A Journey to Tampo Bada' (4) : Upacara penyambutan dan serunya menari Dero

// // Leave a Comment

14 Mei 2013

Pagi pertama di Lembah Bada, 

Menuju Desa Tuare


Pagi pertama di Lembah Bada. Udara sungguh dingin. Mata yang masih sepat dan keinginan untuk lebih merapatkan selimut di badan sungguh sangat menyiksa. Jika di kamarku sendiri di Bogor sana, pasti sudah aku mengalah pada hasrat melanjutkan mimpi di kasur hangat pagi hari.

Kubuka selimut dan dingin mulai menyadarkanku. Kulihat jam : 6.10. Kaget ! Aku masih merasa belum terlalu lama mendengar alarm yang kusetel menyala jam 4 pagi. Harusnya ini masih jam 5an. Sepertinya teori relativitas waktu sangat berlaku di dunia mimpi, di alam tidur. 5 menit di alam mimpi sama saja dengan 2 jam di alam nyata. Dengan terburu aku mengejar kamar mandi, bukan untuk mandi, hanya mencuci muka sekadarnya saja. Mana mungkin aku berani mandi di tengah udara sedingin ini.

Setelah berberes-beres aku menuju teras. Waktu sudah tinggal beberapa menit menuju jam perjanjianku, jam 7. Kubawa tasku, dan kuletakkan diteras rumah. Sudah ada seorang bapak dan Ibunya Vexia di sana. Kami berbincang sekadarnya. Kembali teh hangat menyapaku di pagi hari. J . Sambil melayangkan pandangan ke sekeliling: Kantor polsek dengan halamannya yang luas, rumah-rumah berjajar rapi di sepanjang jalan dengan pagar bambu rendah berwarna putih – biru, dan nun jauh di batas cakrawala bukit-bukit yang membentuk pagar di sekeliling lembah ini. Tersadar kembali: “Aku berada di dasar “mangkuk” pegunungan bernama Lembah Bada.

Tepat jam 7, seorang anak muda datang, namanya John Fernando (berasa di Telenovela J). Rupanya dia yang akan mengantarku ke Tuare. Segeralah aku berpamitan dengan seluruh penghuni rumah yang saat itu ada. Saatnya berangkat. Tas besar ditaruh di depan John, diselipkan diantar setang dan jok motor bebeknya. Tas kecil berisi elektronik kugendong sendiri. Kamipun meluncur.

Jalanan masih sama, berbatu dan di beberapa tempat tergenang air, namun masih aman. Masih di Gintu, kulihat ada bangunan masjid. Sungguh mencolok di antara gereja-gereja yang banyak kutemui di sepanjang perjalanan tadi. Kudengar-dengar memang muslim di Gintu adalah yang paling banyak di antara di desa-desa lain yang didominasi oleh Nasrani. Kemudian kulihat jembatan. Di bawahnya Sungai Leiriang mengalir, deras dengan air berwarna coklat keruh. Hujan di gunung membawa endapan tanah kata John. Jalan mulai becek dan berlumpur di mana-mana. Dua kali aku terpaksa harus turun dari motor karena jalan terlalu licin dan berlumpur. Bahkan ketika aku berjalan kakipun agak sulit juga. Sungguh tidak terbayangkan jika aku harus berjalan di sini semalam. Tidak menyesal aku menunda berangkatku.

Kami melewati Desa Lengkeka, Kageroa, dan baru sampailah di Tuare. Cukup jauh juga jaraknya, 20 km-an. Selama 30 menit perjalanan sepeda motor.  Di depan sebuah bangunan gereja aku diturunkan oleh John. Kemudian berjalan menyambut seorang perempuan, sekilas tampak masih muda. Ternyata itu Ibu Femi, Pengurus Daerah (PD) AMAN di Bada. Setelah berkenalan sekilas, aku diantarkan masuk ke sebuah rumah yang ternyata adalah penginapan milik saudara Ibu Femi.

