(Sudiyah Istichomah)

(Catatan ini merupakan sebagian dari hasil saya melakukan PKL semasa kuliah tepatnya tahun 2008, sehingga yang tertulis juga merupakan gambaran kondisi saat itu)

Jenis-jenis hama dan penyakit yang menyerang damar sampai saat ini (tahun 2008) dianggap tidak terlalu mengakibatkan kerugian besar, hanya menurunkan sedikit produktifitas damar. Menurut keterangan dan informasi dari petani hama-hama tersebut bersifat musiman setahun sekali dan tidak bisa dicegah, sehingga serangan hama tersebut dianggap hal yang wajar. Tidak ada perlakuan khusus untuk mengatasi hama ini, hanya dibiarkan saja sampai musim hama selesai. Musim hama biasanya pada bulan-bulan awal tahun bertepatan dengan musim semi daun muda.

Jenis-jenis hama yang menyerang yaitu
walang sangit yang menyerang daun, Kumbang wer-wer yang mengerat batang, dan ulat daun yang memakan daun muda. Sistem agroforest damar yang beraneka ragam dan kompleks memungkinkan untuk pencegahan serangan hama secara besar-besaran seperti pada hutan monokultur yang lebih rentan serangan hama. Hal ini disebabkan hewan yang bersifat hama tidak bebas berekspansi ke semua pohon yang bukan sumber makanannya.

Gangguan hutan lain selain hama dan penyakit dapat berasal dari manusia ataupun dari alam. Gangguan hutan dari alam yaitu angin puting beliung yang sering terjadi di daerah Pahmungan. Biasanya angin tersebut datang beberapa tahun sekali dan menumbangkan beberapa pohon termasuk damar. Pada akhir tahun 2006 terjadi angin puting beliung yang cukup besar dan menumbangkan banyak pohon damar. Kerugian yang diakibatkan angin ini cukup besar bagi petani.

Gangguan hutan yang berasal dari manusia yaitu adanya pencurian damar. Pencurian damar saat ini sangat marak dilakukan. Kerugian akibat pencurian ini sangat besar. Selain kerugian langsung berupa berkurangnya hasil produksi damar, efek pencurian berpengaruh pula pada perubahan pola panen damar yang dilakukan petani. Untuk menghindari kerugian yang cukup besar akibat pencurian, petani memperpendek waktu/jarak panen damar dari normal 30 hari mennjadi 15-20 hari. Perpendekan waktu tersebut mempengaruhi kualitas damar yang menurun dan pada akhirnya menurunkan juga harga jual. Namun hal ini tetap dilakukan petani dengan pertimbangan daripada tidak panen sama sekali.

Gangguan hutan lain adalah adanya penggembalaan liar. Kebiasaan masyarakat Pahmungan dalam memelihara ternak adalah dengan melepasliarkan ternak tersebut. Sering kali ternak tersebut masuk ke lahan agroforest damar dan kadang merusak/memakan tanaman muda milik petani. Kerusakan yang diakibatkan hewan ternak tersebut tidak berpengaruh terhadap produksi damar, sehingga petani tidak terlalu mengkhawatirkan masalah ini.

Pengendalian Gangguan Hutan

Upaya pengendalian gangguan hutan telah dilakukan oleh petani, terutama gangguan pencurian. Upaya pencegahan pencurian dilakukan dengan berbagai cara yaitu :

1. Pengawasan langsung : yaitu menengok kebun damar sesekali waktu, terlebih untuk kebun yang dekat dengan perkampungan. Untuk kebun yang jaraknya relatif jauh jarang ditengok karena dianggap lebih aman dari pencurian.

2. Pewarnaan getah damar dengan cat : yaitu pewarnaan getah damar dengan cat sebagai identitas damar. Misalnya damar milik A warna merah, B warna hijau, dsb. Warna yang digunakan biasanya kombinasi 2 warna. Penentuan warna berdasarkan kesepakatan bersama yang diputuskan dalam musyawarah petani. Mekanisme kerja : Jika warna damar tertentu milik A, maka jika dijual oleh selain A maka dipastikan damar tersebut adalah damar curian dan pembeli tidak boleh membelinya dan melaporkan kepada desa untuk ditindaklanjuti.

3. Pemberian denda untuk pencuri : yaitu pemberlakuan denda bagi orang yang terbukti telah melakukan pencurian damar. Besarnya denda ditentukan berdasarkan keputusan bersama.

4. Perubahan pola waktu panen : yaitu memperpendek selang waktu panen damar dari 30 hari menjadi 15-20 hari.

Meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi gangguan pencurian, namun banyak kendala yang ditemui, antara lain :

1. Sebagian besar warga Pahmungan masih terikat kekerabatan yang erat, sehingga penyelesaian masalah pencurian sering didasari perasaan segan dan sungkan.

