Antara Hutan dan Air? -Sebuah Jawaban dari Melinsum

// // Leave a Comment

Lulus dari sebuah universitas dan menyandang gelar akademis di bidang kehutanan. Setelah bertahun-tahun berkutat dengan ilmu-ilmu dasar kehutanan. Lalu aku bekerja di bidang Air. Sumber Daya Air. 

antara air dan hutan
img source: here
Kadang terbersit di hati, apa aku salah jurusan? Apa aku salah pekerjaan?

   Memang sih, banyak yang bilang bahwa dunia kerja kadang tak mengijinkan kita untuk mempertahankan idealisme, mempraktikkan apa yang kita pelajari. Coba saja lihat, berapa banyak lulusan-lulusan yang bekerja di luar bidang keilmuannya. Ahli kehutanan bekerja di Bank, ahli perikanan bekerja di perusahaan asuransi, artis bekerja sebagai politikus :) dan tentu masih banyak lagi di sekitar kita. 

"The Right Man in The Right Place" kata Henry Fayol, seorang industrialis asal Prancis.



    Lalu apakah aku adalah orang yang tepat bekerja di air? Sedangkan dasar ilmuku adalah kehutanan? Apa konsekuensinya?

    Banyak pertanyaan-pertanyaan itu muncul, hingga akhirnya aku dapatkan jawabannya di suatu dusun kecil di pinggiran Taman Nasional Gunung Palung bernama Dusun Melinsum,  Suatu dusun di Desa Sejahtera, Kec. Sukadana, Kab. Kayong Utara. Selama hampir dua minggu aku berada di dusun ini.

    Masyarakat lokal di sini mengajarkan padaku tentang bagaimana kerasnya hidup, berbagai pilihan yang hampir tidak ada, harapan akan masa depan yang masih buram, dan kebaikan terhadap sesama. Bukan suatu rahasia jika sebagian besar kehidupan masyarakat di sekitar hutan, khususnya kawasan konservasi seperti Taman Nasional di negara ini, masih jauh dikatakan dari sejahtera. Mereka yang paling dekat dan berinteraksi tinggi dengan hutan adalah mereka yang paling memprihatinkan hidupnya. Namun keberadaan mereka juga kadang dianggap sebagai ancaman dan gangguan terhadap kawasan konservasi itu sendiri, meski mereka  sering lebih dulu ada dibanding status kawasan konservasi itu ditetapkan. 

Mengutip pendapat Santoso (2004) yang mengungkapkan bahwa istilah desa hutan (atau dalam hal ini adalah masyarakat di sekitar hutan) mengacu pada daerah yang berada di sekitar maupun dalam kawasan hutan. Istilah ini meletakkan desa sebagai bagian dari wilayah kehutanan dan keberadaan masyarakatnya dianggap kalangan tertentu (pemegang HPH dan pemerintah) sebagai ancaman terhadap keamanan hutan. Kondisi ini memunculkan persepsi negatif tentang masyarakat desa hutan, dimana semakin hutan dekat dari masyarakat semakin tidak aman. Sebaliknya jika semakin hutan tersebut jauh dari desa maka semakin aman. 

Konflik juga seringkali terjadi, tidak hanya di satu dua wilayah saja, namun menurut Rudianto (2009) pada saat ini tidak ada kawasan taman nasional di Indonesia yang bebas sama sekali dari konflik ruang dengan permukiman dan pertanian. Areal pemukiman dan pertanian yang bersinggungan dan/atau terletak di dalam kawasan konservasi sering dipandang sebagai okupasi ilegal atau tindak perambahan yang dapat mengancam kelestarian dan keutuhan kawasan. 

Bagaimana dengan masyarakat Melinsum sendiri? Tentu saja tidak jauh berbeda.

Wilayah dusun ini sendiri masih dalam wilayah abu-abu, hampir sebagian besar masuk dalam kawasan TN Gunung Palung. Kebun, sawah-sawah dan areal pertanian, bahkan rumah-rumah masyarakat masuk di dalam kawasan TN yang merupakan kawasan konservasi. Yang masyarakat tahu tentang taman nasional adalah bahwa 'segalanya dilarang'. Ini dilarang, itu dilarang, semuanya dilarang. Dan secara otomatis keberadaaan TN menjadi semacam 'musuh'. 

Tentu saja aku tahu bahwa pendapat itu salah. Ya, Taman Nasional tidak melulu adalah peraturan dan larangan. Tujuan TN sendiri juga menyangkut kesejahteraan masyarakat. Namun, mengapa anggapan itu muncul? Tentu menjadi pertanyaan ku. (Tinggalkan pertanyaan ini dulu)

Lalu apa kaitan antara kondisi ini dengan AIR yang telah memberiku jawaban.