Sawah di depan penginapanku di Tuare
Kamarku berada di yang paling depan, atau lebih tepatnya di paling belakang. Bagaimana ya? Boleh dibilang teras rumah ini justru berada di bagian belakangnya. Dan di teras belakang inilah kamarku berada. Bukan tanpa alasan kurasa, pemandangan dari teras sungguh indah. Menghadap di depan hamparan sawah sepanjang kurang lebih 500 meter yang kemudian dihadang oleh bukit yang masih dirimbuni pepohonan, begitu juga di samping kanan dan kiri, sawah dan lalu bukit menghadang. Teras rumah ini, seperti berada di lantai dua. Sawah berada sekitar 4 meter di bawah teras. Pemandangan yang menyejukkan. Rasanya di tempat seperti ini, inspirasi untuk menulis tidak akan lari kemana.


Setelah meletakkan barang-barang di kamar yang sungguh nyaman (selimut tebal di ranjang sudah menjanjikanku malam yang indah, heheheee), aku mulai berbincang dengan Ibu Femi. Kusampaikan maksud dan tujuanku. Ibu Femi sendiri sudah mengetahui dari Pak Rizal, jadi tidak terlalu sulit untuk berkoordinasi. Tidak kusia-siakan waktuku, langsung aku membuka laptop dan kutunjukkan sebagian hasil tulisan yang sudah ku kumpulkan dari file-file yang diberikan Kipli. Tidak terlalu lama, mungkin hanya sekitar sejam dan kemudian aku dipersilahkan sarapan pagi. Pas banget ketika aku memang sudah lapar.

Setelah sarapan kemudian kulanjutkan catatanku. Ibu Femi mengatakan bahwa di Bada, pengurus adat sudah memiliki sebuah dokumentasi seluruh peraturan adat. Dokumen ini telah dibuat beberapa tahun yang lalu oleh majelis tertinggi adat di Bada, bernama MHTB – Majelis Hadat Tampo Bada. Kutanyakan mengapa Hadat? Ow, ternyata itu gabungan dari kata ‘hukum’ dan ‘adat’, jadilah ‘Hadat’.
Ibu Femi kemudian keluar sebentar untuk mengambilkan sebuah buku tentang panduan adat. Sekitar setengah jam kemudian Ibu Femi muncul dengan dua buah buku berukuran besar yang cukup tebal. Meskipun berbeda, namun kedua buku sama-sama berisi tentang Pedoman Hadat Tampo Bada, hanya tahunnya saja yang berbeda. Buku yang terbaru lebih tebal karena dibuat dalam dua bahasa, yaitu: Bahasa Bada dan Bahasa Indonesia. Sedang yang satunya lagi hanya dalam Bahasa Indonesia.

Pototowia Ada Tampo Bada’

 
Buku ini berisi tentang peraturan yang dipegang oleh masyarakat adat Bada, berisi seluruh adat dan aturan yang mengikat masyarakat Bada dari lahir sampai mati, dari pengaturan individu, keluarga, masyarakat, sampai hubungan dengan alam sekitar termasuk pengelolaan sumberdaya alam. Cukup alasan untuk berkata Wow... Kupikir pekerjaanku akan menjadi lebih terbantu. Dokumentasi tertulis memang yang paling keren. Karena itulah aku suka pekerjaan menulis. Rasanya tak lekang  oleh waktu. Hehehe
-------
Kulihat di sebelah barat, mungkin sudah hampir perbatasan TN, kulihat ladang-ladang terbuka. Ternyata itu adalah ladang padi gunung (huma) yang baru saja dipanen oleh pemiliknya. Itu adalah praktek ladang berpindah yang memang masih ada di sini. Kudengar juga suara-suara mesin chainsaw di kejauhan.
......
Hari ini adalah waktu rombongan Kipli yaitu UKP3 (Unit Kerja Percepatan Pemetaan Partisipatif) datang. Tim yang terdiri dari 15 orang ini, direncanakan hadir siang hari. Bahkan mereka sudah memesan makan siang. Namun aku tidak yakin juga, mengingat perjalananku kemarin yang sungguh lama. Ibu Femi kembali kepada kesibukannya mempersiapkan kegiatan ini.
......
Setelah makan siang sekitar jam 2, aku ingin berjalan-jalan melihat desa.  Kak Ratih menemaniku berjalan-jalan di desa. Kak Ratih, saudara sepupu Ibu Femi dengan sangat baik mengantarku berjalan-jalan. Jika bertemu dengan masyarakat setempat sering kali Kak Ratih mengobrolkan sesuatu yang aku yakin pasti menanyakan siapa aku. Maklum, orang baru.
Banyak yang kulihat: rumah-rumah kayu dan sebagian kecil bertembok yang dibatasi pagar bambu dicat putih, sawah-sawah yang menghijau di sekeliling permukiman, Sungai Tuare yang hanya selebar 3 meter yang kemudian bermuara di Sungai Leiriang, dan kebun-kebun milik masyarakat yang ditanami Kopi dan Kakao. Satu hal yang menarik perhatianku adalah tiga ekor kuda yang sedang merumput di areal sekitar sawah. “Eh, Kuda buat apa di sini?”tanyaku pada Kak Ratih.

