Kabur dari TPA

// // Leave a Comment
(Kisah masa kecil yang menyenangkan untuk dikenang)

Saat itu aku masih kelas 2 SD. Di sekitar rumahku masih sedikit tempat untuk mengaji, untuk belajar membaca Al Qur'an dan untuk belajar agama Islam. Namun begitu, Ibuku ingin anaknya mendapatkan ilmu agama sedini mungkin. Aku pun didaftarkan di sebuah TPA  (Taman Pendidikan Al Qur'an) yang berada di desa tetangga yaitu Desa Banaran di kota kecil kelahiranku Boyolali. Tentunya aku juga tidak sendiri, beberapa temanku ikut mendaftar mengaji juga termasuk teman baikku, Purwanti.

Kesan pertama ketika aku memasuki TPA itu adalah terkagum-kagum. Aku masih sangat ingat bahwa TPA di Banaran ini benar-benar besar. Terdapat beberapa kelas-kelas yang membagi santri berdasarkan tingkatan belajarnya. Entahlah ada berapa kelas, mungkin 4 atau 5 atau mungkin lebih.  Aku tidak terlalu ingat. Kelas-kelas yang memanjang itu berujung pada sebuah pelataran yang cukup luas. Di depan pelataran itu ada masjid besar. Ada beberapa orang berjualan makanan ringan anak-anak. Salah satu penjual yang paling berkesan bagiku adalah seorang nenek tua yang menjual bubur kanji campur kelapa dan juga kripik singkong manis (kering). Nenek itu juga yang berjualan di depan SD ku. Rasa bubur dan keringnya enak dan aku masih ingat betul bagaimana manisnya di lidah kecilku. Mungkin saat kutulis catatan ini nenek penjual itu sudah meninggal. Dulu saja dia sudah sangat tua, mungkin sekitar 70 tahunan.

Selama berhari-hari di TPA, ibuku selalu mengantar, menunggu, dan menemaniku sampai pulang. Ibuku tidak sendiri, beberapa ibu-ibu lain tetanggaku banyak juga yang mengantar dan menunggui anak-anaknya. Lumayan juga jarak TPA dari tempat tinggalku. Setelah aku didaftarkan mengaji di TPA, beberapa anak tetangga juga ikut didaftarkan di TPA yang sama. Aku masih ingat Mbak Benny dan Mbak Evin, 2 orang tetanggaku yang menyusul.

Hari-hari di TPA kulalui dengan gembira. Aku senang bisa belajar di tempat yang baru, teman baru, ilmu baru, dan tentu saja jajanan baru. Bahkan ustadku pernah memuji jika tulisan arabku bagu. Senang sekali rasanya. Hehehe. Hingga pada suatu hari yang samar-samar tersimpan dalam ingatanku. Sesuatu hal yang sangat kusesalkan terjadi. Satu hal yang membuatku kapok untuk mengaji di tempat itu lagi. Dan hal itu pulalah yang akhirnya mengakhiri masa belajarku di TPA Banaran.

Sore itu ustad pengajarku, aku lupa namanya dan yang kuingat hanyalah seorang bapak berperawakan besar, mengajar di kelasku. Kelas Jilid 1, kelas pertama dalam tingkatan TPA. Aku masih ingat dia berkata pada santri-santrinya, "Ayo yang paling duluan ngaji, nanti pulangnya cepat". Kupikir itu berarti bahwa jika aku duluan mengaji maka aku bisa pulang lebih awal. Karena aku bersemangat untuk segera pulang akhirnya aku benar-benar mengaji duluan dan setelah selesai aku keluar kelas. Ya kupikir sudah boleh pulang karena tugasku sudah selesai. Aku keluar dan menemui ibuku, kukatakan bahwa sudah selesai dan boleh pulang. Rasanya sedikit bangga karena bisa lebih dulu selesai dibanding yang lainnya. Dan suasana TPA di luar ruangan ketika pelajaran masih berlangsung itu sungguh sesuatu yang baru bagiku.

Aku jajan dan memakan jajananku di bawah pohon rindang, di tempat duduk yang ditempati oleh sejumlah ibu-ibu, termasuk ibuku. Tidak terlalu lama, mungkin hanya sekitar 10-15 menit aku duduk-duduk, tiba-tiba seorang teman sekelasku muncul memanggilku. Aku disuruh balik ke kelas. Lho kok? Aku bingung setengah mati. Tadi sudah boleh pulang kok ini malah disuruh balik ke kelas lagi? Aku merasa tidak bersalah, tapi aku malu setengah mati. Sepertinya ada kesalahpahaman antara aku dan ustadku. Aku menolak masuk. Malu ku tidak mengijinkanku untuk masuk lagi ke kelas itu. Temanku kembali ke kelas dan kembali lagi keluar untuk mengajakku masuk. Aku masih menolak. Aku malu. Gengsi. Pada akhirnya dia berkata jika Ustad akan keluar dan menghampiriku. Oh tidak! Aku takut bertemu ustad. Aku malu bertemu teman-temanku nanti jika mereka sudah keluar kelas. Aku benar-benar malu, takut, dan gengsi bercampur aduk jadi satu. Aku memilih untuk kabur.

Aku berlari dan terus berlari. Kutinggalkan ibuku, kutinggalkan teman-temanku, ustadku dan TPAku. Ketakutanku membuatku tak kuasa untuk sejenak berhenti dan menengok kembali ke belakang. Seakan-akan aku hanya ingin cepat pulang, menjauh dari TPA secepat mungkin. Jarak yang jauh tak kupedulikan. Sampai sekarang pun aku masih bingung bagaimana bisa aku menghafal jalan yang cukup jauh berbelok-belok dan aku tidak tersesat.Waktu itu rasanya seperti sedang dikejar-kejar.  Aku sampai di rumah dalam waktu yang singkat. Ibuku baru sampai beberapa waktu kemudian.

Besoknya, aku disuruh berangkat mengaji. Aku menolak dan bersikeras tidak mau mengaji. Aku terlalu malu dan takut untuk bertemu kembali ustad dan teman-temanku. Aku benar-benar tidak ingin berada di TPA itu lagi tidak hanya sekali, tapi seterusnya. TPA Banaran bagiku sudah bukan tempat menyenangkan lagi. Acara kabur dari TPA adalah awal aku mogok mengaji, hingga akhirnya aku pindah ke TPA Annas, di Masjid Asrikanto yang meskipun di desa tetangga namun jaraknya cukup dekat dengan rumah.

(Mendidik anak kecil itu harus dengan sabar, penuh trik, dan tanpa kekerasan. Aku masih ingat betul bahwa ketakutanku waktu itu, rasa maluku, benar-benar bisa mengalahkan niatku untuk belajar. Jika boleh menyalahkan, aku akan menyalahkan ustadku yang memberi informasi yang tidak jelas itu. Eh, atau memang aku yang salah ya. Hahaha... )



----
Bermain pasir 

0 komentar:

Posting Komentar