Prinsip Tata Ruangnya Salah Mahzab, Katanya

// // Leave a Comment
Sudah salah dari sananya. Mungkin itu yang terlintas di pikiran ketika mendengar pernyataan Pak Wiwid, "Mahzab yang dipakai untuk menyusun UU Tata Ruang kita adalah mahzab Amerika, yang tentu saja tidak cocok diterapkan di Indonesia." Pak Wiwid adalah seorang pegawai pemerintah daerah yang bekerja di Dinas PUPR Kabupaten Banyumas bagian Tata Ruang.

Disebutkan bahwa, sebelum disahkannya UU Penataan Ruang nomor 26 tahun 2007, penataan ruang di Indonesia berkiblat pada sistem penataan ruang ala Eropa yang mengatur ruang dalam blok-blok besar dan tidak secara detail. Sedangkan di UUPR terbaru, kiblat itu beralih ke Amerika. Kalau Pak Wiwid, menyebutnya sebagai 'mahzab Amerika'. Penataan ruang ala Amerika adalah penataan ruang untuk menata sebuah daerah baru. Perencanaan dibuat dengan detail dalam blok-blok yang sudah ditentukan sedemikian rupa. Kenapa kemudian hal ini menjadi tidak sesuai ketika diterapkan di Indonesia?

"Kondisi Amerika dan Indonesia sudah jelas berbeda", kata pak Wiwid. Penataan ruang ala Amerika ditujukan pada daerah yang masih kosong sedangkan untuk Indonesia adalah ruang yang sudah berkembang. Pensyaratan  perencanaan pada tingkat detail akan membuat masalah baru yang bahkan tidak secara langsung menyinggung tata ruang itu sendiri, misalnya saja masalah sosial, ekonomi dan turunan-turunannya. Coba kita tengok sekilas tentang si RDTR atau Rencana Detil Tata Ruang.

--
Kenapa RDTR menjadi kendala utama dalam penataan ruang? Ya, karena bahkan RDTR itu belum ada. Aturan yang seharusnya ada tapi belum ada. Ribetnya penyusunan perencanaan membuat hal-hal dasar seperti rencana ini terus molor. Jika di tingkat atas sudah terlambat, maka dipastikan yang di bawah-bawahnya juga ikut terlambat.

RDTR  menjadi suatu keharusan bagi sistem penataan ruang kita yang mengacu pada UUTR. Untuk mengatur suatu ruang, diperlukan suatu rencana detail yang mencakup blok-blok pemanfaatan ruang yang sudah diperhitungkan dengan masak-masak. Sepertinya baik-baik saja disini. Lalu, apa masalahnya?

Masalah muncul ketika ruang yang diatur adalah ruang yang sudah berkembang, sudah ada isinya, sudah terbangun. Akan lebih sulit untuk membuat penataan pada ruang yang terbangun dibanding pada lahan yang masih kosong. Mengatur ruang yang sudah berpenghuni berarti berurusan pula dengan para penghuninya. Dan seperti yang pernah aku tuliskan sebelumnya, bahwa sesuatu peraturan itu tidak berlaku mundur maka peraturanlah yang harus menyesuaikan dengan kondisi yang sudah ada. Bagaimana kemudian ruang yang sudah berkembang ini diatur? Nah, di sinilah nanti akan terjadi proses interaksi termasuk tarik ulur kepentingan yang tentunya tidak bisa sederhana, apalagi yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Sudah dipastikan akan sangat ribet. Tidak ada cara mudah tanpa resiko untuk mengatur yang sudah seperti ini. Kalau menyitir apa yang Ahok pernah katakan tentang bagaimana cara paling gampang menata ulang Jakarta, ya diratakan lalu dibangun ulang. Artinya, tidak mudah memang mengatur yang sudah 'teratur'. (Teratur dalam artian sudah bercokol duluan, tidak sama artinya dengan rapi.)

