20 Mei 2013
Akhirnya ke Kageroa juga,...
Tiba-tiba tanggal sudah di Mei ini sudah berkepala “2”. Waktuku semakin sempit saja. Waktu yang diberikan untukku sebenarnya ingin kutawar lagi. Rasanya ingin lebih dan lebih. Tak ada rasa bosan ataupun beban. Yang kutahu hanya aku betah di sini. Yah, mungkin saja karena mungkin baru genap seminggu aku tinggal di sini. Banyak hal yang belum kutahu yang membuatku selalu ingin lebih dekat. Mungkin penasaran.
Pagi seperti biasanya tidak menyisakan sedikitpun bekas fajar untukku. Rekor bangun pagiku di sini adalah jam 6 (pas tim UKP3 datang) dan ketika itu matahari sudah memberikan warna asli bagi alam ini: hijau, biru putih. Bukan warna magis merah keemasan yang selalu menyihirku ketika kulayangkan pandang ke arah timur. Ahh,... suasana itu,... Bangun pagi bagiku saat ini adalah kemewahan. Harga yang harus kubayar adalah begadang semalaman. Ketika begadang sampai pagi itulah mungkin aku sempat bersua dengan fajar. Untuk kemudian tidur lagi karena kelelahan. Haaa,...
Sarapan pagi nan lezat...
------
Hari ini harus ke Kageroa!!!!
-----
Siang ini aku ikut mandi di kuala (Bahasa Gimpu untuk sungai, Bahasa Bada= Uwai) bersama Praska, Vira dan Gledis. Akhirnya ada juga sesi mandi di sungai. Hehehe,... Kegiatan inilah yang hampir tak pernah luput aku lakukan jika sedang ada kegiatan di lapangan. Jika sudah ikut mandi di sungai, rasanya ada ikatan batin dengan tempat dan orang-orangnya. Itulah yang selalu kurasakan. (Selalu teringat ketika mandi di sungai dangkal di Krui, mandi dengan selang sakti di Melinsum atau mandi air gambut berwarna hitam di Teluk Meranti). Semua momen-momen mandi itu selalu melekat dalam ingatanku.
Karena itu, marilah mandi di sungai. Tak perlu bersabun dan bersampo. Berenang hilir mudik juga sudah menyenangkan. Atau bisa juga bermain istana pasir di ‘pantai’ sungai.
Ketika mandi, kulihat ada dua orang perempuan sedang melakukan aktivitas domestik: mencuci piring, mencuci pakaian, dan mandi. Meskipun kebanyakan rumah telah memiliki toilet dan fasilitas MCK sendiri dan ada juga bak-bak penampungan air komunal, namun sepertinya beberapa warga masih memilih sungai untuk keperluan domestiknya. Meskipun kulihat hal ini sudah sangat jarang.
---Kageroa; Pembagian wilayah Adat (Bapak Apolus Wengkau)
Menjelang sore aku ditemani Ibu Femi berangkat ke Desa Kageroa. Beruntung sore ini tidak hujan sehingga perjalanan lumayan lancar. Aku berangkat ditemani oleh Roni, adiknya Bang Adi. Setelah kuperhatikan dengan seksama, kakak-beradik ini memiliki model rambut yang sama. Hahaha,..
Kami sampai di rumah Bapak Apolus Wengkau. Beliau adalah ketua DPD-MHTB di Kageroa. Dulunya, beliau pernah menjabat kepala desa. Yap, Bapak ini termasuk salah satu orang yang dituakan, yang dihormati. Dia jugalah yang menjelaskan tentang sistem pembagian wilayah hutan Bada di acara upacara penyambutan tempo hari. Seperti sudah meramalkan kedatangan kami, Bapak Apolus seperti sedang menunggu kami dengan duduk di ruang tamu rumah kayunya. Rumah panggung dari kayu yang seperti rumah antik di antara rumah-rumah yang mulai bergaya ‘modern’.
