Batu Barat, Sepetak Tanah Borneo yang Menyentak Kegalauanku

// // 2 comments


Jalan becek penuh lumpur ini mengingatkanku pada sesuatu. Satu hal yang sangat kukenal hingga bahkan aku tak sanggup ingat meletakkannya di mana di ruang memoriku. Meskipun mendung kadang menyelimuti langit, namun birunya langit musim panas tak akan mampu terbendung oleh awan hitam.

Langit biru dan awan putih adalah pesonamu. Daya yang mengikat hatiku sedemikian dalam dengan damai surgawi yang hanya bisa kurasa tanpa ungkap kata. Namun sayang, sudah takdir jika surga berdamping neraka. Di balik damai, aku rasakan gelisah. Ada sesuatu, entahlah, yang tak bisa menyempurnakan imajinasiku. Ada yang mengusik pikiranku, menyentuh keprihatinanku, menanyakan eksistensiku.

Semua begitu nyata: Tanah kuning yang membelah hijaunya hutan sawit, tanah coklat berlumpur yang sesekali menggulingkan setiap yang melewatinya, busa mengapung di parit-parit air kehitaman, dan anak-anak kecil yang dengan riang berenang di dalamnya. Bercampur dengan sesekali bau aneh menyengat entah darimana. Semua nyata mengusikku.

Ah, mereka tertawa. Orang-orang itu tertawa. Ramah mereka menyapa, menyapa nasib yang tak dimengerti. Tersenyum pada masa kini yang diharapkan dapat bersahabat. Karena masa lalu telah jadi mimpi sedang masa depan tak sanggup memberi janji. Apa lagi yang bisa dilakukan selain tertawa?

Teriknya siang di tengah jalan berdebu dan hujan sesaat karena awan hitam yang tak mampu lagi menahan bobotnya, seakan membawa bisikan. Aku dibisikkan, “Dulu di sini ada ‘kami’, dulu di sini ada ‘dia’, dulu di sini ada ‘mereka’, dan dulu di sini ada....”.

Ada siapa? Apa? Kenapa?

Pertanyaan itu muncul selalu dalam diamku yang tak terdiam. Aku selalu termenung dalam setiap gurau canda yang kulontarkan. Semua begitu memutar otakku hingga aku pusing bahkan tak bisa tidur.

Oh Tuhan, kenapa semua ini begitu sedih? Apa yang salah dengan kami? Apa salahku? Dan pertanyaan terbesarku adalah aku bisa apa? Sedang, aku hanyalah pahlawan kesiangan yang selalu bermimpi besar. Meski mimpi hanyalah untuk pecinta tidur tapi aku masih selalu berharap, “Tolong! Bangunkan aku sekarang! Siapapun itu”.

Batu Barat dan langit birunya


------

Catatan di atas adalah kegelisahan yang kurasakan saat aku berada di Desa Batu Barat, Teluk Melano, Kayong Utara, Kalimantan Barat. Desa yang berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Palung dan juga berdekatan dengan perkebunan sawit PT. CUS ini seakan menjadi pengalaman pertamaku untuk lebih merasakan secara emosional hidup di desa-desa pinggiran hutan dan kebun sawit skala besar.

Sebagai penikmat jalan-jalan di pedalaman, aku sangat menyukai desa ini. Batu Barat yang dilalui oleh Sungai Melano sungguh memiliki keindahan khas Bumi Borneo yang membuatku betah. Orang-orang desa yang ramah, alam yang kaya, dan budaya yang berbeda dapat kutemukan di sini. Namun, aku terusik oleh hal-hal kritis seperti kerusakan lingkungan yang terjadi. Aku merasa trenyuh, dadaku sakit sekali. 

Seperti yang kutuliskan sebelumnya, banyak hal yang membuatku terheran-heran hampir tidak ingin percaya. Hutan Kalimantan yang indah seperti yang digambarkan dalam-dalam poster wisata rasanya jauh sekali. Meski Gunung Palung di depan mata tapi kebun sawit luaslah yang paling dekat dengan Batu Barat. Jalan-jalan tanah di desa ini membelah-belah perkampungan yang tersebar. Hanya sedikit jalan berplester yang terpotong-potong di sana-sini. Jika hujan tiba, berubahlah jalan tanah kekuningan itu menjadi ajang seluncur, licinnya minta ampun. Bahkan, akupun tak berani menaiki motor jika kondisi jalan sudah seperti itu.

