(Baru saja merapihkan file-file di laptop dan nemu catatan harian penelitianku untuk skripsi dulu. Penelitian yang berjudul "Perubahan Pola Interaksi Masyarakat dengan Hutan ". Tahun 2011 tepatnya aku melakukannya, tak terasa udah 3 tahun lalu. Daripada ngendon di laptopku mending aku unggah saja di sini. hehehe. Akan aku bagi-bagi beberapa part berdasar hari )
Pemandangan dari Cilodor |
Hari 6
3 Juni 2011
Catatan ini aku buat tanggal 4, aku benar-benar kecapekan kemarin dan tidur jam 8 malam. Keinginan untuk membuat catatan ini kalah oleh kantuk yang tak tertahankan sehingga games memory pengantar tidurku pun aku tinggalkan.
Tanggal 3 juni aku mulai pukul 8 pagi, seperti biasa oleh sinar silau mentari dari balik gorden kamar. Hari ini hari jumat, hari pendek jika di kantoran, tapi di sini hal ini menjadi hal yang biasa. Seperti kemarin aku mengkompilasi data yang aku dapatkan pada tanggal 2 juni dan menulis beberapa paragraf di draft kondisi umum. Namun tak berapa lama tidak bisa melanjutkan apa yang sebenarnya ingin aku tulis yaitu memulai analisis.
Siang hari aku ikut berkumpul dengan-dengan ibu-ibu di dekat kompleks ini, sekedar mengobrol santai dan bebas. Ibu penjual bensin di depan rumah Bu Kosih bercerita tentang usahanya menjual bensin dan menjual perlengkapan sepeda motor. Usaha itu dilakukan karena suami ibu itu tidak bisa bertani dan selain karena tidak memiliki lahan pertanian. Untuk mencari nafkah, dilakukan dengan menjual bensin. Dahulu, suami ibu itu mencari uang dengan menjadi ojek. Saat dulu orang masih belum banyak yang memiliki motor, usaha ini sangat menjajikan yaitu setiap harinya bisa mencapai 100 ribu. Namun saat ini, hampir semua orang memiliki motor dan sudah jarang orang yang memanfaatkan jasa ojek. Untuk ojek saat ini, mendapat 20 ribu perhari saja sudah menguntungkan. Dari itu, suami ibu beralih dari ojek menjadi pedagang bensin.
Bensin dibeli dari SPBU Kalapa Nunggal yang berjarak sekitar satu jam dari sini dengan sepeda motor. Biasanya belanja dilakukan dua hari sekali sebesar 120 liter. Harga bensin di SPBU adalah 4500 rupiah dan ibu menjual 5000 rupiah per liter, atau dengan keuntungan 500 rupiah perliternya. Untuk membeli bensin di SPBU dikenai biaya 1000 rupiah per jerigen. Uang ini adalah pungutan yang diberlakukan oleh pengusaha SPBU itu.
Usaha dagang bensin di sini membuat ‘capek hati’ kata ibu. Hal ini dikarenakan banyak pembeli yang berhutang. Baik sepeda motor maupun mobil angkutan sering kali berhutang. Yang membuat kesal adalah saat utang itu ditagih, banyak yang menunda pembayaran bahkan ada yang mengelak telah berhutang. Dengan untung 500 per liter, jika ada penghutang yang tidak membayar hutangnya, untung itu menjadi berkurang banyak, bahkan pernah merugi. Namun hal ini tidak bisa dihindari karena memang kebiasaan di sini seperti ini.
Pukul 2 sore, aku pergi ke Cilodor Dusun Leuwi Waluh. Kampung ini terletak tidak terlalu jauh dari pusat desa Cipeuteuy, mungkin sekitar 1 km. Jalan menuju kampung ini menanjak dari jalan utama desa. Jalanan menuju kampung merupakan jalan berbatu dan tanah yang licin dan becek. Lebar jalan cukup luas, yaitu kira-kira muat satu mobil lewat. Namun kondisi jalan kurang baik sehingga untuk berjalan motorpun sangat sulit. Posisi rumah-rumah penduduk di kampung ini menyebar dan berjauhan. Hal ini berbeda dengan kondisi di Kampung Darmaga di mana pemukiman penduduk mengumpul di satu wilayah.
Parit di Cilodor, airnya bersih |
Lahan pertanian di kampung ini cukup luas, dan sebagian besar atau bahkan hampir seluruhnya adalah tanah Eks HGU PT.Intan Hepta.
