19 Mei 2013
Minggu adalah waktunya Ibadah
Hari Minggu adalah hari yang istimewa bagi masyarakat di Tuare yang semuanya adalah Kristiani. Hari ini hampir semua pekerjaan di kebun berhenti. Semua orang beribadah. Semua orang melaksanakan kewajibannya pada Tuhan. Sejenak aku teringat kebiasaan masyarakat di sekitar Kampar yang sebagian besar libur kerja di hari Jum’at untuk melaksanakan ibadah Sholat Jum’at. Di sini juga begitu, libur Minggu untuk ibadah.
Di Bada khususnya di Tuare, Ibadah dilakukan berkelompok. Ada ibadah untuk ibu-ibu, bapak-bapak, pemuda, dan untuk anak-anak. Hari minggu ini dimulai ibadah jam 11.00. Lokasi ibadah ibu-ibu di rumah Mama Dini. Sesuai rencana dua hari yang lalu, aku ikut ke acara ini. Ketika aku ke sana sudah banyak ibu-ibu berkumpul dengan pakaian yang rapi. Untungnya aku bawa kemeja, jadi aku juga bisa ikutan rapi J. Beberapa ibu-ibu yang biasa kulihat membuatku pangling hari ini. Kakak Ratih, Kak Titi, Mama Dini, dan Ibu Femi, semuanya berpakaian rapi sekali. Ya, untuk beribadah kepada Tuhan , kita memang harus memberikan yang terbaik, tak terkecuali dengan apa yang kita kenakan. Di dalam ibadah ini ada 41 orang ibu-ibu. Di desa ini terdapat dua kelompok ibadah ibu-ibu.
Lokasi ibadah kali ini menggunakan teras dua buah rumah. Di tengah-tengahnya terdapat sebuah mimbar berukuran sedang bertutup kain hitam yang menghadap ke muka jalan. Di samping mimbar terdapat sebuah meja dan 3 buah kursi plastik. Kursi-kursi peserta ibadah lainnya terbagi menjadi dua sisi yang masing-masing menghadap mimbar tersebut.
Acara Ibadah Minggu kelompok Ibu di Tuare |
Aku ikut duduk di tengah-tengah, di dekat pemimpin ibadah. Ehm, nervous juga sih. Namun aku tidak terlalu merasa aneh berada di tengah-tengah ibadah umat kristiani. Yah, secara! Beberapa kali aku mengikuti upacara pernikahan saudara-saudara atau temanku yang nasrani di gereja. Lagipula kakakku kan nasrani juga. Hehehe J. Berbeda itu indah kan...
(Ketika Mama Dini menyampaikan doa, dan aku juga ikut didoakan agar apa yang aku kerjakan lancar, agar aku diberkati Tuhan, dan semua doa yang baik-baik, Aku sungguh terharu. Terima kasih semua masyarakat Tuare. I love you all. Semoga semuanya juga dilindungi Tuhan.Gbu.)
Tidak terlalu lama acara berlangsung. Acara inti ibadah pun selesai dan suguhan mulai masuk. Kopi/ teh dan kue-kue. Manis banget,... Segelas kopi hitam manis hangat di siang hari dan kue-kue yang juga manis. Melengkapi siang hari yang indah ini.
Dan pada jam 12.30 dimulailah acara yang memang menarik perhatianku sejak kudengar ceritanya pertama kali. Yup! Acara lelang sayur-mayur sebagai bagian dari persembahan jemaat untuk gereja. Memang dari ketika aku datang tadi, aku melihat sejumlah bungkusan dan tas-tas keranjang yang berisi sayur-sayuran seperti sawi, kacang panjang, bayam, cabai, tomat, labu, singkong, dll. Tidak terlalu banyak sih, namun cukup mencolok mataku J.
