Sore sudah mulai hilang di tengah macet Darmaga |
Berbagai kalimat kuucapkan sore tadi, mewakili kekagumanku pada langit sore ini di Darmaga. Darmaga
yang kukenal seperti hilang sore ini, atau mungkin saja aku belum terlalu mengenalnya. Hujan sesaat tadi seperti membuka tabir baru tempat tinggalku selama hampir satu dekade ini. Woahh,... Rasanya membuncah, pecah, meledak, bertaburan, berhamburan semua yang bisa mewakili kekaguman yang tak terungkap dalam kata yang dapat mengartikannya. Sungguh, aku mulai mencintai Darmaga dan langit sorenya.
Siang itu kuhabiskan beberapa jam bersama Cikal, menonton kisah lama Matsu Jun dan Koyuki di Kimi wa Petto. Wajah Momo-Matsu Jun ternyata berhasil menyihir keroncongan di perutku yang sejak pagi hanya kusuguhi 5 keping biskuit Marie. Entahlah Cikal, sepertinya dia juga cukup terpengaruh pesona ikemen satu ini. Hingga akhirnya sore, jam 4, aku tak tahan lagi. Lapar sungguh luar biasa, meski nafsu makan tidak kunjung hadir. Kami putuskan untuk keluar, membeli mie aceh di tempat langganan. Hujan sejam yang lalu juga sudah reda, hanya menyisakan jejak-jejak tipis air di permukaan jalanan, dan tentunya di langit. Sungguh keputusan yang sangat tepat.
Makan sore di warung mie aceh bernama Kurnia tidak menjadi hal istimewa. Seperti biasanya saja. Meski sempat berkomentar porsi yang berkurang namun tetap saja perut rasanya penuh, kekenyangan akibat es jeruk seporsi gelas besar. Sungguh penuh perut hingga terasa keras menggelembung. Haa...
Hampir jam 5 ketika kami keluar dari warung dan kami disambut cahaya yang sangat menyilaukan di arah barat.
Sumpah!!! Silau yang membutakan mata. Sebelah tangan kuletakkan di kening membentuk payung untuk melindungi mataku. Bahkan Cikal yang bersamaku mengatakan bahwa cahaya sore ini terlalu silau dan membuatnya pusing jika harus mengarahkan pandangan langsung ke arah barat. Suasana jalan Raya Darmaga menuju Kampus IPB sungguh padat, macet di antara silau ini. Namun entah apapun itu, aku merasa sore ini istimewa. Silau ini sungguh mempesona. Di balik mentari yang seakan hendak jatuh di ufuk barat itu terdapat langit mempesona yang digelantungi awan-awan jingga.
Kami lanjutkan tujuan kami untuk berbelanja sejenak di kompleks pertokoan BARA (akronim familiar dari Babakan Raya) yang merupakan miniatur Indonesia-segalanya ada. Kurasa Cikal berbelanja terlalu lama di toko kelontong yang menjual ember dan plastik-plastik segala rupa. Sesak toko yang dijejali pengunjung membuatku tak betah berlama di dalamnya. Aku tunggu saja di luar toko. Kulayangkan pandang ke arah selatan dan tiba-tiba aku tercengang. GUNUNG SALAK! Yaa... Gunung Salak di selatan pandangku. Gunung yang telah kupandang selama hampir 9 tahun ini. Sungguh! Gunung Salak tak pernah seindah ini.
Aku sungguh tak pandai mendeskripsikan. Gunung Salak yang biasanya tertutup kabut, sore ini terpampang bebas. Cahaya silau barat tadi membentuk terang sempurna di lembah-lembah di kaki gunungnya. Bahkan kulihat kebun-kebun, rumah-rumah, jurang-jurangnya terlihat sangat klasik (aku bingung memilih kata. Klasik adalah definisiku akan sebuah negeri dongeng impian yang tidak pernah kutemui dalam nyata). Jarak pun seolah hilang beberapa waktu. Puncak yang lebih gelap lebih membentuk aura magis yang aneh di pandanganku. Sungguh! Sore ini Gunung Salak indah. Indah. Kembali lagi, aku tak pandai mendeskripsikan.
Sepanjang jalan aku mengungkapkan kekagumanku hingga kurasa Cikal bosan mendengarnya. Tapi biarlah, biar saja dia ikut tertular euforia yang kurasakan. Dan tidak habis rasa kagumku, di langit tenggara muncul kaki pelangi. Sebuah pelangi pendek namun sungguh besar dengan bias warna sempurna. Mejikuhibiniu (Merah Jingga Kuning Hijau Biru Nila Ungu). Bias air hujan memberikan kesempatan pada cahaya mentari untuk menunjukkan keindahannya. Menjadi penyempurna suasana.
Aku dan Cikal pulang. Sepanjang jalan macet dengan suara bising kendaraan yang mengantri jalanan. Pelangi sudah beberapa menit kemudian cepat menghilang. Langit barat sudah tak sesilau tadi. Di timur terlihat Gunung Gede Pangrango diselimuti awan hitam menggulung. Suasana dengan cepatnya berubah. Namun daripada itu, aku bahagia. Aku merasakan apa yang alam coba sampaikan. Tak perlu dimengerti, hanya terasakan. Dan mengetahui itu aku sungguh bahagia.
Aku heran. Apakah orang-orang yang terjebak macet di jalanan itu juga merasakan indahnya sore ini?
Atau hanya aku? Adakah orang lain?
Entahlah,...
0 komentar:
Posting Komentar