Keramahan Dalam Angkutan Umum - Budaya yang Gagal Diwarisi

// // Leave a Comment




Menjelang akhir Mei, di suatu pagi  dalam perjalanan menaiki angkutan umum L-300 jurusan Kediri - Jombang, di dalam mobil yang penuh sesak yang bahkan pintupun tak dapat tertutup sempurna, terdesak oleh penumpang yang dipaksa memenuhi angkutan yang berjalan merangkak dengan suara memekak, aku melihat sesuatu yang menarik.

Dua orang bapak-bapak paruh baya dan beberapa ibu-ibu seakan asyik memperbincangkan sesuatu hal dalam bahasa Jawa yang akrab. Apa yang mereka bicarakan, tentu aku mengerti. Bahasa Jawa adalah bahasa ibuku. Jika biasanya angkutan umum adalah mesin tidurku yang paling ampuh, maka saat itu perhatianku tertuju pada orang-orang itu, aku tidak tidur. Bukan apa yang mereka perbincangkan dengan asyik itu, tapi fakta bahwa mereka ternyata belum pernah kenal sebelumnya.

Terbersit dalam pikiranku.
"Orang baru pertama kali bertemu, bisa-bisanya langsung akrab begitu. Ngobrol ngalor ngidul tentang rumah, anak, pekerjaan bahkan sampai membahas persoalan negara yang bisa bikin pusing".

Seketika aku ingat cerita dosenku, beberapa tahun yang lalu. Dia bercerita bahwa salah satu perbedaan antara generasi anak muda sekarang dan generasinya dulu adalah kebiasaan beramah-tamah di angkutan umum. Jika dulu angkutan umum bisa menjadi salah satu sarana beramah-tamah dan berkenalan dengan orang baru, maka saat ini angkutan umum hanya sekadar sarana transportasi terlebih di kota besar . Jika generasinya dulu saling menyapa dan berbincang di angkutan umum, generasi muda saat ini cenderung asyik dengan dunianya sendiri.


Ngobrol akrab dengan orang yang baru ditemui dalam angkot atau bus kota bagiku (dan aku berani mewakili generasiku) saat ini sungguh tidak terbayangkan. Jangankan ngobrol, untuk menyapa, tersenyum, atau bahkan melihat pun terkadang enggan. Aneh juga rasanya bagiku untuk tiba-tiba mengajak ngobrol orang yang sama sekali asing.  Dan mungkin ketika aku melihat orang lain yang melakukan hal itu pun, pasti aku akan berpikir bahwa orang itu  orang "aneh". 

Ada cerita unik tentang keramahan yang dianggap "alien" ini. Suatu ketika Roma, temanku bercerita. Dia sedang berada di angkot 03 kota Bogor, dalam mobil angkot yang sempit dipenuhi orang-orang muda,  tidak ada interaksi antara manusia di dalamnya kecuai sentuhan fisik karena harus umpek-umpekan dalam bangku mobil yang dipaksa harus berformasi 4-6. Lalu ada seorang gadis SMA yang menaiki angkot itu. Gadis SMA tersebut membawa sebungkus gorengan. Sebelum memakannya, dia menawarkan gorengannya itu ke seluruh penghuni angkot. Jadilah gadis itu "Alien" di dalam angkot, dianggap aneh. Bukan berarti jelek, hanya saja aneh, tidak umum. Dia menjadi mahkluk asing di tengah-tengah penghuni planet angkot yang sibuk bermain gadget, memencet-mencet keypad, mengelus-ngelus screen, menulikan telinga dengan headsetnya, atau sekedar melamun dalam dunia lelah yang menindas.

Bandingkan dengan ibu-ibu kita, nenek-nenek kita, generasi sebelum kita. Pernahkah melihat nenek ketemu nenek di angkutan umum, tidak saling kenal sebelumnya, tiba-tiba menyapa, menanyakan tujuan, menanyakan kerja, keluarga, dan pada akhirnya ngobrol ngalor ngidul jika tidak kecapekan dan kemudian tertidur.  Atau ibu-ibu yang hanya sekedar bertanya "Mau kemana Bu? Anaknya lucu ya, udah umur berapa? Oh iya harga bawang sekarang naik ya?.....". Keramahan yang muncul begitu saja, mengalir seperti sebuah ritme lagu yang mengalun mulus. :)

Masih di angkutan L-300 dari Kediri menuju Jombang, aku bertanya dalam hati.
"Kenapa ya? Kok bisa ya? Apa yang membedakan kami? "
Entahlah. Bisa saja aku menuding perkembangan teknologi, menuduh sistem pendidikan, perkembangan masyarakat, atau apapun lah yang menyebabkan perbedaan dan gap generasi ini. Bagiku itu tidak terlalu penting.

Aku, sebagai penghuni generasi masa sekarang yang hampir tidak mengenal alien bernama "keramah-tamahan dalam angkutan umum" merasa bahwa sesuatu yang asing tersebut adalah keindahan. Benar-benar indah. Ada semacam rasa rindu, rasa ingin pulang, rasa deja-vu dan rasa damai ketika aku bisa menyaksikan orang-orang beramah-tamah dalam angkutan umum itu. Aku tersenyum, mencoba semanis mungkin tersenyum. Ingin rasanya aku ikut bergabung dengan obrolan-obrolan di mobil L-300 kala itu, namun aku sungkan. Mungkin efek beda generasi :).

Hingga tiba akhirnya Bapak-bapak di sampingku bertanya padaku;

"Adek ini dari mana asalnya?,...."

---- Catatan perjalanan Kediri-Jombang Akhir Mei 2013------


0 komentar:

Posting Komentar