Ketika acara ibadah, jemaat memberikan persembahan (dalam Islam mungkin infaq) berupa uang tunai atau hasil kebun/ternaknya. Uang tunai dikumpulkan melalui sebuah kantong yang diputarkan antar jemaat yang hadir (mirip-mirip kotak infaq keliling kalau di mesjid/pengajian). Sedangkan persembahan berupa hasil kebun/ternak dilelangkan di antara jemaat yang hadir. Uang hasil lelang itulah yang kemudian digunakan untuk persembahan. Uang persembahan dikelola oleh pengurus yang ditunjuk untuk kemudian digunakan untuk kepentingan bersama-sama. Dengan cara ini, semua orang dapat memberikan persembahan terbaiknya kepada Tuhan, tidak harus dengan uang tunai, namun dengan apa yang mereka miliki, misalnya sayuran.
Dan lelang sayur pun dimulai,...
Acara lelang sayur dipimpin oleh Mama Bela. (Ehm,.. Bela (5) yang cengeng, sempat menangis selama 15 menit ketika ibadah berlangsung J). Mama Bela dulunya adalah pemimpin kelompok ibadah ini sebelum digantikan oleh Ibu Kepala Sekolah SD yang aku lupa menanyakan namanya. (Aku hanya ingat jika ibu ini adalah Kepsek SD). Mama Bela bersuara lantang sambil mengangkat sayur yang akan dilelang.
“Sawi, daun kecil! Enak ini. Berapa?” Mama Bela
“Dua ribu!” terdengar suara
“Ya, empat ribu!”Mama Bela mengakhiri sesi sayur sawi pertama sambil menyerahkan seikat sawi berdaun kecil ke pemenang lelang.
“Selanjutnya, Rica,.....” , “ labu,....”, “tomat segar,....” Mama Bela satu persatu menyelesaikan tugasnya untuk melelang satu per satu hasil bumi persembahan para jemaat.
Acara lelang yang pertama kali kulihat ini cukup seru. Tawar menawar menawar harga di antara ibu-ibu memang menyenangkan. Bagiku, seni tawar-menawar harga adalah salah satu seni tertinggi dari seorang perempuan. Memenangkan penawaran sama saja dengan memenangkan sebuah perang. Meskipun hanya selisih 1000 perak, namun ini masalah eksistensi. Hehehehe,....
Lelang sayur dalam acara ibadah |
Selesailah sudah acara ibadah ini. Para hadirin berpamitan pulang. Ibu Femi sudah mulai mengumpulkan sayur-mayur lelang yang tadi dimenangkannya. Cukup banyak juga. Sebelum berpamitan, aku diajak berfoto dengan dua orang nenek yang mamakai baju dengan desain baju adat. Memang dari awal kedua nenek ini menarik perhatianku. Aku –pun berfoto dengan bantuan Ibu Femi tentunya. J.
Kamipun berpamitan. Udara siang ini sungguh panas menyengat. Langit cerah berwarna biru seakan tidak berbatas di atas sana. Ingin rasanya berjalan, namun panas di ubun-ubun menahanku.
Di rumah, tepatnya di dapur orang-orang sudah berkumpul ramai sekali. Kulihat ada seorang pemuda yang sedang membakar bebek di atas kompor. (belakangan aku tahu namanya Roni, adeknya Bang Adi). Mama Dini sedang mengolah Ikan Mas. Dan seperti biasa, Piyu serta Vira sedang berduet melakukan tugas-tugasnya, memetik sayuran dan terkadang mencuci piring. Terkadang aku juga melihat Kak Sana yang mencuci piring. Anak-anak kecil, beberapa bapak-bapak, dan juga tentunya sejumlah ekor anjing berlalu lalang, ikut menyemarakkan suasana siang ini.
Owh,.... Hampir aku lupa bahwa siang ini memang ada sebuah keluarga dari Gintu yang memesan makan siang di penginapan ini. J
Sekitar jam 2 aku keluar sebentar untuk berjalan-jalan. Hanya untuk melihat-lihat kondisi di luar saja. Seperti biasa, Gledis mengikutiku, juga Praska. Ehm, Gledis dan Praska memang kompak sekali sepertinya. Di luar udara sudah tidak terlalu terik meski cahaya matahari masih menyilaukan. Kulihat ada seorang anak kecil laki-laki mungkin berusia 3 tahun. Sebelum kutanya namanya, Gledis sudah memberitahuku.