Rumah-rumah kayu dan sedikit rumah bertembok semen berjajar  rapi menghadap jalan. Sebuah parit berisi air kehitaman – air gambut- yang digunakan orang-orang untuk keperluan mandi dan cuci-nya. Air parit yang tak seberapa itu harus menanggung beban buangan detergen dari sekian banyak manusia. Maka, busa nampak di mana-mana.

Jalan tanah di Batu Barat yang licin saat hujan. (2013)

Jalanan di kebun sawit yang terlihat sama, sawit sejauh mata memandang (2013)


Sedang jauh di kebun sawit, sudah seperti dunia lain. Jalan-jalan tanah memotong-motong petak-petak sawit yang pasti akan membuat siapapun bingung menentukan arah karena semua terlihat serupa. Pondok-pondok pegawai dan buruh kebun seakan jadi kampung sendiri di tengah rimba sawit. Ada yang bilang bahwa di dalam kebun bahkan lebih ramai dari desa, lebih banyak fasilitasnya, ada sekolah bahkan puskesmas-nya. Orang-orangpun katanya lebih memilih tinggal di sana.

Aku trenyuh karena di balik keramahan orang-orangnya, di balik kesenanganku akan masa yang bagai liburan, ada rasa sesak akan sesuatu yang kurasa ‘pernah ada’. Saat itu, aku terbayang-bayang akan masa lalu Batu Barat. Apa yang pernah ada di sini? Siapa yang pernah ada di sini? Ada apa dulu di sini? Kenapa jadi begini? Lalu, terbayang olehku juga indahnya hutan Kalimantan yang pernah kutahu. Lalu, tiba-tiba aku bagai tersayat sembilu. Rasanya miris, sakit sekali. Apa ya rasa ini? Aku seperti tidak terima akan semua ini. Aku memikirkan orang-orang sini yang sepertinya baik-baik saja. Mereka selalu tertawa, bergurau dan bahkan menggodaku dalam candaannya. Tak ada yang salah kan? Jika semua baik-baik saja tapi kenapa aku sedih sekali?

Nanda sedang memperhatikan ibunya meracik masakan. (2013)

Anak-anak, masa depan Batu Barat

Aku, yang pernah setidaknya belajar tentang hutan, yang setidaknya punya gelar ber-embel-ember hutan, menjadi merasakan beban tanggung jawab. Apalah itu yang disebut beban moral atau apapun itu. Aku merasakannya. Rasa ingin melakukan sesuatu tapi tak tahu harus bagaimana. Maka itulah, aku sebut diriku pahlawan kesiangan. Dalam pikiran yang dangkal, aku ingin menjadi sosok yang ingin merubah kondisi. Agen perubahan katanya. Tapi dalam nyata, aku hanya bisa bergumam sambil mengumpat nasib. Mungkin tidak salah jika aku ini adalah seorang pemimpi. Tapi, segila-gilanya aku dalam mimpi, aku pun ingin sesegera mungkin terbangun dari tidur. Aku ingin hidup dan menjadi nyata. Tapi bagaimana?

Karena masa lalu adalah mimpi dan masa depan tak sanggup berjanji, maka aku hanya punya saat ini. Sekarang yang akan menentukan semuanya. Apakah aku akan tetap menjadi pahlawan kesiangan atau setidaknya aku bisa mengubah jadwal bangun tidurku menjadi sedikit lebih pagi?
Siapa tahu.

Untuk Batu Barat dan kenangan biru yang selalu menghantuiku sekaligus memberiku sejuta rindu.

Matahari Terbit di atas Sungai Melano, Batu Barat


-------------------

2 komentar: Leave Your Comments

  1. Dua kaki. Satu hal ngerjain yg nyata di depan mata, mungkin hal kecil seperti tidak menyumbang banyak terhadap change. Misal dalam kasus ku, memperbaiki speed reading and improve my English. Hal lainnya, menulis, berpikir besar yg diwujudkan seperti ngeblog begini. Dan kita akan ketemu di pengkolan besok. Hehe.

    BalasHapus
    Balasan

    1. Ada sedikit lega, ketika bisa mengungkap rasa lewat kata dan berharap ada orang lain yang bisa menangkapnya. Bahwa kegelisahan ini harus dicari jawabannya. Mencari cara untuk mencintai waktu dan kesempatan yang diberikan. Jadi semangat nulis lagi deh. :)

      Hapus