2. Sistem pengawasan yang tidak ketat masih memungkinkan terjadinya pencurian.

3. Sering kali pencuri dan pembeli damar saling bekerjasama dalam jual-beli damar sehingga aturan cat damar tidak berfungsi.

4. Peraturan denda yang tidak berjalan lancar.
Saat aku masih SD, mungkin kelas 6, aku masih sering menginap di rumah Budhe (kakaknya Bapak) yang rumahnya di kampung sebelah, tapi masih satu desa. Aku menginap untuk menemani mbak Ana, sepupuku yang masih kelas 4 SD. Meskipun lebih muda, namun aku tetap harus memanggil mbak. Silakan bertanya kepada orang Jawa.

Di sanalah aku punya banyak teman,anak-anak tetangga di sekitar rumah Budhe, sebut saja: Dewi, Wiyanto, Andi, Astri, Ayu, Rian, Oneri (baca: wanri), Royan, Wawan, dan dek Hari (khusus dek Hari, aku harus menulis namanya dengan sebutan ‘dek’ karena kalau tidak rasanya aneh banget). Kami sering sekali bersepeda tiap sore. Tentu saja sepeda yang dipakai adalah sepeda mbak Ana, karena aku sendiri tidak memiliki sepeda. Menyenangkan dan mengasyikkan sekali bersepeda. Ketika bersepeda, beberapa dari kami ada juga yang membawa bekal untuk di perjalanan. Dan yang tertulis ini adalah salah satu kisah petualangan bersepeda kami di suatu sore hari yang indah.

Kami berkumpul sekitar jam setengah 3 sore di pertigaan jalan, di depan rumah Wiyanto yang memang merupakan tempat paling strategis untuk berkumpul karena terletak di tengah-tengah kampung. Setelah semua kumpul, kamipun berangkat bersepeda. Aku dan mbak Ana menggunakan satu sepeda dan berboncengan, tentu saja bergantian boncengannya. Bersama-sama kami semua bersepeda di jalan desa, menyusuri daerah dukuh (kampung) sebelah yang masih dikelilingi kebun-kebun dan pepohonan besar. Aku senang sekali dan kami pun selalu bercanda. Gelak tawa kami tak pernah berhenti sepertinya, karena semua terasa menyenangkan. Kesenangan itu mungkin karena jalan yang kami lalui menurun, sehingga tidak terlalu lelah mengayuh meskipun jalannya cukup jauh.

Sampai di ujung suatu jalan, terdapat sebuah makam di sisinya. Kami tiba-tiba berhenti, dan beberapa anak turun dari sepeda. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku juga ikut turun dari sepeda. Di jalan tersebut tampak tanah yang menurun, dan tak terlihat ujungnya. Beberapa anak laki-laki mencoba untuk melihat jalan itu.

Tiba-tiba ada yang berteriak “Eh, cepet lewat kene wae! Neng ngisor ono kali! (eh, lewat situ saja yuk! Di bawah ada sungai)”.

“Medeni ki, aku wedi! (serem, aku takut!)” jawab kami, yang sebagian anak-anak perempuan.

Aku melihat di ujung jalan aspal itu, terdapat jalan tanah yang menurun dan mengarah ke kiri dari aspal, sepanjang 100-an meter. Jalan tanah ini berujung pada sebuah sungai kecil. Yang menakutkan adalah di sepanjang kiri jalan tanah tersebut adalah kompleks pekuburan kampung yang masih rimbun dengan pohon kamboja dan rumpun bambu. Sungai di ujung jalan pun terlihat menyeramkan karena seperti terimbuni bambu yang lebat sehingga suasana menjadi sangat suram.

Kamipun berunding sejenak. Pertimbangan yang kami ambil adalah, jika kami pulang melalui jalan berangkat maka jalan akan menanjak dan jauh, sedangkan jika kami meneruskan jalan tanah itu kami tidak tahu sampai di mana ujungnya. Akhirnya kami memutuskan untuk jalan terus saja melewati jalan tanah dan menyeberang sungai kecil di bawah sana.

Karena jalan tanah dan agak basah, sulitnya minta ampun jalan di sana, apalagi dengan menuntun sepeda, karena kami tidak berani menaikinya. Aku menuntun sepeda dan mbak Ana sesekali membantuku. Sampai di sungai kami pun kami harus menyeberanginya dengan susah payah. Meskipun air tidak begitu dalam, namun menuntun sepeda di air tetap saja sulit karena sangat seret.