“Itu adiknya Piyu, namanya Alan” kata Gledis.
Ohhhh,....
Alan adalah anak kecil yang banyak tersenyum. Di setiap senyumnya selalu ada gigi yang terlihat. Hehehe. Alan adalah anak yang ramah dan sekaligus pemberani. Ketika kulihat ada sebuah gerobak kayu (yang katanya digunakan untuk mengangkut hasil panen) muncul ideku untuk memotret Gledis dan Alan. Sayangnya Gledis menolaknya. Mungkin malu, atau malas? ----- Tak berapa lama kulihat Vira berjalan menuju arahku dan sempat pula kuminta tolong padanya untuk memfotoku dengan latar gerobak kayu tadi. Terimakasih Vira. Upload menyusul. Wkwkwk
Jalan sore: situs KALAMBA, persawahan, sungai, dan sore di pelataran gereja
Sekitar jam 4 sore, Ibu Femi mengajakku melihat Kalamba. Salah satu peninggalan megalith di Tuare. Kalamba adalah semacam wadah yang digunakan untuk menyimpan barang/ ada juga yang mengatakan untuk mandi. Entahlah,..
Lokasi Kalamba tidak terlalu jauh dari permukiman, namun jalan menuju ke sana sedikit menanjak dan lokasinya agak tersembunyi. Sebenarnya sudah ada jalur menuju ke sana, namun karena jarang dilewati jalan setapak tersebut seperti tersembunyi di balik rimbunnya semak. Kami (aku dan Ibu Femi) dipandu oleh Eloy dan Mega, dua remaja SMP kelas 1. (Aku sudah kenal Eloy beberapa hari yang lalu.)
Setelah mengunjungi situs Kalamba kami melanjutkan perjalanan. Ibu Femi mengajakku berjalan-jalan menyusuri JUT (Jalan Usaha Tani) itu. Jalan setapak ini nanti menembus areal persawahan di ujung desa. Okey Ibu, mari kita berjalan-jalan. Di kanan-kiri jalan setapak aku melihat cukup banyak tanaman kakao yang sudah mulai berbuah. Beberapa di antaranya sudah berwarna kekuningan, mungkin sudah masak.
Setelah berjalan selama kurang lebih 15 menit, kami menemukan ada dua buah gubuk/saung dan kolam-kolam ikan. Ada seorang nenek beserta anak kecil yang sedang memancing dan seorang bapak yang sedang menjerang air di gubuknya. Kami mampir ke tempat tersebut, menyapa penghuninya dan sekaligus menumpang beristirahat. Setelah berkenalan kamipun berbincang. Nama bapak itu adalah Bapak Dani, masih saudara juga dengan Ibu Femi. Bapak Dani sudah beberapa lama ini baru sembuh dari sakit stroke. Karena sudah tidak bisa berkebun dan bekerja keras secara fisik lagi, maka Bapak Dani memutuskan untuk memelihara ayam dan juga beternak ikan kolam. Bapak Dani memelihara ayamnya di tempat ini, terpisah dari perkampungan sekitar jarak setengah jam perjalanan jalan kaki. Selain mendapatkan hasilnya, usaha ini juga sebagai salah satu obat stress, katanya. Memang sih, di sini suasananya damai sekali.
Sembari mengobrol, Eloy dan Mega sibuk mencari buah jambu yang ada di sekitar sini. Eloy memanjat pohon yang tidak terlalu tinggi itu dan mengambilkanku sebuah jambu matang berwarna kuning. Enak, manis. Makasih Eloy....
Bapak Dani-pun memberikanku sebuah telor ayam. Kecil dan imut, khas telor ayam kampung. Telor itupun langsung direbus di air mendidih yang sedang dimasak bapak. Setelah beberapa lama, telor diangkat dan bisa kumakan. Ketika aku buka, ternyata si telor yang sudah dierami hampir seminggu ini telah menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Hehehe,.. tetap saja aku melahapnya dengan nikmat. Rasa telor ayam kampung memang lezat, sangat berbeda sekali dengan telor ayam negeri.
Tadi hujan sempat turun rintik-rintik, kini saatnya kami pamit. Lanjutkan perjalanan!
