(Fragmen Kenangan) Mas Cemani dan Api Unggun Kecil
Sore itu aku sedang berada di terminal, menunggu bus yang akan mengantarkanku ke Bogor, dari kampung halamanku tercinta di Boyolali. Waktu ketika menunggu selalu membawaku ke awang-awang, memikirkan hal-hal yang kadang tak pernah terpikir di waktu biasa. Mataku menuntunku untuk melihat sosok para pedagang asongan yang sedang duduk menunggu kemunculan bus-bus di sepanjang terminal. Ah, rasanya sesuatu mulai bergejolak di pikiranku. Para pedagang asongan itu membuatku mengawang-awang, mengingatkanku pada masa silam, membawaku pada kenangan, sepotong-potong dalam lamunan. Lalu 'Mas Cemani' pun hadir. Siapa dia?
Seseorang di masa lalu, entahlah namanya siapa, yang teringat adalah dia dipanggil 'Cemani'. Aku memanggilnya Mas Cemani, seorang pedagang asongan terminal yang pernah indekost di tempat orang tuaku. Aku yakin Cemani bukanlah nama asli. Itu terlalu aneh di telinga, bahkan bagiku yang orang Jawa. Nama julukan itu pastilah berasal dari kulitnya yang hitam, meskipun tak sehitam orang Papua. Cemani berarti hitam, bahasa Jawa. Ketika itu aku masih TK kurasa, 5 tahun mungkin.
Pada suatu sore menjelang senja, aku dan Mas Cemani duduk berjongkok berhadap-hadapan berdua di jalan masuk menuju halaman rumah. Aku memakai rok dan dia memakai celana jeans dan kemeja kotak-kotaknya. Di tengah-tengah kami ada unggun kecil yang kami nyalakan. Api kecil dari unggun itu seakan sedikit memberikan terang di remang senja itu. Kayu-kayu kecil, serpihan dari kayu bakar yang dibelah oleh tukang kayu tadi siang. Ya, saat itu ibuku berjualan kayu bakar.
Aku ingin membakar plastik agar nyala unggun kita lebih besar dan lebih lama, tapi kemudian Mas Cemani mengatakan jika nyala dari kayu akan lebih awet. Ah, aku tak percaya. Sepanjang yang aku tahu dari hidupku yang 5 tahun itu, plastik akan lebih lama terbakar. Lelehan plastik pun masih menyala kan? Itu yang kuyakini. Lalu kamupun mulai membakar kayu, aku membakar plastik. Kita beradu siapa yang nyala apinya lebih lama? Akhirnya,... Aku pun kalah. Api mu lebih lama bersinar sedang apiku sudah lebih dulu padam. Plastik bungkus kerupuk yang kupungut di halaman ternyata tak bisa menguatkan keyakinanku.
Mas Cemani. Dia selalu tersenyum dan tertawa ringan saat 'hitam'nya dijadikan bahan bercandaan, ledekan. Dia hanya tersenyum dan sering menimpali dengan candaan pula. Tidak banyak yang bisa kuingat dari Mas Cemani, selain kulit hitam, rambut lurus pendek, mata putih tajam, baju kemeja kotak-kotak, jeans belel dan dagangan asongannya yang dipanggul di pundak. Serta satu momen indah saat aku dan Mas Cemani bermain unggun kecil itu.
Dimanakah Mas Cemani yang itu? Apakah aku bisa mengingatnya jika mungkin tak sengaja bertemu dengannya? Apakah dia juga masih mengingatku meski dengan hanya ingatan yang secuil ini?
Jika kupikirkan lagi, sesungguhnya apa arti pertemuan antara satu orang dengan orang lainnya? Dalam hidup, manusia selalu saling bertemu, berinteraksi sekecil apapun. Apakah arti pertemuanku dengan Mas Cemani? Apakah itu akan mempengaruhi hidupku? Begitu juga sebaliknya? Lalu apakah artinya aku bertemu dengan tukang kondektur bus ini? penjual tiket? penjaga WC? dan ribuan orang yang kutemui dalam hidupku?
Rasanya berlebihan jika aku mengatakan bahwa Mas Cemani sangat berarti dalam hidupku. Toh dia hanya orang lewat yang sedikit menyita ruang memoriku, tidak lebih nampaknya. Tapi tidak mungkin juga dia tak berarti. Nyatanya, saat aku menuliskan ini, aku merasa sangat nyaman. Rasa nyaman ini pula yang memicuku untuk mengingat kembali orang-orang yang singgah di memori otakku.
Ah, ini rasanya seperti sedang me'refresh ingatan.
0 komentar:
Posting Komentar