Pernah dengar tentang Himono Onna/ Dried-fish woman/ wanita ikan kering? Hotaru no Hikari akan memberi-tahu kamu tentang fenomena urban Himono Onna di Jepang sana. Penuh dengan komedi dan cerita romantis, dorama ini mampu membuatku tertawa geli sendiri sembari berguman, "Jangan-jangan, aku juga termasuk kategori wanita ikan kering ini?".
Sinopsis
Himona Onna berarti wanita ikan kering, yaitu wanita karir di akhir umur 20an atau lebih yang nampaknya biasa-biasa saja, selalu rapi dan ceria, namun ternyata mereka sangat berantakan di rumah. Di umurnya yang relatif masih muda, seorang Himono Onna telah menyerah pada urusan hubungan antar manusia, cinta, bahkan sex. Mereka lebih memilih bermalas-malasan di rumah dibanding hang-out dengan teman-temannya, lebih memilih tidur daripada berkencan. Dan Amemiya Hotaru adalah seorang Himono Onna.
Amemiya Hotaru di kantor, tak ada yang tahu dia adalah Himono Onna Img source: here
Amemiya Hotaru adalah seorang wanita karir berumur 27 tahun di perusahaan desain interior terkemuka, SW Build Co. Ltd. Tidak ada yang tahu bahwa Amemiya adalah seorang Himono Onna hingga kemudian managernya - Takano Seiichi mendatangi rumahnya secara tiba-tiba dan menemukannya sedang bersantai ria dengan baju jersey belel dan rambut berjambul di rumahnya yang berantakan. Amemiya tinggal sendirian di sebuah rumah yang dipinjamnya dari Bontaro-san. Buchou (manager) Takano ternyata adalah anak dari Bontaro-san. Setelah berpisah dari istrinya, Takano pindah ke rumah orang tuanya yang sudah dihuni oleh Amemiya. Amemiya dan Takano akhirnya memutuskan tinggal bersama.
Teshima Makoto, Seorang pegawai muda baru saja datang dari luar negeri dan bekerja di kantor yang sama dengan Amemiya. Ketampanannya menjadikannya idola para pegawai perempuan di kantornya. Semua pegawai wanita berlomba mencari perhatian Teshima tapi tidak untuk Amemiya. Dia lebih memilih bermalasan di teras rumah sambil minum beer kesukaanya. Namun lucunya, Teshima ternyata menyukai Amemiya, seorang Himono Onna.
Teshima mencium Amemiya yang tertidur :)
Amemiya yang telah lama absen dalam dunia percintaan tiba-tiba menjadi bingung dengan apa yang dia rasakan. Teshima menciumnya saat dia tertidur di tengah kerja. Setelah itu, Amemiya selalu terpikir tentang Teshima. Mungkinkah ini cinta? Beruntung Amemiya tinggal bersama dengan Buchou Takano yang lebih berpengalaman dalam urusan cinta. Buchou memberikan nasehat dan menyemangati cinta Amemiya. Amemiya pun belajar lagi untuk jatuh cinta, satu langkah untuk lulus dari statusnya sebagai Himono Onna.
Bagaimana kelanjutan kisah cinta Amemiya? Apakah Teshima akan mengetahui kehidupan Amemiya dan tetap menyukainya sebagai Himono Onna? Bagaimana dengan hubungan Amemiya dan Buchou Takano? Bersama Hotaru no Hikari, kamu akan diajak menyelami liku-liku kehidupan Amemiya Hotaru, seorang wanita ikan kering yang lucu namun romantis.
Nonton ya!
Menguliti Dorama
Spoiler Alert!
Sebenarnya sudah lama aku menonton dorama ini, sekitar 4-5 tahun lalu. Berkat seorang kawan yang baru-baru saja nonton dan dengan semangatnya menceritakan kelucuan dorama ini, aku jadi tertarik untuk sedikit melihat kembali. Kemudian, aku merasa aku perlu untuk menuliskan di dorama-review blogku. (cc: Dewi Kuraesin)
Lucu, manis dan menggelitik!
Itulah kesan utamaku tentang Hotaru no Hikari, dorama adaptasi manga dengan judul yang sama karya Satoru Hiura. Aku terlebih dahulu membaca manga dibanding nonton versi live-actionnya. Jika dibandingkan sih, menurutku memang beda. Namun, aku rasa dua-duanya punya kelebihan masing-masing dan aku tidak merasa kecewa. Lain halnya seperti dorama adaptasi lainnya yang mengecewakan, misalnya dorama Yamato Nadeshiko Shichi Henge yang pernah juga ku-kulitin. Cek juga ya di reviewnya di sini. Salah satu poin pentingnya adalah si pemeran utama tidak kehilangan karakter aslinya. Hotaru Amemiya kurasa diperankan sangat baik oleh Ayase Haruka.
Ide cerita dan alur
Mengangkat fenomena Himono Onna menjadi sebuah cerita drama romance adalah brillian. Saat pertama kali aku membaca kisah Amemiya Hotaru dalam manga, aku merasa dekat sekali dengannya. Alur drama dibuat nyaman diikuti. Dorama ini tidak terlalu berat menyisakan tanda tanya di tiap akhir episodenya. Dorama ini juga tidak memburu orang untuk segera menyelesaikannya. Semuanya santai, ringan dan lucu. Aku menikmati sekali perjalanan cinta seorang Himono Onna di dorama ini.
