[Mimpi 1] Tugas Puisi Bahasa Inggris di SMA

// // Leave a Comment
Saat itu sepertinya siang yang mendung, gelap. Aku di kelas bersama kawan- kawanku saat jam istirahat menjelang. Ruang kelas yang suram membuatku tak bisa melihat dengan jelas di arah papan tulis dari bangkuku, nomer 3 dari belakang. Mataku tidak terlalu baik melihat di remang cahaya, aku minus 2! 

Kucari- cari saklar lampu dan kutemukan satu di dinding yang mepet bangku sebelahku. Kulihat ada saklar lampu dan juga lubang colok yang telah diisi alat kotak hitam semacam charger. Saklar lampu berada di tengah-tengah lubang colok yang dipenuhi alat-alat itu dengan  beberapa serabut tembaga kabel telanjang mencuat. Aku tahu, logam-logam itu konduktor dan bisa menghantarkan listrik. Kucoba menyentuh saklar listrik dengan ketakutan akan setrum. Klik.... Ternyata saklar yang kuturunkan balik lagi ke posisi semula. Lampu yang mulai menyala pun mati lagi. Kucoba dan kucoba lagi hingga aku sadar jika saklar ini selain harus diturunkan ceklekannya tapi juga harus diputar ke kanan untuk mengunci. Kucoba sedikit memutar ke kanan. Ah, belum jadi terputar aku duluan takut akan kawat tembaga yang mencuat. Aku tak punya nyali. 

Kucoba mencari saklar lain dan tiba-tiba ruang kelas....klap...menjadi terang di salah satu sisi belakang. Dari 4 lampu di penjuru kelas, satu menyala dan itu yang tepat di atasku. Kulihat-lihat siapa yang menyalakannya, ternyata ada seseorang kawanku, sepertinya perempuan yang menyalakan saklar yang ada di tembok dekat pintu masuk. Tiba-tiba lagi lampu menyala lagi. Sekarang 2 lampu menerangi ruang kelas. Kelaspun menjadi terang kecuali satu sudut yang masih muram, lampu di dekat papan tulis belum menyala. Padahal lampu itu yang paling penting karena menyinari papan tulis. Sedangkan saklar lampunya adalah yang tadi kucoba. Saklar yang berbahaya itu tadi!

Kutanyakan apakah ada yang berani menyalakan? Semua hanya bergumam. Lalu Dian, kawanku mengatakan jika ia pernah kesetrum di sana. Ah, jadi makin takut aku dan yakin jika memang itu berbahaya. Tapi tiba-tiba ruang kelas benderang dan lampu semua menyala. Apa yang terjadi?
Aku tak tahu pasti. 

Di jam istirahat itu nampaknya aku keluar ruang kelas, mungkin jajan atau makan siang? Tak terlihat olehku. Saat aku kembali ke kelas, beberapa menit sebelum bel masuk berdentang, kulihat bangkuku sudah dipenuhi oleh 4 orang kawan sekelas, semua perempuan dan salah satunya adalah teman sebangkuku, Kris. Mereka terlihat sibuk menuliskan sesuatu, tergesa-gesa. Oh, ternyata itu adalah tugas PR dari guru Bahasa Inggris yang entah kenapa sang guru itu mirip antara Pak Kosim guru SDku dan Adi Bing Slamet. Bapak guru memberi tugas untuk membuat satu puisi dalam Bahasa Inggris. Sepertinya kawan-kawan ini belum mengerjakannya. Aku memakluminya dan menunggu sambil duduk di bangku depanku yang kosong. Sesekali kuintip apa yang dilakukan teman-temanku ini. Ahh, rasanya lega, aku sudah mengerjakan PR itu. 

Bel masuk berbunyi dan kawan-kawanku masih sibuk di bangkuku. Aku belum bisa duduk di sana dan aku juga merasa kasihan juga. Ya sudah, akupun tetap anteng duduk di bangku itu. Pak guru pun datang masuk ke kelas, memberi ucapan salam dan langsung menanyakan PR. Teman-teman di bangkuku seakan tak peduli dan tetap sibuk. Pak guru sudah mulai mengamati mereka. Aku merasa di atas angin. Entahlah, rasanya sudah mengerjakan PR itu memang sesuatu banget. 

Pak guru berkata bagi yang sudah siap boleh maju ke depan untuk membacakan puisinya. Tak ada satupun yang maju. Bahkan 4 kawan di bangkuku masih sibuk. Pak guru mulai menghampiri murid-muridnya, langsung menuju jalur bangkuku. Dia mengambil buku-buku tugas kawanku satu persatu yang sudah siap hingga saat tiba di bangkuku yang ramai diapun membubarkan kerumunan itu. Ah,....senangnya. Aku yang mulai cemas akhirnya bisa kembali ke bangkuku. Aku ingin segera memberikan  PR ku kepada Pak Guru. 

Ketika aku baru kembali ke bangkuku, Pak Guru sudah kembali ke depan kelas, hanya dengan membawa beberapa buku PR. Diapun mulai memeriksanya. Aku tak boleh ketinggalan. Kucari-cari buku tugasku dan kusadari ada yang salah dengan bangkuku. Aku memeriksa satu tas dan tak ada. Ternyata itu tas kawanku yang tadi duduk di situ. Aku marah-marah dan jengkel hingga kemudian ternyata yang kuomeli adalah Nika, yang duduk di bangku sebelah sedangkan tadi yang duduk di sini adalah Tere. Yang aneh adalah tas itu memang punya Nika. Kok bisa ada di situ? Nikapun marah juga karena merasa tak bersalah. Aku meminta maaf dan kukatakan jika tadi aku kira dia adalah Tere. Orang yang sedang dibicarakan hanya tersenyum lebar di bangku paling belakang sambil berucap maaf tanpa suara. Huhhh..

Kuperiksa dimana tasku dan kemudian aku mendapat kejutan lagi. Glodakan (loker) bangkuku berantakan sekali. Tas dan buku-bukuku semuanya ada di sana padahal aku ingat sekali jika sebelum keluar kelas aku memasukkan semua buku-bukuku di tas. Tas itu berwarna krem, merk Mountain Hardwear milikku yang dalam dunia nyata telah hilang di Pontianak tahun kemarin. Aku kesel minta ampun. Sambil ngedumel aku mencari-cari buku PRku, ingin segera kuberikan pada Pak Guru. Dumelanku ternyata membuat teman sebangkuku marah juga. "Apaan sih!", katanya. Kujelaskan kondisinya dan diapun akhirnya diam. Akhirnya kutemukan buku PR itu diantara bukuku yang lain yang hampir mirip semua sampulnya: bergambar bebek kartun warna-warni.

Kuambil buku itu, memeriksa isinya dan kutemukan hasil kerjaku. Ah lega.. Pak guru di depan kelas masih memeriksa PR dan mungkin segera menunjuk seseorang untuk membaca puisi Bahasa Inggrisnya. Di antara kawan-kawan yang duduk diam di bangkunya, aku berdiri dan maju ke depan, menjadi pusat perhatian. Aku bawa buku PR itu untuk kuberikan pada Pak Guru sambil berharap untuk bisa membaca puisi yang telah kubuat. 


Dan akupun terbangun dari tidurku
Jam 7.40 am, masih Cedar Hills, Portland - Oregon











0 komentar:

Posting Komentar