Hari ke-2 Karyasari: Romansa Air dan Hutan di Gunung Peuteuy

// // Leave a Comment

Hari yang penuhh...

Hari pertama mengenal KaryaSari lebih jauh. Tiba2 kepala terasa penuh. Baru berbicara dengan 1 orang tapi begitu banyak informasi baru yang memaksa berjubel di kepalaku. Ayolahhhh, lalu kuputuskan untuk pulang dulu kerumah Andi setelah aku wawancara dengan 3 orang ibu2 berdasarkan kuesioner yang telah kubawa. Padahal waktu masih sangat belia untuk dibilang siang.

Sampai disini ambil laptop lalu kubiarkan satu demi satu informasi yang berjubel tadi mengalir agar kepalaku agak kosong untuk nanti kuisi lagi dengan info baru.

Jalan menuju Gunung Sari tidak berbeda jauh dengan yang lain, terjal dan menanjak. Andi membawa motornya cukup apik sehingga aku merasa nyaman2 saja. Thanks a lot Andi. Sekitar 15 menit sampailah di depan sebuah rumah, cukup bagus untuk ukuran sekitar dengan lantai keramik warna hijau muda. Itulah rumah Pak Asep. Pak Asep adalah koordinator atau sesuatu yang berhubungan dengan PNU.  Sekilas kami lihat rumahnya sepi pertanda tidak ada orang di rumah tersebut. Lalu aku pun menurut Andi ikut jalan ke bawah untuk menuju MI (Madrasah Ibtidaiyah) tempat dimana Pak Asep menjadi guru. Gedung MI tidak terlalu jauh dari rumah Pak Asep, sekitar 50 meter an. Sampai disana, menunggu sekitar 5 menit dan muncullah Pak Asep.

Pak Asep cukup banyak menyampaikan informasi, dan beliau pula yang membawa banyak hal yang perlu kurekam. Setelah berkenalan dan menyampaikan maksud dan tujuan, kami mengobrol bebas.

Gunung Sari: Mata Air Citela dan Gunung Peuteuy, bagaimana kabarmu kini?

Dusun Gunung Sari terdiri dari 130-140 KK dengan masing-masing diasumsikan memiliki anak 4 orang (karena memang warga disana menganut sistem KB alias Keluarga Besar ^_^ canda Pak Asep - Pantas saja disetiap jalan kulalui tadi banyak bertemu anak2 kecil yang bermain-main di jalan). Sehingga jika dikira2 ada sekitar 1000 lebih jiwa di Gunung Sari sendiri.

Sumber air di dusun adalah dari mata air Citela yang berada di sebuah bukit yang lebih familiar dengan sebutan Gunung Peteuy.
Melalui program WSLIC (water Sanitation for Low Income Communities)-program dgn donor Bank Dunia yang dilaksanakan pemerintah- dibuatlah pipa-pipa saluran yang menghubungkan mata air Citela dengan perkampungan Gunung Sari. Program sekitar tahun 2006 dan cukup memudahkan masyarakat mengakses air untuk keperluan sehari-hari.  Gunung peteuy menjadi sumber air utama warga Gunung Sari. Sedangkan untuk sumber air lainnya yaitu sumur (namun hanya beberapa warga yang memilikinya).

Penggunaan air untuk masyarakat sendiri masih terbatas pada pemenuhan sehari-hari, untuk makan, minum, mandi, cuci, dan lain-lain selain untuk budidaya tanaman persawahan dan kolam ikan.

Dahulu, sekitar 20 tahun lalu, air sangat melimpah di Gunung Sari. Air dari mata air Citela mampu mengairi sawah dengan cukup sehingga memungkinkan musim tanam padi setahun 3 kali. Tidak pernah ada kasus kekurangan air karena air masih sangat melimpah. Sekitar tahun 90-an awal warga juga melakukan sistem minapadi yaitu memelihara ikan di sawah dengan hasil panen yang cukup lumayan selama sebulan sekali- sistem minapadi tersebut dikenalkan oleh mahasiswa dari IPB yang sekaligus memberi bantuan berupa bibit ikan sebanyak 25 kg dan beberapa alat teknis lain.

Beberapa masalah mulai muncul saat ini. Di saat musim kemarau debit air menurun tajam. Bahkan bak penampungan WSLIC (warga menyebutnya sebagai bak “weslic”) yang berjumlah 11 (atau mungkin lebih) menjadi berkurang isinya bahkan ada yang kering.  Padahal menurut Pak Asep pula pada waktu awal program WSLIC, hal seperti ini belum pernah terjadi. Dalam kurun waktu 2-3 tahun kondisi air sudah banyak mengalami perubahan, kalau seperti ini terus dalam waktu 3 tahun ke depan sumber air disini akan habis. “Saya heran, kemana perginya air tersebut?” kata Pak Asep, yang aku jawab dengan “ ke Jakarta kali pak” dengan senyum yang aku sendiri ga tau apa artinya.