Aku suka kartun pembuka di tiap episode. Gambarnya bagus dan kata-katanya juga mengena. Hotaru yang berarti kunang-kunang dan kisah masa kecilnya di rumah neneknya yang dipenuhi kunang-kunang. Bahwa kunang-kunang memiliki cahaya kecil yang indah meskipun sesaat. Hotaru no Hikari pun berarti cahaya kunang-kunang, cahaya kecil yang rentan namun indah.
Kisah cinta Amemiya - Teshima sangat menarik disimak. Amemiya merasakan kebingungan tentang perasaan yang dipunyainya. Amemiya yang telah lama absen dari dunia percintaan tiba-tiba merasakan jatuh cinta. Perjuangannya untuk memahami cinta yang membingungkan dan juga penemuannya akan makna cinta yang sesungguhnya, membuat cerita ini semakin menarik. Hingga muncul kata-kata bahwa sesungguhnya "Dia sedang jatuh cinta terhadap cinta itu sendiri." Seseorang mencintai perasaan berdebar-debar karena cinta, bukan karena orang itu sendiri. Haduh, sepertinya agak susah ya dituliskan. Tapi kurasa, kamu pasti paham yang dimaksud. :)
Amemiya dan Buchou Takano di teras rumah favorit mereka. (img source: here)
Tokoh dan pemeran
Ayase Haruka lucu sekali memerankan Amemiya Hotaru. Lucu sekali melihatnya dalam baju jersey dengan rambut dikuncir tinggi. Amemiya yang lugu, pemalas, namun tulus sangat baik diperankan olehnya. Apalagi ketika Amemiya memainkan "Looch dance", kocak banget. Fujiki Naohito juga apik sebagai Buchou Takano. Satu hal yang kurasa berbeda dari Buchou Takano di manga adalah karakter Buchou di versi drama lebih imut dan lebih ceria. Singatku, karakter Buchou di manga lebih kebapakan dan lebih cool. Namun demikian, aku tetap suka juga Buchou-nya Fujiki Naohito. Pasangan Amemiya-Takano pun menjadi sangat serasi.
Bagaimana dengan Kato sebagai Teshima Makoto? Lumayan. Secara fisik, doi juga cukup oke meski kurang dazzling, kurang berkilau. Dalam bayanganku, sosok ini lebih cantik dan imut. Tapi lagi-lagi, perbedaan ini tidak menjadi masalah. Energi positif Ayase Haruka sepertinya menular kemana-mana. :)
Tokoh pendukung lain yang juga penting adalah Yamada Sachiko (Itaka Yuka) dan Futatsugi Shouji (Yasuda Ken). Mereka berdua berperan sebagai teman kerja sekaligus teman curhat Takano dan Amemiya sangat mendukung jalan cerita ini.
Ya ampun! Rumah yang ditinggali Amemiya bagus banget. Aku seakan paham bagaimana kenyamanan rumah itu. Teras tempat favorit Amemiya pun terlihat sangat klasik. Pasti senang banget ya bisa punya rumah seperti itu. Apalagi dapat tinggal bersama seseorang yang baik seperti Buchou Takano. Hahaha.. Ngelantur kan! Selain rumah, tempat kerja di SW Build juga keren! Terlihat seperti benar-benar tempat kerja profesional yang elit.
Kostum
Aku suka baju-baju yang dipakai para pemerannya, terutama baju Amemiya dan Yamada. Pakaian kerja yang mereka gunakan terlihat sangat dewasa, modis dan cantik. Beda dengan para pekerja laki-laki yang umumnya hanya berpakaian jas formal berwarna hitam. Memang sih ya, hampir semua salariman di Tokyo sana semuanya berpakaian 'seragam'. Itu pun juga kulihat langsung ketika aku ke Tokyo kemarin. Setiap jam sibuk, jalan-jalan kota dan stasiun dipenuhi para pria berbaju jas hitam.
OST dan Lagu Tema
Untuk OST, aku suka tapi untuk lagu tema aku tidak terlalu ngeh. Lagu berjudul Yokogao sama sekali tidak masuk ke memoriku. Kesannya sih biasa saja. Hehehe..
Sudah cukup sekian untuk review Hotaru no Hikari season I. Untuk season selanjutnya, aku juga akan menulis reviewnya.
