Perencanaan Tata Ruang dan Pemikiran Acakku

// // Leave a Comment

img source: here


Rencana tata ruang untuk menghindari konflik

Apa sih sebenarnya Perencanaan tata ruang dan lahan (Land use Planning)? Pendefinisian harus jelas agar tidak menimbulkan salah paham dan salah konsepsi.

Salah satu definisi yang ada adalah "Land use Planning is the general term used for a branch of urban planning encompassing various disciplines which seek to order and regulated in an efficient and ethical way, thus preventing land use conflicts."

Bahwa satu tujuan penting dari LUP adalah untuk menghindari munculnya konflik.

Kenapa bisa muncul konflik? Ada beda kepentingan untuk satu objek yang sama, dalam hal ini adalah ruang.  Satu ruang dibebani segala rupa kepentingan dari berbagai pihak. Karena itulah diperlukan perencanaan ruang yang baik dan efektif. Perencanaan ruang (LUP) dibuat untuk mengakomodir seluruh kepentingan dari berbagai pihak terhadap ruang dan lahan yang hanya ada satu.

Rencana harus dibuat berdasarkan kondisi berlangsung

Rencana adalah sesuatu yang dibentuk sebelumnya, maka rencana tata ruangpun seharusnya dibuat sebelum sesuatu. Bagaimana dengan kondisi yang sudah ada, sudah berlangsung, saat rencana itu dibuat. Kalau orang bilang itu sudah bawaannya.  Rencana yang dibuat harus memasukkan kondisi sekarang (atau kalau bahasa kerennya existing condition) dan mendasarkan rencana itu pada kondisi yang benar-benar sebenarnya. Disinilah dimulai pentingnya data yang benar. Maksudnya? Data tentang kondisi berlangsung yang shahih. Salah data di tahap perencanaan pasti buntutnya gak bakal benar.

Bagaimana jika kondisi berlangsung adalah masalah?  

Lalu bagaimana jika kondisi sekarang adalah kondisi yang tidak diinginkan? Maksudnya adalah jika rencana yang akan dibuat itu sudah menyatakan bahwa sesuatu kondisi itu salah. Aih ribet main bolak-balik bahasa. Pakai contoh bodoh saja.

Misalnya, ada sebuah villa mewah di kebun teh, ini mirip banget sama kondisi di puncak ya. Hehehe. Kawasan puncak kemudian ditetapkan dalam LUP sebagai kawasan lindung, yaitu misalnya semua harus berupa hutan, kebon ataupun kebon teh. Nah, adanya villa mewah tidak diijinkan dalam rencana ini. Tapi, si villa sudah ada di sana, bertengger lebih dulu di sana sejak jaman Belanda. Apakah si villa salah?

Jika hukum tidak berlaku mundur maka si villa enggak salah dong. Wong dia duluan di sana. Tapi, penetapan kawasan itu sebagai kawasan lindung juga punya dasar, misalnya: untuk mencegah  banjir di Jakarta yang semakin menggila. Salah satu solusinya adalah dengan menghutankan  kembali kawasan hulunya yaitu puncak. Tapi, kemudian ternyata di puncak sudah banyak yang bukan hutan lagi.  Apa mereka salah? Menurutku sih enggak. Selama bangunan itu dibuatnya sebelum peraturan ditetapkan. Apalagi, jika tanah yang mereka bangun adalah tanah sendiri. Tanah-tanah sendiri, mau diapakan juga terserah dong.

Nah, balik lagi deh. Bagaimana mensikapi kondisi pendahulu yang kemudian dianggap tidak sesuai. Tentu ini tidak mudah. Ibarat kita harus nyalahin senior yang sudah lebih dulu nangkring di dunia, dan lebih asin dari garam lautan. Kok? Kelamaan hidup kali ya. Hahaha.. Ngawur kemana-mana, nyantai dikit biar gak ngantuk.

Yang Penting Tidak Ada Yang Merasa Rugi

Pada dasarnya, sifat manusia itu tidak mau rugi, kalau bisa malah untung besar. Tapi sudah takdir jika selalu ada dua sisi yang saling berkebalikan, ada untung pasti ada yang rugi. Mana bisa semua impas? Nah, bagaimana caranya agar orang yang rugi/ sedikit rugi dan atau sedikit berkurang keuntungannya itu tidak ngamuk dan merasa dilanggar haknya? (Jadi ingat perkataan seorang kawan "kebebasan kita dibatasi kebebasan orang lain.) Bagaimana dalam tata ruang?