Ya, Kuda adalah alat transportasi orang-orang Bada dulu, sebelum dikalahkan oleh popularitas si “kuda besi” atau motor. Untuk bepergian ke suatu tempat, orang-orang Bada menggunakan kuda yang ditunggangi. Wahh, terbayang film-film koboi dan film kolosal jaman dulu. Sayang sekali kurasa, sepertinya berkuda adalah sesuatu yang menarik. Kuda-kuda yang merumput itu adalah sisa-sisa kuda yang masih ada di Bada. Katanya sih, sudah tidak dimanfaatkan lagi sebagai alat transportasi, hanya dipelihara saja.

Di jalan aku berpapasan dengan bapak-bapak yang membawa hasil buruannya di sawah: 3 ekor belut gemuk dan seekor katak sawah. Yummy, lauk buat nanti malam ini pastinya.  Kak Ratih menunjukkan padaku beberapa orang di kejauhan yang sedang memancing di suatu kolam. Kemudian dia menceritakan kebiasaan orang-orang di sini. Jika sore, kadang-kadang suka memancing atau bermain voli. OMG! Volley again. Di mana-mana voli. Aku teringat perjalanan di Riau, dari sepanjang hulu sampai hilir, semua orang bermain voli. Laki perempuan, tua muda semua bervoli. Di sini juga begitu, meski tidak seramai di Riau. Mengapa olah raga ini begitu populer di luar Jawa? Kurasa di Jawa, voli tidak sebegini hebohnya. Sayangnya aku tidak bisa bermain voli, jadi semua ajakan bervoli kutolak kecuali jika hanya sebagai penonton.

Hampir di perbatasan desa, di jembatan yang melintasi Sungai Tuare, di dekat kantor Polhut Lore Lindu yang tidak dihuni penjaganya, aku mengajak kembali. Waktu sudah pukul 4, saatnya kembali ke kamar.  Namun kemudian ada tiga ekor anjing kecil di depan sebuah rumah, 2 rumah sebelum penginapanku. Anjing-anjing itu mirip sekali dengan si Lero yang di Gintu. Kemudian kudatangi rumah itu yang ternyata adalah rumah saudara Ibu Femi. Di teras rumah sudah ada Ibunya Ibu Femi, dan 3 orang lagi saudaranya plus beberapa anak kecil. Kamipun berbincang. (Aku baru tahu kalau ‘Lero’ bukan nama si anjing di Gintu, ini hanya nama olok-olok karena itu adalah nama seseorang. Dan ternyata memang benar si anjing di Gintu bersaudara dengan yang di Tuare ini). Sambil berbincang kami memakan langsat (atau duku?). Sepertinya sedang musim langsat di sini. Bahasa Bada yang sama sekali tidak kumengerti mendominasi obrolan ini. Kerjaku hanya senyam-senyum saja. :D . Jam setengah 5 aku kembali.

Kipli dan rombonganpun akhirnya tiba di Tuare

Kudengar berita jika rombongan UKP3 si  Kipli baru berangkat jam 10 dari Tentena. Kurasa mungkin akan tiba sekitar jam 6-7, seperti aku kemarin. Hemm,...  Kubuka laptop kembali mulai menulis apapun yang bisa kutulis. Belum berapa lama kemudian terdengar suara gaduh. Ternyata rombongan sudah tiba. Ada 15 orang yang datang dengan 3 oto avanza. “Kipliiii”.... Akhirnya datang juga.

