15 Mei 2013
Hari ini diisi dengan berjalan kaki.
Ketika bangun pagi jam 6, kudengar beberapa orang berbincang. Aku curiga, jangan-jangan semalam orang-orang ini tidak tidur. Sungguh hebatnya mereka, jika memang demikian. Sesuai kesepakatan kemarin, pagi ini tim UKP3 akan berjalan-jalan menuju kebun/hutan dari jam 7-8. Namun kami berangkat sekitar jam 7.30, karena ritual tunggu-menunggu dan jam karet yang masih melekat di budaya kita bersama J.
Kami mengambil jalan ke arah utara desa, menyusur jalan setapak yang sering dilewati sepeda motor orang-orang sini yang pulang-pergi ke kebun atau bepergian jauh ke Kulawi. Dimana ya Kulawi? Ah, aku belum terlalu jelas, namun akan kucari tahu nanti. Pagi ini, udara cukup dingin sehingga kubawa jaketku meski hanya kumasukkan dalam tas. Kami berjalan ditemani oleh Pak Sekdes, Bapak x (lupa) , dan juga Ibu Femi.
Di sepanjang jalan kulihat kebun-kebun masyarakat yang ditanami kopi dan kakao. Jika kakao ditanam untuk dijual hasilnya, sedangkan kopi ditanam untuk diminum sendiri. Orang Sulteng khususnya di Lembah Bada, memang sepertinya doyan sekali dengan kopi. Dari kemarin selalu kulihat kebun kopi di setiap tempat, bahkan di pekarangan rumah. Bahkan Pak Sekdes mengatakan bahwa ini bukan lagi kebun kopi tapi ‘hutan kopi’ saking banyaknya tanaman kopi. Memang sih, kopi di sini enak. Semalam ketika acara di balai desa, aku sempat mencicipinya. Rasanya ada sesuatuuu.. (selain kopi di sini ada juga MiLo-nya, namanya Saguer).
Kakao adalah sumber utama perekonomian masyarakat Bada karena hanya kakao yang bisa dijual dengan harga yang lumayan dan musim panen yang teratur. Itulah kenapa kakao menjadi pilihan utama di antara pilihan-pilihan sulit lainnya. Kenapa sulit? Karena komoditi yang lainnya seperti kopi, padi, sayur dan jagung yang juga ditanam oleh penduduk hampir tidak memiliki harga pasar yang baik. Salahkan pada kondisi jalan yang jelek. Karena biaya transportasi yang mahal, harga-harga produk di daerah ini menjadi jatuh jika dijual, sebaliknya harga-harga dari luar menjadi mahal di sini. Harga kakao per kg di Tuare adalah 15-16 ribu. Harga ini bisa berselisih 4-5 ribu lebih rendah dari harga kakao di Tentena. Meski beberapa orang mengatakan harga ini terlalu jauh berselisih, namun tidak bisa ditawar lagi. Tengkulak yang membeli kakao selalu mengeluhkan buruknya transportasi sebagai alasannya. Dan memang demikian kenyataannya.
Kami sampai di tempat pembangkit listrik PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro). Tidak jauh dari lokasi ini terdapat beberapa bangunan dari kayu: sebuah aula besar berukuran sekitar 10 x 15 meter, sebuah tempat duduk mirip gazebo untuk 4-5 orang, sepasang toilet dan kamar mandi, dan sebuah tempat pemandian air panas. Di dalam ruangan terakhir, bangunan kayu berukuran 3x3 meter, di dalamnya terdapat sebuah pipa yang mengalirkan air panas/hangat. Bau belerang memang sudah mulai tercium di sekitar tempat ini. Tempat ini adalah tempat wisata, namun saat ini sudah tidak terlalu sering dikunjungi orang.
Adanya air panas ini membawa fantasiku mulai bekerja. Terpikir olehku bahwa dulunya Lembah Bada adalah sebuah gunung besar yang kemudian meletus hebat. Kawah hasil letusan kemudian digenangi air menjadi sebuah danau. Kemudian danau itu mengering dan jadilah sebuah lembah/ tanah datar di atas kawah itu. Itulah Lembah Bada yang dulu pernah ditemukan oleh Rawintu, bangsawan dari Baibunta. Menurut cerita sejarah, lembah ini memang dulunya adalah danau. Beberapa lokasi air panas ini menjadi sedikit bukti adanya kawah itu. Jadi jika mungkin fantasiku mepet-mepet kenyataan, maka dulu di sini adalah letak Super Volcano seperti yang di film-film Hollywood itu. Hehehehe....
Lanjut,..
Kami melanjutkan perjalanan kembali. Sekitar pukul 8.30 kami berhenti di bendungan sungai. Tinggi bendungan hanya sekitar 2 meter. Air dari bendungan disalurkan untuk keperluan irigasi di sawah-sawah. Beberapa kawan di UKP3 sempat berbincang-bincang dengan Bapak pemangku adat yang mengiringi kami. Mereka membicarakan tentang adat perkawinan dan sedikit tentang pengelolaan sumberdaya alam. Mengulang diskusi semalam.
