Antara Tukang Jaga WC dan Perubahan Iklim

// // Leave a Comment
Antara alumni fahutan, mantan pegawai HPH yang bangkrut, penjaga WC umum, ilmu kehutanan dan Climate Change.

Mendengar 5 frasa di atas, apa yang ada di pikiran kamu?

1. Alumni fahutan ipb
2. mantan pegawai HPH yang bangkrut
3. penjaga WC umum
4. penerapan ilmu kehutanan
5. Climate change

Seseorang, Mbak Rita namanya (ini bukan nama samaran :-P), bahwa dengan konsep 'integrated' atau keterpaduan maka semua hal itu selalu ada kaitannya, ada hubungannya, dan ada sangkut-pautnya. Ah, masa iya.

Bicara tentang keterkaitan, selintas aku ingat dengan 'butterfly effect'nya Edward Lorenz dengan teori chaos yang pernah dikemukakan Henri Poincare. Katanya, "kepakan kupu-kupu di Brazil bisa menyebabkan tornado di Texas!". Atau dengan kata lain, kepakan kupu-kupu itu berhubungan dengan si angin tornado yang letaknya jauh sekali. Nah, hubungan antara kepakan kupu-kupu dengan tornado itu apa? Aku juga gak tahu. 

Katanya, si kepakan kupu-kupu adalah kondisi awal sebagai syarat terjadinya peristiwa kemudian. Perubahan sekecil apapun akan memberikan hasil akhir yang sama-sekali berbeda. Kok jadi mirip hukum sebab-akibat ya? Jika ada sebab pasti ada akibat, meskipun akibatnya itu random atau tidak jelas. Lha, terus gimana mengkaitkannya jika hubungannya acak? Entah! Kenapa juga aku malah jadi kepikiran pertanyaan bak ahli matematika dan fisika (meski dulu pernah jatuh cinta juga dengan mereka. hahaha). Malah kemana-mana ini. Balik lagi ke 5 frasa itu. Aku mencoba menantang diriku sendiri untuk mengkaitkan ke-5 hal itu. Tidak perlu lama-lama mikir, cukup membuka kepala dan langsung menulisnya di sini dalam waktu entah berapa lama sampai aku bosan sendiri.

"Ada seorang alumni perguruan tinggi, dapat gelar akademik di bidang kehutanan, pernah bekerja untuk satu perusahaan HPH di tanah Borneo. Karena perusahaan bangkrut, maka jadilah alumni berhenti dari pekerjaannya. Mungkin karena kepepet atau hidup sedang tak berpihak kepadanya, maka si alumni terpaksa pulang kembali ke kampung halamannya di Jogja, bekerja ala kadarnya, 'apa
saja yang penting halal' mungkin.

Hingga kemudian seorang juniornya, yang satu almamater dengannya secara tak sengaja bertemu di depan sebuah WC umum di Stasiun Lempuyangan Jogjakarta. Sebut saja nama sang junior ini Rein. Kala itu Rein masih menjadi mahasiswa, sedang mengurus tugas kuliahnya di Kota Pelajar itu. Karena memang si Rein ini sangat ramah, berbincanglah dia dengan seorang penjaga WC di stasiun kereta yang tak dinyana adalah seorang senior! 

Kesamaan almamater memang menjadi bahan perbincangan seru. Aku bisa bayangkan itu. Aku dulu juga pernah bertemu dengan senior satu almamater di Kampar Riau. Meski baru sekali ketemu dengan senior yang kala itu jadi pejabat desa, rasanya ngobrol lancar jaya. Tidak jauh-jauh yang dibicarakan, pasti seputar kos-kosan dan dunia malam BARA. :D Kira-kira apa yang diobrolkan sama Rein dan sang alumni tadi ya?

Aku dan Bang Rizal, senior nemu di Riau

Waktu-pun berlalu sudah 10 tahun ketika aku menulis kisah ini. Akupun juga baru mendengarnya beberapa hari lalu dari Om Rein, yang juga adalah seniorku dan sekarang sudah alumni. Jadi si tokoh utama alumni penjaga WC tadi adalah seniornya seniorku. Hahaha.. Malah ribet sendiri.

Nah, terhadap kisah ini, ada yang berkomentar bahwasanya 'ilmu kehutanan juga bisa dipakai di banyak tempat'. Dalam obrolan ini ya untuk bekerja sebagai penjaga WC'. Kamu kebayang tidak? Jika kamu, misal seorang sarjana kehutanan, entah karena kepepet ataupun lainnya, kamu jadinya bekerja sebagai penjaga WC umum. Setelah mengenyam pendidikan kehutanan selama minimal 3,5 tahun, kira-kira ilmu mana yang bisa terpakai untuk pekerjaanmu itu?