Kami masuk dan mulailah Ibu Femi menjelaskan maksud kedatangan kami. Langsung ke pokok permasalahan dan kamipun membahas tentang pembagian wilayah hutan. Satu hal yang paling membuatku sedikit kaget dan juga tersenyum geli adalah ketika kami membahas Bulu Limbo. Kira-kira begini ceritanya:
Bulu limbo adalah bagian di puncak bukit yang terdapat danau kecil/ kolam. Bulu=bukit, Limbo=kolam. Wilayah ini termasuk dalam wilayah komunal yang tidak boleh sembarangan diolah. Dalam file yang kuterima sebelumnya, di Bulu Limbo ini banyak ditumbuhi tanaman kacang. Kacang? Sejak pertama aku sudah heran, kenapa kacang bisa tumbuh di air/ pucuk bukit? Ternyata dan oh ternyata, pertanyaanku terjawab sudah oleh Bapak Apolus. Yang banyak tumbuh di Bulu Limbo adalah Pohon Kacang.Yah, dengan huruf tebal agar jelas. Pohon Kacang ini adalah nama pohon (entah nama latinnya) yang banyak tumbuh di Bulu Limbo. Kayu pohon ini adalah salah satu yang bisa digunakan untuk membuat rumah (ramuan rumah). Meskipun sama-sama kacang, namun maknanya sudah sangat lain. Kupikir, kita harus berhati-hati dalam merekam informasi yang kita dapat. Kesalahan yang sepertinya kecil ini, ternyata tidak sekecil yang terkira. Itu yang kupikirkan. J
Ketika aku tanyakan apakah pembagian wilayah ini dikenal oleh semua masyarakat desa, Bapak Apolus mengatakan bahwa pengaturan ini mungkin sudah kurang dikenal oleh orang-orang di Desa Gintu, Bewa, Pada, dll yang lokasinya di tengah-tengah lembah, jauh dari bukit-bukit. Yang paling banyak berinteraksi dengan wilayah hutan dan perbukitan adalah orang-orang di Desa Kageroa, Tuare, dan desa-desa di LoreBarat lainnya serta Desa Bulili di Lore Selatan. Masuk akal juga sih.
Setelah membahas tentang kakau (hutan dalam Bahasa Bada), kami sempat juga membahas tentang ladang berpindah yang dulu pernah menjadi satu budaya dan saat ini banyak ditinggalkan. Ternyata membahas tentang ladang berpindah membawa memori masa lalu baik bagi Ibu Femi dan juga Bapak Apolus. Seru jadinya diskusi kami. Hingga sebelum akhir diskusi kutanyakan tentang kekhawatiran akan masa depan dan hal-hal lain.
Bapak Apolus merasa bahwa masa depan masyarakat Bada ini dia juga tidak tahu akan bagaimana. Ada kekhawatiran juga di masa depan jika nanti orang-orang tua yang sampai saat ini gigih mempertahankan adat budaya sudah tidak ada. Terlebih lagi dengan semakin berkembangnya jaman yang seakan sulit dikejar.
Sore ini cerah. Ketika kami pulang dari Kageroa sekitar jam 5.30, seperti kemarin, pelataran gereja ramai dengan orang-orang yang berolah-raga sore. Kami ikut bergabung dalam keramaian itu. Tampaknya hari ini lebih ramai dari kemarin. Lebih banyak orang yang berkumpul. Anak-anak kecil berlarian di halaman. Berguling-guling di tanah. Seru sekali melihatnya.
------
Malam menjelang, kami pulang.
Tidak seperti kemarin, aku libur dahulu untuk menggambarkan Gledis sesuatu. Aku ingin menyelesaikan kewajibanku dulu untuk merangkum menu utama hari ini: “Pembagian wilayah adat Tampo Bada”.
Okey!
Hari ini aku ingin membahas lengkap tentang hutan adat. Tapi entah kenapa, lampu yang bertenaga genset ini semakin berkunang-kunang. Apa pandanganku ya? Rasanya pendarnya semakin tidak stabil. Sama seperti katup mataku yang rasa-rasanya ikut tidak stabil. J Jam 22.54.
Sudah malam ternyata. Biarkan malam ini aku tertidur kurang nyenyak karena menanggung hutang hari ini. Sudah resiko. Aku memilih mengalah pada pendar lampu ini. Lagipula sebentar lagi genset akan selesai masa tugasnya hari ini.
Kisah berlanjut untuk esok hari.
Selamat tidur,..
Journey 9: Ibadah Minggu <--- before="" nbsp="" next----="">
--->
--->
0 komentar:
Posting Komentar