A journey to Tampo Bada (3): Perjuangan si 'Oto' , Tentena-Bada trip.

// // Leave a Comment

13 Mei 2013

Selamat berjuang ‘Oto’

Sungguh hari yang panjang dan melelahkan. Episode hari ini diisi dengan perjuangan si “oto” menembus Tampo Bada. Tujuh jam yang melelahkan. Terbukti sudah kata orang-orang “Selamat menikmati perjalanan”.

Rutinitas pagi seperti biasa. Bangun jam 6 mandi, makan, berbincang. Orang-orang sudah mulai berangkat training. Kecuali training keuangan yang memang belum dimulai. Berkenalan aku dengan beberapa teman-teman kader AMAN yang muda-muda. Ada Desna dan Tisen serta Vina, semuanya berasal dari Bada. Vina berasal dari Kageroa, Desna dan Tisen dari Bewa. Cukup banyak berbincang dengan Desna dan Vina. Mereka menceritakan betapa ‘serunya’ perjalanan dari Bada ke Tentena. “Tidak jauh kok, cuman 3-4 jam kalo tidak hujan”. Lalu ketika hujan? Kutanya. Dijawablah dengan senyuman “Yah bisa 8 jam-an, kadang juga harus bermalam”. Ehhhhhh,,....  Aku langsung shock mendengarnya. Kok bisa 3-4 jam bisa menjadi berlipat2 seperti itu. Kemarin sempat kulihat pula Desna dan Tisen yang baru datang dari Bada dengan motor dan celana yang penuh lumpur. Tapi tidak kukira akan sefantastis itu.

Jalan Tentena-Bada rusak parah
Jam 10 tepat mobil jemputanku datang. Desna membangunkan aku dari tidur ayamku dengan teriakan “Kak itu oto kakak su tiba”. Eh, oto? Mobil kaliii. Langsung teringat sms Pak Rizal yang bilang akan mencarikan oto dari Tentena. Bingung sih, tapi aku ngerti. Oto adalah sebutan untuk mobil. Aku langsung berburu membawa tasku yang meskipun hanya satu tapi beratnya menyaingi karung beras penuh. Kulihat ada mobil jenis L-300 yang menungguku. Heh? Dari awal kupikir mobil jemputanku adalah mobil kecil yang orang-orang sini menyebutnya ‘oto avanza’. Jadi aku agak shock juga ketika aku melihat L-300 itu, yang disebut ‘oto besar’. Hehehe,.. Tapi tidak masalah. Show must go on. Masuklah aku ke oto itu dan sudah ada sepasang nenek-kakek di dalamnya. Mereka juga mau ke Bada. Sebentar kami berbincang-bincang dan oto-pun berjalan.

Oto berjalan memasuki permukiman, menjemput penumpang. Jujur aku teringat pada L-300 di Jawa sana yang jika membawa penumpang sungguh ‘terlalu” (dengan gaya Rhoma tentunya J ). Jadi jiper juga. Tapi sudahlah, nikmati perjalanan. Penumpang yang dijemput pertama adalah seorang Ibu muda bersama dua anak perempuannya yang berumur 5 dan 10 tahun. Penumpang kedua adalah sepasang muda-mudi yang terlihat jelas pacaran karena sepanjang perjalanan mereka mesranya membuat ibu-ibu pada ngiri (hahaha.. ini pernyataan bukan dariku, ibu yang sebelumnya naik sempat bilang padaku di tengah jalan tentang hal ini J). Selanjutnya ada sepasang bule Perancis bersama guidenya yang orang Toraja. Bule ini mau berjalan menuju Palu membelah wilayah Bada. Selanjutnya ada Ibu dengan seorang anak perempuan 7 tahunan dan sepasang kakek nenek lagi. Selain bule dan guidenya dan tentunya aku, semuanya adalah orang Bada. Lengkaplah sudah personel di oto besar ini, 16 orang plus sopir. Oiyah, Sopir bernama Bang Chitra. Doi memang spesialis mobil angkutan ini PP  Bada –Tentena.

Hanya sekitar berjalan satu jam dengan jalan aspal yang lumayan baik, kemudian mobil berhenti. Kulihat ada portal yang dijaga petugas berseragam bertuliskan dinas perhubungan. Nenek di sebelahku bernama Nenek Esther mengatakan bahwa perjalanan yang sulit baru mau dimulai. Inilah akhir jalan aspal bagus. Yahh, mari kita mulai.