Ya, ketika aku di sana itulah, musim kemarau sedang memuncak, sekitar awal September tahun ini. Air bersih menjadi barang langka yang sulit didapatkan. Tidak hanya di dusun ini saja, namun hampir terjadi di seluruh wilayah di sekitarnya. Hampir seluruh saluran air di rumah-rumah mati dan tidak mengalirkan air. Setiap sore, sungai menjadi tempat berkumpul orang-orang yang ingin mandi, mencuci dan berbagai keperluan lain. Letak sungai terdekat adalah sekitar 5 km dari Melinsum. 
Selain sungai, warga Melinsum juga mendapat air dari saluran air (lebih tepatnya selang) yang menyalurkan air dari mata air (atau sungai kecil) dari dalam hutan (tentunya di kawasan TN). Namun selang air itu hanya satu dan juga terletak di rumah seorang warga yang berada di pemukiman terakhir yang dekat dengan hutan. Jarak dari jalan utama Sukadana adalah sekitar 2-3 km, cukup jauh. Dan di sinilah aku setiap hari mandi dan mencuci bersama-sama dengan masyarakat Melinsum. Satu selang untuk semua. 

Selain kondisi sulit air itu, masyarakat Melinsum juga menderita akibat hancurnya lahan persawahan karena banjir air laut yang menggenangi hampir seluruh sawah. Memang, pasang air laut adalah hal alami, namun pasang di Melinsum seperti momok yang mengerikan. Hampir seluruh panen gagal, padi-padi mati, dan sawah rusak. Penyebab utamanya adalah karena tanggul yang membatasi antara kanal air laut dan sawah  jebol dan ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Kenapa tidak ada perbaikan tanggul ini? Ya, kembali lagi ke masalah kawasan. Lokasi persawahan yang terletak di kawasan TN menimbulkan masalah baru lagi. 

Jika petani tak bisa bertani lagi, Lalu apa yang harus mereka lakukan? 

Saya juga bingung ketika ditanya seperti itu. Tidak banyak yang dapat dilakukan oleh sebagian besar masyarakat. Bersawah tak bisa, berkebun dilarang, mau bekerja yang lainpun tidak memiliki ketrampilan dan keterbatasan pendidikan. Panen durian pun hanya setahun sekali sedang kebutuhan hidup selalu ada setiap hari. Lalu mau apa? Salah seorang warga mengatakan sembari bercanda namun aku tahu dia serius "Mungkin orang TN pengen kita mati di sini". 

Sebagian besar masyarakat bekerja 'macam-macam' alias apapun dikerjakan asalkan mendapatkan uang. Buruh bangunan, pedagang keliling, buruh tani, dan bahkan 'menggesek kayu' pun dijalani demi mempertahankan hidup hari per hari. Ya, menggesek kayu atau illegal logging, suatu istilah yang pernah populer beberapa waktu silam dan menjadi istilah umum saat ini. Bukan tanpa alasan beberapa masyarakat melakukan itu, mereka pun tahu betapa besar resiko yang ditanggung dan penghasilan yang juga tidak seberapa besar. Namun mau apa lagi?

Mulai dari sinilah kemudian jawaban pertanyaan awal saya terjawab. 

Para logger mengatakan pada  ku bahwa mereka hanya akan memotong kayu tertentu saja dan dalam jumlah tertentu saja. Kenapa? Ternyata jawabannya cukup mengejutkanku.

"Kalau hutan habis kita juga yang repot. Nanti air gak ada lagi. Sekarang saja hutan masih lebat air sudah sulit, apalagi kalau hutan habis dibabat. Bisa mati kita. Bunuh diri bersama itu namanya".

Haahhh....
Ternyata itulah alasannya. 

Jika air menjadikan masyarakat menjaga hutan. Maka air adalah kuncinya. 

Dan aku seketika menyadari, aku telah menemukan apa yang kucari. Kenapa aku bimbang dengan air namun tak kuasa meninggalkannya. Ya. Dengan menggeluti air maka aku akan tetap menjaga hutan. Semakin aku mencintai air maka cinta-ku pada hutan akan semakin bertambah. Bukankah begitu? Tiba-tiba aku ingin semakin giat belajar tentang hidrologi, ingin memahaminya, ingin mendalaminya. 


Dan aku juga menjadi tahu bahwa "aku berada di tempat yang tepat". 


Terimakasih Melinsum, untuk semua pelajaran dan pembelajaran yang telah aku dapatkan di sana. Selamanya jika aku masih sanggup mengingat, maka Melinsum tidak akan pernah aku lupakan. Dan selalu aku berharap bisa ke sana lagi, dan tentu saja harapan agar kehidupan lebih baik di masa depan kelak.


Pustaka

Rudianto AW. 2009. Analisis perkembangan permukiman dan kebun kopi di   Taman Nasional Bukit Barisan Selatan: Studi Kasus di Dusun Sidomakmur, Kecamatan Way Tenong, Kabupaten Lampung Barat [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Santoso H. 2004. Perlawanan di Simpang Jalan, Kontes Harian di Desa-Desa Sekitar Hutan di Jawa. Yogyakarta: Damar






0 komentar:

Posting Komentar