hijau pastel kembar. Salah seorang membawa tripod dan lainnya membawa kamera DSLR. Tarohan, pasti tugas kuliah. Hehehe.. Dan memang benar dugaanku.  Mereka pun membuat entahlah, semacam film mungkin, dengan mewawancarai Pak Joko. Aku dan Habibah, melihat-lihat saja sambil sesekali selfie di pinggir sungai. Waktu berselang dan Pak Ntis datang membawa senjata kami: KARUNG!!!

Laskar Karung KPC - Sabtu pagi itu
(Photo by: Sutisna Rey)
Aku dan Habibah mulai mulung duluan. Kuambil 2 karung, satu untuk seorang dan kami turun ke sungai. Kulihat, sampah banyak nyangkut di tepi sungai, terbawa banjir semalam. Gak kebayang, sampah dari mana saja ini? Mulailah aku dan Habibah mulung apa yang bisa dipulung, mulai dari bungkus detergen, bungkus indomi, hingga kutang dan puluhan popok bayi. Nah, yang terakhir itu perlu digaris-bawahi, POPOK BAYI. Astaga,...! Kenapa ya orang-orang ini? Sakit jiwa? Kenapa banyak banget ya popok bayi di kali? Sejak mulung kapan tahun, popok bayi seakan jadi tamu wajib. Bahkan, pernah nih, aku dapat popok bayi yang masih segar berisi. Pasti tahu kan isinya apa? Pokoknya, warnanya gak kalah gonjreng dibanding bendera partai sebelah itu. Jadi gatel pingin ngomongin popok nih. Yuk mari,..

Penggunaan popok bayi sekali pakai sepertinya memang menjadi hal yang perlu diperhatikan. Karena sepertinya, para ibu-ibu (atau bapak-bapak?) penggunanya masih bingung bagaimana cara mengelolanya. "Make'nya sih gampang. Sekali bayi brott langsung buang gak perlu dicuci." Iya sih. Tapi, buangnya gak harus di kali juga. Lalu dimana? Di tempat sampah? Bau kali, jorok, dll. Lah, dikira dibuang di kali gak jorok? Sebenarnya aku pun gak tahu gimana caranya buang popok bayi bekas yang benar. Maklum belum pernah ber-bayi. Apakah di kuning harus dibuang dulu di WC, atau langsung aja buang bareng sama popok-popoknya. Entahlah. Tapi yang jelas, yang make harusnya tahu. Yang jual harusnya juga ngasih tahu. Btw, dikasih tahu gak sih? Jadi ingat sama Jeng Riska, sang dewi Ikan dari Surabaya yang pernah getol mengangkat fenomena popok bayi ini juga. Jeng, gimana sekarang kondisi Kali Surabaya? Apakah popok masih banyak dijumpa? Bang Asun sempat mengajak ber-ide,"Gimana ya caranya biar orang gak buang popok di kali? Apa perlu kita bikin mitos? Orang kita kalau ke mitos lebih cepat percayanya!". Ah, bener juga kataku. Bikin aja rumor,"Buang popok di kali bisa bikin ruam pantat bayi.". Kali-kali aja itu manjur. Sudahlah, popok bayi mah. Lanjut  lagi,..

Oops, ada popok bayi pasti di sana!
(Photo: Sutisna Rey)

Kawan-kawan dari IPB pun ikut nyemplung bersama, jadi ada 5 tambah 2 tambah 2, ahh. 9 orang totalnya yang mulung hari ini. Lumayanlah. Kami bersemangat mengangkut sampah-sampah itu. Aku, paling senang, mengais-ngais sampah yang nyangkut di celah batu. Sampah kayak gitu, kelihatannya dikit, tapi wooo...aslinya banyak. Lebih seru lagi kalau nemu 'Anaconda Ciliwung'. Dijamin keringat mengucur deras. Satu demi satu sampah kami masukkan karung, hingga kemudian tercium baru menyengat yang hampir membuatku muntah. Di dunia ini, hanya satu bau yang bisa membuat mataku langsung merah berair dan perutku seakan mau keluar. Bau bangkai. Dan di Sabtu pagi inipun, bau ini hampir berhasil membuatku mual. Aku tidak sanggup lagi dan tak berapa kami penuhi karung, kami berhenti. Kebetulan karung juga sudah habis, meskipun sampah masih berserakan. Cukup hari ini. Kamipun berpisah dan kembali ke aktivitas masing-masing. Hampir jam 10 pagi waktu itu.