Di kampung Cilodor, aku berhasil menemui 6 orang responden. Hampir semua orang di Kampung ini adalah masyarakat pendatang dari luar desa. 4 orang responden berasal dari dari daerah Tugu Bandung (Kabandungan) dan mulai mendatangi daerah ini pada saat tanah HGU tersebut mulai digarap oleh masyarakat. Alasan yang mendasari mereka untuk pindah ke daerah ini adalah untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Di daerah asal, sebagian besar masyarakat adalah petani kecil yang memiliki lahan sempit atau bahkan tidak memiliki lahan. dengan adanya lahan luas terlantar HGU mereka berharap jika di tempat ini dapat bertani dengan lebih baik. Seorang responden yaitu Pak Ujil menyatakan bahwa tanah pertanian di Kampung Cilodor adalah tanah perjuangan, tanah yang didapatkan dari hasil perjuangan mendapatkan tanah garapan.
Hampir seluruh masyarakat di Cilodor tidak berinteraksi langsung dengan kawasan hutan. Alasan yang muncul adalah karena jarak yang jauh dan luas lahan pertanian yang mereka kerjakan saat ini juga sudah mencukupi untuk kehidupan sehari-hari. Hanya ada seorang responden yang menyatakan bahwa dahulu pernah ikut melakukan tumpang sari pada saat jaman Perum Perhutani, namun saat ini tidak lagi.
Tanaman yang diusahakan oleh masyarakat Cilodor adalah pertanian sawah dan lahan kering. Sawah digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, sehingga hasil panen beras tidak dijual. Lahan kering ditanami sayur seperti kubis, cabe, dan pisang, singkong. Hasil panen sebagian dijual dan sebagian lagi untuk konsumsi pribadi. Di beberapa lahan garapan petani, terdapat beberapa sisa-sisa tanaman perkebunan Intan Hepta yaitu cengkeh dan teh. Masyarakat yang lahan garapannya terdapat tanaman kehutanan tersebut memanfaatkannya untuk dijual atau dikonsumsi sendiri (teh). Panen cengkeh dilakukan selama 3 tahun sekali, sedangkan untuk teh dapat dipanen 2 minggu sekali atau sekitar 2 kali perbulan.
Setelah maghrib aku pergi ke rumah Pak Otoy, aku berjalan kaki saja ke rumahnya karena cukup dekat. Satu hal yang aku lupa adalah alat penerangan. Alat ini menjadi penting karena jalanan di sekitar sini jarang yang dipasang lampu penerangan. Untuk menuju rumah Pak Otoy, aku mengalami kesulitan karena harus menuruni tangga tanah yang licin sehabis hujan dengan penerangan minim dari nyala HP. Pak Otoy mengatakan jika PLN curang, karena dalam tagihan listrik perbulan terdapat iuran untuk penerangan jalan. Pada kenyataanya hanya ada satu lampu saja di pertigaan Cipeuteuy.
Di rumah Pak Otoy suasana sangat ramai, anak-anaknya sedang berkumpul. Ada sekitar 5 orang yang berkumpul di ruang tamu, pak Otoy dan Ibu, serta 3 orang anaknya yang semuanya sedang melihat TV. Anak-anak pak Otoy, seperti bapaknya cukup ramah dan vokal meski harus berbincang dengan orang baru. Aku sungguh merasa nyaman di sini J .
Aku bersama Pak Otoy, Bu Otoy, Pak Nana |
Aku melengkapi data kuesioner yang dulu pernah aku tanyakan. Lalu aku menanyakan rumah Pak Nana yang dulu pernah juga ikut PHBM. Pak Otoy bersedia untuk mengantarkanku ke rumah Pak Nana. Pak Otoy sungguh baik hati. Pak Otoy dan Pak Nana adalah saudara sepupu selisih umur 2 tahun. Dari jaman muda dulu mereka adalah teman sepermainan. Pada jaman pelaksanaan tumpang sari, mereka juga bersama-sama melaksanakannya. Data yang didapatkan antara Pak Nana dan Pak Otoy tidak terlalu berbeda, selain pada luas lahan dan jumlah tanggungan keluarga. Pak Otoy dan Pak Nana, berbicara dengan santai dan menyenangkan, begitu pula Ibu Nana yang merupakan istri ketiga Pak Nana.
Pak Nana adalah petani yang tidak memiliki lahan pertanian resmi. Satu-satunya tanah yang dia miliki adalah tanah rumahna. Lahan pertanian yang saat ini dia kerjakan adalah tanah Eks HGU PT Intan Hepta. Karena tidak memiliki tanah, masyarakat dahulu sangat tergantung dari pertanian tumpang sari di lahan kehutanan. Namun, karena saat ini mereka dapat mengolah tanah di lahan Eks HGU Intan Hepta, maka mereka tidak terlalu tergantung dengan hutan.
-----------
Keluarga Pak Ujil di Cilodor dan aku :) |
Ternak itik milik warga di Cilodor |
Catatan lainnya:
Hari 5: Cisarua - Dusun Koridor Halimun
0 komentar:
Posting Komentar