Kisah suatu pagi: Antara aku, ibuku, adikku, dan segelas teh hangat

// // Leave a Comment


Hari ini pas satu minggu aku di rumah, setelah sekian bulan lamanya aku tidak pulang. Dari pagi aku sudah bangun siang. Rasanya suntuk dan perasaan ini sungguh membuat pagi hariku menjadi sangat tidak menyenangkan. Hah, bahkan ibuku sendiri menjadi korban dari buruknya moodku pagi ini. Novel Pram Jejak Langkah kubaca untuk membuat hatiku lebih ringan, tapi semua gagal sia-sia. Aku masih saja bete. Ah, Tuhan. Sungguh hambamu ini sangatlah tidak baik. Aku biarkan ibuku menjadi salah tingkah dengan kediamanku yang justru juga menyakitkanku. Aku ingin mengakhiri kebekuan dalam hatiku, tapi aku tak kuasa melawan aliran emosiku yang murung. Semua serba menjadi salah dan salah.


Dan tibalah adikku dan segelas teh manis panas. Ah, basi sekali caranya. Mungkin ibuku menyuruhnya untuk membuatku lebih baik. Sempat aku merasa sinis, tapi tentu tak boleh kutunjukkan. Sudahlah. Sepertinya kali ini aku yang berlebihan. Akhirnya aku mengalah dan kuminum teh hangat itu. Dan luluhlah kesombonganku. Ah, lega yang tak bisa kudeskripsikan. Mulai kututup novelku dan kuhampiri ibuku. Aku bicara tentang beras merah yang kubawa kemarin, tentang tren pangan organik yang mulai bergema, dan tentang berbahayanya pangan-pangan dengan pupuk kimia dan pestisida.

Oh, ibuku. Meskipun tak dapat kau bacai teks-teks buku, koran atau bahkan papan nama sekalipun, hatimu,... Ya, hatimu ibu, sungguh membuatku terpaku. Hatimu lebih tajam daripada semua pisau yang pernah kugunakan selama ini. Kecerdasanmu, keleluasaan pikirmu, dan wawasan kehidupanmu mungkin tak akan pernah bisa aku tandingi. Apakah aku bisa mengalahkanmu? Aku ini hanyalah seorang egois yang selalu mengeluh pada dunia. Kenapa aku dilahirkan tanpa pilihan? Apakah aku akan terus dihadapkan pada yang tidak ada pilihan? Ah, aku sungguh tak mau. Aku tak akan sanggup hidup seperti itu. Cita-citaku selalu menjadi angin. Dari dulu. Sepoi ataupun badai.


Kemudian semua menjadi cair. Dimanapun itu teh adalah senjata yang mampu menaklukkan kesombongan dan keangkuhan hatiku. Dan adikku adalah Dewa Teh untukku. Dia yang selalu bisa membuatku luluh lantak dalam kepolosannya dan keluguannya yang tidak akan pernah pudar sampai kapanpun. Kamu anugerahku. Dan aku tidak pernah bisa mengabaikan seorang bidadari cantik seperti kamu. Ah, adikku. Sungguh ingin rasanya aku menangis dan memelukmu. Dan marilah kita ciptakan hidup kita yang damai, yang bahagia, tanpa perlu kekuatiran apapun yang menyusup kita. Sampai kapankah?

0 komentar:

Posting Komentar