---
Beberapa hari yang lalu, aku berbincang dengan salah seorang kawan bernama Dafid, yang lebih sering dipanggil Suki, yang baru saja pulang berpetualang di negeri tirai bambu Cina. Satu kesan yang dia miliki tentang Beijing, kota terbesar negeri itu adalah betapa bersih dan rapihnya kota itu. Lalu, yang membuatnya tertarik adalah sistem pemilikan tanah di sana. Di negara komunis itu, pemilikan tanah seluruhnya dikuasai oleh negara. Tidak ada satupun warga sipil yang boleh memiliki tanah. Lalu, bagaimana orang-orang tinggal? Suki menceritakan jika di sana, terdapat banyak rumah susun dan apartemen yang disewakan pada warga sipil. Jangka waktu sewa bisa sampai dengan 25 tahun. Suki menceritakan jika orang-orang Beijing biasanya mulai menyewa apartemen saat umur 4oan tahun di saat sudah mapan. Hak sewa rumah dapat diwariskan kepada anak, kerabat ataupun orang lain ketika pemilik hak meninggal atau melepas haknya sebelum masa sewa berakhir. Jadi, untuk masalah rumah bisa selesai di sana. Tapi, bagaimana dengan lahan pertanian? Bagaimana status petani? Itu, aku belum tahu dan masih terlalu malas untuk mencari tahu (baca: googling sendiri).

Aku jadi berpikir, apa mungkin sistem penguasaan lahan secara penuh seperti di negeri komunis lebih baik untuk negeri yang kadung semrawut ini? (Katanya sih.. )  Jadi, tidak ada lagi nanti ceritanya jual beli tanah ilegal, adanya tuan tanah yang maruk, kesenjangan pemilikan tanah, dll. Biar nanti itu negara yang bagi-bagi tanah untuk apa saja dan dimana saja. Dengan demikian, maka penataan ruang akan menjadi lebih simpel karena yang ngurusi cuman sepihak, tak perlu ribet dengan sengketa pemilikan ataupun hal-hal terkait penguasaan lainnya. Kalau begitu, apa perlu kiblatnya diganti lagi, dari Eropa ke Amerika lalu sekarang ke Cina? Ingat sabda Nabi, "Tuntutlah ilmu sampai negeri Cina!". Nah lhoh..

Jadi gimana enaknya?
Da,aku mah apah atuh?! Siapa sayah harus mikir mahzab tata ruang segala.

Kalau kita punya demokrasi Pancasila, kenapa tidak kita juga punya sistem tata ruang Pancasila. Ya, sistem tata ruang yang khas Indonesia, yang mewadahi keunikan dan kondisi nyata dari tanah negara (tercinta) ini. Bagaimana bentuknya, ya bisa dilobi-lobi. Lagipula, apa perlu kita bermahzab ke negara-negara lain yang toh kondisinya jauh berbeda. Indonesia ini 'the only one' loh, negara yang gak ada duanya di dunia ini. Ya memang, kita perlu belajar dari negara lain juga, tapi tetap harus punya jati diri dong. Nah..  Apaan lagi ini, kok nyambung ke identitas bangsa? Lhoh, bukannya memang masalah ruang berhubungan erat dengan identitas. Ah, mbuh lah…

Sudah dulu lah, ngalor ngidul - ngetan ngulon tentang mahzab tata ruang. Balik lagi, dah aku mah apa atuh yah..Hanya wong cilik yang kepo-an dan bercita-cita bisa ngaku jadi peneliti. (Biar kalau lain kali nulis gak perlu lagi pakai keterangan, 'Dah aku mah apa atuh'.Hehehe)

Jadi intinya, kalau kata Pak Wiwid kita salah mahzab.

(Ngomongin mahzab yang pake istilah Arab, jadi kepikiran, apa pindah mahzab ke Arab sekalian? :D  )


0 komentar:

Posting Komentar