Jika musim kemarau dan air di bak weslic sedikit atau habis, warga mencari air di tempat lain, misalnya di sumur (namun kadang pula sumurnya jadi kering/sedikit airnya jika musim kemarau), di sawah, dan tempat lain yang berair meski jaraknya cukup jauh. Warga menggunakan jerigen/ember dan wadah yang bisa digunakan untuk mengambil air tersebut.  Hal ini baru terjadi belum lama ini.

Masalah kekurangan air di musim kemarau ini menimbulkan banyak masalah, selain kendala dalam pemenuhan air sehari-hari, berdampak pula pada produksi pertanian yaitu sawah. Produksi padi yang dulu bisa panen 3 kali setahun berkurang menjadi 2 kali setahun karena air yang sangat terbatas, dulu irigasi menggunakan air dari Citela, namun semenjak debit sangat berkurang, pengairan jadi lebih banyak bergantung pada hujan yang tak menentu turunnya. Hasil panen yang berkurang berdampak pada subsistensi warga terhadap beras. Menurut Pak Asep, seharusnya minimal seorang petani harus bisa terpenuhi kebutuhan berasnya dari semenjak panen sampai panen berikutnya. Namun saat ini biasanya, 2 bulan setelah panen petani sudah kehabisan stok padinya dan harus beli di luar. Selain hasil panen yang berkurang, pengurangan debit air juga menyebabkan sistem minapadi tidak bisa dilakukan lagi karena air di sawah dangkal.

Penyebab pengurangan debit air disadari oleh pak Asep berasal dari memburuknya kondisi hutan di Gunung Peteuy. Banyak pohon yang sudah ditebang oleh masyarakat untuk berbagai keperluan.baik subsisten maupun komersil, sangat mengkhawatirkan kondisinya.

Diperlukan suatu tindakan yang nyata untuk menyelamatkan kondisi mata air Citela. Salah satunya adalah dengan penanaman pohon. Pak Asep pernah mengusulkan penanaman, di lahan seluas 6 Ha (aku lupa milik siapa) di dekat mata air Citela yang rencananya akan difungsikan sebagai lahan “konservasi”. Namun ada kendala saat pengusulannya karena alasan pohon yang ditanam khawatir nanti tidak boleh ditebangi/dipanen. Padahal menurutnya penanaman itu memang bertujuan untuk melindungi mata air, bukan untuk tujuan ditebang. “Sampai kapanpun, pohon2 di dekat mata air memang tidak boleh ditebang” jelasnya. ----diusulkan kmana?----

Tentang Gunung Peteuy sendiri, menurut informasi dari Pak Asep merupakan tanah tak bertuan, yang sejak jaman Belanda katanya sudah begitu. Masyarakat menggarap tanah di lahan tersebut sudah cukup lama. Pernah ada penanaman pinus dari pemerintah (Perhutani sepertinya?) namun digagalkan oleh masyarakat dengan menebang pohon2 pinus muda yang belum lama ditanam. Lahan tersebut akhirnya dibagi2kan secara bebas kepada masyarakat yang waktu itu ada, jadi masyarakat dengan bebas mematok tanah2 sebagai batas antar tanah2 sesamanya. Lahan tersebut akhirnya ditanami dengan berbagai macam tanaman dan pohon2 (sengon, pete, jengkol,dll). Kejadian ini sekitar tahun 70/80 an (nanti di cek lagi deh....)

Saat ini ada isu bahwa Gunung Peteuy merupakan wilayah Taman nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS)—menurut Pak Asep, kabar itu ia dapatkan dari TELAPAK--. Lalu beliau melakukan pengecekan ke pihak TN (masih agak ragu juga) tentang status Gunung Peteuy dan menurutnya Gunung tersebut TIDAK termasuk wilayah Taman Nasional. Jadi tidak ada masalah terlalu berat terkait status lahan. Bahkan rencananya akan ada usaha untuk menjadikan lahan di Gunung Peteuy memiliki SPPT dan sah menjadi milik warga. ----its great i think---

Lahan di gunung Sari sudah banyak yang menjadi milik warga luar desa. Seperti banyak kasus, banyak lahan yang dijual. Pembelinya kebanyakan berasal dari Jakarta (sepertinya warga senang memakai kata “orang Jakarta” untuk menyebut para pembeli itu, entah dari Jakarta benar atau tidak), bahkan ada kebun duren yang dimiliki orang Korea (kalau yang ini aku yakin pasti Korea betulan). Harga tanah dijual sangat murah menurutku, sekitar 5000 rupiah per meternya. Coba bayangkan kalau 1 juta saja, sudah 200 m2 lahan yang bisa didapat. Padahal uang 1 juta aku yakin sekali bukanlah nominal yang begitu berarti di kota. –aku sempat terpikir, boleh juga beli lahan di gunung,buat tanam Duren ^_^--

......................................

