Beberapa hari yang lalu aku sempat chatting dengan kawan semasa kuliah S1. Hanya obrolan ringan biasa, bertanya kabar karena sudah lama kami tak pernah saling sapa meski hanya di dunia maya. Dia nun jauh di sana, di benua berbeda sedang meneruskan belajarnya. Studi Phd yang bagiku itu adalah mimpi lama. Sedikit minder juga rasanya. (Oh, inikah artinya jarak? ).
Bukan itu yang mengganggu pikiranku. Ada satu hal yang sampai sekarang kupikirkan. Satu hal yang sempat kulupakan namun tiba-tiba seperti menamparku dan memaksaku untuk kembali bertanya dan mencari jawabannya.
Saat pertama kusapa dalam chat itu, kutanyakan apakah dia masih ingat denganku. Aku hanya meyakinkan saja, karena aku juga bukan orang populer yang harus dikenal semua orang.
"Halo Cin, apa kabar? Masih dengan aku tidak? Ini aku, Net yang dulu di kelas yang sama." sapaku.
"Oiya, kabar baik as always. Masih ingat dong, ini Net yang pinter kalkulus itu kan. Apa kabar juga?" jawabnya.
.....
(Chat berlanjut lagi sampai kami bosan)
Itu dia hal yang menggangguku. Teman yang sudah seperti setinggi langit itu mengingatku sebagai orang yang pintar di kalkulus. What? Kalkulus? Setahuku itu adalah mata kuliah yang cukup mematikan di kampusku, bahkan sampai sekarangpun. Dan aku diingatnya sebagai orang yang lebih di sana. Helloo... is that true? Aku sampai-sampai masih terbengong. Bangga juga sih, tapi lebih banyak bingung. Kenapa bingung? Karena aku tiba-tiba menjadi seperti kerdil dihadapan diriku sendiri di masa lalu. Apa yang terjadi?
Aku tahu, cukup tahu. Nilai-nilai akademik memberitahuku sudah sejak lama jika logika matematika, fisika, kimia dan ilmu hitung lainnya tidak pernah menjadi masalah serius bagiku. (Ya, kecuali ketika aku kelas 1 SMA dan kurang sreg dengan gurunya). Ilmu-ilmu itu membuatku seolah menjadikan aku bersinar di antara buramnya teman-temanku. Memang aku bukan yang terbaik, tapi aku berada di jajaran terbaik. Itu seingatku. Dan aku juga masih ingat, ketika aku pernah berdiri di puncak nilai, menjadi sorotan dan decakan kagum. Selebriti 5 menit ketika pembagian nilai. Ah, dan aku menikmatinya. Sungguh. Waktu itu.
Sekarang apa?
Aku terkungkung. Aku seperti orang bodoh, aku bahkan tidak tahu apa yang aku baca, aku tidak mengerti apa yang kupelajari. Dan itu adalah pilihanku. SOSIAL. MANUSIA. Sungguh berhitung dengan angka tak kan pernah menyulitkan aku seperti ketika aku harus berkutat dengan ilmu sosial. Aku seperti orang yang merangkak-rangkak, merayap hanya untuk mengejarnya. Apa yang salah? Kenapa aku tidak bisa secemerlang biasanya? Apa yang salah? Inikah rasanya menjadi orang bodoh? Bertubi-tubi pertanyaan menyerang kepalaku akhir-akhir ini. Apa sih maunya? Ini tentang apa sih? Haruskah serumit ini? Dan aku belum ketemu jawabannya. Pusing benar rasanya. Dan aku yakin pusing ini tidak akan hilang jika aku belum dapat jawabannya.
Aku memilih mendalami ilmu sosial karena aku penasaran dengan manusia dan kelompok manusia. Bagiku, spesiesku ini memang satu-satunya hal yang paling sulit dipelajari. Jika harus kulakukan hitung-hitungan dengan segala formula itu akan tidak pernah ketemu jawabannya. Hati manusia itu memang sedalam samudra, setinggi langit, dan seluas semesta. Bagaimana mengukurnya? Apalagi jika sudah berkelompok, manusia bisa menjadi "satu organisme" yang paling aneh, tidak masuk akal, irrasional, dan sekaligus mempesona. Itulah dulu yang membuatku jatuh cinta dengan ilmu sosial. Sampai sekarangpun aku masih berkutat di sana. Menjadi orang biasa saja tanpa riuh ramai sanjungan karena nilai sempurna.
Saat ini aku mulai ragu. Pertanyaanku adalah : benarkah ini benar?
Menanyakan kebenaran akan pilihan yang mulai terlihat sulit. Antara bersinar atau menjadi buram.
Aku ingat pernah mengatakan. Jadikan dirimu bersinar melakukan apa yang kamu sukai. Waktu itu aku masih percaya jika aku menekuni apa yang kusukai pasti akan bersinar dengan sendirinya. Tapi benarkah begitu? Lalu aku kenapa menjadi buram? Tertutup silau di masa lalu? Apakah sebenarnya kesukaanku ini adalah ilusi?
Ahh,.... Sesaat aku menyesal. Kenapa dulu aku tidak meneruskan berhitung saja. Jika aku konsisten di sana mungkin aku akan tetap berada di puncaknya. Ya, sempat terpikir itu. Seandainya saja aku tidak memilih jalan ini mungkin aku akan berada di antara bintang-bintang. Ya, begitulah hidup.
Aku mencintai matematika, aku mencintai fisika, kimia bahkan kalkuluspun aku suka. Namun mereka tak membuatku penasaran. Sosial lah yang membuatku penasaran. Itulah cinta. Aku bagai seorang perawan yang melepas jodoh ideal yang baik dan mapan, demi seorang laki-laki nakal, bocah gendheng, yang membuatku penasaran dengan tingkahnya. Dan saat aku mulai menjajagi hubungan, ternyata tak semudah yang kubayangkan. Aku butuh banyak waktu untuk menyesuaikan diriku dengan si bocah gendheng yang tak bisa kuprediksi. Dia terlalu arogan untuk bisa kutaklukkan. Dia tak bisa kuhitung, tak bisa kupeluk sesuka hatiku. Ah,... tiba-tiba terpikir bagaimana jika dulu aku bersama si pemuda baik dan mapan itu? Mungkin hidupku akan lebih baik. Ah, tiba-tiba bertanya seperti itu?
Ya sudahlah,..
Mungkin aku harus lebih bijaksana. Pilihanku tidak pernah salah, jika salah itu karena aku salah menjalaninya. Bukannya begitu ya? Aku akan coba cari strategi. Jika aku pandai berhitung, aku juga yakin dapat menghitung yang satu ini. Aku harus cari formula yang tepat. Aku harus bisa.
Terimakasih temanku yang jauh di Oregon sana, kamu mengingatkanku pada aku yang dulu. Dan kerinduanku untuk bersinar kembali muncul dalam dadaku.
(Renungan di dini hari yang selalu membuatku insomnia... )
0 komentar:
Posting Komentar