Goodpart: Good story, Ayase Haruka, Looch dance, pretty costumes Badpart: theme song, lack dazzle of Teshima Makoto 8/10
Amemiya dan Buchou minum beer bersama di rumahnya yang nyaman img source: here
Ada hal-hal yang kadang hanya bisa kita ketahui saat menyanyi bersama-sama, misalnya kawan yang kalem dan alim ternyata rocker, diri sendiri yang ngakunya rocker ternyata pas nyanyi dangdut malah menggila, dan masih banyak kejutan lain. Ini juga yang aku temukan saat karaokean kemarin bersama teman-teman se-kos di Maharlika. Baru tahu ternyata Chinit yang kalem itu ternyata penggemar musik rock oldies! Sore itu, kami bertujuh -Aku, Cory, Iie, Dita, Arya, Chinit, Rere- memutuskan untuk karaokean bareng di tempatnya Mbak Inul. Sudah lama banget rasanya gak ngumpul hepi-hepi bareng anak-anak kosan. Kami masuk tempat karaoke sih sudah lewat jam 7 malam. Maklum, macet di Bogor pada jam-jam sibuk bisa bikin bulu rontok saking lamanya. Setelah numpang sholat maghrib di musholla mini Inul Vizta, kami makan malam di warung ayam goreng cepat saji yang sebenernya sih gak cepet-cepet amat. Baru jam setengah delapan-an kami siap berkaraoke ria. Kami memilih ruangan medium berkapasitas 6 orang yang harus nambah bayar 20 ribu per-orang jika pengisinya lebih dari kuota ruangan. Aku baru tahu tentang aturan ini! Kalau dipikir-pikir apa bedanya ya ruangan di isi sedikit atau penuh? Kita kan sewa ruangannya? Harusnya suka-suka dong mau kita isi berapa? Mungkin jika logikaku ini diaplikasikan, maka setiap orang main ke karaoke pasti milih ruangan yang kecil dan rela bersumpek-sumpek ria demi ngirit. Ha ha ha.. Kami pun masuk ke ruangan kami di lantai 2. Di lorong-lorong antar ruangan terdengar bunyi musik nyaring yang bercampur suara nyaris sumbang dari tiap-tiap ruangan karaoke. Sepertinya, orang-orang sedang bersenang-senang dan berpesta ria di dalamnya. Kami pun segera menyusulmu kawan! Hehehe...Ruangan kami, berukuran sekitar 2x3 meter, dilengkapi sebuah sofa, meja dan layar monitor. Sebuah cermin menggantung di dinding dan lampu warna-warna menyorot seluruh ruangan. Woyaa! Kami siap menyanyi. Lagu pertama yang kami pilih pun mengalun, "Selimut Tetangga"-nya Revuplik. Dalam dunia karaoke, semakin norak dan alay sebuah lagu maka semakin meriah suasananya. Selimut tetangga mampu memanaskan suasana. Itu artinya,... Ha ha.. Jujur saja, sudah berhari-hari ini aku mendengar lagu ini hampir di mana saja dan kapan saja. Suka sih enggak, tapi bagian reff lagu itu selalu nyantol di kepala.
"Mana mungkin,.... selimut tetangga, hangati tubuhku saat kesepian.."
Daftar lagu kami buat. Masing-masing orang memasukkan dalam mesin entry, lagu apa saja yang akan mereka nyanyikan. Sejumlah daftar yang dibuat teman-temanku ini, sedikit banyak memberitahuku sisi lain tentang mereka yang bahkan kadang mengagetkanku! Satu yang paling heboh adalah playlist Chinit. Dia adalah seorang kawan yang boleh kubilang paling lembut, kalem, alim dan apapun kata yang bisa dipakai untuk mendeskprisikan orang baik deh. Hehehe... Setelah beberapa lagu dimainkan, terdengarlah intro lagu rok klasik 70-80an yang tak asing bagiku. Lagu 'Wind of Change' milik Scorpions mengalun. "Lhah, siapa ini yang milih lagu ini? Lu ya Re?", tanya Cory. Si Rere memang rada doyan lagu beginian. "Ah, bukan", Rere. "Mbak Net?", Cory. "Bukan juga kok.", aku. Tiba-tiba saja Chinit mengambil mike dan bilang, "Itu Nit yang pilih." "What!!!!", aku pastikan hampir dari kami semua kaget. Ternyata dalam urusan musik, selera Chinit tidak sesuai dengan imajinasi orang-orang akan gadis alim, yah mungkin ini imajinasiku saja sih. Aku jadi ingat Meilani, cewek SMA berhijab yang lemah lembut yang ternyata sangat piawai bermain gitar musik metal! (Yang belum tahu siapa doi, gugel aja gitaris berhijab, pasti doi langsung muncul.) Jadi teman-teman, pelajaran hari ini adalah jangan menilai orang dari penampilan dan jangan suka berasumsi. Plus satu lagi: "jika ingin kenal sisi lain temanmu, maka berangkatlah berkaraoke!". Nah kalau sudah mau berangkat karaoke, aku diajak ya. :)
We are very happy here! (Photo taken by me, that's why I'm not in it. :) )
Lagu demi lagu pun mengalun disertai kemeriahan dan kegembiraan kami. (Atau aku saja ya yang merasa gembira. Hahaha.... ) Aku tidak tahu berapa banyak lagu yang kami nyanyikan selama 2 jam itu. Aku ingat-ingat lagi 1-2 pilihan lagu dari teman-temanku ini. Rere: All about that bass (Megan Trainor), Iie: Duh Emen (Yosie Lucky) Cory: Seribu Tahun (Jikustik), Dita: Happy (Pharrel Williams) Arya: lupaa.... Chinit: Wind of Change (Scorpions), I want to break free (Queen) Aku: Selimut tetangga (Revublik), Benci untuk mencinta (Naif), dll Aih, ternyata aku banyak lupanya. Arya, maaf ya aku lupa sama sekali pilihan lagumu. :) Beberapa lagu dangdut juga nongol, seperti lagu 'Jatuh bangun'-nya Kristina dan 'Senyum membawa luka'-nya Meggy Z. Aku dan Cory adalah penikmat dangdut dan kami berduet menyanyikan lagu dangdut yang ternyata bikin capek. Dua jam yang menyenangkan. Dua jam yang menyegarkan. Waktu rasanya cepat sekali berlalu dan tiba-tiba lagu terakhir kami dendangkan. Kamipun kembali pulang ke Maharlika, rumah kami yang hangat di Darmaga. Kapan-kapan nyanyi bareng lagi yuk teman. Oia, satu lagi catatan penting yang hampir kelupaan. Skor tertinggi untuk karaoke adalah 99. Siapa yang mendapatkannya? Ha ha ha,... Tentu saja aku. Lagu 'Benci untuk mencinta' yang kunyanyikan sepenuh hati ternyata menyentuh hati si mesin karaoke juga. Hi hi hi hi... Love you all deuh!