Salinan dari HP:

10.00 – berangkat dari Tentena
11.30 – Jalan aspal mulai berakhir, masuk portal, sopir bayar pungutan
11.45 – Mobil pasang rantai ban, jalan mulai becek
12.11 – Sudah 20 menit menunggu truk yang terjebak lumpur
12.15 – Again! Avanza mogok, truk yang tadi sulit naik
01.51 – pasang rantai lagi yang tadi sempat dicopot. Mulai gerimis
02.38 – sudah 10 menunggu di jalan becek, sempat disuruh jalan kaki karena tidak memungkinkan. Ada 2 avanza terjebak lumpur
02.49 – Baru 5 menit jalan ‘dangdutan’, sudah harus antri lagi, lumpurrr...
04.40 – Istirahat di Maley Bada. The only warung. Indomie dan telor rebus J
06.12 – Sampai Bomba. Gerimis. Penumpang mulai turun.ehem,.. Someone reminds me of my –x. Hehehe
6.50 – Sampai di Gintu. Hujan deras. Tidak bisa naik ke Tuare malam ini. Nginap di saudara Ibu Femi.
----------------------------------------------------

Oto bergerak dengan gerak yang diperlambat, beberapa kali miring-miring membuat hati deg-degan. “Belum ini, belum,...” Nenek Esther berkata. Yahh, nikmati saja perjalanan ini. Aku pikir perjalanan ini akan seru sekali, makanya aku mulai mencatat setiap waktu dimana terjadi hal-hal yang luar biasa. Awalnya aku ingin menulis di buku saja, namun melihat kondisi jalan yang dangdutan ini dan memang telah kucoba sebelumnya, kusimpulkan bahwa itu bukan ide yang baik. Kupilih saja menulis di hape (Saat-saat seperti ini selalu membuatku sadar bahwa teknologi itu memang diperlukan).


Akhirnya tiba juga di Lembah Bada. Lembah putih yang dikelilingi oleh bukit-bukit pegunungnan, yang dulu katanya adalah danau dan yang  pertama kali ditemukan oleh Wiri Bangko entah di tahun kapan.
Kulihat langit menjadi jingga dan nun jauh di bawah sana terlihat titik-titik kecil rumah dan petak-petak sawah di suatu lembah yang memang benar-benar seperti berada di dasar “mangkuk” di tengah-tengah bukit-bukit yang menjulang. Waktu menjelang jam senja.

“Yatta! Inilah Bada!”  aku bersorak dalam hati.
“Akhirnya sampai juga di Bada” Kata Nenek Esther.
“Nanti saya yang pertama kali turun, itu di bawah desa saya, Desa Bomba” Kata Nenek di belakangku.
“Pak Sopir berhenti sebentar, mau ambil foto sebentar di sini” “Hey Tom, You can take the picture here, from the car, You don’t need to go outside.” Kata abang-abang guide kepada sopir dan juga bule-nya.

......Selamat datang di Lembah Bada


Melihat lembah Tampo Bada (Tampo dalam bahasa Bada berarti “tanah”) memang membuat semua orang bersemangat. Setelah perjalanan melelahkan hampir selama 8 jam, akhirnya kami bisa sampai juga di lokasi tujuan.

Pikiran-pikiran buruk, pertanyaan-pertanyaan yang pernah muncul dihatiku: “Buat apa sih aku melakukan ini? Apa benar pilihanku? Rasanya aku ingin pulang?” Dan semua ragu yang kadang membuatku gelisah, semua terasa hilang begitu saja. Senja dan langit jingga di barat sana, di atas bukit-bukit yang memantulkan warnanya, dan lembah Bada di bawah sana, seakan memberikan semua jawaban tanpa pernyataan yang jelas. Aku hanya tahu, merasakan tanpa bisa menjelaskan. Aku beruntung bisa di sini. Inilah mimpi yang dulu pernah ada. Sesaat aku bilang aku rindu pulang, rasanya rumahku sudah menanti di depan sana. Perasaan sama yang pernah kutemukan ketika dulu pernah melakukan perjalanan di Liwa-Krui-Lampung Barat. Yang orang bilang itu Deja-vu, saat ini kurasakan.
-----
Desa pertama yang menjadi pintu gerbang permukiman Bada adalah Desa Bomba. Mobil berhenti sebentar di portal masuk desa. Bang Chitra, sopir yang tak kenal lelah itupun membayarkan sejumlah pungutan pada penjaga portal, kemudian menurunkan beberapa barang dari atap mobil. Barang titipan rupanya. Hanya 3 menit. Mobilpun berjalan lagi.

Ketika sepasang kakek-nenek yang duduk di belakangku turun, langit masih bercahaya remang. Tidak kulihat jam, namun kuperkirakan sekitar jam 6 lewat belasan menit. Barang-barangpun diturunkan. Mobil berjalan lagi. Penumpang yang kedua turun adalah Guide dan 2 orang bule Prancis di sebuah penginapan di desa Pada, desa ke-dua. “Bye-bye. Terima Kasih.” Kata Silvy, si bule yang perempuan. Ibu dan 2 anak perempuannya juga turun di Desa Pada. Mobil menjadi lebih lengang, Nenek Esther bilang bahwa selanjutnya yang turun adalah aku. Aku turun di Desa Gintu.

Mobil melaju pelan, di tengah jalan aspal dan bebatuan. Tidak terasa mobil berhenti, kutengok melalui kaca mobil sebuah rumah yang ramai. Ada sekitar 5 orang di sana yang terlihat.

“Saya turun di sini ya Bang?” tanyaku.
“Iya mbak. Sebentar saya bantu menurunkan tasnya” Bang Chitra menjawab.

