Nostalgia Sungai di Hari Air Sedunia

// // Leave a Comment
 
Kreteg Kridanggo di atas Kali Kridanggo
Seingat saya, waktu saya masih kecil, sekitar 20 tahun yang lalu, anak-anak kecil masih sering bermain di sungai. Setiap minggu pagi, berjalan-jalan menuju sungai menjadi hal yang paling saya tunggu. Kami mandi dan berenang di sungai-sungai itu. Saya berasal dari sebuah kota kecil di Jawa Tengah tepatnya di Boyolali. Kabupaten Boyolali sepenuhnya masuk di dalam satuan wilayah DAS Bengawan Solo, DAS terbesar di Pulau Jawa yang mencakup sebagian wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Wilayah Boyolali masuk di Sub DAS Bengawan Solo Hulu, karena memang dekat dengan Gunung Merapi dan Merbabu yang merupakan hulu sungai, selain Gunung Lawu. Bebeberapa aliran sungai melintasi wilayah Kota Boyolali dan di sungai-sungai kecil inilah yang menjadi bagian dari masa kecil saya dulu yang sepertinya sudah tidak berbekas lagi.

Beberapa hari yang lalu ketika saya pulang kampung, saya berjalan-jalan kembali menuju sungai-sungai tempat saya bermain. Sungai-sungai kecil (Kali) seperti Kali Kridanggo, Kali Pandeyan, Kali Karang Boyo, Kali Kedung Semak adalah nama beberapa sungai kecil yang mengalir di dekat rumah saya. Dulu sungai selalu ramai oleh kegiatan manusia: anak-anak kecil berenang, ibu-ibu yang mencuci pakaian, kerbau/ sapi yang dimandikan, dan orang-orang bebersih badan sepulang dari sawah. Bahkan tidak jarang sungai-sungai itu digunakan oleh orang untuk merendam gadung, semacam keripik makanan ringan. Sekarang sungai terasa sepi kehilangan penghuninya.

Anak-anak kecil yang berenang sudah tidak ada lagi, mungkin dilarang orang tuanya karena air sungai yang kotor dan sudah tidak layak untuk dipakai berenang, atau mungkin karena memang air di sungai-sungai itu surut begitu dalam sehingga tidak bisa dipakai berenang lagi? Sungai yang surut tajam dalam kurun waktu 20 tahun ini adalah Kali Kedung Semak yang mengalir di Desa Mudal, Boyolali. Ibu saya mengatakan jika sungai ini kering dan tidak berair lagi sejak dibangun bendungan di aliran yang lebih atas. Debit air yang turun membuat aliran air ke bawah menjadi terhenti.

Aktivitas MCK di sungai juga sudah jarang lagi kutemui.  Saya rasa ini perkembangan ke arah yang lebih baik. Benarkah demikian? Aktivitas MCK yang melibatkan sabun sering dituduh sebagai aktivitas pencemar sungai. Tapi berhentinya aktivitas itu disebabkan oleh air sungai yang sudah tidak layak untuk mencuci dan mandi lagi. Saya jadi teringat dengan peribahasa ‘Habis manis sepah dibuang’, tapi kok rasanya itu berlebihan. Terhentinya aktivitas MCK di sungai menunjukkan kualitas air sungai yang turun, jadi jika air sungai masih bagus apakah berarti kegiatan MCK masih akan terus dilakukan? Itu perlu saya cari tahu lagi.

Kali Kridanggo yang alirannya di dekat Taman Kota Sono Kridanggo di pusat kota lama kulihat tidak terlalu berubah kecuali suasananya yang sepi dan air yang terlihat surut. Kreteg (Jembatan) Kridanggo yang membelah sungai itu adalah tempat main saya dulu ketika masih SMA, saya dan teman-teman sispala saya serin g berlatih reppeling di jembatan berketinggian 15 meter itu. Dari atas kreteg itu dapat terlihat jelas pemandangan Kali Kridanggo dengan bebatuannya yang besar-besar. Dulu beberapa kali kulihat orang-orang duduk di antara batu-batu atau di bawah rumpun bambu di tepi kali, memancing ikan. Sekarang sudah tidak ada lagi. Seperti para pemancing yang pergi, apakah ikan-ikannya juga sudah pergi? Saya belum tahu.

Kali Kridanggo yang airnya surut, nampak batu-batu kali
Masih dalam satu aliran dengan Kali Kridanggo, saya melihat kali itu di dekat terminal Boyolali. Dalam aliran yang semakin kecil, kulihat sampah-sampah yang menumpuk di tepi-tepi sungai. Sedih sekali rasanya melihat sampah-sampah yang salah alamat itu. Ada yang pernah mengatakan ‘Bagi orang-orang sekarang, melihat sungai sama dengan melihat tempat sampah yang besar’.  Semoga saja itu tidak benar dan tidak berlaku di sini. Jika saya harus berpikir positif, mungkin sampah-sampah itu memang salah alamat, bukan ada yang sengaja membuangnya ke ‘tempat sampah besar’ itu. Tapi tentu saja saya tidak bisa berpura-pura tidak tahu kan?

Dalam nostalgia antara saya dan sungai di kampung halaman ini, sungguh membawa cerita sendu. Ada sedikit sedih di hati, melihat bahwa kenangan indah di masa lalu tak mungkin kembali. Tapi saya harus tetap melihat ke depan, berpikir dan melakukan apa yang saya bisa untuk sungai-sungai ini. Dengan apa dan bagaimana? Itulah yang masih terus saya pikirkan. Dan melalui sedikit tulisan ini, saya ingin mengajak teman-teman saya untuk peduli pada sungai kita. Pada teman TPA yang tiap minggu berjalan-jalan menyusur sawah dan sungai di desa, teman di kampung yang selalu mengajak berenang ketika sore tiba, teman-teman di OP2A Persada yang selalu memberi keasikan dalam indahnya alam, dan semuanya yang mencintai sungai, mencintai air, mencintai hidup kita.


Selamat Hari Air Sedunia. Mari bernostalgia dalam masa lalu indah kita untuk menuju masa depan yang bisa kita buat lebih baik dari kapanpun juga, asal kita mau dan kita berusaha.

---

0 komentar:

Posting Komentar