The girls of Maharlika before the party! :)
(Iie, Cory, Dita, I, Chinit, Arya, Rere)
-------------
Di suatu gedung dengan dua ruang yang tak bersekat. Sepertinya sedang ada acara seni di suatu suasana yang mirip dengan kampus. Aku di sana bersama dengan sejumlah penonton yang gayanya mirip mahasiswa IPB. Tak terlalu ramai, mungkin hanya ada kurang dari seratus orang di sana. Kuberjalan melalui pintu masuk dan kulihat ada panggung di sebelah kananku. Panggung pendek, hanya 3- cm-an yang di atasnya dipenuhi alat musik band. Satu kejutan yang tak membuatku terkejut di alam mimpi adalah ada Duta Sheila On 7 di sana, nampak sedang menyetel alat-alat musik itu. Aku berlalu dan menuju ruang sebelahnya. Ruangan itu tak memiliki kursi satupun. Hanya ada tikar di lantai yang diperuntukkan bagi penonton. Panggung 30 cm-an pun juga ada di sana. Bedanya, panggungnya sangat luas, hampir 2/3 dari seluruh ruangan. Apa gerangan? Ternyata pertunjukan tari dan juga drama musikal. Aku duduk berselonjor di barisan paling depan penonton yang tidak banyak. Kunikmati sajian pentas tersebut sambil bergumam, "Wah, enak juga ya nonton acara beginian di paling depan.". Aku ingat beberapa waktu sebelumnya, aku tidak mendapatkan posisi terbaik untuk menonton pertunjukan. (Dalam dunia nyata mungkin ini adalah acara Cap Go Meh minggu kemarin. :D) Ada 4 penari di panggung itu. Mereka menarikan bersama beberapa tarian yang menurut pengetahuanku yang terbatas ini adalah tarian kontemporer. Yang membuatku terpesona adalah kostum mereka, sungguh menawan dan heboh. Kostum yang digunakannya mirip dengan kostum-kostum glamor di acara-acara karnaval Amerika sana. Warna-warni dan berkilauan. Beberapa kali kulihat para penari mundur dari panggung dan mengganti kostumnya secara kilat dibantu oleh asisten-asisten yang jumlahnya banyak. Mungkin lebih banyak dibanding penontonnya. Aihh,... Di penghujung acara tari, 4 orang itu menyanyikan lagu tanpa mikrophone. Suara mereka bagus, tapi sayang tak terlalu keras terdengar. Sesekali ada penyanyi yang turun panggung menghampiri penonton, mungkin agar interaksinya lebih dalam. Aku diam saja menikmatinya. Setelah selesai menyanyi dalam drama musikal itu, 2 diantara penari tiba-tiba bergabung dengan penonton. Mereka berkerudung dengan gaya kerudung anak kuliahan. Bukannya duduk tapi mereka berbaring. Satu diantaranya berkata pada penonton, "Tarikkan aku tikarnya dong." Salah seorang penonton menarik salah satu tikar dobel di dekatnya dan memberikannya pada 2 orang itu. Merekapun menggunakan tikar itu sebagai selimut. Merekapun beristirahat, seakan tak peduli jika di ruang sebelah bunyi musik band mulai mengalun. Intro-intro lagu yang kukenal milik S07 mulai mengalun. Acara seni memang akan ditutup oleh penampilan bandnya Duta ini. Intro lagu 'Sahabat Sejati' mengalun dan membuat penonton di ruang tari bersemangat untuk pindah ke ruang sebelah. Aku merasa kurang tertarik dan biasa saja. Aku tak tahu apakah aku juga ikut beranjak atau malah diam saja. "Sahabat sejatiku. Hilangkah dari ingatanmu, di hari kita saling berbagi. Dengan kotak sejuta mimpi.....", Duta-pun bernyanyi. Dan itu pula yang mengakhiri mimpiku pagi ini.
@himawari262
Tokyo from the sky
I arrived at Haneda International Airport at 10:10 pm on Wednesday December 4th 2014. Twelve hours flight didn't seem long enough for me to take a long sleep. The stupid or maybe smart (or both) game called Bejewelded helped me to spend almost all my time in my flight from San Fransisco to Tokyo. I think I fell a sleep just for 2-3 hours. My plan to read Amy Tan's Amazement of Valley was forgotten. Even, I forgot to go to the lavatory!
After got off the plane, I walked around 20 meters in the tunnel of 'elephant's nose' that connects the plane with the terminal building (if you know what I mean :D ). A very good looking guy or you can you an 'Ikemen' with a really brigth smile was standing there, said 'Arigatou gozaimashita' to all passengers. (Another job opportunity for ikemen. Ha ha)
The first thing I looked for in Haneda was the restroom. Then, I got another new experience in the matter of restroom! Actually, I heard it once from Mbak Minang that toilet in Japan's restroom was awesome. But now, I already felt it! It was super clean and the space was very convenient for me to make a move. The seat was warm. Nice! And when I started to do my stuff, the sound of water flowing just like a music was played. It was so funny and weird for my first time. Do you know that the sound is played to cover the real sound of our private work. So people don't need to worry if they want to produce a little noise in the restroom. :P
After finished the immigration process (Thanks God! It was just a short line), I officially entered Japan as a tourist. I went to baggage claim's place to take my luggages. To spend the night in Haneda airport is an excellent idea if you want to save more Yen to spend on another stuff. There are more that enough long chairs that comfy enough to lie down and relax. There were around 10 people including me there. I din't sleep at all and just continued playing game on my Ipad until the firt train came at 5:17 am. It was a long night, wasn't it?
