A Journey to Tampo Bada (12): Kebun Kakao dan Malam terakhir di Tuare

// // Leave a Comment

22 Mei 2013


Yey,... Besok kembali!! (Ke Palu J)

Antara senang dan juga sedih. Rasanya belum puas berada di Tuare dan di Bada. Namun waktu berlalu seperti tidak punya toleransi. Semuanya begitu cepat berlalu. Sudah menuju hari-hari deadline. Bisakah? Pasti bisa!

Aku bangun kesiangan lagi. Jam 8.00. Tidak bisa kusalahkan hari kemarin yang melelahkan, tak bisa juga kusalahkan kebiasaan, namun gara-gara kesiangan hari ini rencanaku untuk melihat fajar di Bada tertunda lagi. Kesempatan terakhirku adalah besok. Bisakah? Pasti bisa! (menulis sambil penuh keraguan J).

---- Aku menulis catatan ini sudah jam 12 malam. Beberapa saat lalu genset dimatikan. Ada lampu bertenaga aki di kamarku. Lumayan untuk penerangan di meja kerjaku. Binatang-binatang kecil yang terbang mengerumuni cahaya benar-benar menjadi teman, meski kadang membuatku gatal-gatal dengan gigitannya.---------

Hari ini diajak ke kebun coklat milik Mama Dini. Akupun ikut. Akhirnya aku menaiki gerobak kayu yang ditarik dua ekor sapi. Awalnya kurasa kasihan pada sapi-sapi itu, tapi memang sudah tugas mereka dari dulu ya begitu itu. “Yang sabar dan kuat ya wahai sapi-sapi!” J. Gerobak dikendarai oleh Om-nya Dini. Penumpangnya ada tiga: aku, Mama Dini, Gledis. Jalan menuju kebun cukup jauh dan di beberapa tempat becek banget. Di sepanjang perjalanan hanya ada kakao, sedikit kebun kopi, dan pohon-pohon hutan.

Ramai orang di beberapa titik sepanjang perjalanan: kelompok ibu yang sedang mengupas coklat, pemuda yang sedang membersihkan lahan, beberapa pemanen coklat. Setelah sekitar 20-30 menit kami sampai kebun Papa Dini. Kebun coklat yang cukup luas di tepi Sungai Leiriang. Di sana sudah ada empat orang, termasuk Papa Dini dan Kak Titi. Nampaknya mereka sedang beristirahat dari kerjanya. Pondok tempat berisitirahat cukup besar.

Ibu Femmy pun menyusul, kemudian Praska dan beberapa pemuda. Woo,.. rame jadinya. Kamipun makan siang bersama..


(OMG, jari-jariku rasanya kaku ngetik. Ngantukkk)

Pondok di kebun coklat

Jam 3 aku pulang kembali ke kampung, dibonceng motor boti : Papa Dini, aku, Gledis. Di tengah jalan aku disengat tawon. Sumpah sakitttt. Kepala langsung pusing dan kliyengan. Dan ternyata langsung bengkak. Hemm,.... oleh-oleh nih.
---

Malampun tiba. Aku diajak Ibu Femmy ke kepala desa. Niatnya mau pamitan. Namun kepala desa sedang di Gintu. Lanjut kami mengunjungi Om-nya Ibu Femi bernama Pak Adrianus S (S apa ya?). Dulunya beliau adalah Polhut, pensiun 2 tahun lalu. Sempat kami bercerita tentang hutan-hutan di sekitar Bada. Pak Adrianus pernah menyusuri hutan bahkan sampai Wumbu Wana. Woooww,...
---

Ketika pulang kutengadahkan langit malam purnama yang cerah. Bulang begitu cantik nangkring di langit sana. Suasana desa yang tak teraliri listrik ini seakan mendapatkan berkah dari cahaya Dewi Bulan. J. Romantis banget. Andai saja oh andai saja,.. mulai ngalamun...
Sampai di rumah, Ibu Femmy langsung meminjamkan baju adat miliknya. Aku berfoto dengan baju adat Bada. Hehehehe.... Meski tanpa make-up sedikitpun aku tetap akan bertekad meng-upload foto berharga ini.
---

Ketika jam setengah 10, aku kembali ke kamar dan mulai menulis. Belum berapa lama, kamarku diketuk. Rupanya Roni dan Jupy (yang tadi aku temui di kebun) hendak meminta file film. Oke deh, sekalian saja bertukar kontak. Jadilah kami ngobrol. Cukup lama juga, sambil menunggu transfer data. Alamat FB sudah kusimpan. Amann...
---
Sudah malam, saatnya berpamitan.
---
Ingin kuselesaikan tulisan yang belum selesai.
----
Genset mati, hewan-hewan kecil berlalu lalang. Kadang-kadang hewan terbang ini bagaikan pesawat yang gedubrukan menabrak mukaku. Hehehe,..
Semangat!!!

--- 

0 komentar:

Posting Komentar