Bumi Manusia (By: Pramoedya Ananto Toer)

// // Leave a Comment
img source:here
Judul     : Bumi Manusia (Bag. I Tetralogi Buru)
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Bahasa : Indonesia
Tebal     : 535 halaman
Penerbit : Lentera Dipantara, 2011 (cetakan ke-11)

Sinopsis:

Minke adalah sedikit dari pribumi berdarah priyayi yang menerima pendidikan  bergaya Eropa yang kala itu masih sangat terbatas hanya untuk kalangan bangsa kulit putih. Pendidikan dan pengetahuan telah membentuk pribadi Minke sebagai pribumi terpelajar yang menentang segala kerendahan dan kehinaan budaya pribumi yang merendahkan martabat bangsa sendiri di hadapan bangsa asing. Berlatar belakang di Jawa pada awal abad ke-20,  ini adalah kisah Minke di Bumi Manusia, perjuangannya dan pemikirannya dalam situasi kala itu.

Kemudian Minke berkenalan dengan Annelies, seorang gadis cantik blasteran Eropa - Jawa, anak seorang Tuan Belanda yang sangat kaya raya dari gundik bernama Nyai Ontosoroh. Kecantikan Annelies memikat hati Minke yang memang sejak awal menyukai perempuan berdarah Eropa. Annelies pun jatuh hati dengan Minke.  Gadis yang hidup dalam kondisi keluarga yang tidak stabil membuatnya jarang bergaul dan sangat rapuh. Kedatangan Minke dalam hidupnya menjadi sangat berharga. Berkebalikan dengan Annelies, Nyai Ontosoroh adalah sosok perempuan pribumi yang sangat kuat. Berbagai hal pahit yang dialami selama hidupnya telah membentuk dirinya menjadi pribadi yang kuat. Setelah ditinggal pergi Tuan Belanda yang menggundiknya, Nyai Ontosoroh adalah tulang punggung perusahaan keluarga  tuannya. Nyai Ontosoroh dan Annelies adalah daya tarik keluarga itu bagi Minke.


Selama dekat dengan keluarga ini, Minke mengalami banyak gejolak dari dalam maupun dari luar. Banyak hal terjadi baik itu dukungan maupun pertentangan-pertentangan yang muncul dari pilihan-pilihan yang dipilih oleh seorang Minke. Banyak orang-orang yang dikenal Minke yang  memberinya pandangan-pandangan baru tentang hidup. Hingga pada suatu muncul permasalahan berat yang mengharuskannya melepas Annelies meskipun Minke dan Nyai Ontosoroh telah melakukan berbagai perlawanan dan usaha untuk mempertahankannya. Pada akhirnya mereka tetap kalah, entah sampai kapan. 

Pendapat  saya: 

Terlalu banyak pujian yang telah dituliskan maupun diucapkan untuk Bumi Manusia, baik oleh ahli sastra maupun orang biasa. Dan sebagai orang biasa, saya akan menambahkan satu untuk deretan pujian itu. Ya, bagaimana tidak? Membaca kisah Minke dalam buku ini seakan-akan emosi dan pikiran terbawa, melintasi ruang waktu menuju menuju 100 tahun yang lalu, ketika Indonesia masih dipenuhi oleh 'penjajah' Belanda yang katanya sempat berkuasa di bumi pertiwi ini. Latar terasa nyata dan sangat nostalgic meskipun sebelumnya saya tidak pernah membayangkan kondisi Jawa awal abad 20. Tidak hanya latar, namun tokoh dan pemikirannya juga menguasai emosi pembaca.

Bagaimana gejolak yang dialami oleh Minke sebagai pribumi yang mendapatkan pengetahuan ala Eropa, bagaimana kehidupan keras Nyai Ontosoroh sebagai perempuan pribumi yang menjadi gundik dan sosoknya yang keras dan kuat, bagaimana hubungan Minke dengan keluarga dan sahabat-sahabatnya, tergambarkan dengan baik di kisah ini. Hal-hal yang disampaikan oleh penulis melalui tokoh-tokoh dalam buku ini adalah sebuah kritik sosial akan kondisi kebangsaan kala itu dan bahkan hingga masa kini.


Membaca buku ini menjadi suatu keharusan bagi saya dan mungkin juga bagi masyarakat Indonesia yang lain. Tidak banyak karya sastra yang memakai latar kondisi Indonesia saat itu, dan Bumi Manusia menjadi salah satu karya sastra yang paling penting. Gejolak yang dialami Minke dan Nyai Ontosoroh adalah penggambaran gejolak Bangsa Indonesia untuk bangkit dari keterpurukannya selama berabad-abad. 

0 komentar:

Posting Komentar