And that was my first day in Japan! What about the next day? Read more about my travel in Japan in this blog. :)
It was already christmast season in December. Many beautful lamps like these almost everywhere at Haneda.
Tokyo Bandwagon
adalah dorama yang penuh dengan cinta dan menghangatkan jiwa. Dorama yang
diangkat dari novel karya Shoji Yukiya ini mampu membuatku menangis terharu
dengan kisahnya yang sederhana namun penuh makna.
Sinopsis
Tokyo Bandwagon
adalah rumah sekaligus toko buku antik di Shitamachi Tokyo yang dikelola oleh keluarga Hotta
selama 4 generasi. Sang kakek, Hotta Kanichi adalah pengelola Tokyo Bandwagon
sekaligus pemimpin keluarga. Anak satu-satunya, Hotta Ganato adalah musisi rock
kawakan yang memiliki 3 orang anak, yaitu: Aiko sang pelukis yang juga seorang
single mother, Kon sang penulis, dan Ao anak termuda yang digadang sebagai
pewaris Tokyo Bandwagon. Tinggal juga Hotta Ami - istri Kon dan 2 orang cicit Kanichi yaitu Kayo (anak Aiko)
dan Kento (anak Kon - Ami). Bersama pula sang nenek, Hotta Sachi yang meskipun
sudah meninggal tapi masih bersama keluarga besar ini.
Banyak hal unik dan
menarik yang terjadi di keluarga besar ini, misalnya saja tiba-tiba muncul dan
hilangnya buku di sana, kemunculan Misuzu Suzumi yang menyimpan banyak misteri, dan masih
banyak lagi. Apapun masalahnya pasti
bisa diselesaikan dengan cinta. Sang musisi rocker , Ganato selalu mengatakan,
"Rabu da ne." - inilah cinta.
Bagaimana keluarga
besar ini menjalani kehidupan sehari-harinya? Bersama mendiang sang nenek Hotta
Sachi, kamu akan diajak menyelami lebih jauh keluarga Hotta. Silakan nonton sendiri ya dan aku jamin kamu
bakal terharu melihat betapa indahnya cinta di Tokyo Bandwagon.
Tokyo Bandwagon
Menguliti Dorama
Bagaimana ya
memulainya? Ehm, yang jelas aku suka dorama ini.
Meski dengan alur
yang lambat dan datar di awal-awal, tapi dorama ini menceritakan kisah yang
sungguh menarik. Jadi, saranku adalah nonton Tokyo Bandwagon jangan di-marathon
tapi satu per satu saja. Nonton per episode akan lebih membuat kamu meresapi
kisah yang dalam dan lebih terhanyut di
dalamnya. Itu juga yang aku lakukan.
Mari kita kupas
dorama ini.
Ide
cerita
Bagus banget! Shoji
Yukiya patut diacungi jempol. Kisah ini memadukan antara cerita misteri,
romansa, famili, dan drama secara apik dan halus. Perpaduan antara rumah kuno,
toko buku antik, cafe dan keluarga besar lintas generasi yang tinggal bersama
menurutku sangat indah. Pada awalnya, keluarga Hotta terlihat seperti keluarga
besar yang biasa saja tapi kemudian muncul satu persatu kisah-kisah menarik
dari masing-masing anggota keluarga Hotta. Pemilihan tokoh nenek yang sudah meninggal sebagai narator cerita
sekaligus menambah kesan kuatnya ikatan keluarga ini.
Alur
Lambat sekali.
Biasanya aku kurang suka cerita drama yang beralur lambat tapi tidak untuk
Tokyo Bandwagon. Memang pada awalnya aku sempat bosan di episode awal saking
lambatnya. Dengan sabar aku mengikuti
cerita keluarga Hotta yang ternyata semakin penuh dengan kejutan. Lambatnya
alur malah membuat setiap kejadian di dorama ini semakin terasa alami. Jadi
kalau mau nonton dorama ini harus sabar ya. :)
Tokoh
dan pemeran
Semua karakter di
keluarga Hotta tergambar dengan apik oleh para pemerannya. Tokoh paling penting
menurutku adalah Hotta Ganato yang diperankan oleh Tamaki Koji. Sebagai roker
kawakan, Ganato selalu membawa keceriaan pada semua orang. Meski cenderung bersifat
'seenaknya', Ganato selalu ingin menyebarkan cinta dan kebahagiaan. Salah satu
ucapan yang menjadi ciri khasnya adalah "Rabu da ne." yang juga
menjadi semacam jargon di Tokyo Bandwagon.
Hotta Ao yang
diperankan Kamenashi Kazuya adalah karakter penting juga. Meskipun Ao sering
bertengkar dengan Ganato tapi sesungguhnya sifat keduanya sangat mirip dan
mereka juga saling mencintai satu sama lain. Begitu juga dengan saudara-saudara
Ao yaitu Aiko (Mimura) dan Kon (Kaneko Nobuaki). Seluruh anggota keluarga Hotta
adalah karakter yang menarik. Tokoh pendukung cerita misalnya Maddock dan
Fujishima, pelanggan sekaligus penggemar Aiko juga sangat memeriahkan suasana
di Tokyo Bandwagon.