Apa dendrologi? Inventarisasi hutan? Pemetaan wilayah? Ekologi hutan? Pemanenan kayu? Kimia kayu? Atau,....Aku malah jadi mendaftarkan mata kuliah. Padahal sudah banyak orang bilang jika ilmu itu tak sebatas mata kuliah. Ilmu itu tak sebatas slide ataupun diktat yang dikasih dosen. Ilmu itu bisa ini bisa itu. Aku pun tak tahu definisi jelas ilmu. 

Jadi jika disuruh membuat daftar ilmu yang didapatkan ketika kuliah ya agak susah. Bisa saja aku membiaskannya dengan makna 'pengetahuan' alias sesuatu yang aku tahu (aku rasa aku tahu). Sedangkan ilmu DAN pengetahuan adalah dua hal yang beda. Kalau sama, pastinya jadi 'ilmu ATAU pengetahuan'. 

Sekarang aku mulai berandai-andai, apa yang seandainya terjadi jika aku seorang penjaga WC. Ah, setiap hari kerjaku dimulai jam 9 pagi dan pulang jam 3, ganti shift sama penjaga berikutnya. Kerjaku hanya duduk dan menunggu orang buang hajat, memastikan mereka membayar seribu perak sekali main. Mungkin dalam sehari bisa dapat setoran kotor 50 ribu? 100 ribu? Dari setoran bisa dapat 30 ribu mungkin per hari. Terbayang betapa bosan waktu berjalan, terlebih jika sepi, duduk sendiri memandang peron kereta yang kosong. (Ah, aku baru ingat jika aku bekerja di stasiun) Karena aku seorang sarjana kehutanan, mungkin aku masih tertarik bicara hutan. Aku mungkin akan mengajak orang-orang di sekitarku berbicara tentang hutan, mengkampanyekan tentang perlindungan hutan?

Ahh, tapi kok rasanya malu juga ya. 'Ketahuan jika seorang sarjana cuman jadi tukang jaga WC nanti'. Oalah, aku masih orang Jawa ternyata. Rasa isin (malu), gengsi itu masih ada pastinya. Belum lagi tak tahan olok-olok dan cibiran yang tak terdengar. Sudah jadi rahasia umum itu jika banyak wong Jowo kadang hobi 'ngrasani' (mempergunjing) orang, apalagi yang begini ini, isu sangat seksi sekali. 'Alah, adoh-adoh sekolah, tiwas diragati yo mung gur dadi tukang jogo jedhing!(Halah, jauh-jauh sekolah, sudah dibiayai, ujung-ujungnya cuman jadi tukang jaga WC', mungkin itu yang akan didengar dari bisik-bisik sana-sini. Padahal aku juga sempat kepikiran bahwa orang yang takut dirasani itu sebenarnya adalah tukang ngrasani. Lha, iya kan? Waduh! Jangan-jangan aku ini sebenarnya tukang gosip yang tidak sadar diri! Sungguh bahaya. :-0

Lupakan sejenak 'rerasan' / gosip dulu. Mari kembali ke ilmu kehutanan (atau sebenarnya ilmu kehidupan?). Aku rasa, meskipun dipaksakan seperti apapun, akan sulit menemukan titik temu antara ilmu kehutanan dan tukang jaga WC. (Mohon ingat lagi definisi 'ilmu' ku). Bisa sih pasti bisa karena tak ada yang tak mungkin katanya. Tapi pengalaman hidup saat sekolah/ bekerja di bidang kehutanan itu selalu bisa digunakan. Misalnya saja, waktu sekolah kehutanan diajari tentang gimana caranya analisis vegetasi. Nah, pas jadi tukang WC bisa saja ilmu anveg dipraktekkan, misalnya 'sabar'nya ngukur dan ngolah data dipakai untuk 'sabar' menghadapi pungli. Halahh,... nyambung gak tuh? :D ;-D

Pengalaman hidup adalah sesuatu yang sangat general, umum tapi sekaligus pribadi. Pengalaman yang kurasakan sudah menjadi hak patenku sejak aku lahir, begitu pun juga kamu dan semua orang. Tidak ada seorangpun yang bisa menggantikan hidup orang lain kan. Tapi kita bisa juga berbagi cerita, lewat tutur kata, wacana, apapun medianya. Pengalaman yang dibagikan pada orang lain akan melatih imajinasi si penerima. Aku tak bisa merasakan apa yang kamu rasakan, tapi aku bisa membayangkan kira-kira apa yang kamu rasakan! Yaaa.. Itulah kekuatan imajinasi.

Balik lagi,

Ngomongin perubahan iklim pasti akan panjang. Seluruh dunia juga sedang ngomongin itu. Nah, perubahan iklim ini apakah mungkin mempengaruhi perubahan kerja si bapak alumni yang beralih profesi? Sebelum itu, aku harus yakin dulu bahwa perubahan iklim ini memang benar-benar terjadi. Jika aku sendiri tak percaya dia ada, bagaimana aku bisa meng-kambing hitam-kannya. Sama seperti nyalahin setan, tapi tak percaya setan itu ada. Nembak bodongan seperti nembak SIM. Hehehe, nyambung lagi gak tuh. Oke, aku percaya perubahan iklim itu benar adanya. Secara gampangannya, aku merasa sekarang lebih panas, musim sudah gak teratur lagi.

