A Journey to Tampo Bada (11): Menelusur sejarah (bagian II)

// // Leave a Comment

21 Mei 2013

Menelusur Sejarah (II)


Aku dan Pak H Mangela
Episode sejarah kembali lagi hadir di hari ini. Simpang siur yang 3 hari lalu membuatku pusing akhirnya hari ini terurai sudah. Terimakasih tentunya untuk nara sumber yang sangat fasih menceritakan kisah sejarah : Bapak Hendrik Mangela. Hari ini adalah episode khusus untuk Bapak satu ini.
--
Hari ini, sesuai rencana, kami akan memperbaiki kisah sejarah yang simpang siur. Yah, ingin kutekankan lagi bahwa meskipun sejarah bukan menjadi inti dari buku yang harus kutulis, namun unsur sejarah menjadi satu hal yang juga krusial. Penting. Menuliskan sejarah pun ternyata tidak semudah yang kubayangkan. Namun hari ini aku banyak belajar. Akupun berangkat dari Tuare jam 10.00, setelah Ibu Femi selesai mengajar di SD. Hari ini aku dipertemukan dengan Bapak Hendrik Mangela yang bertempat tinggal di Pada. Desa yang cukup jauh juga dari Tuare.

Seperti kemarin, kami menggunakan dua motor: aku berboncengan dengan Bang Adi, Ibu Femi menyetir sendiri. Semalam tidak hujan, jalan sedikit lebih kering dari kemarin-kemarin. Namun tetap saja di titik terlicin jalur Kageroa-Lengkeka, Ibu Femi menyerahkan motornya untuk diseberangkan oleh Bang Adi di jalan licin tersebut. Kami beristirahat sejenak di Gintu dan meneruskan perjalanan ke Pada. Langit cerah biru, awan putih, bukit-bukit hijau, udara panas.

Sesampainya di kediaman Pak Mangela, ternyata yang dicari tidak ada. Beliau sedang di Gintu, sedang ada pekerjaan penterjemahan Al Kitab ke Bahasa Bada yang menjadi tanggung jawabnya. Inilah resiko bertamu tanpa pemberitahuan. Hehehe... Jadinya untung-untungan. Kami memutuskan untuk ke Gintu saja, menyusul Pak Mangela.


Sebelum ke Gintu, Ibu Femi mengajakku ke Bomba untuk sejenak melihat situs penggalian arkeologi di dekat wilayah tersebut. Jalan menuju situs adalah jembatan gantung selebar 1 meter-an yang bergoyang-goyang jika dilewati orang. Jembatan gantung itu melintasi Sungai Tuare yang cukup lebar. Cukup deg-degan juga ketika jembatan berayu karena ada motor yang lewat. Sampailah di ujung jembatan dan rasanya lega sekali. Kulihat ada sebuah tulisan selamat datang. Ternyata lokasi yang dimaksud ini sudah masuk wilayah Desa Kolori.

Hanya sekitar 15 menit kami melihat situs  tersebut. Sepertinya barang-barang bekas penggalian tersebut adalah gerabah/ tembikar di masa lalu. Katanya barang-barang seperti ini memang banyak tersimpan, terkubur di tanah di Lembah Bada ini. Bahkan lokasi situs yang kami kunjungi hari ini terletak di halaman rumah orang. Betapa lembah yang penuh dengan misteri.

Kamipun kembali,..

Sempat mampir di Bewa, mencari-cari sinyal. Sial-nya hari ini aku lupa bawa HP. SShhh,.... Kebiasaan buruk!!! Jadilah aku menonton saja orang-orang yang berburu sinyal terbatas ini. Jika kuperhatikan betul-betul, hal ini unik juga. Motor-motor diparkir di tepi-tepi jalan dan orang-orang yang hampir semuanya memegang HP.

 
Mencari sinyal HP
  
Perjalanan dilanjutkan dan kami ke Gintu ujung. Kami menemui Pak Mangela di rumah Ibu Ita yang ternyata adalah pengurus AMAN juga di Bada. Sembari aku mengobrol dengan Bapak Mangela, Ibu Ita dan Ibu Femi berbincang di luar. Ya, aku dan Bapak Mangela mengobrol sebentar. Kami janjianuntuk bertemu lagi malam harinya. Kisah sejarah ini agak panjang dan saat ini beliau sedang bekerja jadi tidak bisa fokus untuk menceritakannya. Okeee...

Jadilah kami menunggu malam di Gintu. Sempat juga aku diajak ke rumah Bapak Leky Tompa, kakak Ibu Femi yang juga sekretaris MHTB, juga guru SMA di Bada. (Anak bungsu perempuan Bapak Leky bernama Caca sangat lucu sekali. Imut banget.) Bapak Leky memiliki rumah yang cukup luas. Di sini jugalah banyak keponakan dan keluarganya bertempat tinggal. Aku sempat mengobrolkan banyak hal dengan Bapak Leky: kakao, keluarga, pendidikan, pekerjaan, dan isu-isu terkini. Yahh,, lumayanlah untuk update berita dan nambah-nambah informasi.

Ketika senja kami kembali dan berapa lama kemudian berangkat ke Pada. Sesampai di tujuan, Bapak Mangela sudah menyambut kami, juga anjing galak miliknya yang dirantai. Gonggongannya cukup keras dan cukup untuk menakutiku jika saja dia tidak dirantai. Oke, lanjut,...

Bapak Hendrik Mangela, Nara Sumber sejarah


Aku meminta Bapak Mangela untuk menceritakan dan aku mencatat. Aku akan anggap versi sejarah yang pernah kutahu dan simpang siur itu tidak ada. Jadi semuanya dimulai dari nol. Mulailah kisah dituturkan. Ini dia ceritanya:

...... PRE –MEMORY (mirip di latihan-latihan upacara bendera, maka bagian ini akan aku skip saja. Pekerjaan khusus di lembar terpisah)....

Pada intinya adalah sejarah asal-usul yang dituturkan oleh Bapak Mangela lebih runut, lebih masuk akal karena tidak mengandung unsur dongeng dan magis, dan sesuai dengan periode sejarah di lain tempat. Nara sumber yang bisa dipercaya. Beliau dulu pernah jadi penilik sejarah selama 16 tahun dan juga kepala Depdikbud sampai akhir 2002. Beliau sudah berkutat dengan sejarah sejak dari muda, tidak heran jika saat ini ketika usianya mencapai 68 tahun beliau sangat fasih melafalkan sejarah tanah kelahirannya. Salute..


Setelah selesai, kami pulang. Mampir sebentar di Gintu untuk makan malam dan lanjutkan perjalanan ke Tuare, di tengah-tengah gerimis malam. Jalan malam cukup memberikan suasana yang benar-benar lain. Rasanya lebih lama sampai di tujuan. Badan sudah lelah dan pegal-pegal. Ketika kulihat ada tanda perbatasan desa Tuare, sungguh lega rasanya.

Jam 22.30. Kami baru tiba di Tuare.
(Praska langsung menyambut mama-nya. Anak yang baik J)

Oh Tuhan. Apa yang  harus kulakukan? Ketika aku mulai membuka laptop, jam sudah mulai menunjukkan malam tua. Aku juga lelah sekali. Tapi kisah hari ini serasa menumpuk tidak hanya di buku catatanku, tapi juga di otakku. Whoaaa,......

Ibu Femmy bilang sebaiknya aku tidur dan istirahat. Besok adalah hari istirahat. Ya, aku setuju dengan Ibu Femmy. Minimal catatan harian 15-20 menit.

Tidak terasa besok sudah harus kembali.


0 komentar:

Posting Komentar