Kredit lebih
kuberikan untuk sang nenek Hotta Sachi yang meskipun muncul hanya lewat suara
tapi rasanya 'dapet' banget. Suara nenek Sachi sangat pas untuk mengantarkan
penonton menikmati kisah di Tokyo Bandwagon.
Setting/Latar
Tokyo Bandwagon
membawaku berkeliling di sekitar Shitamachi sekaligus membuatku rindu untuk
mengunjungi kembali Tokyo. (Ah, kapan lagi ya
bisa ke sana?...hehehehe) Gang-gang perumahan, taman-taman kota, dan
juga tempat perbelanjaan di Shitamachi benar-benar terasa sangat 'Jepang'.
Rumah keluarga Hotta juga bagus. Rumah tua yang telah ditinggali selama 4
generasi dengan arsitektur kuno sungguh sangat sesuai dengan imaji Tokyo
Bandwagon sebagai toko buku antik.
Ada dua lagu tema
utama, yaitu: Sayonara arigatou yang dibawakan oleh Hotta band dan Searchlight oleh Saltmoderate. Kedua lagu itu
bagus namun yang paling bagus menurutku adalah lagu pembuka yaitu Sayonara
arigatou. Lirik dan melodinya pas. Coba kamu dengarkan dan resapi. Apalagi di
episode terakhir saat Ganato menyanyikannya, wuihh,... Sampai menangis aku
dibuatnya. "Tertawalah, meskipun kita berpisah kita akan tetap bersama.
Selamat tinggal dan terimakasih.", liriknya. Seperti juga keluarga,
meskipun pada akhirnya harus terpisah tapi tetap cinta yang ada tak pernah
padam. Nyanyi yuk bareng Om Tamaki Koji dan Kame-kun.
Banyak hal
sebenarnya yang ingin kutuliskan untuk review Tokyo Bandwagon tapi entah kenapa
rasanya sulit terungkap. Ya, seperti juga cinta. Kadang ia sulit dijelaskan
lewat kata. Karena dorama ini penuh dengan cinta, mungkin ini juga yang
membuatku sulit untuk menuliskannya. Hahahaha.. Satu kalimat terakhir buat yang
mungkin mampir ke sini: "Wajib nonton!". :)
"Hati-hatilah kau Diyah. Ingat,kamu ini perempuan. Jangan hanya berani ini-itu sendirian saja,...."
Ketika aku mulai emosi dan jengah saat beradu pendapat tentang masalah 'gender', aku mengartikan bahwa aku sudah mulai masuk dalam kehidupan komunitas itu. Ya, kekhawatiran yang ditujukan padaku adalah bentuk peduli dan juga penerimaan bahwa aku sudah menjadi bagian dari mereka. Namun begitu, satu sisi 'modern'ku selalu menolak cara berpikir yang kuanggap tidak relevan dan tidak beralasan. Tapi tetap, aku mengungkapkan ketidak setujuanku dengan cara sebaik dan sesopan mungkin, meski jujur di dalam diriku sempat panas juga. Ha ha..
Waktu itu, tahun 2013 aku berada di melinsum, salah satu dusun kecil di wilayah Sukadana, Kayong Utara, Kalimantan Barat. Di desa yang sarat masalah ini, orang-orang hidup dengan sangat bersahaja. Keramahan orang-orang dan keterbukaan mereka padaku membuat aku selalu terharu dan terkenang, bahkan saat aku sudah lama tak bersua. Masih ingat aku, saat itu di Melinsum orang-orang sedang kebingungan bertani karena tanggul air asin yang jebol yang memporak-porandakan satu-satunya sawah padi di dusun itu. Dan kebingungan lainnya, terseretnya mereka dalam konflik lahan dengan taman nasional Gunung Palung.
September 2013 adalah kali ke-2 aku mengunjungi Melinsum. Aku mulai mengenali dusun yang juga telah kunobatkan sebagai kampung halaman ke-2 ku setelah Boyolali. Begitu juga tentang perbedaan peranan laki-laki dan perempuan di sana, dari pembagian kerja, pengambilan keputusan kelompok, dan lain-lainnya.
Di Melinsum, laki-laki adalah pemimpin sekaligus yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan finansial. Sedangkan wanita bertanggung jawab mengurusi pekerjaan rumah tangga dari mencuci, memasak, mengurus anak, dan lain-lain. Laki-laki bekerja bertani, berladang ataupun menjadi buruh. Sedangkan perempuan mengurusi keperluan keluarga, namun seringjuga ikut membantu bertani. Tidak semuanya begitu, ada juga perempuan yang membuka usaha warung dan mendapatkan penghasilan tambahan. Sebenarnya, dari sisi pekerjaan, aku tidak melihat adanya perbedaan besar.
Aku dan perempuan-perempuan Melinsum
Bagaimana dengan hak, status, atau apalah itu, kurasa laki-laki memiliki keistimewaan lebih. Misalnya saja di proses pengambilan keputusan terkait desa atau perpolitikan, laki-laki mendominasinya. Tapi kulihat pihak perempuan tidak menjadikan itu sebagai masalah. Jika kutanya, jawabannya pasti "dari dulu juga begitu."