Jam 9 kami kembali pulang. Kali ini melewati jalan lain yaitu menyusuri saluran irigasi berupa parit selebar 1 meteran yang sudah dibeton kanan-kirinya. Jalan pulang ternyata lebih becek dari ketika berangkat. Tapi kami menikmatinya. Jalan tembus menuju tempat air panas dan turbin PLTMH yang tadi. Kami sampai kembali di penginapan jam 9.30an.
Kemudian kami sarapan pagi bersama. Doa makan dipimpin oleh Bapak pendeta. Setelah lelah berjalan, sarapan ini terasa enak sekali. Aku sampai nambah dua kali.
----
Padang Sepe dan Patung Palindo
Hari ini rombongan UKP3 ingin melihat patung Megalith peninggalan peradaban zaman batu besar. Ibu Femi mengajakku untuk ikut rombongan saja, nanti pulangnya bisa naik motor dari Gintu. Yap, aku setuju saja. Kami berangkat sekitar jam 11 lewat beberapa menit.
Lokasi patung yaitu di suatu padang rumput yang dinamakan Padang Sepe. Sebenarnya terdapat sebuah jalan yang cukup lebar, yang dapat dilalui mobil, namun jalan tersebut rusak parah di satu bagian. Terpaksa kami harus berjalan kaki menyusuri Padang Sepe. Kulihat tiang-tiang listrik yang tinggi sambung menyambung membentuk jemuran raksasa J (ini adalah kelakar dari seorang anggota UKP3, lupa aku namanya). Lumayan jauh jalan yang harus kami tempuh, sekitar 30 menit mungkin. Di padang rumput yang tidak ada tempat berteduh, di tengah siang bolong jam 12, kami melewati padang luas itu. Untungnya aku sudah bawa topi. Rasa-rasanya matahari menyengat ubun-ubun.
Sampai juga di Patung Megalith yang dituju. Nama patung tersebut adalah Patung Palindo. Palindo artinya yang menenangkan, menentramkan, mendamaikan. Katanya patung ini adalah patung perempuan, namun aku melihat ada simbol lelaki di patung ini. Ehm, apa ya maksudnya? Nanti aku mau tanya ke sesepuh di Bada ini. Selain Palindo, ada beberapa patung lainnya, namun lokasinya tersebar. Pak Marten yang kutemui di Tentena kemarin mengatakan jika saat ini sedang ada penelitian tentang peninggalan Megalith itu.
Patung Palindo di Padang Sepe |
Sekitar satu jam kami berada di sekitar Palindo. Untungnya ada sebuah saung yang dapat kami gunakan untuk berteduh selama di sekitar Palindo. Saatnya kembali menyusuri teriknya mentari di Padang Sepe.
Perjalanan di lanjutkan dan kami sampai di Gintu. Karena sesuatu hal, rombongan UKP3 baru berangkat dari Gintu jam 3. Mungkin nanti malam mereka baru bisa sampai di Tentena. Aku sendiri kembali ke Tuare sekitar jam setengah 5. Aku membonceng motor Bapak Hill, nama asli bapak ini aku tidak ingat karena terlalu asing di telingaku. Setelah sampai di rumah aku mulai membersihkan badan dan mandi.
Ketika mulai petang dan gelap aku baru sadar jika listrik mati. Ya, semalam ada kerusakan listrik sekitar jam7 sehingga sampai hari inipun listrik belum nyala. Padahal di Tuare ini, listrik biasa menyala 24 jam. Untungnya penginapan ini memiliki genset sehingga tak lama kemudian mesin genset dihidupkan dan listrik mulai menerangi rumah ini. Rumah inipun menjadi seperti satu-satunya cahaya terang di tengah-tengah kegelapan malam yang menjelang.
Lelah kurasakan di kakiku yang pegal-pegal. Mala mengatakan bahwa rasa pegal seperti betis ketarik ke atas di Palopo disebut rasa ‘tikus-tikus’. Jadi malam ini kakiku berasa ‘tikus-tikus’. Setelah makan malam bersama Ibu Femi, aku pamit ke kamar. Ibu Femi juga sudah terlihat lelah. Jam masih jam 8 malam, namun rasanya sudah ingin istirahat saja. Selain itu, aku juga harus memanfaatkan listrik yang hanya menyala beberapa jam ini.
Aku masuk kamar, mencolokkan listrik ke elektronik yang mulai sekarat, menulis yang masih bisa terpikirkan, susun rencana esok hari, belajar vocab Jepang ritualku sebelum berangkat tidur, berdoa, dan tidur.
Semoga besok pagi semuanya lancar.
Padang Sepe yang luas dan panas |
journey 4: Penyambutan dan Dero <----- before="" nbsp="" next-----="">Journey 6: Rumah adat Bada
----->
----->
0 komentar:
Posting Komentar