Dari Pak Asep, aku dan Andi lalu menuju rumah warga yang lain. Sasaranku adalah ibu-ibu, karena kalau bapak2 siang2 ke kebon. Lalulah aku pergi berjalan di pandu Andi mencari target. Waktu kami melihat 5 orang ibu-ibu yang sedang mengobrol di suatu teras rumah, kami mendatanginya. Dengan tatapan mengiring kami mendekat. Aku memperkenalkan diri sejenak, dan berkenalan dengan ibu-ibu tersebut. Karena aku cepat sekali lupa nama orang, maka hanya nama responden yang aku tulis yang aku ingat. Namanya ibu Yoyoh, umur 22 tahun, dialah responden keduaku, setelah mama Andi tentunya. Ibu Yoyoh terpilih jadi responden karena ditunjuk oleh yang lain. Sepertinya aku masih menjadi orang yang aneh dan menakutkan sehingga orang sungkan untuk kujadikan responden, bahkan salah satu ibu2 tersebut malah pulang... ‘_’..sedihnya. tapi its okay. Mulailah aku menyodorkan beberapa pertanyaan kepada ibu Yoyoh yang sedang menjaga anaknya dalam gendongan. Banyak pertanyaan yang dijawab bersama-sama karena memang kondisi jawaban juga yang sama. “Apakah Ibu punya Sumur?” dijawablah bersama-sama bak paduan suara “Tidaaaakkk”.....hehehehe

Setelah selesai, aku beranjak ke rumah sebelah, dan mulailah aku bertemu responden ku yang ketiga. Namanya Ibu Jubaidah, ibu berumur 56 tahun yang aslinya berasal dari Tasikmalaya. Tidak berapa lama aku tahu bahwa ibu Jubaidah adalah ibunya Pak Asep. Ibu Jubaidah banyak bercerita. Beliau lebih santai dalam menjawab beberapa pertanyaan yang aku ajukan. Mungkin karena memang beliau cukup bayak bergaul dengan orang-orang luar.

Menjelang siang aku dan Andi mampir ke kumpulan ibu-ibu yang sedang memasak, dan bertemulah aku dengan respondenku yang ke 4. Ibu Ikah, 24 tahun yang sangat pemalu. Cukup singkat waktunya. Karena sulit nyambung dan kelihatannya sibuk sekali. Lalu pulanglah aku dan Andi ke Taman Sari. Dalam perjalanan pulang, sempat kulewati bak weslic yang airnya meluap-luap. Seperti tidak terjadi apa2 dengan air disini.....

Sebelum pulang ke rumah, sempat ke Puraseda untuk membeli pulsa, melewati sungai Cianten yang membelah jalan. Beli pulsa 2000 sms IM3 biar ngirit, lagipula sinyal indosat paling kuat disini. Telkomselku bahkan tidak bisa dipakai jika sedang di rumah Andi.

Di rumah Andi makan siang dan istirahat, sambil menulis beberapa hal yang kuanggap penting. Menunggu sore yang hendak datang sesaat lagi untuk kembali lagi ke Gunung Sari.

Jam 14.45 kembali ke Gunung Sari, mencari responden lagi. Kali ini bertemu Pak Ibrahim (ditegaskan Ibrahim pake ‘a’ bukan ‘o’, biar tak sama dengan Boim sang teroris – bisa aja bapak satu ini). Bapak ketua RT yang baik dan ramah. Disini aku pake perekam...heeeeey, kenapa ga dari tadi ya...lumayan juga jadi tidak usah terlalu repot nulis2 dan ngobrol jadi cukup santai.

Ternyata banyak juga kuisionernya, sampai aku dan Pak RT capek ngomong. Hehehehehe. Tapi syukurlah selesai juga. Sore itu aku pulang, jam 5 , biar tidak ketinggalan Putri Sendok yang mau main di Indosiar. ^_^.

Sampai di rumah Andi, bang Harun tidur di kursi, sepertinya capek sekali. Sambil nonton tipi sambil ngetik. ..

Malemmm lagi
Dinginnn lagi
Ngantuk lagi

Bobo lagi.......

17 Des 2009

Karyasari: Catatan Perjalanan Pertama  < --before --- next---> hari ke-3: waktu lelap

Yang lain tentang Mata Air Citela klik sini dan sini

0 komentar:

Posting Komentar