Suasana super serem! Bagaimana tidak? Di atas sungai banyak terdapat pohon-pohon besar, ada beringin juga yang terkenal angker dan kamboja di sela-sela makam. Aku sendiri takut, dan teman-temanku juga terlihat sekali takut, sangat jelas tergambar dari wajah-wajah tegang. Kami yang masih kecil ini pun merinding bersama.

Satu-persatu kami berhasil menyeberangi sungai. Aku pun berhasil. Namun ternyata kesenangan menyeberang sungai langsung hilang begitu melihat jalan di depan. Rasanya sial sekali. Setelah menuruni jalan tanah becek dan licin, menyeberangi sungai seram, kami juga harus melalui jalan tanah berbatu yang super menanjak. (Jika dipikir saat ini, wajar sekali jika menyeberangi sungai turun maka setelah itu harus naik  ). Kami harus menuntun sepeda ke atas. Rasanya capek sekali.

Ketika aku sudah di ujung tanjakan, terdengar teriakan-teriakan.
“Oi....oi......! Oneri tiba neng kali (oi....oi...!Oneri jatuh di sungai)”.

Aku dan juga lainnya langsung menoleh.

“Eh lha terus piye? (eh lha terus gimana?)” kata seseorang yang sudah di atas.
“Dhe e nangis lho, mbok ditulung (Dia nangis lho, tolongin dong)” jawab yang masih di bawah.

Aku hanya diam dan melihat ke bawah. Oneri terpeleset di sungai. Dia menangis, mungkin karena sakit terjatuh atau lebih mungkin juga karena ketakutan. Wajah menangisnya lucu banget, tapi aku tidak berani tertawa, tentunya hal ini tidak sopan dan aku juga tidak tega, meskipun jujur aku menahan tawa.

Akhirnya Oneri dituntun jalan oleh teman laki-laki, sepedanya juga dibawakan oleh teman. Aku sendiri hanya melihat kejadian itu dari atas, karena aku tidak mau turun lagi. Sungguh dari kecil sifat ini sudah ada pada ku. 

Perjalanan berlanjut. Di ujung jalan yang belum pernah kami lewati tersebut terlihat hamparan sawah yang menghijau, udara yang bersih, dan pemandangan yang indah. Kami berjalan menuntun sepeda menuju persawahan itu. Beruntung sekali ternyata areal persawahan tersebut kami kenal sehingga untuk pulang kita tahu arah dan jalannya.

Di bawah pepohonan rindang di tengah sawah, kami membuka bekal dan saling bertukar (Dewi membawa ayam  ). Saat makan, kami melihat tidak terlalu jauh di jalan raya ada rombongan kampanye PDIP sedang lewat dan bersorak-sorak. Kami ikut bersorak ria dan rasanya senang sekali berada di tengah teman-teman dan alam indah.

“Di malam ini , aku tak dapat
Memejamkan mata, terasa berat,....
Dongeng sebelum tidur...”

Lagu dari Wayang yang sedang tren itu mengiringi perjalanan kami pulang, di sela-sela nyanyian angin di hamparan sawah dan tawa ceria kami.
(Sudiyah Istichomah)

Agroforest damar di Pahmungan seperti pada umumnya agrofrest damar di sepanjang Pesisir Krui mengembangkan spesies damar (Shorea javanica) sebagai spesies utama dan spesies bukan damar yang terdiri dari berbagai jenis/spesies pohon buah dan herba sebagai pelengkap. Spesies bukan damar yang dikembangkan oleh masyarakat adalah spesies yang dianggap berguna oleh masyarakat, misalnya durian, duku, cengkeh, petai/tangkil dan sebagainya.

Pengadaan benih dan bibit pada agroforest damar dapat dikelompokkan menjadi 2
berdasarkan sumbernya, yaitu pengadaan benih/ bibit dari lahan agroforest dan pengadaan benih/ bibit dari luar. Pengadaan bibit dari luar biasanya berasal dari bantuan pemerintah ataupun dari pembelian. Biasanya bibit damar berasal dari biji dan juga cabutan/anakan alami.

Biji damar diambil saat musim biji sedangkan bibit cabutan dapat diambil kapan saja. Musim bunga (biji) umumnya sekitar 5 tahun sekali, seperti pada umumnya pohon-pohon dari famili dipterocarpaceae. Biji damar hanya dapat bertahan selama beberapa hari saja, sehingga untuk mengatasi persediaan bibit, damar dibibitkan dalam suatu bedeng, sekaligus berfungsi sebagai tempat pembibitan jenis-jenis tanaman lain.