Dari 15 orang itu, hanya ada 1 orang perempuan yang pada awalnya kupikir juga laki-laki. Namanya Mala dari Palopo.  Mala sangat boyish gayanya. Mendengar Palopo aku teringat Lamasi. Sungai Lamasi yang kukenal meski tak pernah kukunjungi. Selain Mala, 14 orang lainnya termasuk Kipli semuanya adalah laki-laki. Mala seperti berada di sarang penyamun, hehehe. Atau jangan-jangan Mala adalah Bos para penyamun ini. J. Tim UKP3 itu adalah (aku mencontek dari buku tamu Pak Sekdes, karena meskipun berkenalan aku hampir lupa semuanya): Martidep (NTB), Syafruddin (Sulsel), Riky (Bengkulu), Oldy (Jambi), Badri (Kalsel), Ramadhan (Sumut), Abe (Malut), Petra (Ambon), Yogi (Kalbar), Asep (Bogor), Petrus (NTT), Kostan Magablo (Papua), Mizwar (Sulteng). Malam ini sepertinya perwakilan dari nusantara berkumpul di Tuare. So sweet.

Perkenalan, perbincangan, disusul makan malam pun dilakukan. Aku ikut saja mengobrol meski hanya sedikit-sedikit. Ibu Femi dan panitia acara sibuk melakukan persiapan untuk acara malam. Ya, malam ini akan ada upacara penyambutan sekaligus diskusi tentang adat di balai desa. Ketika jam setengah sembilan kami berangkat menuju balai desa. Hujan gerimis yang cukup rapat menambah dingin malam ini.

Upacara penyambutan, diskusi, dan Derooo,.....

Sekitar jam 9 acara baru benar-benar dimulai. Sambutan-sambutan, perkenalan, dan kemudian ada acara upacara adat “Metu newui” (moga bener), yaitu penyambutan orang yang pertama kali datang ke Bada. Kira-kira gambarannya sebagai berikut ini:

·         semua tamu berjajar lurus satu baris. Barisan ini kemudian berhadapan dengan barisan penduduk lokal sejumlah tamunya. Jadi masing-masing orang, tamu-penduduk lokal saling berhadapan.  Penduduk lokal membawa sebuah bakul/kranjang kecil bulat berdiameter sekitar 30 cm berisi beras dan juga dua butir telor. Beras mengisi separuh bakul dan telor diletakkan di permukaan tengah beras.
Simbolisasi dari bakul, beras dan dua telor adalah:
1.       Dinding bakul diibaratkan bukit-bukit, gunung-gunung yang mengelilingi Lembah Bada
2.       Beras separuh di dalam bakul berarti bahwa di tengah-tengah gunung-gunung terdapat sebuah lembah yaitu Lembah Bada yang subur dan memberikan kehidupan bagi masyarakat yang tinggal di dalamnya. Warna putih beras juga berarti hati yang bersih dan suci.
3.       Telur dua butir berarti bahwa inilah lauk-pauk yang dikonsumsi oleh masyarakat.

Upacara penyambutan
·         Kemudian bakul dipegang bersama oleh penduduk dan si tamu. Seperti posisi memberikan bakul kepada si tamunya. Ketika dipegang bersama itulah pemimpin adat mulai membaca doa dalam Bahasa Bada yang kemudian diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Pada intinya menyambut kami dan menganggap kami sudah seperti saudara sendiri.

·         Setelah selesai doa dibacakan kemudian tamu mencicipi beberapa butir beras di dalam bakul, sebagai tanda bahwa si tamu sudah menjadi bagian dari masyarakat lokal.
·         Upacara penyambutan selesai.

