BERSEPEDA SORE DI KAMPUNG DAN SAWAH

// // Leave a Comment
Saat aku masih SD, mungkin kelas 6, aku masih sering menginap di rumah Budhe (kakaknya Bapak) yang rumahnya di kampung sebelah, tapi masih satu desa. Aku menginap untuk menemani mbak Ana, sepupuku yang masih kelas 4 SD. Meskipun lebih muda, namun aku tetap harus memanggil mbak. Silakan bertanya kepada orang Jawa.

Di sanalah aku punya banyak teman,anak-anak tetangga di sekitar rumah Budhe, sebut saja: Dewi, Wiyanto, Andi, Astri, Ayu, Rian, Oneri (baca: wanri), Royan, Wawan, dan dek Hari (khusus dek Hari, aku harus menulis namanya dengan sebutan ‘dek’ karena kalau tidak rasanya aneh banget). Kami sering sekali bersepeda tiap sore. Tentu saja sepeda yang dipakai adalah sepeda mbak Ana, karena aku sendiri tidak memiliki sepeda. Menyenangkan dan mengasyikkan sekali bersepeda. Ketika bersepeda, beberapa dari kami ada juga yang membawa bekal untuk di perjalanan. Dan yang tertulis ini adalah salah satu kisah petualangan bersepeda kami di suatu sore hari yang indah.

Kami berkumpul sekitar jam setengah 3 sore di pertigaan jalan, di depan rumah Wiyanto yang memang merupakan tempat paling strategis untuk berkumpul karena terletak di tengah-tengah kampung. Setelah semua kumpul, kamipun berangkat bersepeda. Aku dan mbak Ana menggunakan satu sepeda dan berboncengan, tentu saja bergantian boncengannya. Bersama-sama kami semua bersepeda di jalan desa, menyusuri daerah dukuh (kampung) sebelah yang masih dikelilingi kebun-kebun dan pepohonan besar. Aku senang sekali dan kami pun selalu bercanda. Gelak tawa kami tak pernah berhenti sepertinya, karena semua terasa menyenangkan. Kesenangan itu mungkin karena jalan yang kami lalui menurun, sehingga tidak terlalu lelah mengayuh meskipun jalannya cukup jauh.

Sampai di ujung suatu jalan, terdapat sebuah makam di sisinya. Kami tiba-tiba berhenti, dan beberapa anak turun dari sepeda. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku juga ikut turun dari sepeda. Di jalan tersebut tampak tanah yang menurun, dan tak terlihat ujungnya. Beberapa anak laki-laki mencoba untuk melihat jalan itu.

Tiba-tiba ada yang berteriak “Eh, cepet lewat kene wae! Neng ngisor ono kali! (eh, lewat situ saja yuk! Di bawah ada sungai)”.

“Medeni ki, aku wedi! (serem, aku takut!)” jawab kami, yang sebagian anak-anak perempuan.

Aku melihat di ujung jalan aspal itu, terdapat jalan tanah yang menurun dan mengarah ke kiri dari aspal, sepanjang 100-an meter. Jalan tanah ini berujung pada sebuah sungai kecil. Yang menakutkan adalah di sepanjang kiri jalan tanah tersebut adalah kompleks pekuburan kampung yang masih rimbun dengan pohon kamboja dan rumpun bambu. Sungai di ujung jalan pun terlihat menyeramkan karena seperti terimbuni bambu yang lebat sehingga suasana menjadi sangat suram.

Kamipun berunding sejenak. Pertimbangan yang kami ambil adalah, jika kami pulang melalui jalan berangkat maka jalan akan menanjak dan jauh, sedangkan jika kami meneruskan jalan tanah itu kami tidak tahu sampai di mana ujungnya. Akhirnya kami memutuskan untuk jalan terus saja melewati jalan tanah dan menyeberang sungai kecil di bawah sana.

Karena jalan tanah dan agak basah, sulitnya minta ampun jalan di sana, apalagi dengan menuntun sepeda, karena kami tidak berani menaikinya. Aku menuntun sepeda dan mbak Ana sesekali membantuku. Sampai di sungai kami pun kami harus menyeberanginya dengan susah payah. Meskipun air tidak begitu dalam, namun menuntun sepeda di air tetap saja sulit karena sangat seret.

Suasana super serem! Bagaimana tidak? Di atas sungai banyak terdapat pohon-pohon besar, ada beringin juga yang terkenal angker dan kamboja di sela-sela makam. Aku sendiri takut, dan teman-temanku juga terlihat sekali takut, sangat jelas tergambar dari wajah-wajah tegang. Kami yang masih kecil ini pun merinding bersama.

Satu-persatu kami berhasil menyeberangi sungai. Aku pun berhasil. Namun ternyata kesenangan menyeberang sungai langsung hilang begitu melihat jalan di depan. Rasanya sial sekali. Setelah menuruni jalan tanah becek dan licin, menyeberangi sungai seram, kami juga harus melalui jalan tanah berbatu yang super menanjak. (Jika dipikir saat ini, wajar sekali jika menyeberangi sungai turun maka setelah itu harus naik  ). Kami harus menuntun sepeda ke atas. Rasanya capek sekali.

Ketika aku sudah di ujung tanjakan, terdengar teriakan-teriakan.
“Oi....oi......! Oneri tiba neng kali (oi....oi...!Oneri jatuh di sungai)”.

Aku dan juga lainnya langsung menoleh.

“Eh lha terus piye? (eh lha terus gimana?)” kata seseorang yang sudah di atas.
“Dhe e nangis lho, mbok ditulung (Dia nangis lho, tolongin dong)” jawab yang masih di bawah.

Aku hanya diam dan melihat ke bawah. Oneri terpeleset di sungai. Dia menangis, mungkin karena sakit terjatuh atau lebih mungkin juga karena ketakutan. Wajah menangisnya lucu banget, tapi aku tidak berani tertawa, tentunya hal ini tidak sopan dan aku juga tidak tega, meskipun jujur aku menahan tawa.

Akhirnya Oneri dituntun jalan oleh teman laki-laki, sepedanya juga dibawakan oleh teman. Aku sendiri hanya melihat kejadian itu dari atas, karena aku tidak mau turun lagi. Sungguh dari kecil sifat ini sudah ada pada ku. 

Perjalanan berlanjut. Di ujung jalan yang belum pernah kami lewati tersebut terlihat hamparan sawah yang menghijau, udara yang bersih, dan pemandangan yang indah. Kami berjalan menuntun sepeda menuju persawahan itu. Beruntung sekali ternyata areal persawahan tersebut kami kenal sehingga untuk pulang kita tahu arah dan jalannya.

Di bawah pepohonan rindang di tengah sawah, kami membuka bekal dan saling bertukar (Dewi membawa ayam  ). Saat makan, kami melihat tidak terlalu jauh di jalan raya ada rombongan kampanye PDIP sedang lewat dan bersorak-sorak. Kami ikut bersorak ria dan rasanya senang sekali berada di tengah teman-teman dan alam indah.

“Di malam ini , aku tak dapat
Memejamkan mata, terasa berat,....
Dongeng sebelum tidur...”

Lagu dari Wayang yang sedang tren itu mengiringi perjalanan kami pulang, di sela-sela nyanyian angin di hamparan sawah dan tawa ceria kami.

0 komentar:

Posting Komentar