Pembibitan damar (Shorea javanica)

Pembibitan damar dilakukan secara mandiri oleh masyarakat. Lokasi pembibitan damar biasanya di sekitar rumah ataupun di dalam bidang agroforest dalam jumlah dan luasan tempat yang sangat bervariasi tergantung masing-masing petani. Pada jaman dahulu pembibitan dilakukan dengan langsung menanam bibit/biji ke tanah, namun saat ini petani lebih banyak menggunakan polybag karena lebih mudah dan praktis.

Ilustrasi pembibitan damar langsung tanpa polybag

a.dari biji : biji diambil lalu ditanam dalam tanah yang dipersiapkan untuk pembibitan.
b.Dari cabutan / anakan :
- dicabut langsung lalu ditanam dalam pembibitan
- diambil sekaligus tanahnya lalu ditanam beserta tanahnya dengan tujuan agar akar damar tidak rusak

Pembibitan :
Media : tanah (langsung tanpa ayakan dan tanpa campuran pupuk)

Cara penyemaian :
- Persiapan media, tanah dimasukkan dalam polybag ukuran setengah kilogram
- Menyiapkan bibit dapat berupa biji ataupun anakan dari cabutan. Biji/anakan dimasukkan dalam polybag, masing-masing 1 biji/anakan per polybag.
- Polybag yang sudah ditanami biji/tanaman disusun dalam baris-baris ukuran 1mx4m.
- Tempat persemaian yang digunakan harus teduh agar benih cepat tumbuh dan mencegah kekeringan. Untuk peneduh digunakan daun kelapa/daun tepus sebagai atap.
- Perawatan bibit meliputi : penyiraman setiap sore hari (sekitar pukul 4-5)
- Pembersihan gulma/tanaman pengganggu dilakukan jika muncul (namun di beberapa lokasi yang dikunjungi, terdapat pula bibit-bibit damar yang kurang terawat dalam artian banyak ditumbuhi oleh gulma/tanaman pengganggu).
- Bibit yang berumur sekitar 1 tahun sudah siap untuk ditanam.

Perbandingan hasil bibit dari biji dan cabutan yaitu bibit dari biji lebih mudah tumbuh, dari pengamatan didapatkan bahwa untuk bibit berumur 6 bulan tinggi rata-rata untuk bibit dari biji adalah 50cm sedangkan untuk bibit dari cabutan adalah 25 cm. Selain itu daun pada bibit dari biji juga lebih besar dan banyak. Menurut petani, prosentase hidup bibit dari biji lebih besar dari cabutan yaitu sekitar 80% dibanding 50%.

PEMBUATAN TANAMAN

Lahan agroforest damar di Pekon Pahmungan termasuk lahan jenuh (sudah penuh/dengan susunan yang sudah lengkap) sehingga penanaman yang dilakukan lebih bersifat penyulaman untuk regenerasi tanaman atau mengganti tanaman yang mati dan mengisi sela-sela lahan yang terbuka.

Penanaman biasanya dilakukan pada musim hujan. Pohon yang ditanam adalah jenis damar ataupun selain damar, biasanya dari jenis buah-buahan. Untuk jenis tanaman kayu lain yang dijumpai di lahan agroforest seperti sungkai dan jenis lain biasanya tumbuh liar dan dibiarkan saja oleh petani karena tidak mengganggu tanaman inti (damar).
Pemeliharaan Tanaman dan Tegakan

Pemeliharaan Tanaman dan tegakan di agroforest damar cukup sederhana. Untuk tanaman damar muda, cukup dilakukan pembersihan gulma yang sering tumbuh di sekitarnya. Pembersihan dilakukan dalam waktu yang tidak tetap, biasanya setengah tahun atau satu tahun sekali. Setelah tidak terganggu oleh gulma, damar dibiarkan begitu saja sampai umur produktif.

Tegakan yang sudah tumbuh biasanya tidak dilakukan pemeliharaan secara khusus, tetapi dibiarkan begitu saja. Namun ada juga sedikit petani yang memelihara bidang agroforest mereka dengan membersihkan tumbuhan bawah secara rutin sehingga lantai hutan lebih bersih. Perlakuan umum terhadap agroforest damar ini menjadikan lahan agroforest damar lebih menyerupai hutan alam dimana terdapat jenis-jenis pohon dan tumbuhan bawah yang cukup banyak. Pada beberapa tempat, tumbuhan bawah bisa sangat rapat dan mencapai lebih dari 1,5 m. Petani biasanya tidak akan menebang atau membuang tanaman liar yang dianggap tidak merugikan/tidak mengganggu damar.

(Tulisan yang tertulis ini merupakan sebagian dari hasil Praktek Kerja Lapang saya selama kuliah, yaitu tahun 2008, jadi yang tertera adalah kejadian pada tahun 2008)