YIN YANG of the Heart |
Di suatu obrolan dalam mobil, di satu perjalanan dari Portland menuju Corvallis, aku menemukan sesuatu hal yang membuatku MIKIR (dengan tekanan intonasi gaya Cak Lontong). Obrolan tentang apa itu sampai bisa-bisanya membuatku menulisnya di tulisan ini? Kami sedang mengobrolkan tentang pernikahan, tentang pasangan hidup dan peran laki-laki perempuan. Aih, berat kali nampaknya. Memang. Makanya MIKIR! (kangen Cak Lontong jadinya. Selesai nulis ini langsung nge-Yutub ah.)
Obrolan diawali dengan kisah seorang kawan, seorang wanita yang sangat sukses di karirnya yang jelas bukan orang Indonesia, yang memilih untuk lajang di usianya yang 40 tahun. Si kawan tersebut pernah berkata bahwa pernikahan di negerinya yang masih masuk dalam budaya Asia, tidak memberikan posisi yang nyaman bagi wanita bahkan cenderung merugikan. Wanita banyak yang harus mengalah untuk kepentingan keluarga barunya, suaminya, anak-anaknya bahkan di adat negerinya, seorang menantu perempuan harus mengurus keluarga mertuanya.Untuk itu, dia kadang harus meninggalkan pekerjaannya dan berkonsentrasi untuk kerja rumah tangga yang tiada henti. Arghh....! Meski tidak harus begitu juga sih. Tapi itu gambaran umumnya.
Laki-laki juga memilih calon istrinya yang cenderung membuatnya lebih superior, Lebih kaya, lebih pintar, lebih ini, lebih itu, dll. Tak rela rasanya jika si wanita mengalahkan si pria meski dalam hal sekecil apapun. Ini masalah harga diri, katanya. Benarkah demikian? Kok rasa-rasanya aku kenal pola ini ya. Rasanya kok mirip ya. Oh iya, jadi inget doktrin dari jaman penjajahan dulu, "Laki-laki kan imam ye katanya, pemimpin gitu. Yang namanya pemimpin kan harus unggul. Mana ada pemimpin kalah pamor dari yang dipimpin. Iya kan? kali-kali aja gitu."
Kemudian si kawan itu juga berkata, "Aku tak mau kehilangan hidupku. Aku tak mau waktuku kuhabiskan untuk melayani orang lain. Aku bukan pembantu!". Widihhh, ekstrim bener kan ya. Tapi gak ada salahnya juga sih, doi kan orang penting dan sangat pintar, masa sih harus jadi pembokat di rumahnya sendiri? Kan gak lucu juga. Katanya, laki-laki di negerinya (yang padahal maju itu) lebih suka memilih istri dari kalangan biasa-biasa saja, yang gampang diatur, dibentuk dan dikendalikan. Pada tahu kisah Yamato Nadeshiko dari Jepang kan? Nah, mirip-mirip begitu. Perempuan yang bisa dibentuk adalah idaman para laki-laki. Tentus saja si kawan ini menolak mentah-mentah, "Aku gak mau pura-pura jadi bodoh hanya untuk dapat laki-laki". Hahaha,.. dalem bener kan.
Tapi masa iya sih, laki-laki gak suka perempuan pinter? Kalo dikaitkan sama si Yamato Nadeshiko, ya nyambung. Gimana mau nge-bentuk seorang perempuan jika perempuan itu pintar, lebih parahnya lagi jika yang ingin nge-bentuk agak kurang pintar. Hehehe... Tidak masuk akal sedikit langsung sikat. "Emang lu siape!", ekstrimnya mungkin gitu. Gak ding, becanda doang kalimat terakhir itu. Jangan tersungging.
Aih, aku jadi inget seorang kawan yang lain lagi. Dia pernah menuliskan padaku, "Eh, lu cari orang bule aja Net. Kalo lu di Indonesia lu gak bakalan nikah-nikah!". Jleb!!!! "Anjrit! Kena deh." Dalemnya itu sampai nusuk ulu hatiku. Skip dulu bagian ini.
Nah, jika wanita-wanita mandiri,pintar dan sukses di Asia tidak bisa menemukan pasangan yang mereka mau, solusinya adalah cari pria bule. Katanya pria bule bisa lebih menghargai wanita, lebih menghormati privasi dan hak-hak satu sama lain. Intinya pria bule lebih modern lah, gak kolokan (katanya lagi nih). Wah, nampaknya ini solusi yang baik kan. Selain dapat laki-laki idaman yang menghargai perempuan, dapat bonus anak blasteran yang pasti unyu-unyu. Kali-kali aja laris jadi artis sinetron kayak di Indonesia yang tipinya bertaburan muka-muka blaster.