Hanya 5 menit dan kami menemukan sebuah jembatan kayu yang menjadi jalan masuk ke areal persawahan. Wow,..... Sudah tampak padi menguning. Jika depan kamar penginapanku sawah-sawah berwarna hijau, kini saatnya berganti warna menjadi kuning di ujung desa. Sekuning baju-nya Mega J.
Musim tanam padi sawah di desa ini memang tidak serentak. Jumlah pasokan air yang cukup sepanjang tahun memungkinkan petani untuk menggarap sawahnya kapanpun. Saluran irigasi yang pernah kususuri beberapa hari yang lalu bersama kawan-kawan UKP3 dan juga Ibu Femi, adalah penyalur air untuk sawah-sawah di seluruh desa. Saluran utama sudah didinding semen dengan bantuan dana pemerintah. Di beberapa tempat saluran tersebut ada yang jebol meskipun bisa dikatakan belum terlalu lama dibangun. Sumber air irigasi padi sawah di Desa Tuare berasal dari Sungai Tuare. (Btw aku baru tahu jika kata “Tuare” berasal dari suara Burung Maleo “tuare’,.. tuare’,.... ).
Kami menyeberangi sungai untuk bisa sampai ke jalan menuju perkampungan. Sungai itu tidak terlalu lebar dan cukup dangkal, namun arus lambat cukup mengancamku untuk terjatuh di air. Untungnya saja tidak. Aku dikawal Eloy dan Mega. Sungguh manja sekali aku ini!.. Bahkan anjing yang kami temui di sungai bisa berenang sendiri menyeberangi sungai. Anjing yang mengawal tuannya bekerja di kebun.
Di tepi sungai kami sempat mengambil lembar-lembar daun sirih. Sirih antibiotik alami yang dikenal semua orang, juga di sini. Buatku, Sirih ini nantinya akan kurendam dalam air panas di sebuah gelas. Setelah 30 menit, airnya kuminum. Ini jamu paling ampuh bagiku. Hehehehe...
Kamipun pulang ke kampung,...
Hujan tak jadi datang. Semua orang pun senang. Kulihat di depan pelataran gereja begitu banyak manusia berkumpul, bersuka cita, bergembira ria. J Lebih banyak kulihat para pemuda, meski tidak luput pula sejumlah ibu-ibu. Mereka semua berkumpul untuk merayakan sore yang indah. Para pemuda laki-perempuan bermain voli, beberapa pemuda bermain sepak takraw, anak kecil perempuan bermain lompat tali, anak kecil laki-laki bermain bola kaki, anak-anak sangat kecil sekali berlarian kesana-kemari. Selebihnya hanya menonton kemeriahan ini. Misalnya saja aku.
Ketika senja mulai datang kamipun pulang. Berpamitan dengan meriah sore yang hendak kembali ke sunyi malam. Rasanya ingin selalu sore. Ingin selalu ditemani cahaya terang yang tidak menyilaukan, ditemani hangat yang tidak membakar, dan sejuk yang tidak membuatmu merinding kedinginan. Sore adalah suasana yang dinantikan.
Malam menjelang. Kami semua mulai beristirahat. Rencana hari ini ke Kageroa bertemu Bapak Apo terpaksa harus ditunda. Hujan yang melumat jalan kembali turun malam ini. Kami harus mengalah pada alam dalam hal ini. Siakan saja kau turun wahai sang hujan. Aku masih punya hari esok.
Setelah makan malam hangat yang lezat, aku pamit untuk kembali ke kamar. Saatnya menulis, menguraikan, merangkum apa yang terjadi hari ini dan prediksi esok hari. Rutinitas yang kadang tak terasa sudah menjadi bagian dalam waktuku di Lembah Bada yang sunyi di malam hari....
-----------------Hari ini indah sekali------------------------- 19 Mei 2013-------------------------------------
Selamat tidur semuanya. Selamat beristirahat.
anak-anak Tuare |
Journey 8: Menelusur Sejarah <-- before="" nbsp="" next---=""> Journey 10: Kageroa Pak Wengkau-->
0 komentar:
Posting Komentar