Menurutku, dalam tata ruang pun demikian. Semua orang tidak ingin rugi, kalau bisa untung. Bagaimana mungkin semua orang untung? Balik lagi, bahwa itu tidak mungkin berdasarkan konsep hitam-putih yang tadi kusebutkan. Bisa jadi asumsiku salah, tapi ini perlu untuk pijakan melangkah.

Komunikasi multipihak, itu penting! Wadah koordinasi dan Representasi

Nah, kembali ke si villa di Puncak, bagaimana mengatasi kesalahan yang sudah duluan lahir? Misalkan aku sang pemilik villa itu, maka aku juga tidak mau dong disalahin. Tapi, aku mungkin akan mengerti jika alasan yang dijadikan dasar kesalahan itu memang benar adanya. Bagaimana aku bisa tahu? Ya, ngobrol dong. Siapa yang harus ngajakin ngobrol? Ya, tentunya orang yang bilang waktu villaku itu salah. Siapa itu? Ya sudah pastinya yang berwenang.  Siapa sih? Ah ribet! Pemerintah! Pemerintah harus ngajak ngobrol.

Tentunya, yang diajak ngobrol gak cuman aku dong, pasti banyak lagi yang punya masalah serupa tapi tak sama. Mungkin ada yang pingin beli lahan di hutan lindung, ada juga yang ingin bangun pabrik di dekat pemukiman, atau mungkin saja orang yang gak pingin ngapa-ngapain yang hanya pingin nyelow di pantai. Mereka semua tetap harus diajak ngobrol. Kenapa? Karena ngomongin ruang itu ngomongin rumah bersama. Satu hal pasti akan berimbas pada yang lainnya. Agar semua orang tidak kaget dan shock terhapap perubahan rumahnya, makanya harus ngobrol bareng-bareng serumah.

Kenapa harus bareng? Karena orang itu bawaannya selalu curigaan, gak percayaen sama orang lain. (Atau aku saja sebenarnya. Hahaha) Ngobrol bareng akan meminimalisir kesalahpahaman, kesangsian dll serta meningkatkan kepercayaan, pengertian dan tentunya mempererat silaturahim. Selain menghindari berantem, ngobrol bareng juga bisa dapat pahala. Amin.

Tapi, gimana jika gak mungkin ngajak semua orang bareng? Nah, itu mah gampang. Sistem demokrasi keterwakilan itu jawabannya. (Au ah namanya apa). Ibarat aku pemilik villa, aku gak perlu juga kali ngajak seluruh keluargaku ke sana. Rumah lain pun begitu, wakilnya aja. Nanti dari desa ada wakilnya lagi jika tidak mungkin semua ikut, begitu seterusnya sama level tertinggi.  Mirip MLM ya sekilas. Karena itulah sebuah wadah koordinasi multipihak perlu ada. Di sanalah nanti perwakilan seluruh pemangku kepentingan bisa ngobrol bareng, curhat bareng, dan berencana bareng agar tidak rugi bareng-bareng. Lha kok.. Hehehe..

Semua Pemangku Kepentingan itu sama tingginya!

Tapi kemudian, muncul lagi masalah. Apa itu? Ada sejumlah orang yang doyan banget ngomong di depan orang lain, tipe-tipe pidato dan koar-koar. Namun, ada juga orang yang grogian deman panggung. Jangankan ngomong di depan banyak orang, baru duduk bareng orang tak dikenal saja sudah keringet dingin. Apalagi ini, disuruh ngomong di depan para pemangku kepentingan, yang tentunya akan banyak pejabat pemerintah juga di sana. Bisa ngompol di celana tuh. Maksudku adalah bahwa sistem keterwakilan itu juga sangat rawan. Semua harus memastikan bahwa mereka memilih wakil yang tepat, wakil yang gak demam panggung tapi juga gak lebay doyan koar-koarnya. Nah, harapannya adalah bahwa semua wakil itu dapat duduk bareng, sama tingginya, sama pedenya, dan sama aktifnya. Sehingga, hasil dari ngobrol bareng itu pun juga akan sama-sama enak nerimanya.