Suatu hari, aku menyampaikan rencanaku pada Bang Edi, tuan rumah tempat aku menginap selama beberapa lama. Kusampaikan jika aku ingin mengunjungi Desa Batu Barat di Teluk Melano yang lokasinya memang cukup jauh dari Melinsum. Aku akan ke sana sendirian, menyusul seorang kawan di sana. Jarak yang cukup jauh, daerah yang belum kukenal, dan desa terpencil di pedalaman adalah alasan yang cukup baik bagi Bang Edi untuk mengkhawatirkan keselamatanku. Aku selalu diingatkannya tentang ke-perempuan-anku. "Hati-hati kamu. Ingat kamu perempuan. Jangan suka jalan sendirian....", katanya. Anehnya, aku tidak suka itu.
Kenapa? Aku yang sering jalan sendirian kemana-mana, yang selalu berpikir positif bahwa pada dasarnya semua orang itu baik asal kita juga baik, yang selalu percaya bahwa antara laki-laki dan perempuan sama saja, menjadi agak gerah dengan itu. Aku jadi senewen dan bete, meski di dalam hati. Rupanya saat itu aku lupa satu hal, aku adalah seorang peneliti sosial.
Yah, setidaknya itu keinginanku.
Karena kebetulan aku perempuan dan aku adalah bagian dari mereka yang mungkin saja disini masih terlalu 'dijaga, aku jadi uring-uringan. Padahal jika kepalaku jernih, aku pasti senang dikata begitu. Nasehat Bang Edi padaku adalah wujud penerimaan mereka pada keberadaanku. Aku adalah bagian dari keluarga besar di sana. Apa mungkin aku ge-er? Tidak! Dulu, sebelumnya, mereka tidak pernah memberikan nasehat apapun padaku. Mungkin karena aku orang luar?
Aku beruntung sekali bisa berjodoh dengan Melinsum. Dusun kecil di Kalbar itu akan selalu jadi kampung ke-2ku yang selalu kurindu untuk pulang. Banyak hal lucu, menarik, menyenangkan, menjengkelkan, menggelikan dan semua yang selalu terkenang. Bahkan nasehat 'ingat, kamu ini perempuan.' juga selalu membuatku tersenyum. Aku bisa saja tidak setuju dengan nasehat itu, tapi aku tetap menyukainya.
Lagi pula, aku memang perempuan kan. Perempuan yang luar biasa tentunya. :)
Bang Edi dan istrinya
----------------------------
Judul : Kisah,
Kultur, dan Tradisi Tionghoa Bangka
Penulis : Rika Theo
dan Fennie Lie
Bahasa : Indonesia
Tebal : 206 halaman
Penerbit : Penerbit
Buku Kompas
Tahun :2014
Sinopsis:
"Thong ngin fan ngin jit jong", Tionghoa
maupun pribumi sama saja, adalah ungkapan yang terkenal di Pulau Bangka. Bangka
adalah pulau kecil di timur Sumatra yang istimewa. Di pulau yang terkenal
dengan timah dan Lada Mentok ini, masyarakat Tionghoa dan pribumi (sebagian
besar Melayu dan sebagian lainnya Jawa, Bugis, dll) telah ratusan tahun hidup bersama,
menciptakan akulturasi, pembauran dan silang budaya yang menarik dan khas.
Orang-orang Tionghoa
khususnya Suku Hakka (Khek) berdatangan ke Bangka dalam jumlah besar pada abad
17 seiring dengan semakin dikenalnya pulau itu sebagai penghasil timah. Pada
masa itu, orang-orang Tionghoa bekerja sebagai buruh di pertambangan timah sehingga
lokasi tambang juga identik dengan pecinan. Hingga pada masa kemerdekaan
Indonesia dan saat kini, masyarakat Tionghoa di sana tak bisa dipisahkan dari
popularitas timah Bangka.
Masyarakat Tionghoa
di Pulau Bangka sampai saat ini masih mempertahankan budaya yang dibawanya dari
tanah leluhur, Tiongkok. Perayaan, festival, sembahyang dan berbagai macam
kegiatan adat masih dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di Bangka, mulai dari perayaan
Tahun Baru Imlek, Sembahyang kubur Cheng Beng, Sembahyang Rebut, dan berbagai
kegiatan lain di sepanjang tahun. Banyak kisah, cerita, sejarah dan juga
filosofi dalam tiap adat budaya masyarakat Tionghoa Bangka yang menarik untuk
disimak di buku ini.
Pendapat
saya:
Menarik!
Saya senang sekali
bisa membaca buku tulisan Rika Theo dan Fennie Lie ini. Sudah lama saya
tertarik dengan kultur masyarakat Tionghoa di tanah air dan buku ini telah
memberikan satu gambaran ringkas namun jelas tentang masyarakat Tionghoa di
Bangka, salah satu pulau yang terkenal dengan jumlah masyarakat Tionghoanya
yang terbesar di Indonesia. Secara runut, penulis memberikan informasi tentang
kehidupan masyarakat Tionghoa Bangka dalam 4 bab utama, yaitu: Bab I mengenai
sejarah kedatangan orang-orang Tionghoa , Bab 2 mengenai kehidupan orang
Tionghoa dalam gejolak perubahan, Bab 3 tentang adat dan kultur yang masih
dipegang, dan Bab terakhir yaitu Bab 4 tentang sisi lain kehidupan masyarakat
Tionghoa Bangka. Menurut saya 4 bab dalam buku ini cukup bisa memberikan
informasi bagi pembacanya.