Tapi tunggu dulu! Bagian yang paling mikir ada setelah ini.
Kawanku yang lainnya lagi (lain ke-2, jadi ada 3 orang kawan ceritanya), yang asli wanita Amerika mengatakan bahwa hal serupa kadang juga terjadi di negeri Paman Sam ini. Tapi ini agak berkebalikan. Ceritanya adalah wanita-wanita di Amerika (mungkin juga Eropa) kebanyakan sangat mandiri baik secara finansial maupun yang lainnya. Mereka juga mendapat pendidikan yang baik. Nah yang model-model begini kan susah diaturnya, sedangkan sebagian laki-laki di sini masih menginginkan menjadi sosok pemimpin di keluarganya. Si laki-laki ini ingin punya istri yang nurut tapi susah nemunya di negeri sendiri. Jadi gimana? Gampang! Cari aja di luar negeri! Dan negeri-negeri Asia adalah target empuk. Perempuan-perempuan Asia terkenal nurut laki-laki dan cenderung pendiam. Pas sesuai kriteria kan.
Si kawan ke-3 ini juga mengatakan bahwa fenomena laki-laki bule menikahi wanita Asia sudah banyak terjadi. Tapi kebalikannya sangat jarang (wanita bule dan laki-laki Asia). Dia nantangin juga, "Coba saja cari pasangan interrasial ini. Pasangan mana yang lebih banyak?". Ehm, iya sih. Banyakan yang laki yang bule, perempuannya dari Asia.
Nah kembali ke temanku yang ke-2. Aku kan jadi mikir ya. Kalaupun gak ada mau sama aku di Asia gara-gara aku gak nurutan, dan toh akhirnya aku cari bule. Tapi oh tapi, si bule juga banyak yang mau sama wanita Asia karena nurutan. Halahh,..! Ini gimana toh? Kan gak nyambung ya. Misal nih, aku mau cari laki-laki yang jadi 'partner' bukan 'leader' sampai jauh-jauh ke tanah seberang. Lalu laki-laki di tanah seberang juga nyari wanita yang bisa jadi 'follower' bukannya 'leader/partner'. Lalu apa yang terjadi jika kedua orang ini bertemu?
Ya Runyam pastinya. Wong sama-sama tidak mendapat apa yang dicari.
Luasnya samudera tidak menjamin, budaya pun tidak juga, apalagi cuman warna kulit, rambut dan mata. Logika cari pasangan bule dengan alasan biar bisa menghargai wanita, bagiku sudah rontok dan tidak berlaku. Tidak ada hubungannya. Ini terkait langsung dengan gaya berpikir, pandangan hidup, dan kepercayaan (ini bukan agama ya). Seseorang, apapun latar belakangnya, memiliki sifat dan cara berpikir yang khas. Nah, itulah yang kucari.
Aku mencari seseorang yang nyambung cara berpikirnya denganku. Aku tahu aku unik dan beda, dan aku ingin memperjuangkan itu. Aku tidak ingin warnaku hilang karena salah pilih 'partner'. Akupun tidak ingin menghilangkan warna orang lain karena bagiku itu jahat. Paduan warnapun juga akan tercipta. Jadi akan ada 3 warna. Hehehe... Itu yang kupercaya.
Aku punya waktuku, dia punya waktunya, dan kami punya waktu bersama. Itulah prinsip warna bagiku.
Aih berat amat ya. Maunya banyak! Kapan nemunya ya? Hahaha... Pertanyaan standar yang sering ditanyakan dari dulu, juga olehku sendiri. Trus dengar sebuah lirik lagu nih,:
"Kita sepakat bila rasa yang sesungguhnya tak mudah didapat, perlu ada pengorbanan, perlu ada perjuangan,.." (Asmara Nusantara - Budi Doremi)
Jadi sadar. Berjuang dan berkorban. Itulah jawabannya. Mendapatkan apa yang diinginkan kan tidak mudah. Kalau terlalu mudah malah tidak seru ya. Hahh,... jadi ngantuk.. Tak terasa sudah 6 tahun berjuang ya....
0 komentar:
Posting Komentar