Kemudian dilanjutkan acara diskusi. Sebelum diskusi para nara sumber menyampaikan tentang pengelolaan wilayah adat di Bada. Bapak Apo Wengkau menyampaikan tentang pembagian wilayah: Wumbu wana, wana, dll. (Aku sudah memiliki catatan tersendiri tentang ini). Jam sudah jam 10 malam.
Tanya jawab berlangsung cukup ramai. 14 teman-teman UKP3 aktif bertanya, meski tidak semuanya karena waktu terbatas. Beberapa warga lokal juga ikut memberikan pertanyaan dan tanggapan-tanggapan. Nara sumber, baik dari pemangku adat, pemangku desa, dan dari AMAN memberikan penjelasan. Aku?...  Sebenarnya aku ingin juga banyak bertanya, tapi kupikir aku harus memberi kesempatan pada teman-teman yang hanya akan semalam saja di Bada. Aku masih punya waktu lebih dari 1 minggu di sini. Saatnya jadi pengamat.
Tetua lembaga adat Desa Tuare
dan seorang peserta  


Sejumlah pertanyaan yang muncul: tentang adat, pelanggaran adat, sanksi dan denda, serta bertukar cerita tentang adat di masing-masing daerah. Satu pertanyaan yang muncul dari seorang warga lokal yang berasal dari Desa Kageroa adalah tentang apa manfaat dari adanya pemetaan, jangan sampai pemetaan yang telah dilakukan malah membuat konflik antara TN dan masyarakat, atau malah mendorong masyarakat merambah hutan, dll. Kupikir pertanyaan ini sangat mendasar. Namun Ibu Femi langsung menjawab “Pasti Bapak tidak mengikuti Lokakarya di Kageroa beberapa waktu yang lalu”. Dan, ya, ehmm,....  Memang biasanya seperti ini. 

Sosialisasi tentang suatu program memang harus dilakukan terus-menerus. Informasi yang menurut kita sudah tersampaikan terkadang tidak dapat mencakup apa yang telah kita asumsikan. Acara malam ini bisa dikatakan sosialisasi lanjutan juga. Ya, minimal si Bapak yang tidak ikut lokakarya itu, malam ini bisa mendapat jawaban tentang pertanyaannya. Salut juga buat si Kipli yang bisa menjawabnya dengan baik. (Lagipula ini kan pekerjaan Kipli, jadi pasti dia sudah sangat terbiasa dengan pertanyaan2 mendasar seperti ini). Good job Kipli. J

Jam 11 malam acara diskusi ditutup. Sebagai acara penghujung dilakukanlah “Dero”. Aku sudah diberi tahu oleh Kipli dan Mala bahwa acara-acara di Sulteng ini biasa ditutup dengan “Dero”, menari bersama dalam lingkaran. Dan akhirnya kucoba juga “Dero”. Hampir seluruh orang yang ada di balai desa bergandengan tangan membentuk lingkaran yang besar dan menari bersama. Tarian berkeliling dengan irama kaki 2-2 (entahlah, 2-2 hanya sebutanku saja, aku tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya J). Musik mengalun kencang dan kami menari bersama. Sekitar 5 menit pertama kugunakan untuk belajar langkah kaki 2-2, dan kemudian aku berhasil mengikutinya. Selama lebih dari 30 menit aku ikut ber”dero” sebelum akhirnya menyerah karena capek. Badan yang tadi kedinginan sekarang sudah menjadi hangat. Orang-orang berkeringat di tengah malam yang beku. Sungguh manis sekali kurasa. Jam 12 malam acara selesai. Kami semua pulang.

Suasana meriah Dero

Aku satu kamar dengan Mala. Sebelum tidur, sempat kami mengobrol. Ketahuanlah jika Mala itu fans Ariel. Hahaha... Pesona Ariel memang dahsyat. Mala yang sangat tomboy ini pun terpesona oleh Ariel. Tidak heran.

Suasana di luar kamar ramai, orang-orang masih berdiskusi di teras. Diskusi serius, juga diskusi bercanda. Aku hanya ikut sebentar dalam diskusi bersama Kipli dan Bu Femi. Ketika jam sudah menunjukkan jam 1.10 aku pamit untuk tidur. Besok pagi rencana ikut berjalan-jalan ke hutan bersama rombongan UKP3. Siapkan energi untuk esok hari.


Matikan lampu, Say good night to my roommate Mala, dan untukku sendiri お休みなさい。


journey 3: perjuangan si OTo <---before ----="" next----=""> journey 5: Bonde, Sepe, Megalith Palindo


0 komentar:

Posting Komentar