Secara lengkap buku
ini merangkum tradisi masyarakat Tionghoa sepanjang tahun, dimulai dari awal
hingga akhir Tahun Imlek, mulai dari perayaan tahun baru, Cap Go Meh di awal
tahun, hingga ritual Ban Fuk di penghujung tahun. Kisah, cerita dan makna di
tiap-tiap tradisi pun disampaikan dengan cukup baik. Ada sisi lain kehidupan
masyarakat Tionghoa yang juga menarik dibaca, yaitu tentang grup musik Tionghoa
yang sempat populer di masa lalu, grup Tanjidor yang sangat mirip dengan
tanjidor Betawi, dan Sekolah ThHK (Tionghoa Hui Kuan) yang terpaksa ditutup
karena disangkutpautkan dengan gerakan komunis di era 60an.
Yang paling menarik
bagi saya terhadap masyarakat Tionghoa Indonesia adalah bahwa mereka tidak
melupakan tanah leluhur dan budaya asal tapi mereka tetap merasa sebagai orang
Indonesia. Seperti yang dituliskan dalam buku ini: orang Tionghoa Bangka jika
ditanya, "orang mana?", akan menjawab, "Orang
Bangka.". Kembali lagi pada
ungkapan 'Thong ngin fan ngin jit jong', Tionghoa maupun pribumi sama saja,
sama-sama orang Indonesia.
Saya sangat
merekomendasikan bagi siapa saja yang tertarik dengan kehidupan masyarakat
Tionghoa nusantara untuk membaca buku ini. Sebagai 'museum hidup' kebudayaan
Tionghoa tanah air, Pulau Bangka memberikan gambaran yang unik, tidak hanya
dari kebudayaan asli Tionghoa-nya tapi juga akulturasi dan pembauran dengan
budaya pribumi lainnya.
--------------
@himawari262 '14
Gebleeeekkkkkk!!!
Kenapa ya orang selalu gelisah? Aku tidak paham. Apa yang
direncanakan sudah dilakukan tapi kok rasanya masih selalu ada yang kurang. Ada
rasa tidak puas yang selalu menyeruak minta untuk didengarkan. Apa yang salah
ya? Semakin lama semakin tak tahan lagi orang untuk mengabaikannya. Apa itu
panggilan jiwa yang kalau kata Mas Nugie adalah ‘Lentera Jiwa’ yang katanya
menerangi langkah setiap manusia?
Nah, aku juga saat ini merasakan ada panggilan di alam gaib
itu. Rasanya tiap pagi ada yang teriak-teriak, “WOY!!! Dengar aku!”. Aku sudah
berulang kali mencoba mendengar meski kemudian acuh hingga terlupa sampai lelap
di malam hari. Hingga esok paginya dia meneriakiku kembali. Haduuhhhh..... Dia
yang ngeyel atau aku yang budeg? Haruskah aku dengarkan dia atau bertahan saja
dengan kenyamanan semu yang melenakanku di siang hari?
Anjrit banget! Galau dan bingung kok terus-terusan. Kapan
mau selangkah ke depan? Atau mungkinkah sekarang ini sebenarnya aku sudah
selangkah di depan dari selangkah mundur setelah dua langkah maju. Hayo loh!
Pernah seorang sahabat berkata, “Lo tuh punya hampir semua
hal yang lebih dari gue. Lo lebih pinter, lebih ini, lebih itu, bla bla bla.
Tapi kenapa lo selalu menanyakan dan bingung dengan hal yang sama?!”. Ah elah, aku juga tahu itu. Aku bingung makanya nanya ke sahabat itu.
Lalu tentang Sang Master, ada pertanyaan gila yang tiba-tiba
bercokol di otak sadarku meski mungkin di bawah sadar dia sudah bersemayam
lama. “Untuk apa dan siapa kamu lakukan apa yang telah kamu lakukan? Demi apa?
Pernahkah kamu merasa hidup yang paling hidup untuk dirimu sendiri?”, aku
bertanya. Dan aku tak tahu.
Menjadi musafir namun diam di satu tempat. Menjadi orang
pintar tapi tak ada yang tahu. Menjadi seniman hanya untuk diri sendiri.
Terlalu sering bercinta dengan diri sendiri. Mungkin efek terlalu narsis. Love
your self but don’t love it too much! Kalau kata abang Freddie Mercury,
“Terlalu banyak cinta akan membunuhmu. Too much love will kill you.” Yang bisa
saja itu berujung pada pembunuhan dirimu sendiri.
Sereeeemmm.....
Si Lentera mulai membiaskan warnanya. Aku mulai melihat
cahaya dan merasakan pancaran hangatnya.
Dalam cahaya remang yang aku tahu akan menuntunku, aku termangu. Aku terpesona
olehnya dan malah diam terpaku dan terlalu lama menghabiskan waktu menatapi
awangan jalan yang diterangi lentera itu. Ini mungkin namanya ‘salah fokus’.
Nah, bagaimana caranya untuk mengembalikan fokus dan percaya
pada lentera yang menuntunku itu? Memulai untuk melangkah dan bergerak.
Penasaran kan pastinya dengan apa yang ada di ujung sana? Berbisik semangat
untuk tak pernah takut pada ketidakpastian, pada misteri, pada enigma. Aku
percaya itu, meski nyali masih malu-malu di sudut remang keyakinan, “Maju
enggak, maju enggak, enggak maju, maju enggak ya?”.