Kubayarkan ongkos perjalanan sebesar 50 ribu sambil mengucapkan terimakasih. Tidak lupa tentunya minta paraf untuk keperluan kuitansi. Hehehe.... Aku mulai melangkah masuk menuju rumah yang kutuju dan mobil kembali melaju. Terimakasih untuk perjalanannya yang sangat mengesankan. Jam 7 malam.

Aku menuju ke rumah itu, rumah adiknya Ibu Femi. Kuperkenalkan diriku pada seorang bapak yang kulihat pertama kali. Kusampaikan maksud dan tujuanku. Aku dipersilahkan masuk. Rumah yang hangat. Di dalam rumah ternyata lebih banyak lagi orang yang kutemui. Mereka sedang menonton TV di ruang tengah. Aku yakin sekali mereka menonton sinetron (kudengar suara-suara khas orang marah dan menangis, khas sinetron kita). Suguhan teh manis panas pun muncul. Langsung saja kusruput. Ehm,.... sungguh hangat dan nikmat. Di luar hujan semakin deras mengguyur malam.

Ibu Femi tinggal di Desa Tuare, Kecamatan Lore Barat. Desa ini adalah desa paling ujung sebelah barat, berbatasan langsung dengan TN Lore Lindu. Jalan menuju desa ini katanya kurang bagus, dan tidak banyak mobil umum yang mau ke sana. Karena itulah aku turun di Gintu. Pak Rizal mengatakan agar aku turun saja di Gintu, di rumah yang depan Kantor Polsek Lore Selatan, rumah adeknya Ibu Femi. Nanti minta orang di rumah itu untuk mencarikan orang yang bisa mengantarkan aku ke Tuare naik sepeda motor. Perjalanan kurang lebih 20 menit.

Aku berkenalan dengan sebagian orang-orang di rumah itu, namun karena banyaknya orang, justru aku tidak bisa mengingat satupun nama. Hanya Vexia si anak kecil dan seekor anjing kecil berumur 1 bulang  bernama Lero yang masih kuingat. Oh Tuhan, tolong di update memori ku ini... J

Tuan rumah mengatakan bahwa apakah aku ingin naik ke atas malam ini juga atau besok pagi saja. Aku ingin malam ini saja bisa ke Tuare, agar cepat sampai dan aku bisa memulai pekerjaanku. Mereka bilang bahwa ke Tuare malam ini bisa saja, namun agak sulit jalannya, berlumpur dan becek, apalagi saat ini hujan. Aku tetap ingin berangkat malam ini saja.

Sambil menunggu orang yang akan mengantarkanku ke Tuare, aku kembali pada teh panas yang mulai hangat sembari berbincang dengan adeknya Ibu Femi. Ketika orang yang akan mengantarku tiba dan ketika aku ditanya apakah sudah siap, Aku malah menjadi ragu. Hujan yang tadi sempat mereda, kembali mengguyur lagi dengan lebih ganas. Ada dua hal yang kemudian kupertaruhkan :

“Apakah aku ingin cepat sampai tujuan dengan resiko jalan di tengah hujan, basah dengan skenario terburuk adalah sakit?”
“Menunggu besok pagi, menginap di Gintu dulu dengan resiko akan ada waktu yang tidak bisa dikejar?”
 
Aku akhirnya memilih pilihan ke-2. Bagiku, sakit menjadi momok paling mengerikan jika sedang bekerja di lapangan. Aku tidak ingin berkompromi dengan anugrah Tuhan yang paling mahal ini. Kuputuskan menginap di Gintu dan ke Tuare besok pagi. Perjanjian dengan pengantar, jam 7 pagi besok kami berangkat. OKEy..

Akhirnya menginap juga di Gintu,..


Aku diantar menuju kamar yang akan kutempati. Ehm, kamar yang luas, harum pula. Sepertinya aku akan nyenyak tidur malam ini. Aku pergi mandi, membersihkan badan. Meskipun udara sungguh dingin luar biasa, tapi mandi menjadi wajib.  J . Selesai mandi, aku diajak makan malam.

Sebenarnya aku ingin langsung ke kamar, membuka laptop, menulis catatan harian dan tidur. Tapi itu sungguh “tidak aku” banget. Karena itulah aku keluar kamar, ikut nimbrung orang-orang yang sedang mengerumuni TV. Dan sesuai dugaanku, memang mereka sedang menonton sinetron, di Indosiar pula, yang kutahu terkenal dengan “elang dan naga terbangnya”. Hahaha....

Niat yang pada awalnya hanya menonton 10 menitan sambil mengobrol, gagal sudah. Ini semua gara-gara sinetron Indosiar berjudul “Merebut suami dari Simpanan”. OMG! Judulnya saja sudah gak banget, apalagi ceritanya. Namun karena semangat para penonton, aku ikut juga terlarut dan jadi menonton penuh 1 episode selama hampir sejam.

Akhirnya saatnya kembali kamar. Hidupkan laptop. Tulis catatan harian dan catatan keuangan hari ini. Cek-cek kuitansi dan nota-nota. Charge semua yang perlu di-charge. Selesai. Tidur nyenyakkk..
Sungguh lelah hari ini. Saatnya menutup mata. Jam 10.30


お休みなさい!Selamat tidur! Good night! 


0 komentar:

Posting Komentar