Pertanyaannya adalah, 'Apa itu mungkin'?

Bisakah petani duduk sama tinggi dengan direktur korporat, bisakah orang biasa sepede koar-koarnya para pejabat? Bisakah? Harus bisa! Dalam hal ini, semua pihak kedudukannya sama. Tidak ada tingkatan vertikal di dalam pemangku kepentingan dalam tata ruang. Jika ini bisa, maka kesempatan untuk mencapai rencana tata ruang idaman yang dapat menghindari konflik dapat diwujudkan.  Pe eR banget ya!

Agar masyarakat lebih percaya diri, bagaimana?

Bagaimana caranya?
Aku sendiri belum menemukan jawaban pasnya. Yang paling gamblang adalah, gimana caranya bikin itu pihak-pihak yang biasanya kurang PD menjadi lebih PD. Pihak yang malu-malu menjadi lebih berani berekspresi. Gimana? Tiba-tiba di kepalaku muncul istilah keren 'Community Development' dan 'capacity building',pembangunan masyarakat dan pengembangan kapasitas. Susah bahasanya, tapi pengertian gampangku adalah bikin masyarakat lebih pinter. Siapa yang bisa bikin orang lain pinter? Guru! Apakah guru SD? Bisa! Guru SMP, SMA, dosen? Bisa! Mulai ngaco lagi dah. Ampun!

Peran super penting ini seharusnya dipegang oleh pemerintah. Alasannya gampang, karena sudah jadi tugas negara kan untuk mencerdaskan rakyatnya. Kita bayar pajak kok. Tapi, banyak pada faktanya pemerintah belum mampu untuk itu. Sehingga, muncullah guru-guru swasta (non-pemerintah) yang berlomba bikin pinter masyarakat, mulai dari LSM yang bejibun banyak, perwakilan korporat yang kelebihan duit, dan lain-lain. Motifnya apa? Macem-macem mungkin, dari yang ngejar surga sampai ngejar proyekan dana. Macem-macemlah pokoknya. Ya, semoga saja sih guru yang didapatkan sesuai dengan apa yang dibutuhkan.

Menangani konflik

Seperti pepatah bilang, "Manusia hanya bisa berusaha, Tuhan jualah yang memutuskan hasilnya.". Sebagus-bagusnya sebuah rencana tata ruang dibuat, sudah melibatkan banyak pihak, sudah ini dan sudah itu, tetap saja muncul masalah. Misalnya saja ada tumpang tindih yang berujung konflik. Trus gimana tuh?

Saking pentingnya manajeman konflik, sampai-sampai di UnHan ada jurusan khusus 'Resolusi Konflik'. Wajar banget sih ya, kalau urusan ribut-ribut gini gak semua orang bisa ngurusin. Kalau gak ahli dan diniati, bukannya beresin masalah tapi malah tambah bikin runyam. Apalagi menyangkut lahan, berarti menyangkut hidup banyak orang, hidup mati orang. Terkati konflik ini, aku belum bisa banyak koman-komen. Kenapa? Soalnya ya itu tadi, berat. Salah-salah malah tambah runyam. Catatan penting yang bisa terlintas di kepalaku hanyalah, pada dasarnya orang tidak mau rugi. Konflik muncul karena ada orang yang merasa rugi. Jika ini terjadi, maka harus balik lagi ke awal, gimana caranya agar tidak ada yang merasa dirugikan.

Konflik muncul saat ada pihak yang merasa dirugikan berbicara dan menuntut. Itu masih lebih baik, daripada pihak yang rugi tapi diam saja. Itu namanya penjajahan!

Bagaimana di Indonesia?
Monggo dijawab bareng-bareng. Saya juga sebenarnya masih awam untuk yang begini-beginian.


(Aku sengaja tidak menyitir aturan legal seperti UU dan segala rupa. Apa yang kutulis di sini adalah pikiran acakku yang saat ini sedang belajar mengenal lebih jauh tentang penataan ruang. Hal baru sih, meski gak baru-baru amat. Tuntutan kerja yang mengharuskanku sedikit familiar dengan satu bidang keilmuan dari Londo sana yang isinya dibanyakin ribut-ribut orang rebutan tanah. :D Semangat!!!)

0 komentar:

Posting Komentar