Sambil berjalan di tepi sungai, Habibah mengatakan, "Enak juga ya melakukan begini di akhir pekan?". Aku pun sedikit terhenyak dengan pernyataan itu. Enak? Apanya yang enak? Kalau enak kan pasti banyak orang yang akan turun. Aku berpikir, apa yang bisa dilakukan untuk menjadikan orang juga merasa 'enak' seperti yang Habibah rasakan, seperti juga yang aku rasakan. Rasa enak yang absurd inilah yang mahal. Rasa 'enak' inilah yang bisa menjadi fondasi dasar semua kegiatan yang berdasarkan ke-suka-rela-an atau voluntarisme. Tak ada orang yang dibayar di sini, tak ada fasilitas apapun di sini. Bahkan, yang akan ditemui adalah gundukan sampah yang bahkan menggunung, berbau busuk dan menjijikkan. Tapi, ada yang bilang itu semua 'Enak'.

Aku teringat dulu, setahun lalu aku sempat menanyakan hal yang sama pada beberapa orang di Oregon sana, "What makes you do that voluntary works? Why do you want to do it?". Kenapa orang mau-maunya bersihin rumput di taman kota, kenapa mereka mau nyumbang duit banyak untuk restorasi ikan? Buat apa mereka merelakan waktu untuk ini dan untuk itu? Dan jawabannya hanya sederhana, "I feel good with it.". Sesederhana itu saja. Orang merasa baik, orang merasa enak. Mungkin seperti Habibah bilang 'enak' tadi. 

"Apa kamu punya ide untuk KPC Bogor Net?", tanya Bang Asun dan Pak Ntis siangnya, di kantor FWI yang sudah jadi rumah singgah wajib sehabis mulung, selain tentunya kantor INFIS. Pertanyaan ini agak-agak berat gimana gitu ya. Jujur, aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri dan kerja yang sebenarnya sibuk gak sibuk. Setelah beberapa waktu aku tidak datang di Sabtu pagi, aku merasa tidak layak menjawab pertanyaan itu. Tunggu, tunggu! "Come on Net, this is not very you! ", kudengar aku memarahi diriku sendiri. Hahaha... Oke, oke. Aku coba jawab pertanyaan itu.

Jadi, sama seperti yang kuceritakan tentang Habibah dan rasa 'enak'nya yang absurd itu. Intinya adalah bagaimana membuat orang merasakan 'enak' itu, 'feel good' itu. Bagaimana membuat Ciliwung mempesona bagi mereka? Bagaimana membuat sungai ini menjadi ajang orang-orang berekpresi. Orang yang mau ibadah, bisa bersyukur dan beramal di Ciliwung. Orang yang agak narsis (saya misalnya) bisa selfie-selfie sambil mulung sampah Ciliwung biar kelihatan jadi orang baik. Hahaha.. Yang doyan bermedsos, bisa update status entah di Fesbuk, Twitter, Path, instagram atau apapun lah dengan hashtag Ciliwung. Orang yang doyan nulis pasti akan banyak bahan tulisan. Orang yang suka riset bisa juga cari bahan riset. Atau orang yang memang doyan nyemplung kali  ya tinggal nyemplung aja. Hehehe.. Sepertinya sederhana kan. Memang pada dasarnya, niat ber-voluntary, umumnya sederhana. 

Bagaimana cara? Yok cari bareng-bareng. Yang jelas nyata bagiku adalah, kalau tujuannya kampanye ya harus dilihat banyak orang, didengar banyak orang. Biarkan orang tahu dan melihat. Kalau mereka lihat kita 'enak' toh mereka pasti akan ikutan. Kalau 'enak' sendiri mah apa bedanya sama 'itu'. Hahaha... Maaf, saya nulis ini sudah agak malam sih,  jadi sedikit nyrempet-nyrempet.  Sepertinya sudah ngantuk saya, jadi sudahan dulu ya. Yang jelas, 'enak absurd' itu yang perlu dicari dan mari temukan itu bersama-sama. 

Bukankah begitu kawan?

Salam cinta dan rinduku pada sungai, gunung, hutan, alam semesta dan manusia yang sangat indah. Muachh..

Dan terutama untuk Ciliwung yang berhasil membuatku bangun pagi di Sabtu pagi! Good job C!


Minggu, 13 Desember 2015 (23:49)

Kaos Ijo kawan-kawan FEMA IPB, aku dan Habibah. C...
(photo by: Sutisna Rey)

Giliran teman-teman FEMA IPB, Pak Joko, Pak Ntis, dan Habibah
(Fotonya pastinya aku yang njepret :) )

-----