Klothok Kenangan di Rasau Jaya - Teluk Batang

// // Leave a Comment
(Sebuah catatan yang hampir hilang tentang perjalanan di jantung khatulistiwa, Kalimantan. Ini adalah yang tersisa dari catatan yang hilang karena memang hilang atau karena belum sempat tercatat. :-) )

 6 Desember 2013

Klothok di Pelabuhan Rasau Jaya (Img Source: here)

Sore ini langit Pontianak biasa saja. Di tempat yang baru kukunjungi namun tak memberiku kesan asing. Yah, aku memang masih di negeri sendiri. Indonesiaku yang memberiku sejuta pesona kekaguman yang tak kunjung sirna.
Satu yang seru kali ini adalah bahwa ini menjadi kali ketiganya aku di sini, untuk alasan yang sama, dengan orang yang sama pula.

Seperti biasa, si Singa Udara (baca: Lion Air) kambuh penyakitnya. Telat 45 menit dari yang dijadwalkan. Padahal waktu ini menjadi penting terkait keberangkatan perahu sepid (sebutan masyarakat lokal untuk speed boat) yang hanya mau menunggu penumpangnya sampai jam 12 siang. Dan saat jam 12 siang, kami masih nangkring di Bandara Supadio - Pontianak, baru saja keluar dari lambung si Singa Udara.

Jarak bandara - Pelabuhan Rasau Jaya cukup jauh terasa, 30 menit perjalanan dengan taksi berongkos mahal 150 ribu rupiah. Tarif resmi, kata sang sopir. Kami tiba di Rasau Jaya jam 1 siang. Pelabuhan kecil di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat yang meskipun kecil tapi sangat penting sebagai penghubung antar wilayah di pedalaman Kalbar.
Waktu kami tiba, sepid sudah sejam yang lalu pergi. Sirna sudah jadwal rapi gara-gara si Singa yang molor. Apa yang musti dilakukan? Di tengah jadwal padat yang saling kejar-mengejar, rasa-rasanya buang waktu semalam di kota ini, sungguhlah sayang.

Saat itu Pelabuhan Rasau Jaya  tak sepenuhnya sepi. Aku lihat kapal-kapal dan perahu bersandar menunggu berlayar. Aih, apa salahnya cari informasi. Beruntung si bapak sopir taksi menjadi guide kami untuk sekedar mencari kepastian di tempat ini. Tak percuma bayar mahal. Dan ya!

Angin segarpun bertiup mengabarkan akan ada motor air yang akan berangkat sore ini ke selatan,  ke Teluk Melano, tujuan kami. Hari masihlah siang dan tiket katanya baru akan dijual jam 3 sore. Kamipun menunggu di warung-warung kayu yang seakan berjajar mengelilingi pos penjual tiket yang bertembok bata layaknya kantor-kantor dinas. Ah, pemandangan biasa di pelabuhan, terminal, ataupun stasiun.

Dalam penantian selama lebih dari 1 jam, aku mencoba mencari informasi. Kudatangi kantor dinas, agen tiket kapal yang ternyata semua petugasnya berseragam. Aku tanyakan tentang jadwal dan pemesanan tiket perahu. Kejutan barupun aku dapatkan. Ternyata ada dua jenis perahu yang ada di sana: kapal feri dan motor air alias klothok. Dan lebih terkejut lagi ternyata tujuan kedua perahu itu tak ada yang ke Teluk Melano, semuanya akan berhenti terakhir di Pelabuhan Teluk Batang, sebelum Melano.

"Ombaknya besar kalau ke Melano, kami tak ada yang berani ke sana. Paling terakhir ya di Teluk Batang. Kalau mau nanti dari Teluk Batang bisa lanjut naik ojeg." Kata seorang bapak yang kutanyai.

Terkejut pasti, tapi kami tetap harus memutuskan dan bergerak cepat jika tidak ingin tertinggal kesempatan berperahu hari ini. Kami harus memilih di antara dua pilihan yang kurang kami suka. Akhirnya 'klothok' menjadi pilihan. Kapal feri memang akan lebih cepat sampai dan klothok akan jauh lebih lambat. Yah, namanya saja klothok. Sudah pelan jalannya, bunyinya pasti 'klothok - klothok - klothok'. Asli! Justru di situlah kelebihan si motor air ini. Tak ada yang bisa kami lakukan di malam hari. Dengan lamanya perjalanan, malamnya kami bisa istirahat meski di perahu yang disumpeki oleh berbagai macam penumpang. Kami akan sampai di Teluk Batang ketika subuh. Waktu yang cukup baik untuk melanjutkan perjalanan ke Teluk Melano. Apa jadinya jika kita terdampar di Teluk Batang ketika dini hari. Itu akan terjadi jika kami naik feri yang waktu berlayarnya lebih cepat beberapa jam.

Sekitar menjelang jam 5 si klothok berangkat. Aku lupa tak mencatat berapa harga tiket yang harus kubeli dengan tawar-menawar. Mungkin sekitar 50 ribu? Ah tidak yakin juga. Tapi yang jelas, setiap beli-beli tiket usahakan untuk selalu mulai menawar. Kalau dapat ya untung kalau tidak ya tidak apa-apa. Tidak semua melakukannya, tapi para agen tiket kadang suka melebihkan harga aslinya.

Diiringi bunyi klothok-klothok dari motor air ini, dan juga celoteh penumpang dan penjaja makanan di badan perahu yang sempit, matahari mulai tenggelam di arah langit yang pastinya adalah barat. Langit jingga dan sorot surya sungguh menyilaukan tapi juga mempesonakan mata. Ahh, kalau untuk urusan langit, aku memang mudah jatuh cinta. Rasanya seperti terlempar ke negeri dongeng di atas awan jingga sana. Sang pangeran berkuda putih pun menunggu di istana kastil mirip dongeng Eropa. Hahaha.....Aku pun terhanyut waktu.

Malam menjelang dan kurasakan waktu berlalu sangatlah lama. Ketika aku menulis ini, aku kira sudah menjelang tengah malam. Tapi ketika kulihat jam, ternyata baru lewat sekian menit dari jam 10 malam. Aku mati gaya parah!!! Tak ada yang bisa dilakukan di perahu ini. Dia sedang sibuk dengan lamunannya dan sepertinya akan sulit bagiku untuk membuka obrolan. Tidur pun tak bisa karena tak 'pewe' (posisi wenak, bagaimana bisa tidur sambil duduk di bangku kecil tepi perahu dan berdesakan dengan bapak-bapak yang tak kukenal?), mau baca buku pun sulit di remang cahaya lampu perahu. Aihh,.... akupun sudah bosan menulis catatan harian ini. Ah sudahlah. Akan kututup tulisan ini dan ikutan melamun.

Di tengah-tengah Sungai Kapuas yang remang-remang, hutan nipah di kanan kiri, dan bunyi 'klothak-klothok' aku yakin bisa mendapatkan suasana lamunan yang semoga saja bisa membuatku tertidur hingga esok hari. 12 jam di klothok ini pasti akan segera terlalui.

Semoga,..
Sudah tak sabar menginjakkan kaki di Desa Batu Barat, Teluk Melano, Kalbar dan bertemu dengan mereka.



Note: Perjalanan ke-3 bersama Shota di Kalbar

0 komentar:

Posting Komentar