Karena aku sudah percaya, sekarang aku boleh dong menuduhnya. ;-P
Sebelumnya aku mau cerita dulu tentang kejadian beberapa waktu lalu saat aku ngobrol dengan teman bule-ku di Amrik sini.

Obrolah pertama dengan Joy, seorang perempuan forester nih.
Aku, "so how about the fire cases in Oregon recently?"
Joy, "Well, most of cases are caused by lightning. It's natural thing here. And I think that mother nature is changed. Of course, it effects the fire too. Climate change is already happened here!"
Aku, "In other words, the change is natural. So, what can we do then?"
Joy, "Nothing much that we can do. We could only try to prevent that but mother nature has her own laws."

Obrolan kedua dengan seorang kawan juga, Grad namanya, aktivis sungai di sini.
Aku, "You know Grad, in my country, there's a river called Ciliwung that always flooded every year. In the past, the flood was only once in 4-5 years."
Grad, "Why it happened?"
Aku, "People said that it because the deforestation and land convertion in the upstream."
Grad,"How about the rainfall?"
Aku, "Actually I don't know about the exact amount of the rainfall.". Aku mulai gelagapan nih, jadi tahu kalau aku tidak tahu. Mau sotoy tapi gak bisa. Lalu timbullah di kepalaku si kambing hitam.
Aku, "Or maybe it's because of climate change?"
Grad, "Yeah, exactly! You need to think about that too. Everywhere floods happen young lady. It's not only in deforestated area but almost everywhere in this world."

Jadi,... begitulah kira-kira. Perubahan iklim adalah kambing yang sangat hitam yang bisa disalahkan sebagai penyebab semua kekacauan sistem alam ini. (Kacau? atau berubah? Berubah kan bukan berarti kacau?) Sebagai bagian dari alam, perubahan pun pasti dirasakan juga oleh manusia, tak terkecuali si alumni tadi. Untuk menarik garis antara perubahan iklim dan si alumni tentu bisa panjang. Ibarat climate change itu kupu-kupu di Brazil dan terdamparnya si alumni di WC Lempuyangan itu adalah tornado di Texas.  Eh, balik lagi ke butterfly effect deh. Tapi ini logikanya berbalik deh ya, kalau kepakan kupu-kupu itu kondisi awal yang kecil sedangkan perubahan iklim adalah sesuatu yang besar dan general. Jadi ngayal, padahal sudah dijelaskan (dari wikipedia si serba tahu) bahwa butterfly effect umumnya dipakai untuk cuaca. Eit, tapi perubahan iklim kan melibatkan cuaca juga ya.

Sebagai manusia yang tunduk pada hukum alam atau bahasa impor kerennya Sunnatullah, ya kita harus ngkikut kehendak alam. Jika perubahan iklim adalah tanda bahwa ibu alam ingin berubah, bisakah kita mencegahnya? Aku rasa tidak. Yang bisa kita lakukan ya menyesuaikan diri, adaptasi. Si alumni tadi juga mencoba beradaptasi. Jika hutan tak bisa lagi memberi rejeki, mungkin WC bisa. Sah-sah saja selama masih tidak mencuri. (Meskipun mencuri bisa dibilang adaptasi juga. :-P)

Tapi, kemudian ada mengganjal lagi. Bukankan manusia yang sering disalahkan atas perubahan iklim ini? Benarkah ini salah manusia? Benarkah manusia penyebabnya? Global warming lah (yang sering dipelesetkan sebagai 'Gombal maning'), deforestasi, polusi, dan banyak lagi.... Jika itu nyata juga, seolah-olah logika jadi dibolak-balik. Alam berubah karena manusia sedangkan manusia katanya tunduk pada hukum alam. Pusing kan ya.. Aku sendiri juga tak paham kenapa bisa kepikiran seperti itu. Kadang terpikir bahwasanya manusia sekarang itu sudah berlagak seperti 'Tuhan', serba mengatur. 'Act God' kalau kata Sara, seorang kawanku lagi di sini. Kalau menurut kamu gimana?

....
Dan ternyata sesuai dengan janjiku di awal tadi, aku akan berhenti jika aku mulai bosan menulis ini. Dan aku rasa aku mulai bosan sekarang. Bosan karena pusing, atau memang sudah jam setengah tujuh petang yang mengharuskanku pulang ke rumah dulu. Musim Gugur sudah mulai di sini dan dingin malam sudah menantiku di luar sana.

Tentang 5 frasa di awal, coba kamu pikir sendiri keterkaitannya. Hehehe...

Sampai ketemu lagi!



Portland (09/15/2014)

0 komentar:

Posting Komentar