Penulis : Rika Theo
dan Fennie Lie
Bahasa : Indonesia
Tebal : 206 halaman
Penerbit : Penerbit
Buku Kompas
Tahun :2014
Sinopsis:
"Thong ngin fan ngin jit jong", Tionghoa
maupun pribumi sama saja, adalah ungkapan yang terkenal di Pulau Bangka. Bangka
adalah pulau kecil di timur Sumatra yang istimewa. Di pulau yang terkenal
dengan timah dan Lada Mentok ini, masyarakat Tionghoa dan pribumi (sebagian
besar Melayu dan sebagian lainnya Jawa, Bugis, dll) telah ratusan tahun hidup bersama,
menciptakan akulturasi, pembauran dan silang budaya yang menarik dan khas.
Orang-orang Tionghoa
khususnya Suku Hakka (Khek) berdatangan ke Bangka dalam jumlah besar pada abad
17 seiring dengan semakin dikenalnya pulau itu sebagai penghasil timah. Pada
masa itu, orang-orang Tionghoa bekerja sebagai buruh di pertambangan timah sehingga
lokasi tambang juga identik dengan pecinan. Hingga pada masa kemerdekaan
Indonesia dan saat kini, masyarakat Tionghoa di sana tak bisa dipisahkan dari
popularitas timah Bangka.
Masyarakat Tionghoa
di Pulau Bangka sampai saat ini masih mempertahankan budaya yang dibawanya dari
tanah leluhur, Tiongkok. Perayaan, festival, sembahyang dan berbagai macam
kegiatan adat masih dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di Bangka, mulai dari perayaan
Tahun Baru Imlek, Sembahyang kubur Cheng Beng, Sembahyang Rebut, dan berbagai
kegiatan lain di sepanjang tahun. Banyak kisah, cerita, sejarah dan juga
filosofi dalam tiap adat budaya masyarakat Tionghoa Bangka yang menarik untuk
disimak di buku ini.
Pendapat
saya:
Menarik!
Saya senang sekali
bisa membaca buku tulisan Rika Theo dan Fennie Lie ini. Sudah lama saya
tertarik dengan kultur masyarakat Tionghoa di tanah air dan buku ini telah
memberikan satu gambaran ringkas namun jelas tentang masyarakat Tionghoa di
Bangka, salah satu pulau yang terkenal dengan jumlah masyarakat Tionghoanya
yang terbesar di Indonesia. Secara runut, penulis memberikan informasi tentang
kehidupan masyarakat Tionghoa Bangka dalam 4 bab utama, yaitu: Bab I mengenai
sejarah kedatangan orang-orang Tionghoa , Bab 2 mengenai kehidupan orang
Tionghoa dalam gejolak perubahan, Bab 3 tentang adat dan kultur yang masih
dipegang, dan Bab terakhir yaitu Bab 4 tentang sisi lain kehidupan masyarakat
Tionghoa Bangka. Menurut saya 4 bab dalam buku ini cukup bisa memberikan
informasi bagi pembacanya.
Secara lengkap buku
ini merangkum tradisi masyarakat Tionghoa sepanjang tahun, dimulai dari awal
hingga akhir Tahun Imlek, mulai dari perayaan tahun baru, Cap Go Meh di awal
tahun, hingga ritual Ban Fuk di penghujung tahun. Kisah, cerita dan makna di
tiap-tiap tradisi pun disampaikan dengan cukup baik. Ada sisi lain kehidupan
masyarakat Tionghoa yang juga menarik dibaca, yaitu tentang grup musik Tionghoa
yang sempat populer di masa lalu, grup Tanjidor yang sangat mirip dengan
tanjidor Betawi, dan Sekolah ThHK (Tionghoa Hui Kuan) yang terpaksa ditutup
karena disangkutpautkan dengan gerakan komunis di era 60an.
Yang paling menarik
bagi saya terhadap masyarakat Tionghoa Indonesia adalah bahwa mereka tidak
melupakan tanah leluhur dan budaya asal tapi mereka tetap merasa sebagai orang
Indonesia. Seperti yang dituliskan dalam buku ini: orang Tionghoa Bangka jika
ditanya, "orang mana?", akan menjawab, "Orang
Bangka.". Kembali lagi pada
ungkapan 'Thong ngin fan ngin jit jong', Tionghoa maupun pribumi sama saja,
sama-sama orang Indonesia.
Saya sangat
merekomendasikan bagi siapa saja yang tertarik dengan kehidupan masyarakat
Tionghoa nusantara untuk membaca buku ini. Sebagai 'museum hidup' kebudayaan
Tionghoa tanah air, Pulau Bangka memberikan gambaran yang unik, tidak hanya
dari kebudayaan asli Tionghoa-nya tapi juga akulturasi dan pembauran dengan
budaya pribumi lainnya.
--------------
pengen baca novel peranakan. ada gak yah?
BalasHapusAda mbak. Pernah baca Ca Bau Kan? Ada juga Bonsai: Hikayat Keluarga Cina Benteng (Pralampita Lembahmata)
BalasHapus